-->

Memasuki Masa Gelap Mahabharata (6)

| 12:00 AM |

 



Oleh: A.S. Laksana


Perkawinan dengan Satyawati menjadi berkah masa tua bagi Santanu. Ia telah menjalani masa-masa pedih dalam perkawinannya dengan Gangga, takdir yang harus ia tempuh sebagai titisan Mahabhiseka, raja yang dihukum oleh para dewa, dan dua puluh tahun hidup selibat selama menantikan istrinya muncul lagi untuk menyerahkan putra mereka, dan kini Satyawati, si putri nelayan, memberinya rasa bahagia dengan kesederhanaannya yang liar, pembawaannya yang penuh gairah, dan harum surgawi yang memancar dari tubuh gelapnya.


Seperti tidak ingin menyia-nyiakan waktu, Santanu menggunakan sisa umurnya untuk Satyawati dan menyerahkan kuasa pemerintahan kepada putranya, sehingga rakyat Hastina, meski tidak pernah melihat Bhisma dinobatkan sebagai raja, tetap merasakan kepemimpinan Putra Gangga, raja Hastina tanpa mahkota, yang memerintah kerajaan atas nama ayahnya.


Dua putra lahir dari Satyawati, yang diberi nama Citranggada dan Wicitrawirya, dan Bhisma mengasuh kedua adik tirinya dengan rasa cinta seolah-olah mereka anak-anaknya sendiri. Ketika Citranggada memasuki usia dewasa, Bhisma menobatkannya sebagai yuwaraja, dan ia memerintah Hastina atas nama adiknya, dan tak lama setelah itu raja Santanu meninggal.


Citranggada memerintah Hastina hanya sebentar. Ia tumbuh menjadi ksatria perkasa di bawah asuhan Bhisma, dan berhasil memperluas wilayah Hastina dengan beberapa penaklukan, tetapi nasib seolah-olah membenci kemakmuran Hastina di bawah Bhisma dan kejayaannya di bawah Citranggada. 


*


Masa gelap Hastina dimulai dengan kemunculan sesosok gandarwa di depan gerbang perbatasan. Ia turun dari langit menembus kabut tipis pagi hari, meniup seruling tanduknya, dan mendekati penjaga gerbang setelah menyelesaikan lagunya, dan kepada penjaga gerbang ia menyampaikan tantangannya untuk raja Hastina.


"Aku Citranggada,” katanya, “datang untuk menemui orang yang telah mencuri namaku. Aku tahu orang itu rajamu. Katakan aku menunggunya. Jika dia ksatria, dia akan keluar dan bertarung denganku, dan salah satu dari kami akan mati. Katakan padanya hanya ada satu Citranggada yang akan hidup untuk melihat matahari terbenam hari ini.”


Penjaga itu takjub dan gemetar melihat penampilan sosok di hadapannya. Gandarwa adalah dewa penghuni kahyangan yang turun-temurun menjalankan peran mereka sebagai pemusik. Gandarwa bernama Citranggada ini bertubuh tinggi melebihi tinggi semua manusia; wajahnya tampan, matanya tajam, dan rambutnya sebahu berwarna hitam kebiruan. Dengan tubuh memancarkan cahaya, ia seperti makhluk yang tak terjamah, seperti sosok dalam mimpi.


Bhisma sedang jauh dari ibukota, mengunjungi wilayah kerajaan yang paling terpencil. Penjaga gerbang menemui raja, menggambarkan penampilan sang gandarwa, dan memohon agar raja tidak usah meladeni tantangannya, dan ia merasa keliru ketika raja Citranggada menanggapi ucapannya dengan sorot mata yang membuat tubuhnya terasa lumpuh seketika.


Citranggada telah mendengar kisah-kisah menakjubkan tentang para gandarwa. Mereka penghuni dewaloka, mereka sakti, dan mereka tak bisa mati. Dan gandarwa itu mengatakan salah satu dari mereka harus mati. Citranggada tidak membuat pertimbangan apa pun. Ia perkasa di antara para manusia, dan ia mendapatkan tantangan. Maka, demi kehormatannya sebagai ksatria, ia harus menerima tantangan itu.


Sang gandarwa bersiul-siul selama menunggu; tubuhnya menjulang seperti pohon, dan siulnya terdengar seperti kicau ribuan burung, seperti suara alam liar, seperti musik yang pertama kali diciptakan: musik para dewa. Ketika ia melihat putra Satyawati muncul dari gerbang kerajaan, wajahnya tampannya berubah menjadi hitam.


"Bocah!” katanya. “Kamu sudah berani mengambil nama Citranggada, yang telah menjadi milikku selama ribuan tahun. Itu lebih buruk ketimbang mencuri emas, atau permata, atau bahkan tahta kerajaan. Sekarang berlututlah di depanku dan mohon maaf dan aku akan memilihkan untukmu nama baru, jika kamu mau. Itu terserah kamu, tetapi, yang terpenting, tanggalkan saat ini juga nama Citranggada. Tidak ada gunanya nama itu bagimu jika hari ini juga kamu mati.”


Terbakar oleh penghinaan itu, putra Satyawati melupakan siapa yang ia hadapi, dan membalas dengan ucapan yang sama kasarnya:


“Kudengar kamu sudah hidup beribu-ribu tahun, Gandarwa, dan selama itu hidupmu sia-sia. Aku Citranggada, raja Hastina, tidak pernah mengenal Citranggada yang lain. Jika kamu hendak melawanku demi nama, dan karena kamu sudah bosan hidup tanpa guna, aku akan berbaik hati mengantarmu kepada kematian.”


Mereka bertarung di tepi sungai Hiranyawati yang membelah tegal Kuruksetra, lapangan yang kelak menjadi ajang perang besar Bharatayudha, dan mata manusia tak akan sanggup mengikuti gerak kedua Citranggada itu. Pertarungan mereka hanya tampak seperti pusaran angin topan, dan baru mereda menjelang senja ketika belati perak sang gandarwa menembus jantung sang raja. Langit dan tanah berwarna merah. Putra Satyawati tersungkur.


Sang gandarwa membersihkan belati peraknya dan menyelipkan senjata itu ke sarungnya di pinggang dan terbang kembali ke kahyangan sambil bersiul-siul, meninggalkan Hastinapura kehilangan raja, mengubah takdir negeri itu ke arah gelap.


*


Bhisma terpukul oleh kematian Citranggada. Ia menyayangi adik tirinya itu dan mengasuhnya seperti ayah mengasuh putranya. Ia mempersiapkan Citranggada menjadi raja Hastina, mengajarinya memanah, Weda, pemerintahan, dan apa saja yang perlu dikuasai oleh putra mahkota. Citranggada juga mencintainya; Bhisma bisa merasakan itu. Adiknya memperlihatkan kesungguhan mempelajari apa saja yang ia ajarkan, dan ia tahu bahwa Citranggada selalu menaruh hormat terhadap kerelaannya melepaskan tahta.


Sekarang, mimpinya untuk menjadikan Citranggada raja besar hancur. Yang tersisa hanya guci abu, dan Bhisma sendiri yang menaburkan abu adiknya ke Gangga, dan arus tenang sungai itu membawa abu Citranggada ke laut, dan segala sesuatu harus dimulai dari awal lagi. Ia mempersiapkan Wicitrawirya, kembali memerintah Hastina mewakili adiknya, tetapi putra kedua Satyawati tidak seperti kakaknya.


Ia tidak berminat menjadi raja, dan tampaknya tidak berminat untuk banyak hal lainnya. Tetapi Bhisma tetap menobatkannya menjadi raja ketika waktunya tiba bagi Wicitrawirya untuk menjadi raja. Ketika Satyawati berpikir sudah saatnya bagi raja untuk mengambil permaisuri, Wicitrawirya tidak menunjukkan minat terhadap perempuan mana pun untuk dipinang sebagai permaisuri.


Pada saat itu, raja negeri Kasi hendak mengadakan swayamvara untuk ketiga putrinya, Amba, Ambika, dan Ambalika. Para putra mahkota dan raja muda dari negeri-negeri lain diundang, dan mereka akan berdiri berjajar, dan ketiga putri raja akan mengalungkan untaian bunga di tangan mereka kepada lelaki yang mereka pilih sebagai suami. Raja Hastina, yang masih muda dan belum beristri, tidak diundang.


Bhisma memaknai hal itu sebagai penghinaan, tidak hanya terhadap Hastina, tetapi juga terhadap dirinya, dan terhadap ibu tirinya. Kasi tidak sebesar Hastina dan selama ini kedua negeri berhubungan baik. Tidak mengundang Wicitrawirya dalam swayamvara berarti raja Kasi sengaja menutup mata terhadap dirinya, merendahkan adiknya hanya sebagai anak nelayan, dan menganggap Hastina tidak pernah ada.


Pada hari swayamvara, putra Gangga pamit kepada Satyawati dan ia berangkat pagi-pagi menuju Kasi--dengan amarah.[]

GENDAM NUSANTARA 919

Back to Top