Sebenarnya aku termotivasi untuk membuat kelas menulis bagi publik secara umum dan gratis, alasannya tulisan dari peserta tersebut aku gunakan bahan untuk mengisi blog menulis dan menerbitkan buku ini, blog penulis indie Indonesia.
Aku tidak tahu pasti seperti apa response pembaca blog ini, sebab saat ini, blog mulai terkikis dengan sosial media seperti facebook , kemudian para penulis membuat aplikasi menulis, sementara aku masih konsisten menulis di blogspot.
Awalnya blog ini aku gunkan domain berbayar dari afsohpublisher, rumahtangga, sampai akhirnya aku menyerah menggunakan customized menulis.hidupbaru.net.
PENERBIT INDIE PERTAMA SEMARANG INDONESIA
Sebagai penulis yang nekat, aku membuat komunitas penulis buku indie Afsoh Publisher dengan klaim pasti terbit 103%, Terbaik di Asia Tenggara. Namun sayang tanpa kesungguhan dan komitmen, nama afsoh publisher tinggal nama dan jadi inspirasi belaka bahwa kalau kita mau - pasti menemukan jalan.
Kalau ditulis lebih jauh, aku malah terjebak kepada kejayaan masa lalu, hehe he he. Sebaiknya menulis apa adanya sekarang saja dan peluang apa yang mungkin terjadi dengan pengalaman dan owner - creator dari Afsoh Publisher.
Menulis Untuk Ibu Rumah Tangga
Kepikiran juga sih, tetapi bagaimana cara menjangkau ibu-ibu rumah tangga di Indonesia, sedangkan aku tidak punya komunitas emak-emak yang saat ini aktif menjadi penjual online, reseller, dropshipper dan jualan di marketplace. Tapi kalau ada emak-emak yang kontak mau belajar menulis, OK, berbayar ya. Rp 600 ribu untuk belajar selama 12x pertemuan zoom meeting.
Menulis Untuk Para Pensiunan
Daripada melewatkan hari Tua nglangut kenapa tidak menulis buku saja, menulis pengalaman masa muda, masa jaya, atau perasaaan saat tidak lagi sibuk bekerja? Kalau kalimat ini terkesan dipaksakan agar tulisan jadi panjang, mungkin ini sisa-sisa pelajaran saat aku masih SD dan diminta menulis cerita / mengarang dan aku berfikir bila karangan baik itu kalau panjang tulisannya.
ilyas afsoh - 0821-4150-2649
Penulis Blog
Penulis Buku Menulis dan Menerbitkan Buku Sendiri CSMPD
Menjadi seorang guru adalah sebuah pilihan. Menjadi guru yang profesional adalah sebuah keharusan. Di sini tidak ada sama sekali kaitannya dengan Guru Sertifikasi yang menjadi program kementrian pendidikan dan pemerintah. Karena tidak sedikit guru yang bersertifikat, tapi tidak memiliki loyalitas dan kapabilitas di dalam dunianya sendiri. Hal ini tentu akan menjadi PR tersendiri bagi pemerintah dan lembaga-lembaga yang berwenang di dalamnya.
Pendidikan adalah merupakan ruh di dalam sebuah bangsa. Sebagai ruh kehidupan dalam dunia ini, maka pendidikan harus menjadi perhatian maksimal dalam pelaksanaannya. Pendidkan meliputi banyak aspek, kognitif, afektif, dan psikomotor.
Bahkan, menurut Jerome S. Bruner, pendidikan bukan sekadar persoalan teknik pengolahan informasi, bahkan bukan penerapan teori belajar di kelas atau menggunakan hasil ujian prestasi yang berpusat pada mata pelajaran (subject centered achievement testing). Akan tetapi pendidikan merupakan usaha yang kompleks yang di dalamnya tercakup banyak peranan untuk menghasilkan tujuan pendidikan itu sendiri. Baik peserta didik, pendidik ataupun media pendidikan yang harus benar-benar terukur dan terstruktur.
Beberapa artikel yang ada di dalam buku ini berkonotasi kepada dunai edukasi. Ada berbagai tema pendidikan yang dikemukakan di dalamnya yang diharapkan dapat menjadi acuan bagi teman-teman guru. Artikel-artikel ini sangat aplikatif, dan mudah untuk dilaksanakan. Karena dikondisikan sebagai pedoman praktis, diintegralkan dengan lingkungan sekitar yang sangat memungkinkan untuk dilakukan oleh siapa saja.
Artikel ini tidak akan berarti apa-apa jika tidak diimplementasikan dalam dunia nyata. Maka segala bentuk konsep, format, formola, metode dan metodologi, serta didaktif KBM akan terungkap nyata dalam bentuk pengejawantahan di dalam kehidupan keseharian.
Bersama ini saya harus banyak berterima kasih kepada Allah swt, kepada kedua orang tua saya, yang telah memberikan banyak warna hidup, pahit getirnya kehidupan, sehingga saya mampu eksis sampai saat ini. Kepada seluruh anggota keluarg besar saya, adik saya (Rasuli) yang telah berkorban untuk pendidikan saya. Begitu juga terima kasih saya berikan dengan tulus kepada istri tersayang, yayang (Fitri Amalia) yang banyak memberikan dorongan kepada saya untuk terus berkarya. Kepada ketiga anak saya, Fathira Varach Kamila, Farhan Zacky Rusydiansyah, Ravach Rusydan Aulia, yang telah menjadi inspirator dalam dunia tulis menulis saya.
Tak lupa juga kepada pamanda (Mahdari) sebagai guru alif saya beserta keluarga besarnya. Kepada almamater tercinta PP Annuqayah Guluk-Guluk beserta seluruh masyaikh (para kiyai) dan seluruh guru-guru saya yang ada di sana. Kepada seluruh teman-teman SMPN 1 Masalembu, teman-teman SMPN Batuputih, serta seluruh akhwan dan akhwat yang tidak mungkin disebutkan satu persatu di sini. Terima kasih yang tak terhingga, semoga jasa-jasa kalian mendapatkan Ridha dari Allah swt.
Terakhir, semoga buku ini bermanfaat kepada diriku sendiri dan kepada seluruh masyarakat yang berkecimpung dalam dunia pendidkan. Amin ya Robbal ‘alamin.
Sumenep, 22 Maret 2013
PENDAHULUAN
Berbicara tentang pendidikan tentu tidak lepas dari guru, anak didik, dan sarana-prasarana pendidikan. Guru, beserta stickholder pendidikan secara keseluruhan merupakan centre of education. Bisa jadi tidak semua person sepaham dengan ini, namun setidaknya peran guru adalah sangat vital di dunia pendidikan. Maka upaya-upaya menjadikan guru dengan kualitas yang mumpuni terus saja dilakukan, baik secara individu maupun kelompok, termasuk di antaranya dengan mengadakan pelatihan-pelatihan guru mata pelajaran.
Pendidikan lebih dari sekadar pengajaran. Karena dalam kenyataannya, pendidikan adalah suatu proses dimana suatu bangsa atau negara membina dan mengembangkan kesadaran diri di antara individu-individu. Dengan kesadaran tersebut, suatu bangsa atau negara dapat mewariskan kekayaan budaya atau pemikiran kepada generasi berikutnya, sehingga menjadi inspirasi bagi mereka dalam setiap aspek kehidupan.[1]
Untuk menjadikan pendidikan yang berkualitas, setidaknya ada tiga aspek yang perlu diperhatikan.
1. Aspek guru
Secara konvensional guru adalah seseorang yang berdiri di depan kelas memberikan pengajaran yang umumnya menggunakan metode ceramah. Secara lebih umum, guru adalah segala sesuatu yang memberikan dukungan terhadap perkembangan anak didik, baik yang kasat mata ataupun yang tidak kasat mata. Baik yang berupa personal, maupun berupa materi yang ada di lingkungan kita.
Secara personal kualitas guru perlu benar-benar diperhatikan, karena hal ini akan memberikan daya hantar positif progresif untuk perkembangan dan pemahaman peserta didik terhadap kehidupan. Keterampilan yang menjadi bakat terpendam dalam diri anak didik, akan semakin survive maksimal jika personal guru mampu menjadi inspirator, motifator, dan konseptor bagi para anak didik.
Guru dituntut profesional. Hal ini menunjukkan bahwa profesi seorang guru harus menjadikan kehidupan yang layak. Maka kehidupan layak ini tidak bisa dipisahkan dengan perbaikan kesejahteraan, sehingga guru tidak lagi disibukkan oleh hal-hal lain di luar tugas dan kewajibannya. Tentu dalam hal ini menjadi tanggung jawab pemerintah, serta kesadaran personal guru itu sendiri.
2. Aspek peserta didik
Peserta didik adalah siswa dan siswi dalam tahap perkembangan wajib belajar. Peserta didik tidak bisa belajar dengan baik jika hak-haknya terabaikan. Maka hak siswa juga perlu diperhatikan.
Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang, bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pendidikan dan pengajaran. Maka hak ini harus diaktualisasikan dalam kehidupan pendidikan yang bermasyarakat. Artinya dalam kondisi apa pun, peserta didika harus didaya-upayakan untuk memperolah pendidikan yang berkwalitas.
3. Aspek sarana-prasarana
Sarana-prasarana adalah segala sesuatu yang menunjang terhadap tercapainya kwaliatas pendidikan yang baik. Maka dalam hal ini, sarana-prasarana juga perlu diperhatiakan serta ditingkatkan kwalitas materialnya. Karena, tanpa sarana-prasarana yang memadai, maka pendidikan tidak akan berjalan sebagaimana yang kita harapkan.
Tidak jarang suatu lembaga pendidikan yang sarana prasarananya sangat menghawatirkan. Kondisi kelas yang rusak, alat-alat laboratorium yang sudah tidak layak, atau bahkan tidak ada sama sekali. Maka kondisi ini juga akan menghambat perkembangan pendidikan yang ada.
Sebagaimana telah disinggung dalam pengantar buku ini, bahwa menjadi guru adalah sebuah pilihan, seseorang diberi kebebasan untuk berprofesi sebagai seorang guru, tetapi menjadi guru profesional (dalam arti yang sesungguhnya) adalah sebuah kewajiban. Guru adalah figur yang harus memberikan contoh atau teladan yang baik terhadap anak didiknya. Bukan malah memberikan etika negatif sebagaimana yang sering terjadi akhir-akhir ini oleh oknum guru yang tidak bertanggung jawab.
Skill atau keterampilan guru juga perlu diasah, ditingkatkan, dan diperbaiki dari waktu-ke waktu. Hal ini dikarenakan adanya perkembangan teknologi yang sangat pesat, maka kemampuan guru pun harus searah dengan perkembangan zaman. Guru juga dituntut untuk memahami beragam teknik dan metodologi pengajaran. Karena materi dalam sebuah buku mata pelajaran sesuai dan pas dengan satu metode, sedangkan materi yang lain sesuai dan pas dengan metode yang lain pula. Jadi, kemampuan guru dalam motodologi pengajaran harus senantiasa ditingkatkan.
Buku ini merupakan kumpulan dari beberapa artikel yang saya tulis mulai dari tahun 2006. Buku kumpulan artikel ini berusaha memberikan ruang gerak yang lebih luas untuk mempraktikkan beragam metode sesuai dengan lingkungan lembaga masing-masing. Banyak cara dan trik yang bisa kita lakukan, agar dalam pengajaran tidak menjadikan anak didik kita merasa bosan dan cenderung pasif. Kita dapat menggunakan bahan-bahan yang ada di sekitar kita, asal kita mau sedikit kreatif dalam pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar.
Sungguh, buku ini jauh dari sempurna. Karena kesempurnaan hanya milik Allah swt. Namun demikian, saya tetap berharap bahwa dari buku ini bisa diambil hikmah dan manfaat baik secara tersurat maupun secara tersirat. Akhirnya saya memohon maaf jika dalam penulisan artikel ini kurang bermakna, serta saran dan kritik untuk kesempurnaan artikel ini sangat saya harapkan. Wassalam!
[1] Prof. DR. Azyumardi Azra, MA, Esie-Sei Intelektual Muslim Pendidikan Islam, hal. 3
Sinar terik matahari yang menyinari
bumi ditambah gumpalan awan bak kumpulan bulu domba yang menghiasi langit
menyambut para siswa SMA GARUDA yang keluar berhamburan kelas setelah bel yang
menandakan pelajaran pada hari ini berakhir telah berbunyi. Deru angin sepoi-sepoi
menerbangkan debu-debu menambah hawa gersang di siang itu.
Terdengar canda tawa dari gurauan
sekelompok siswa yang keluar dari dalam ruangan kelas XII IPA1.
Lisa,Ita,Silvi,dan Hana. Empat sekawan inilah yang sedari tadi bersenda gurau
saat keluar dari kelasnya. “Eh coba lihat, dari dulu awal kita kenal sampe
sekarang si Lisa tetep aja kecil ya,, Hahahah” celetuk Silvi. “Apa maksud lo
sil, emange elo yang super duper gendut, hahaha” balas si Lisa. “eh eh kamu itu
ndak tau ya Li, ini tu seksi tauk” . “sudah-sudah makan dulu sanaaa.
Hahahahah.....” celetuk si Ita memecah perdebatan antara Lisa dan Silvi.
Keempat sahabat itupun akhirnya tertawa sambil terus melangkahkan kakinya.
Keluar dari gerbang sekolah, si Hana
mengajak teman-temannya untuk membeli es campur pelangi yang sudah menjadi
langganan mereka selama bersekolah di SMA ini. “Eh kok terik banget ya, jadi
haus ni, nge.es duluyuk. Es campur
pelangi udah melambai-lambai tuh.”
“Es pelanginya atau abangnya??
hahahahha...........” celetuk dari salah satu temannya dan gelak tawapun
kembali terdengar dari mereka;” Begitulah keseharian dari keempat sahabat itu.
Tok tok tok... “assalamu’alaikum.”
Terlihat wajah lelah Hana setelah seharian belajar di sekolahnya. Walupun ia
merasa sangat lelah, ia berusaha untuk tetap ceria di depan ibunya. Di mata
ibunya, Hana adalah seorang gadis periang yang tak pernah terlihatmempunyai masalah. Ia merupakan anak
kebanggaan ibunya. Dari Sekolah Dasar sampai SMA ini, Hana selalu menjadi juara
kelas. jika para ibu-ibu di lingkungan rumahnya sedang asik membicarakan
tentang anak mereka masing-masing maka ibu Yuni, ibu dari Hana dengan bangga
akan menceitakan segala prestasi anaknya tersebut.
“Wa’alaikumsalam, udah pulang han.”
Sambut ibunya dengan senyum menyungging di bibirnya.
“Iya buk.” Balas Hana sambil bergegas
mencium tangan ibunya itu. Melihat senyum ibunya, segala lelah dan beban yang
dibawanya dari sekolah bagaikan langsung melebur hilang.
“Cepat ganti baju terus sholat, ibu
tunggu di meja makan. Ibu udah masakin makanan kesukaan kamu tuh. Sayur asem,
gorengan plus sambil goreng sapesial ala chef Yuni. Hihihi”
“Waaaahh pasti lezat banget tuh, jadi
nggak sabar nih.”
“Makannya cepat sana ganti baju.”
“Siap Bos, hhehe”
Hana langsung menuju kamarnya. Ia
mengganti seragamnya dengan kaos merah dan celana santainya. Lalu ia bergegas
sholat dzuhur.
“Han, udah belum sholatnya? Ibu udah
nunggu lama nih.”
Iya bu, Hana kesitu.”
Lama banget sih sholatnya, memangnya
kamu do’a minta apa aja sama Allah?”
“Ya minta banyak dong bu, Allah kan
Maha Kaya. Hana tuh minta sama Allah supaya Hana bisa bareng-bareng sama ibu
terus. Hana nggak mau pisah dari ibu.”
“Lho kok gitu. Emanganya kamu nggak
mau menikah terus tinggal sama suami dan anak-anak kamu nanti?”
“Yaaah ibu apa-apaan sih masak
ngomongin nikah, Hana kan masih kecil belum cukup umur. Hehe”
“Masih kecil apanya? Juni besok itu
kamu udah 19 tahun. Itu artinya sebentar lagi mau kepala dua. Masih aja
nempel-nempel ibunya.”
“Terus mau nempel-nempel siapa dong?”
“Sudah ah cepat makan nanti keburu
dinginmalah nggak enak lagi.”
“Suapin dong bu,hehe”
“Wallaah. Ya udah sini-sini. Dasar
anak ibu. hehehehe”
Begitulah kedekatan Hana dan ibunya.
Mereka sering menghabiskan waktu berdua dengan bercakap-cakap dan bersenda
gurau. Iya hanya berdua saja. ayahnya telah meniggal dunia delapan tahun yang
lalu. Sementara kakaknya yaitu Galih sedang bekerja di luar pulau Jawa tepatnya
di kalimantan dengan pamannya untuk menghidupi ibu dan adiknya. Setelah
kepergian ayahnya Galihlah yang menjadi tulang punggung keluarganya. Sadar
dengan pengorbanan sang kakak yang sangat besar demi dirinya dan ibunya, ia
selalu berusaha belajar dan belajar demi mewujudkan cita-citanya dan membuat
bangga ibu dan kakaknya.
“Han, ini kan sudah malam, dilanjut
besok lagi belajarnya. Nanti malah ngantuk lho di sekolah.”
“Iya bu sebentar lagi, tinggal
sedikit kok.”
“Tapi mata dan pikiran kamu kan butuh
istirahat. Sekarang kamu tidur ya. Besok bangun pagi terus dilanjut lagi
belajarnya.”
“Baik deh ibuku sayaaaang. Hana akan
menuruti apa yang ibu katakan.”
“Nah gitu dong, jangan lupa baca
do’anya.”
“Oke ibu, ibu tidur juga ya.”
“Iya-iya.”
Ibu Yuni keluar meninggalkan kamar
Hana dan bergegas untuk tidur. Tiba-tiba saat sedang tertidur pulas, ia kaget
dan terbangun. Pintu kamarnya diketok-ketok dan suara Hana memanggil-manggilnya
dengan nada yang sangat keras.
Tok tok tok............. “ibu .......
ibu cepat buka pintunya ibu. Ibu ibu..............”
Ibu Yuni langsung mengambil langkah
seribu menuju pintu kamarnya setelah mendengar suara anaknya itu. Setelah pintu
terbuka, Hana yang sudah di depan pintu kamar langsung memeluk ibunya.
“Ada apa Hana? Apa yang terjadi?”
dengan wajah bingung, cemas dan khawatir dengan kondisi anaknya. “Kamu kenapa
Han?” tanya ibu Yuni lagi.
“Ibu, Hana takut.”
“Takut kenapa? Ada apa ini?”
“Hana mimpi buruk bu.”
“Astaghfirullahaladzim Hana, kamu ini
bikin ibu hampir kena serangan jantung. Ibu kira ada maling atau apa, eh taunya
malah Cuma mimpi buruk. Kaya anak kecil saja.”
“Kok ibu gitu sih, Hana itu mimpi
serem banget bu.”
“Memangnya kamu mimpi apa? Coba beri
tahu ibu.”
“Tadi itu Hana mimpi melihat
hantu-hantu banyaaak banget. Hantu-hantu itu semakin mendekati hana bu.
Pokoknya serem banget deh.”
“Itu kan Cuma mimpi, sekarang tidur
lagi sana besok kesiangan lho.”
“Hana mau tidur sama ibu aja,
pliiiisss.”
Melihat wajah Hana yang masih
ketakutan, ibu Yuni menemani anaknya itu tidur bersama di kamarnya.
Kukkuruyuuuukkk.......... bunyi kokok
ayam memecah dinginnya pagi. Matahari mulai menampakkan diri dari
persembunyiannya menggantikan sang rembulan yang telah semalaman menjaga bumi.
Embun nan sejuk membasahi hijaunya daun. Sementara suara minyak yang mendidih
di penggorengan dan bau harum masakan ibunya membangunkan Hana dari tidurnya.
Ia langsung bergegas mandi, sholat subuh dan bersiap-siap berangkat sekolah.
“Pagi ibuku yang cantik. Kayaknya
enak banget nih nasi gorengnya.”
“Pastinya dong. Udah cepat sarapan
biar nggak telat ke sekolah.”
Sepiring nasi goreng dan teh hangat
yang telah disiapkan ibunya langsung disantapnya. Lalu Hana berangkat sekolah
dengan menaiki angkot yang biasa lewat di depan rumahnya. Di dalam angkot sudah
ada ita yang duduk di sebelah pintu. Hana dan Ita selalu berangkat bersama satu
angkot ke sekolahnya.
“Eh Han, kamu semalem belajar nggak?
Hari ini kan kita ada ulangan fisika jamnya bu.Mus tentang gerak parabola.”
“Semalem aku udah belajar sih, tapi
belum sampai selesai ta, aku ketiduran.”
“Hallah kamu mah nggak belajar juga
pasti bisa ngerjain. Kamu kan anaknya bu.Mus. hahaha”
“Eh semabarangan, aku itu anaknya
bu.Yuni tauk. Hahaha...” Perbincangan mereka berduapun berlanjut sampai mereka
tiba di sekolah.
“Eh UN tinggal sebulan lagi nih. Kok
aku deg-degan ya.”
“Kamu yang pinter aja deg-degan apa
lagi kita. Ya nggak sil,ta.” Celetuk si Lisa
“Iya bener banget tuh. Aku jadi takut
deh. Kita belajar kelompok yuk.” Tambah si Silvi
“Iya aku setuju. Kita belajar
kelompok aja, nah sebagai yang pinter kamu jangan pelit buat ngajarin kita
Han.”
“Iya Han. Ajari kita ya, plisss”
Iya-iya aku setuju kita belajar
kelompok. Buka aku yang ngajari kalian tapi kita saling sharing. Yang aku nggak
bisa kita diskusiin bareng-bareng.”
Oke setuju.” Sahut Lisa, Ita dan
Silvi sacara bersamaan.
Sejak saat itu hampir setiap hari
mereka belajar bersama. Mereka berpindah-pindah tempat dari rumah Hana sampai
rumah Silvi secara begantian. Saat sedang serius belajar, tiba-tiba Hp Hana
berbunyi, ada sms masuk dari nomor baru yang tidak dikenalnya. Hana membuka
Hpnya dan membaca sms tersebut. “Assalamau’alaikum.. benar kan ini no.nya
Hana?” bunyi sms tersebut. Hana tidak menanggapinya, karena ia berpikir itu
hanya sms dari orang iseng yang ingin mengerjai dirinya. Tidak lama kemudian
Hpnya berdering. Kali ini bukan sms tetapi panggilan masuk. Terlihat nomor yang
tadi telah mengirim sms. Hana tidak menghiraukan lagi. Hp kembali berdering
berulang kali. Karena merasa penasaran akhirnya Hana mengangkat telfon
tersebut.
“Halo, assalamu’alaikum,?”
“Wa’alaikumsalam. Hana ?”
“Iya benar. Ini siapa ya? Dari tadi
kok miscall-miscall terus?”
“Maaf sebelumnya sudah mengganggu
kamu, aku Rafi.”
“Rafi? Rafi siapa ya?
“Aduuh masak lupa sih aku Rafi teman
SMP kamu.
“Ooo kamu Rafi Darmawan yang tiga
tahun berturut-berturut satu kelas sama aku?”
“Iya. Masak udah lupa sih.
“Hehe, sorry-sorry. Gimana kabarnya
Raf?”
“Alhamdulillah baik. Kamu sendiri
gimana?
“Aku juga alhamdulillah baik. Eh kok
kamu tahu nomor aku?
“Dengan kerja keras pencarian dan
penantian selama tiga tahun akhirnya aku bisa dapetin nomor kamu.”
“Haha ada-ada aja kamu ni.”
“Eh kayaknya kok rame disitu, kamu
lagi ngumpul sama temen-temen kamu ya?
“Iya nih, kita lagi belajarr bareng,
persiapan buat UN.hehe”
“Wah kayaknya aku ganggu ni, ya udah
deh gampang lanjut nanti lagi. Kamu terusin dulu belajarnya.”
“Ok. Assalamu’alaikum Raf.”
“Wa’alaikumsalam.”
Setelah percakapan di telfon itu,
rafi sering sms Hana. Bahkan bisa dibilang hampir setiap hari Rafi selalu
nongol dengan smsnya walau hanya sekedar menyapa saja.
Hari berganti hari. Hana sedang duduk
asyik di pinggir pantai yang tak jauh dari rumahnya. “Ujungnegoro”. Itulah nama
pantai yang sedang menemani Hana saat matahari senja perlahan menyembunyikan
wajahnya. Tiba-tiba Hana dikagetkan dengan tepukan tangan di pundaknya. Ia
menoleh ke belakang dan menatap sesosok lelaki tinggi yang berdiri di
belakangnya. Laki-laki itu balik menatap Hana sambil menyunggingkan senyum di
bibirbya.
“Rafi!!!
“Haiii,, masih ingat wajah ganteng
aku ini?..hehehe”
“Iiihh ganteng dari mana, kalo
ngliatnya dari ujung monas baru deh keliatan ganteng.”
“Wah wah udah berani sekarang.”
“Hahaha. Kok nggak bilang-bilang sih
kalo mau datang. Katanya kamu masih di Semarang?”
“Kejutan dong.”
“Hallah sok-sok.an pake acara kejutan
segala. Sayangnya aku ndak terkejut tuh.hahha”
Mereka saling bercakap-cakap
mengingat masa-masa dimana mereka sering menghabiskan waktu bersama-bersama di
pantai ini. Yah di pantai Ujungnegoro inilah hampir setiap hari minggu saat masih
SMA, Hana dan Rafi selalu mengabiskan waktu bersama-bersama. Entah berapa lama
waktu yang mereka habiskan di pantai ini untuk sekedar duduk-duduk di tepian
pantai atau bermain air sepuasnya. Hana dan Rafi berteman sejak mereka duduk di
bangku SMP. Selama tiga tahun berturut-turut mereka selalu bersama dalam satu
kelas. Saat SMA Rafi sekolah di Semarang sedangkan Hana tetap di daerah Batang.
Saat SMA inilah mereka terpisahkan selama tiga tahun dan sekarang Rafi pulang
menemui Hana. Terpisah selama tiga tahun lamanya tidak membuat Rafi dan Hana
lupa satu sama lain. Mereka malah kian akrab saat bertemu setelah perpisahan
tiga tahun itu.
“Han, berhubung aku lagi disini dan
lagi liburan, kita jalan-jalan yuk. Mau ya, ya ya?”
“Kamu ini datang-datang ngajakin jalan-jalan,
males ah.”
“Kamu kok gitu sih. Aku kan pulang
kesini buat ketemu kamu. Eh kamu malah kaya gini.”
“Lho lho lho ngambek ni ceritanya.
Kaya anak kecil aja, dari dulu kamu itu ndak berubah ya.”
“Kamu yang berubah. Kamu jadi makin
cantik, tapi boong, hahaha”
“Iiihh nyebelin, aku nggak bakalan
mau jalan-jalan sama kamu.”
“Yaaah jangan gitu dong, aku kan Cuma
becanda. Besok kita jalan-jalan ya, pliiisss.”
“Hmmm, aku pikir-pikir dulu deh. Udah
ah aku mau pulang udah hampir maghrib nih.”
“Ya udah aku anterin ya.”
“Boleh deh.”
Mereka berdua kemudian melaju
menyusuri jalan menuju rumah Hana dengan sepeda motor Rafi.
Keesokan harinya sekitar jam 9 pagi,
Rafi sudah di depan rumah Hana. Rafi berencana mengajak Hana jalan-jalan di
alun-alun kota Batang. Di alun-alun tersebut akan ada pagelaran budaya Jawa
yang pastinya akan membuat Hana sangat senang. Tidak lama kemudian Hana keluar
dari dalam rumahnya. Dengan memakai dres batik, ia terlihat anggun bak puteri
keraton yang keluar dari istananya. Rafipun terpesona melihatnya. Memang boleh
diakui, Hana adalah sosok gadis yang cantik. Walau ia hanya sekedar memakai
make-up yang sederhana, namun paras cantiknya tetap terpancar.
“Iih apaan sih,” Hana tertunduk malu
dan pipinya terlihat memerah. “Udah ah yuk jalan.”
Liburan kali ini terasa sangat
mengasikkan dan sangat berarti bagi Hana dan Rafi. Mereka banyak menghabiskan
waktu bersama-sama. Tiap hari minggu mereka selalu datang ke pantai berdua.
Entah pagi ataupun sore, bagi mereka pantai ujungnegoro tetap memberi kedamaian
yang masih sama seperti dulu.
Malam semakin larut. Hana mulai
merebahkan tubuhnya di atas kasur. Dipeluknya “DIDI” boneka kesayangannya yang
selama ini menemani tidurnya. Tiba-tiba Hpnya berdering. Ada sms masuk, dari
Rafi.
“Han,sorry ya besok aku ndak bisa
nemenin kamu ke pekalongan, soalnya aku berangkat ke Semarang besok jam5 buat ngurus
ijazah. Jangan ngambek ya, pliiiss J.
“Dasar si Rafi, dari dulu nggak pernah berubah. Selalu aja ngasih taunya
mendadak. Liat aja ntar aku kerjain kamu, hahaha.”
Selama Rafi di Semarang, Hana merasa
sangat kesepian. Setekah berhari-hari ia selalu menghabiskan waktu bersamanya,
dan kini Rafi tak ada dalam kesehariannya lagi. Untuk menghilangkan
kebosanannya, ia selalu datang ke pantai menikamati matahari senja yang begitu
indah.
Setelah pulang dari Semarang, Rafi
mulai ragu untuk menemui Hana. Perasaannya tidak menentu. Di dalam hatinya ia
sangat rindu dan ingin bertemu dengan Hana. Tapi di sisi lain ia merasa bingung
dengan perasaannya. Seperti ada perasaan aneh yang sedang ia rasakan. Ya cinta,
Rafi jatuh cinta pada Hana, temannya sendiri. Menyadari hal itu, Rafi mencoba
untuk menghindar dan tidak menjauhi Hana. Bahkan sms dari Hanapu tak pernah ia
balas. “Maaf Han, aku ndak bermaksud kaya gini. Tapi aku bingung dengan
perasaanku.” Rafi terus mengindar dari Hana.
Hana merasa bingung dengan semua ini,
mengapa Rafi secara tiba-tiba menjauh darinya. Ia berpikir apakah ia berbuat
salah pada Rafi? Atau ada sesuatu yang sedang terjadi pada Rafi?. Hana semakin
tak mengerti dengan semua ini. Setelah sekian lama tak bertemu, Rafi muncul
dengan tiba-tiba dan sekarang ia juga menghilang tiba-tiba.
Di suatu senja, Hana duduk di tepi
pantai. Ia hanya sendiri. Dan seperti kemuculan pertamnya, Rafi datang dan
menepuk pundak Hana. Hana langsung menoleh. Hana sudah menduga bahwa yang
datang adalah Rafi. Dan benar, Rafi datang. Hana langsung bicara tanpa henti
menanyakan alasan mengapa Rafi seperti menghindari dirinya.
“Kamu kemana aja sih, ditelfon ndaj
diangkat, disms ndak dibales, kamu kemna? Kamu sengaja kan menghindar dari aku?
Kam...”
Perkataan Hana terhenti saat Rafi
menyatakan jika Rafi mencintainya. “Aku mencintaimu. Pliiss jangan buat aku
gila dengan semua ini.”
Hana diam terpaku. Ia seakan-akan tak
percaya jika Rafi, yang beberapa hari ini menghindari dirinya mengatakan hal
itu. Hana yang tadi bicara tanpa henti, sekarang ia bingung harus berkata apa.
“Mungkin kamu bingung dan terkjeut
mendengar apa yang aku katakan, tapi aku sungguh-sungguh Han. Tapi jika kamu
memang nggak ada perasaan sama aku nggak papa, aku siap dengan segala
keputusanmu”
“Beri aku waktu Raf.”
Baik, aku akan memberimu waktu sampai
kaanpun kamu siap.”
Sejak saat itu mereka berdua menjadi
canggung. Saat mereka bertemu tidak banyak kata-kata yang keluar dari keduanya.
Tidak seperti dulu sebelum Rafi menyatakn perasaannya.
Han, kitake pantai yuk. Besok pagi
aku jemput kamu jam 6.ada yang mau aku omongin ke kamu. Sms dari Rafi.
Hana langsung membalasnya, oke.
Keesokan harinya mereka pergi ke
pantai. Diam dan diam tanpa sepatah katapun keluar dari bibir keduanya. Lalu
Hana memulai pembicaraan.
“Katanya ada yang mau diomongin ke
aku. Soal apa?”
“Oh iya,” Rafi menjawab dengan nada
canggung. “Besok lusa aku mau ke Surabaya”
Mendengar hal itu, Hana terkejut dan
langsung menatap Rafi. “Kamu mau ke Surabaya?”
“Iya, besok aku udah harus ngurus surat-suratnya.”
“Ini Cuma lelucon kamu aja kan?”
“Ini serius Han, aku ndak becanda.
Disana aku akan bekerja di tempay kerja saudara”
“Ooo, ya sudah pergi saja sana.”
“Kamu nggak mencegah aku buat
ngebatalin kepergianku?”
“Kamu kan pergi buat kerja, ngapain
aku nyegah.”
“jaga dirimu baik-baik ya. Aku akan
sangat merindukan pantai ini dan juga dirimu.”
Dengan perasaan berat hati, Rafi
meninggalkan Hana dan pergi ke Surabaya. Sementara itu, ternyata Hana hanya
berpura-pura ikhlas melepaskan Rafi pergi ke Surabaya. ia mengurung diri di
kamarnya. Matanya sembab, pipinya basah terkena cucuran air mata yang terus
mengalir. Sebenarnya ia mengira bahwa Rafi mengajaknya ke pantai untuk
membicarakan perasaannya lagi dan ia akan mengatakan bahwa ia juga memiliki perasaan
yang sama dengan Rafi. Ternyata malah Rafi mengatakan bahwa ia akan pergi ke
Surabaya. hatinya benar-benar hancur. Lalu apa arti ungkapan perasaannya
kemarin jika ia hanya akan meninggalkan Hana. Baru kali ini Hana merasa
benar-benar kecewa terhadap Rafi. Sosok yang selama ini selalu bisa membuatnya
tertawa, sekarang malah tega membuatnya menangis dan akan pergo jauh
meninggalakannya.
Di dalam bus, Rafi juga gelisah.
Hatinya terus bergejolak antara dia akan benar-benar pergi meningggalkan Hana
atau kembali dan bersama-sama dengan Hana lagi. Tapi ia bingung. Jika ia pergi,
ia tak sanggup untuk berpisah dengan Hana. Tetapi jika ia kembali, ia tak
sanggup menerima keyataan bahwa Hana telah menolaknya. Hatinya benar-benar
gelisah. Tanpa terasa air matanyapun menetes membasahi pipinya. Ia tak
menghiraukan kakaknya yang duduk di sebelahnya, memperhatikan Rafi sejak tadi.
Kakanya merasa heran dengan sikap adiknya yang dari awal berangkat hanya diam,
murung dan sekarang malah menangis. Ia pun bertanya pada Rafi apa yang membuat
dirinya seperti itu,
“Raf, kamu kenapa sih?”
“Nggak papa kok kak.”
“Tapi aku perhatikan dari tadi kamu
itu murung, dan sekarang kamu malah menangis. Ada apa sih?”
Rafi menyeka air matanya. Ia tak
sadar jika ternyata dirinya telah menangis.
“Aku nggak papa kok kak, beneran.”
“Jika kamu nggak papa, kenapa kamu
nangis? Jarang banget cowok itu nangis. Apa ada sesuatu? Atau kamu tidak ingin
kita ke Surabaya?”
Rafi hanya terdiam. Ia tak berbicara
sepatah katapun. Melihat itu, kakaknya semakin mendesaknya untuk berbicara.
“Raf, kaka tau pasti ada apa-apa
dengan kamu. Ayolah katakan padaku.”
“Sebenarnya aku berat untuk pergi
kak.”
“Kenapa?”
“Hana.”
“Hana? Teman SMP kamu itu?
“Iya kak.”
“Ada apa dengan Hana?
“Sebenanrnya sebelum aku memutuskan
untuk ikut kakak ke Surabaya aku telah menyatakan perasaanku pada Hana.
“Lalu kenapa kamu malah ikut kakak
pergi?”
“Apa kamu yakin kalo Hana menolakmu?
“Dia meminta waktu sih kak, tapi aku
takut tidak berani menerima kenyataan kalo akhirnya dia akan mengatakan bahwa
dia menolakku. Lebih baik aku pergi saja dari pada harus mendengar dia
menolakku.”
“Bodoh sekali kamu.”
“Bodoh? Maksud kakak?”
“Cewek itu tidak mungkin akan
langsung mengatakan “ya” jika ia mau. Cewek itu perasa dan pemalu. Jika ia
meminta waktu ya tunggu saja sampai ia benar-benar siap.”
“Jadi maksud kakak......”
“Iya, dia mungkin butuh waktu saja
untuk bisa bilang “ya”, kamu jangan naif gitu deh.”
“Terus aku harus gimana kak?.” Rafi
mulai bersemangat.
“Karena kita udah terlanjur sampai sejauh
ini nggak mungkin kan kita pulang lagi. Kamu harus sabar dan ikhlas. Jika Hana
memang jodoh kamu, maka ia pasti akan jadi milikmu.”
“Benar apa kata kakak, mungkin aku
harus belajar sabar.”
“Iya.”
“Makasih banget ya kak, kakak udah
bikin aku sadar dan kuat.
“Ya udah sekarang kita turun. Ini
udah sampai di kos kakak.”
“Oke, siap boss.”
Rafi turun dari bus bersama kakaknya
dengan wajah sumringah. Ia sangat bersemangat untuk mengikuti interfiew di
kantor tempat kakaknya bekerja dan tak sabar untuk segera bekerja dan akhirnya
bisa pulang menemui Hana.
Sementara itu, sejak kepergian Rafi,
Hana terlihat selalu murung. Di depan ibunya ia bisa meneymbunyikan
kesedihannya, tapi setelah di kamar sendiri, ia hanya melamun dan terus
melamun. Bayangan Rafi selalu hadir di depan matanaya. Ia sangat menyesal
kenapa saat itu ia tak langsung menjawab bahwa ia juga punya perasaan yang sama
dengan Rafi. Dan sekarang semuanya sudah terlambat, Rafi telah pergi ke
Surabaya dan tak tau kapan ia akan kembali lagi. Hana semakin murung dan terus
melamun.
“Han, hanaa.. itu hp kamu bunyi. Ada
telfon dari Rafi.”
Rafi?? Mendengar perkataan ibunya
bahwa Rafi menelfon, Hana langsung lari ke luar kamarnya menuju Hanphonnya yang
sedang ia charge.
“Itu Rafi telfon.”’
“Oh iya,makasih bu.”
“Halloo,..” dengan nada canggung dan
ragu-ragu Hana mmengangkat telfon dari Rafi.
“Hallo Han, kamu apa kabar?
“Aku baik.. kamu sendiri gimana?
Sehat?
“Iya, aku sehat. Ternyata udah hampir
dua tahun ya kita nggak ketemu.
Iya, nggak kerasa udah lama banget.”
Aku pengen banget ketemu kamu Han.
Aku pengen cepat-cepat pulang.”
“Pulang? Lalu kerjaann kamu gimana?”
Aku hanya dua tahun disini jadi kalo
udah dua tahun aku bisa pulang.”
Ooo, lalu kapan kamu bakal pulang?”
“Pastinya sih aku belum tahu, mungkin
minggu depan.”
Minggu depan?”
Iya. Kenapa, kamu nggak seneng aku
bakalan pulang?”
“Apa-apaan sih kamu. Ya aku aku
senenglah ”
Kirain kamu nggak seneng aku pulang.
Hehe, Ya udah aku masuk kerja dulu ya, assalamu’alaikum.”’
“Wa’alaikumsalam”
Setelah telfon dari Rafi, Hana merasa
sangat lega dan akhirnya Rafi bisa pulang. Hana semakin tidak sabar menunggu
kedatangan Rafi. Ia terus menghitung hari sampai tiba hari Rafi pulang dari
Surabaya.
Setibanya dari Surabaya, Rafi
langsung menemui Hana di pantai Ujungnegoro. Ia sangat senang akhirnya bisa
bertemu lagi dengan Hana. Begitu juga dengan Hana, ia sangat-sangat bahagia
bisa bertemu dengan Rafi lagi. Rafi tidak ingin bertele-tele. Ia langsung
menanyakan bagaiamana jawaban Hana menngenai perasaan Rafi yang telah ia
ungkapkan sebelum ia pergi ke Surabaya. Rafi sangat berharap bahwa Hana juga
mempunyai perasaan yang sama dengan dirinya.
“Han, bagaimana tentang pertanyaanku
tempo dulu itu?
“Petanyaan yang mana?”
“Emmm berarti kamu benar-benar tidak
punya perasaan apa-apa denganku?”
“Maksud kamu?”
“Iya, tentang perasaanku ke kamu yang
aku ungkapin ke kamu sebelum aku berangkat ke Surabaya. kamu ndak punya
perasaan sedikitpun kepadaku?”
“Ooo itu.”
“Hanya ooo itu jawaban kamu?”
“Hmmm, sebenarnya selama dua tahun
ini aku tenggelam dalam penyesalan yang sangat dalam. Aku sangat menyesal
kenapa dulu aku tidak langsung menjawab “ya” saat ia mengungkapakan
perasaannya. Ia adalah orang yang sangat berarti bagiku. Ia selalu bisa membuat
aku tertawa, selalu ada di saat aku senang ataupun sedih, dia adalah orang yang
sangat sepesial bagiku.”
“Jadi maksud kamu?”
“Aku sangat sayang kamu Rafi.”
“Bisakah kamu mengulanginya Hana.”
“Aku sangat sangat sayang kamu Rafi.”
Akhirnya Hana dan Rafi bisa
bersama-sama dan mereka saling mengikat janjii di pantai Ujungnegoro ini.
Walaupun nama pantai ini Ujungnegoro, tapi cinta Hana dan Rafi tak akan
berujung di pantai Ujungnegoro.”
------ TAMAT ----------
Naskah ini terbit Antologi buku Cerpen : Kumpulan Kisah Negeriku Terbit di Afsoh Publisher 2013 - Peserta Workshop Menulis dan Menerbitan Buku
Oleh
Nungki Fajriyatuzzakiyah (Mahasiswa PGSD UNNES )
Embun
pagi membangunkanku di pagi yang masih berselimut kabut. Akupun harus beranjak
dari tempat tidurku memulai aktivitasku seperti biasanya. Namun rasa malasku
menggelayuti dalam diriku seakan tubuhku mulai memberontak
terhadap rutinitasku yang amat membosankan. Duduk berjam-jam didepan komputer,
berbicara dengan klien, mendengar ceramah bos yang super cerewet itu, lembur
kerja, menerobos kemacetan lalu lintas kota dan pekerjaan-pekerjaan lain yang
membuat diriku merasa bosan.
Hidupku telah berubah semenjak aku
menginjakkan kaki di Ibukota Provinsi Jawa Tengah ini. Mimpiku telah terwujud
di kota ini. Namun tak ku sadari aku tak pernah mendapatkan ketenangan batin
seperti dulu ketika aku berada di Desa kecil yang terletak di Kab. Purwodadi.
Ambisi, persaingan, kesibukan telah menyita waktuku. Tak terasa sudah lima
tahun meninggalkan Desaku Tercinta. Desa tempatku terlahir, desa yang telah
memberiku ketenangan batin, desa yang membesarkan jiwaku dan desa yang sangat
kucintai. Telfon genggamlah yang menjadi sarana untuk berkomunikasi dengan
ayah, bunda dan keluargaku tercinta.
Pagi ini sesampainya aku dikantor aku sudah
disambut oleh omelan bosku.
“Ningsih, jam berapa ini ? kamu itu
ya tidak disiplin sama sekali. Ingat kan hari ini saya ada meeting dengan
klien. Bukannya kamu datang lebih awal untuk mempersiapkan berkas-berkas yang
diperlukan eh malah kamu terlambat. Sekali lagi kamu terlambat kamu akan saya
pecat !!!!” Omel bosku.
“ Maaf bu, saya bangun kesiangan.
Jalannya juga macet. Jadi saya agak terlambat. Lain kali saya akan berusaha
datang lebih awal. Saya janji bu....” tuturku
“Ya sudah, saya maafkan. Tapi, jika
kamu ulangi lagi tiada maaf bagimu!!! Sekarang kamu bereskan semua
berkas-berkas dan file yang akan saya bawa meeting dengan clien. Jam 9 harus
sudah selesai dan kamu temani saya bertemu dengan klien. Mengerti ?” bentak
bosku
“Ya bu akan segera saya kerjakan”
jawabku
“Bagus. Kerjakan yang teliti jangan
sampai ada kekeliruan !!! karena clien kita ini clien yang sangat-sangat
perfectionist.” Tutur bosku.
“Baik bu.” Tuturku.
Hah. Itulah yang membuatku malas ke
kantor. Setiap hari hanya mendengar celotehan bosku yang super cerewet. Sabar
ningsih kamu itu harus bersyukur. Ini adalah proses menuju suksesmu.Semua pasti
indah pada waktunya.” Malaikat baik berbicara padaku.
“Sudahlah ningsih cari kerja baru
aja. Pasti banyak kok perusahaan yang mau menerima kamu.kalau lama-lama
diperusuhaanmu itu ” Setan jahat mulai merasuk dalam fikirku.
Wah-wah aku jadi bingung apa yang
harus ku perbuat. Daripada bingung mending aku melanjutkan kerjaanku yang super
numpuk deh tinggal 1 jam nie fighting semangat haha.
Sinar matahari pun mulai merasuk
dalam pori-poriku mengubah kulit putihku menjadi kemerahan. Aku keluar dari
mobil bosku didepan gedung pencakar langit, gagah perkasa menampakkan kemewahan
serta kewibawaan sang pemilik. Pak sudiro itulah nama pemilik perusahaan ini.
Ia adalah salah satu pemilik saham terbesar di perusahaanku. Laki-laki setengah
baya, berperawakan tinggi, berkumis, rambut pendek hitam legam, dan kulitnya
yang putih semakin menambah aura pemimpin yang amat dihormati oleh karyawannya.
Ia sangat ramah sekali, hanya saja ia memang orang yang sangat disiplin dan
sangat perfectionist. Ia adalah sosok pemimpin yang arif, bijaksana dan bertanggungjawab.
Kedatanganku dan bosku disambut oleh senyum yang merekah pada bibir Pak
Diro (panggilan akrab bosku kepada beliau).
“Selamat datang Bu Marta. Selamat
datang dikantor kami bu.” Pak Diro menyapa bosku sambil berjabat tangan.
“Trimakasih pak, maafkan kami, kami
terlambat sepuluh menit. Jalanan sangat macet sekali pak, sehingga kami harus
berjalan seperti siput. Lain kali kami akan tepat waktu Pak.” Bosku merespon
sambil bergurau
“Ibu ini ada-ada saja masak jalannya
seperti siput yah kalau jalannya seperti siput pasti satu minggu lagi sampai
sini dong bu ? haha. Sudahlah tak apa-apa yang penting ibu sudah berkenan hadir
di perusahaan kami itu saya sudah senang sekali.” Pak Diro membalas gurauan
bosku.
“Pak Sudiro ini ada-ada saja saya
jadi tersanjung. Terimakasih pak...” Kata bosku
“Iya bu sama-sama. Mari-mari silahkan
duduk.” Pak Sudiro mempersilahkan kami duduk.
Rapat dimulai. Semua pandangan
tertuju pada slide yang ada di depan ruangan. Pak Sudiro menjelaskan secara
detail proyek yang akan kami kerjakan. Aku berkutat dengan si pinky pen (pen
pink kua) dan si green book (buku catatan hijauku), mencatat hasil rapat hari
ini yang akan ku laporkan kepada bosku.
Hari ini cukup menguras otakku hingga
rasanya aku tak sanggup menyetir mobil menuju istanaku menelusuri indahnya
malam berhias deretan lampu kota, sinarnya menambah keindahan malam yang penuh
muda-mudi yang asyik mengobrol dengan pasangannya. Sungguh malam yang begitu
indah. Alangkah senangnya bila aku bisa seperti mereka.
Sedan putih yang ku tumpangi berhenti
di depan rumah berpagar biru. Itu lah Rumah kontrakanku. Walaupun kecil dan
sederhana namun rumah inilah yang menjadi saksi bisu perjuanganku menggapai
cita-citaku hingga seperti ini. Rumah inilah istanakau tempat dimana aku
mencurahkan seluruh keluh kesahku,tempatku berteduh dari serangan terik
matahari, rintikan hujan, serta merebahkan tubuhku sejenak sepulang bekerja.
Kring... kring... suara telefon
genggamku membangunkan mimpi indahku. Dalam keadaan setengah sadar aku meraba
mencari ponselku yang terletak di meja disamping tempat tidurku. Aku mengangkat
telfon itu.
“Halo... Selamat malam ningsih ?”
bosku menyapaku dengan ramah.
“Iya, Ibu ini saya ningsih. Ada apa
bu, kok tengah malam begini ibu menelfon saya ? Apa ada pekerjaan saya yang
kurang baik?” tanyaku kepada bosku.
“Tidak ningsih, kamu bekerja cukup
bagus. Begini ningsih saya ditugaskan Pak Sudiro untuk meninjau proyek
pembangunan pabrik kecap di Purwodadi. Tapi, saya masih ada pekerjaan di sini.
Sehubungan dengan hal itu saya ingin memberimu tugas untuk pergi ke Purwodadi.
Apa kamu siap menggantikan saya ? nanti urusan pekerjaanmu kamu tidak usah
khawatir. Biar teman-temanmu yang menyelesaikannya. ” Bosku menjelaskan padaku.
“Saya bu ? Baiklah saya bersedia bu.
Lalu kapan saya harus berangkat kesana ? tanyaku.
“Besok kamu langsung berangkat ke
Purwodadi biar Pak No yang mengantar kamu. Oh ya mungkin kamu berada disana
sekitar satu bulan jadi bersiap-siaplah malam ini. Masalah penginapan kamu
tidak khawatir Pak Sudiro sudah mengurusnya. Untuk tugas selanjutnya nanti saya
hubungi kamu setelah kamu sampai di lokasi.” Jawab bos ku.
“ Siap bu, akan saya laksanakan
amanah dari ibu.” Kataku.
“ Baiklah kalau begitu saya tutup
telefonnya kamu istirahat ya, agar besok bisa bangun pagi dan berangkat ke
Purwodadi dengan kondisi yang fit. Selamat malam.” Kata bosku,
“ Siap bu, selamat malam.” Ucapku
sambil menutup telefon.
Aku benar-benar tak percaya ternyata
bos ku yang super cerewet itu bisa ramah juga ya. Aku juga heran, aku kan
karyawan baru kok ia percaya begitu saja denganku kalau aku berniat jahat bisa
jadi aku menghianati beliau. Kenapa amanah itu tidak beliau serahkan kepada
senior-seniorku malah ia serahkan ke aku anak kecil yang baru lahir. Tapi tak
apalah aku cukup senang akhirnya aku bisa mengunjungi kampungku walau hanya
sebentar. Ayah, ibu, anakmu tercinta akan pulang tunggu aku ya I’am coming.
Suara adzan subuh berkumandang begitu
syahdunya, menggetarkan hati dan jiwa umat manusia yang ada dibumi ini. Akupun
terbangun dari tidur panjangku. Aku bergegas membersihkan seluruh tubuhku,
hati, jiwa dan pikiran menghadap rabbku yang telah memberi segala kenikmatan
yang tiada kira. Air matapun menetes diatas sajadah merah memohon ampunan atas
segala dosa-dosa yang kuperbuat dan memohon agar kedua orang tuaku selalu dalam
lindungannya.
Kemesraanku dengan rabbku terhenti.
Aku mendengar suara mobil tapi bukan mobilku berhenti di depan rumahku. Mobil
siapa ya ?. Kakiku terhenti dibalik kaca yang berlapis tirai. Tanganku menyibakkan
tirai yang menutupi kaca rumahku, bola mataku mulai beraksi mengintip orang
yang berada didepan rumahku. Ia memakai baju hitam celana hitam, tubuhnya gemuk
agak pendek dan berkumis tebal. Kelihatannya aku mengenalnya. Siapakah dia ?.Tngan laki-laki itu mulai meraba pintu
rumahku mengetuk pintu dan mengucapkan salam pada sang pemilik rumah. Aku ragu
untuk membukakan pintuku. Tapi aku kumpulkan nyaliku memberanikan diri
membukakan pintu rumahku untuknya. Perlahan-lahan aku buka pintu itu dan betapa
terkejutnya aku. Ternyata Pak No lah laki-laki itu.
“Pak No...!!!Kenapa Pak No tidak menghubungi aku dulu.
Jadinya kan aku kaget pak aku kira siapa?. Untung jantungku gak copot.” Kataku
kepada Pak No
“Maaf ya mbak ningsihkalau Pak No
datang kesini mendadak. Pak No barusan ditelfon bos untuk menjemput Mbak
ningsih. Katanya Bu Bos mbak ningsih harus berangkat ke purwodadi sekarang agar
tidak terlambat bertemu Pak Sudiro.” Jawab Pak No kepadaku.
“Hah, Sekarang Pak ? Tapi aku belum
mandi lho pak ? Ya sudah Pak No kedalam dulu saya bikinin kopi, Saya siap-siap
dulu ya pak ?” Kataku sambil keheranan.
“Yambak tenang saja saya tunggu kok.”kata Pak No.
Udara pagi ini cukup bersahabat.
Langit biru menemani perjalanan kami menuju kotaku tercinta. Grand livina yang
ku tumpangi melaju cukup kencang menyusuri jalan yang tampak begitu lengang.
Orang-orang belum memulai aktivitasnya sehingga jalanan masih sepi hanya satu,
dua mobil dan beberapa sepeda motor yang kami temui di sepanjang perjalanan.
Tak terasa satu jam sudah aku
menghabiskan waktu dengan Grandlivina ini. Sudah nampak gapura yang masih
berdiri kokoh walaupun fisiknya sudah tak segagah limatahun yang lalu. Gapura itu menyambutku
dengan hangat mengucapkan selamat datang di kotaku tercinta. Nampaknya jalanan
menuju kampung halamanku sudah berubah, yang dulunya penuh dengan lubang
sekarang mulus tanpa noda sekalipun.
Pandangan mataku tertuju pada
hamparan padi yang mulai menguning, menunggu sang pemilik meminangnya. Tampak
jauh berbeda dengan suasana kota, tak ada kemacetan, tak ada asap jahat, tak
ada pengamen, pengemis jalanan yang ada adalah pemandangan yang begitu
menyejukkan batinku. Inilah kampung halaman, kampung halaman yang membesarkan
jiwaku. Dari kota inilah aku membangun puing-puing harapan merangkai asa menuju
masa depan yang cerah.
Aku sejenak memejamkan mata menikmati
kesejukan udara di kampung halamamku. Aku tertidur pulas dan tak kusangkan
perjalanan begitu cepat. Pak No tiba- tiba membangunkanku dari lelapnya
tidurku.
“Mbak Ningsih, bangun Mbak sudah
sampai di Pabrik Kecap.” Ujar Pak No.
“Hoah, udah sampai pak ? Aduh aku
ketiduran nie. Makasih ya pak udah membangunkan saya.” kataku.
“Ya Mbak sama-sama.” Jawab Pak No.
Aku merapikan baju dan jilbabku. Tak
lupa aku memoleskan bedak tipis pada wajahku agar tak kelihatan mengantuk. Pak
No membuka pintu mobil dan kakiku perlahan melangkah menginjak tanah di kota
kelahiranku meninggalkan si hitam Grandlivina. Pak Sudiro ternyata sudah lebih
dulu datang bersama beberapa laki-laki sedang asyik berdiskusi mengamati
pembangunan pabrik. Obrolan mereka terhenti ketika aku datang menghampiri
mereka.
“Selamat pagi Bapak Sudiro ?” Aku
menyapa Pak Sudiro.
“Selamat pagi...” Pak Sudiro menjawab
sapaanku.
“Lho kok kamu datang sendirian. Bu
Marta (nama Bosku) mana ?” Tanya Pak Sudiro kepadaku.
“Maaf Pak, Bu Marta berhalangan
hadir. Beliau harus menangani beberapa pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.
Sehingga saya yang menggantikan beliau untuk meninjau pembangunan pabrik Kecap
ini,” Jelasku.
“Oooo... begitu. Ya sudah selamat
datang di pabrik Kecap ini. Ningsih, ini ada Pak Sutejo, Pak Hardiyanto, dan
Pak Ranu. Beliau ini adalah partner kerja kita. Bapak-bapak perkenalkan ini
adalah sekretarisnya Bu Marta namanya Ningsih.” Kata Pak Sudiro.
Aku berjabat tangan dan memperkenalkan
diri kepada Pak Sutejo, Pak Hardiyanto, dan Pak Ranu. Diantara mereka bertiga
Pak Ranu adalah penanam saham terbesar di parik ini. Tapi kok wajah Pak Ranu
tidak asing lagi. Padahal baru pertama kali aku bertemu dengannya. Pandangan
matanya, perawakannya, cara dia berbicara mengingatkanku pada seseorang.
Seseorang itu adalah Presiden Mahasiswa di kampusku. Ia orang yang ku kagumi.
Cara dia memimpin kampusku membuatku terpesona. Senyumnya, wibawanya, wajahnya
yang putih, kesantunannya, ketaatannya pada agamanya, dan kesabarannya
membuatku samakin mengaguminya. Aku tak tau ini perasaan cinta atau sekedar
rasa kagumku pada sang Presma. Aku selalu ingin mengetahui banyak hal tentang
dia. Ketika aku iseng-iseng membuka salah satu akunnya di dunia maya aku menemukan
beberapa catatannya yang membuatku semakin mengaguminya. Bahkan saking kagumnya
dalam hatiku berharap ia adalah imam yang kelak membimbingku. Tapi perasaan itu
cukup aku pendam saja. Tak pernah sekalipun aku bertemu dengannya walau sekedar
menyapanya.
Dia adalah mahasiswa yang sangat
sibuk bergelut dalam organisasinya. Pada suatu ketika ada seminar yang diadakan
oleh BEM KM dikampusku. Tentu saja dia hadir dalam seminar tersebut. Ketika itu
aku duduk pada deretan dua terdepan tiba-tiba dia duduk tepat di depanku. Aku
pandangi dia dengan seksama, hatiku semakin tergetar melihat kewibawaanya.
Apakah yang kurasakan ini adalah cinta ? Hatiku bertanya-tanya apakah cinta
seorang mahasiswi biasa bisa tersampaikan kepada sang Presma ? Apa rasa ini
hanya kekagumanku belaka ? Tak penting bagiku apakah itu rasa itu cinta atau
hanya rasa kagum. Aku tak peduli apakah rasa yang ada dalam hatiku ini dapat
tersampaikan atau tidak. Aku hanya ingin mencintai sang Presma dalam
kediamanku. Biarlah Allah yang mempertemukanku dengannya apabila aku berjodoh
dengannya.
“Ningsih, kenapa melamun ?”Suara Pak
Sudiro membangunkan lamunanku.
“Maaf pak, ada sesuatu yang saya
fikirkan. Tapi bukan apa-apa kok pak.” Kataku
“Ya sudah, kamu sekarang temani Pak
Ranu berkeliling pabrik kecap ini. Saya, Pak Sutejo dan Pak Hardiyanto akan
keluar sebentar.” Perintah Pak Sudiro.
“Baik Pak.” Jawabku.
“Pak Ranu, Saya ada urusan sebentar
dengan Pak Sutejo, Pak Hardiyanto. Nanti biar Ningsih yang menemani Pak Ranu
berkeliling Pabrik kecap.”kata Pak Sudiro.
“Oh ya kalau begitu, silahkah pak.”
Kata Pak Ranu.
“Ya sudah kalau begitu. Saya permisi
dulu ya pak.” Kata Pak sudiro.
Aku dan Pak Ranu mengobrol sambil
berjalan-jalan mengamati pembangunan pabrik. Pembangunan pabrik ini hampir setengah
jadi. Terlihat beberapa buruh bangunan yang hilir mudik mengangkut beberapa
balok kayudi pundaknya. Wajah mereka
penuh dengan keringat, namun semangatnya untuk mengais rejeki mengalahkan
beratnya kayu balok yang tersandar di bahunya.
“Ningsih, kamu pernah datang ke kota
in ?”tanya Pak Ranu.
“Sering pak, kota ini kan kota
kelahiran saya Pak ?” jawabku.
“Tapi kenapa kamu tidak bekerja
disini saja, berwirausaha misalnya ? Daerah ini cukup berpotensi. Sayangnya
kekayaan alamnya belum dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat.” Kata Pak
Ranu.
“Memang Pak, masyarakat disini lebih
suka bekerja menjadi buruh, karyawan swasta, ataupun Pegawai Negeri Sipil. Jiwa
wirausaha mereka masih sangat rendah termasuk saya.”Jelasku
“Mengapa kamu takut ? coba saja, jangan
takut gagal. Orang yang sukses pasti sering jatuh bangun. Kuncinya adalah
jangan putus asa, berusaha, berdoa, dan pasrahkan kepada sang ilahi. Apalagi
kamu orang yang punya potensi, pasti bisa.”
“Trimakasih Pak, atas nasehat dan
motivasi yang bapak berikan.”Ujarku
“Sama-sam Ningsih, kamu ternyata
orangnya menyenangkan kalau buat teman ngobrol.” Pak Ranu menatap mataku tajam.
“Ah bisa saja Pak Ranu ini. Saya jadi
malu.”Kataku tersipu malu.
Obrolanku dan Pak Ranu terhenti
ketika Pak Sudiro, Pak Sutejo dan Pak Hardiyanto tiba. Kami berlima menuju
kantor pemasaran Kecap Porwodadi untuk meninjau penjualan Kecap Purwodadi serta
membicarakan beberapa hal penting lainnya.
Matahari sudah berada diatas kepala,
kami menyudahi pembicaraan kami, bertukar nomor telefon dan melanjutkan
pekerjaan lain yang harus kami kerjakan.
Kata Pak Sudiro aku akan tinggal di
Purwodadi selama 1 sebulan. Aku bertugas sebagai sekretaris sementara Pak Ranu
selama di Purwodadi. Betapa senang hatiku sosok laki-laki idaman yang dulu ku
kagumi kini menjadi partnerku. Aku tak peduli apakah dia si Presma itu ataukah
bukan.
Akhirnya aku bisa menikmati libur
dikotaku tercinta. Aku bergegas masuk ka dalam mobil, rasanya tak sabar ingin
bertemu dengan orang tuaku tercinta. 1,5 jam yang harus kutempuh dari pabrik
kecap menuju rumahku. Grand livina yang ku tumpangi melaju sangat kencang. Tak
terasa grandlivina terparkir cantik di depan rumahku. Ibuku terkejut melihat
kedatanganku. Aku disambut tangisan haru Ibuku tercinta. Ibuku bangga melihat
putri kecilnya tumbuh menjadi wanita dewasa yang cantik. Aku memeluk erat Ibuku
melepas kerinduan selama lima tahun ini.
Aku memutuskan untuk tinggal
dirumahku. Aku ingin mengobati kerinduanku pada kampungku selama aku bertugas
di Kota ini.
Pertemuanku dengan Pak Ranu sangat
intens sekali selama satu bulan ini. Hal itu membuat kami seperti kawan, merasa
cocok satu sama lain bahkan kami bisa dibilang menjalin hubungan tanpa status.
Tak terasa sebulan sudah aku berada
di kotaku ini. Aku harus segera kembali ke Semarang. Tiba-tiba ada telfon dari
Pak Ranu. Ia ingin bertemu denganku. Entah apa yang ia ingin katakan. Kami
bertemu di restoran dekat Rumahku. Aku terkejut mendengar perkataannya. Ia
menyatakan ia mencintaiku, ia ingin melamarku untuk dijadikan pendampingnya.
Aku meminta waktu kepadanya. Aku akan memberi kabar padanya sebulan setelah
kepulanganku dari kotaku. Pak Ranu menyetujui permintaanku.
Aku kembali menjalani rutinitasku
seperti biasanya. Lamaran itu selalu menghantuiku. Aku sering melamun. Hatiku
gundah gulana. Memang aku sangat kagum padanya tapi aku takut cintaku padanya
hanya nafsu belaka. Aku memutuskan untuk memohon petunjuk pada sang khaliq.
Ditengah malam ditemani oleh senyuman bulan dan kerlipan bulan aku menangis
kepada sang rabbku. Aku memohon petunjuknya untuk lamaran itu. Aku memohon yang
terbaik bagiku. Apabila ia berjodoh denganku maka dekatkanlah apabila ia buka
jodohku maka berikanlah aku jodoh yang lebih baik darinya. Aku pasrahkan
semuanya pada rabb ku.
Hari itu datang, jariku gemetar mencari
kontak Pak Ranu dan Menekan tombol hijau pada HP ku. Dengan suara gemetar aku
menyatakan padanya aku bersedia menjadi pendamping hidupnya. Pak Ranu sangat
gembira. Ia melamarku sehari setelah aku menyatakan kata”ya”.
Tiga bulan setelah ia melamarku, kami
mengikat ikatan cinta suci dalam ijab dan Qobul. Hari itu hari yang sangat
membahagiakan bagi kami dan keluarga kami. Aku memutuskan untuk meninggalkan
pekerjaanku, merintis usaha Kecap Purwodadi dengan suamiku tercinta di kotaku
ini. Ayah dan ibuku juga tinggal bersama kami.
Kehidupan kami berlangsung bahagia.
Aku menyadari karir bukan segalanya keluargalah yang utama. Suamiku ternyata
adalah si Presma yang ku kagumi semasa jadi Mahasiswa. Aku merasa malu padanya,
bukan dia yang duluan memendam rasa padaku eh malahan aku duluan. Ia menanyakan
mengapa aku tak mengutarakan perasaanku padanya. Aku hanya menjawab dengan
simpel aku ingin mencintaimu dalam kediamanku. biarkan Allah yang mempertemukan
kita dalam ikatan suci pernikahan. Kini Allah telah mempertemukan kita berdua
ayah. Ia mencium keningku dengan penuh rasa cinta. Suamiku berkata padaku kamu
adalah bidadariku, aku beruntung memiliki istri sholekah seperti kamu sayang.
Naskah ini terbit Antologi buku Cerpen : Kumpulan Kisah Negeriku Terbit di Afsoh Publisher 2013 - Peserta Workshop Menulis dan Menerbitan Buku