-->

1. . Di Tepi Gangga

 MAHABHARATA

Oleh: A.S. Laksana


Buku Satu: Adi Parva


Santanu, raja keempat belas wangsa Kuru dari garis keturunan agung Manu dan Bharata, memacu kudanya sendirian menjelajah hutan. Sejak kanak-kanak, ia penyendiri; dan setiap kali berburu, ia melakukannya seorang diri. Baginya, berburu adalah sembahyang; ia melakukannya untuk menyatukan diri dengan hutan belantara, dan ia tidak memerlukan rombongan pengawal untuk bersembahyang.


Ia masih muda dan belum beristri dan orang-orang di istananya khawatir bahwa raja mereka tidak akan pernah beristri. Santanu telah menolak semua putri yang ditawarkan kepadanya oleh penasihat dan para sesepuh kerajaan. 


“Raja memerlukan permaisuri dan kerajaan memerlukan putra mahkota, Tuanku,” kata penasihatnya suatu hari. 


“Akan tiba saatnya, Paman,” katanya, “tetapi untuk saat ini saya belum memikirkannya.”


Santanu tahu bahwa suatu hari ia akan menikah dan ia tahu siapa perempuan yang akan menjadi permaisurinya. Perempuan itu telah muncul dalam mimpinya bahkan jauh sebelum ia dinobatkan menjadi raja. Berulang kali ia memimpikannya, tetapi hingga saat itu ia belum pernah berjumpa dengannya. 


Hari hampir senja dan warna jingga mulai membayang di langit barat, dan Santanu sudah berada di punggung kudanya sejak fajar, namun anak panahnya belum mengenai satu pun hewan buruan. Satu kali ia melihat macan tutul di balik rimbun semak-semak dan panahnya meleset; dua kali ia gagal memanah rusa jantan. Anak panah terakhir yang dilepaskannya melebar sejengkal dari sasaran.


Belum pernah ia seperti ini. Ia berburu seperti orang yang baru pertama kali masuk hutan dan memanah seperti kanak-kanak yang baru belajar dan ia tidak tahu apa yang membuatnya seburuk itu. Matahari sudah terbenam di bukit-bukit barat ketika Santanu tiba di tepi sungai yang airnya berkilauan—Gangga.


Ia turun dari kudanya yang kelelahan dan menuntun tunggangannya itu ke tepi air dan membiarkannya minum sepuasnya. Ia sendiri berlutut di samping kudanya, membasuh tangan dan wajah dan memulihkan tenaga dengan meneguk air suci Gangga. Dan tiba-tiba ia merasa bahwa ia tidak sendirian di tempat itu.


Seorang perempuan, tubuhnya memancarkan terang seolah-olah terbuat dari cahaya, berdiri tak jauh darinya. Rambut hitamnya mengalir ke pinggang, lembut seperti arus sungai. Santanu menegakkan tubuh dan mematung beberapa saat, tersihir oleh pemandangan di hadapannya. Ia mengenal perempuan itu—perempuan yang berkali-kali datang ke dalam mimpinya, dan sekarang perempuan itu berdiri di hadapannya.


"Saya Santanu, raja Hastinapura,” akhirnya ia bicara, dalam suara berbisik, seperti takut bahwa suaranya akan menyakiti pendengaran perempuan itu. “Sudah lama saya menantikan pertemuan ini. Ikutlah ke istanaku dan jadilah permaisuriku.”


“Terima kasih, Tuanku,” kata perempuan itu. “Tetapi saya khawatir Tuanku tidak akan sanggup memenuhi permintaan saya.”


“Apa pun yang kamu minta--”


“Tuanku tidak boleh menanyakan siapa saya, atau mempertanyakan apa pun yang saya lakukan, sekalipun tindakan itu sangat buruk kelihatannya.”


Santanu berlutut di hadapan perempuan itu dan bersumpah memenuhi permintaannya. Lalu ia menaikkan perempuan itu ke punggung kudanya dan mereka meninggalkan sungai pulang ke Hastinapura. 


“Saya akan pergi dan kita berpisah selamanya jika Tuanku melanggar sumpah,” kata perempuan itu dalam perjalanan.


"Tidak akan pernah,” kata Santanu. “Aku tidak akan pernah menanyaimu, apa pun yang kaulakukan."


Berdua di punggung kuda, Santanu membenamkan wajahnya pada rambut perempuan itu, rambut yang seperti arus Gangga, dan ia merasa seolah-olah sedang berenang mengikuti arus sungai suci itu menuju langit.


*


Kini Hastinapura memiliki ratu; Santanu menamai permaisurinya Gangga, karena di sungai itulah ia menemukannya.


Setahun berlalu dan pada suatu malam musim panas, Gangga memberi tahu Santanu bahwa ia hamil. Hastinapura menggelar pesta sebulan penuh untuk menyambut kabar baik tentang akan lahirnya penerus tahta. Semakin dekat hari kelahiran, raja terlihat semakin bahagia. Ia terlalu bahagia dan tidak memperhatikan bahwa permaisuri justru semakin murung. Sebetulnya ia tahu bahwa Gangga terlihat cemas dan lebih suka menarik diri, tetapi ia pikir itu wajar terjadi pada perempuan hamil.


Musim dingin berakhir dan pada hari cerah musim semi seorang utusan menghadap raja dengan napas terengah-engah, mengabarkan bahwa Ratu Gangga telah melahirkan seorang putra. Santanu bangkit dari singgasananya dan berlari menuju istana permaisuri, mengabaikan para penjaga yang mencoba menyampaikan sesuatu kepadanya, dan menyerbu masuk ke ruang persalinan. Ruangan itu kosong.


"Di mana dia?" teriaknya. "Di mana anakku?"


Kepala pengawal tergopoh-gopoh menghadap dan melaporkan: “Paduka Ratu keluar membawa bayinya ke sungai dan tidak mengizinkan satu pun dari kami mengikutinya.”


Gangga meninggalkan istana dengan kereta. Santanu meminta disiapkan kuda tercepat untuk mengejar istrinya. Senja hari ia tiba di tepi sungai, di tempat mereka dulu bertemu.


Dalam cahaya remang, Santanu melihat dari punggung kudanya Gangga berdiri di tepi air, dengan bayi di dalam pelukannya. Perempuan itu berbicara khidmat kepada sungai dalam bahasa tua yang tidak dipahami oleh Santanu. 


Lalu, sambil terus melantunkan mantra, Gangga mengangkat bayinya tinggi-tinggi di atas kepala, dan Santanu melompat turun dari punggung kudanya ketika melihat tangan Gangga siap melemparkan bayi itu ke sungai. Tetapi tiba-tiba di telinganya bergaung ucapan perempuan itu: “Saya akan pergi dan kita berpisah selamanya jika Tuanku melanggar sumpah.”


Ia hanya membeku di tempatnya saat melihat Gangga benar-benar melemparkan bayinya ke sungai, dan sungai menciptakan pusaran untuk menelan bayi itu. Bayi lenyap dan permukaan sungai kembali tenang dan perempuan itu sudah berhenti melantunkan mantra. Kini ia menangis, seolah-olah ia baru saja merenggut jantungnya sendiri dan membuangnya ke sungai.


Setelah tangisnya reda, Gangga menoleh ke arah suaminya. Wajahnya memancarkan cahaya keemasan dan, selama hidup, Santanu tidak akan pernah melupakan raut wajah istrinya pada senja itu. Sebelum Santanu bisa berkata-kata, Gangga berlari ke arahnya  dan melingkarkan tangan ke lehernya. Mata perempuan itu menembus matanya, seolah mengingatkan: “Ingat sumpahmu!”


Dengan tangan yang lunglai, Santanu memeluk istrinya, membenamkan diri ke pusaran yang tak ia pahami. Seumur hidup ia hanya ingin memperistri perempuan ini, dan ia menikahinya, dan ia tidak tahu apa lagi yang akan dilakukannya.[]

GENDAM NUSANTARA 919

Back to Top