-->

Payung Teduh

| 3:22 PM |

Ditulis Oleh Merdhenita Restuti (Mahasiswi Unnes) -



Aku lelah Tuhan. 

Aku jemu dengan hidup ini, ya Tuhan.

Kata-Mu hidup ini adil, tapi dimana keadilan-Mu, Ya Tuhan, saat ayahku dipukuli warga, karena diduga korupsi. Bukankah itu belum terbukti? Kenapa, Ya Tuhan, orang di negeriku selalu bertindak seenak sendiri tanpa mengetahui siapa yang salah ataupun siapa yang benar? Ya memang semua ingin menang sendiri. 

Ya Tuhan, kata-Mu, Engkau Maha Penyayang, tapi mengapa tak kau berikan sedikit saja kasih sayang untukku. Setelah ayahku diduga korupsi kuberharap banyak pada wanita yang merawatku, tapi apa? Wanita yang telah kusebut ibu selama 18 tahun tega meninggalkan diriku. Mencari kehidupan yang layak katanya. Mencari kehidupan layak? Kehidupan layak yang seperti apa yang ingin beliau mau? Ya memang, mungkin sebagaian atau bahkan seluruhnya akan disita oleh KPK bila terbukti ayahku korupsi. Tapi apakah sebegitu jijiknya aku sehingga ibuku sendiri tidak mau membawaku. 

Tuhan, apakah bahagia itu terlalu sulit bagiku, Ya Tuhan?

Ah, entahlah. Aku bosan. Aku sudah tak kuat lagi. 

Aku menumpahkan semua emosiku di dalam sebuah buku kecil berwarna jingga yang di dalamnya ada foto ayah, ibu dan aku tersenyum penuh bahagia. Aku merindukan senyum kebahagiaan seperti dulu. Sebenarnya aku benci dengan air mata, tetapi kenapa aku menangis tersedu, air mataku bercucuran membasahi pipiku. Aku mengemasi beberapa pakaian, membawa uang di celenganku serta tak lupa buku jingga ke dalam ranselku. Aku memutuskan untuk mengakhiri hidupku jauh dari kota ini, kota yang banyak memberi kesan pilu.

***

Aku berdiri memandangi sebuah batu sungai mengalir dari sebuah jurang di atas perbukitan. Ya, aku sudah tiba di tempat yang aku mau, tempat yang sunyi, hijau, jauh dari hiruk-pikuk kendaraan dan pabrik besar.

Aku rentangkan kedua tanganku, mataku perlahan kupejamkan, aku rasakan angin menyibakkan rambutku yang terurai, sesekali kudengar suara gelegar petir. Kupikir cuaca berpihak padaku saat ini. Hari ini memang cuacanya mendung dan rintikan hujan sudah mulai membasahi tanganku, ini berarti kesempatan buatku untuk mengakhiri hidup dan tidak ada orang berjiwa malaikat menggagalkan rencanaku.

Aku mulai membuka mata yang tadinya terpejam. Aku hirup dalam udara negeri ini. Lantas kupejamkan mata, semakin kucondongkan ke bawah raga yang haus akan kebahagiaan. Sebelum kurasakan sensasi melayang, kakiku tertahan dan aku mulai goyang dan jatuh menimpa seseorang.

“Mau sampai kapan kau akan terus menimpaku seperti ini, gadis?” ucap seorang lelaki berkulit hitam.

“Siapa kau? Beraninya kau menggagalkan rencanaku?’ tanyaku dengan mencoba berdiri walau sedikit kesakitan.

Bukan jawaban yang aku dengar, melainkan dia menarik tanganku, aku mencoba melepaskan jeratan tangannya. Dia berjalan ke sebuah pohon pisang, dia menarik sebuah pelepah pohon pisang yang masih muda. Dia menghampiriku kembali, dia menarik tanganku lagi, kali ini aku tak melawannya, aku masih bingung apa yang akan dilakukan oleh lelaki berpewarakan tinggi itu. Dilihatnya darah mengalir dari tanganku. Dia mengusap darahku yang mengalir dengan kaos lusuhnya, kemudian pelepah pohon pisang ditempelkan pada lukaku.

“Aw, sakit tau!” Rintihku kesakitan.

“Memang sedikit agak perih, tapi lukamu akan cepat sembuh. Perkenalkan namaku Galih, aku pemuda kampung sini,” kata lelaki itu masih mengobati lukaku terlihat sebuah simpul senyum di wajahnya.

“Cukup! Aku tak butuh bantuan dan belasan kasihanmu. Lebih baik kau urus urusanmu sendiri!” jawabku seraya mendorong Galih hingga terjatuh.

Aku berjalan menjauhi lelaki itu yang masih terkapar di tanah. Kurasakan kakiku mulai lemas, penglihatanku perlahan mulai kabur dan gelap.

***

Aku mulai membuka kelopak mata mencari tahu suara siapa yang tengah bicara dan aroma bau apa ini begitu tak sedap. Kulihat seorang ibu paruh baya sedang duduk di sebuah kursi menghadapku dengan mengoleskan minyak—entah minyak apa aku tak tahu—di hidungku.

“Alhamdulillah ya Allah, kamu sudah siuman,“ kata ibu itu dengan nada lembut. 

Kata yang pertama kali aku lontarkan seperti yang biasa dilakukan oleh artis-artis serial drama televisi yang baru tersandar dari pingsan.

“Aku ada dimana? Siapa Anda?” tanyaku penuh kebingungan.

“Kamu di rumah Ibu, Nak. Saya ibunya Galih. Kamu belum makan kan? Sebentar Ibu ambilkan makanan dan memanggil Galih,” jawab ibu Galih dengan ramah.

“Galih? Siapa Galih? Apakah aku mengenalnya?” tanyaku dalam hati.

Aku masih berpikir keras mencari titik dimana ada nama Galih dalam hidupku. Aku memutar otak. Ah, sial aku tak menemukannya, tapi aku ingat aku pernah mendengar nama Galih dalam hidupku.

“Kata Ibu, kamu sudah siuman. Kamu sudah baikan?” tanya lelaki yang wajahnya tak asing bagiku.

“Iya, apakah kita saling mengenal? Siapa kamu?” tanyaku penasaran.

“Kamu tak ingat aku? Padahal belum berganti hari kita bertemu. Kamu sudah lupa? Payah sekali ingatan kamu,” jawab lelaki itu meremehkan.

Aku berusaha keras mengingat kejadian hari ini, apa yang telah aku lakukan, dengan siapa aku berinteraksi. Terus berpikir, berpikir dan alhasil aku menanggapi lelaki tersebut dengan gelengan kepala.

“Ya sudahlah. Aku bertemu kamu di bukit sore tadi. Kamu tengah asyik melentangkan kedua tangan, memejamkan mata bersiap terjun bebas. Memangnya kau ini punya nyawa berapa, seenaknya menyia-nyiakan nyawamu,” kata lelaki itu lagi terpancar kekesalan di raut wajahnya.

“Astaga! Hari ini kan aku berniat bunuh diri. Ternyata lelaki ini yang menggagalkan rencanaku. Aku ingat Galih itu lelaki ini,” pikirku dalam hati.

“Sudah ingat kau gadis manja, siapa aku?” tanya Galih masih kesal.

“Dunia ini terlalu kejam bagiku, terlalu sulit walau itu hanya untuk menghirup udara sesekali. Terasa sesak, asing.  Tak ada yang menginginkanku di dunia ini,” ucapku sambil memandang denting jam yang terus beputar.

“Aku menginginkanmu, siapa tahu kau adalah jodoh yang telah dikirimkan Allah untukku,” jawab Galih santai.

Aku mengangkat kedua alis mendengar jawaban Galih. “Memangnya aku mau jadi jodohmu apa,” bisikku dalam hati.

“Ya, hati manusia ke depannya  siapa yang tahu, Intan,” kata Galih penuh percaya diri.

“Darimana kau tahu namaku?”

Ketika Galih mau menjawab pertanyaanku, ibu Galih datang membawa sepiring makanan.

“Sudah Galih, jangan kau ajak bicara terus gadis ini, dia masih butuh istirahat. Ayo Nak, makan dulu agar cepat pulih kesehatanmu,” kata ibu Galih memberikan makanan kepadaku.

Aku menelan ludah memandangi menu makanku kali ini, nasi putih dengan lauk tahu dan tempe goreng. Ini kali pertamanya menu makanku tanpa daging, bahkan secuil pun tak ada.

“Ibu, makanannya bawa kembali saja, gadis ini tidak mau memakannya. Sudah baik, kita memberinya makan,” ucap Galih kesal.

“Hush! Kamu tidak boleh berkata tidak sopan seperti itu!” kata Ibu Galih dengan nada sedikit tinggi pada Galih.

Aku menyuapkan makanan itu pada mulutku, bayangan kelebat masa lalu menghampiri di benakku. Dulu aku tidak mau makan apabila rasa dari makanan sekadar terlalu asin, hambar. Walaupun menu makanku beragam, aku muntahkan makanan itu dan aku pun akan meminta ayah atau ibuku untuk memecat juru masak di rumah karena tidak becus memasak. Aku sadari aku begitu egois, dan terlihat sangat jahat.

“Nak, Nak, makanannya tidak enak ya?” tanya ibu Galih menyadarkan lamunanku.

“Makanan ini enak kok, Tante,” jawabku.

“Syukurlah kalau begitu. Nak, kalau boleh tahu siapa namamu?” tanya Ibu Galih dengan tersenyum.

“Nama saya Intan,” jawabku singkat sambil memandang Galih, terlihat senyum di raut wajahnya.

“Baik Nak Intan, silahkan istirahat lebih dahulu, supaya cepat pulih kondisimu.”

“Iya Bu, terimakasih.”

Galih dan ibunya meninggalkan ruangan, aku duduk termangu masih melihat pribadiku yang lampau. Aku turun dari ranjang mendekati tasku yang berada di sudut kamar, aku ingin mencurahkan emosiku ke dalam buku jinggaku. Aku keluarkan semua isi di dalam tas, namun buku jinggaku tidak ada, aku cari berulang kali di setiap bagian tas, barang kali aku kurang teliti, akan tetapi bukuku tak kunjung ketemu.

“Ah entahlah, aku lelah. Memang aku tak pernah beruntung,” kataku dalam hati.

***

Aku terbangun oleh suara penggorengan dan suara kayu yang dihentakkan. Aku keluar dari kamar menuju sumber suara. Tibalah aku di sebuah dapur, aku lihat di sudut sebelah kiri sebuah tungku menyala dan di atasnya wajan berisi lele goreng yang hampir gosong apabila tidak segera dimatikan kompornya, sedangkan di sisi lain ibu Galih tengah sibuk menumbuk kopi.

“Tante, nanti ikannya akan gosong apabila tidak dimatikan tungkunya,“ ucap aku mengagetkan ibu Galih.

“Astaghfirullahaldzim, Tante lupa sedang memasak,” ujar Tante seraya berlari mematikan tungku.

Aku duduk di sebuah jengkok yang lebar sambil memperhatikan ibu Galih mematikan tungku yang baru pertama kali aku lihat.

“Intan, maafkan Tante ya, pagi-pagi sudah berisik di dapur jadinya kamu terbangun, padahal kamu masih perlu istirahat,” ucap ibu Galih.

“Tidak apa-apa kok, Tante, Intan sudah beristirahat cukup. Tante, Galih sudah bangun tidur apa belum?” tanyaku berharap jawaban iya dari Tante.

“Sudah, Nak, tetapi Galih sedang ada di surau. Hari ini ia bertugas adzan. Nah itu, suara Galih adzan,” jawab ibu Galih.

“Maaf, Nak, kalau Tante boleh tanya Intan itu seorang muslim?” tanya ibu Galih ada nada keraguan dalam pertanyaannya.

Aku ragu untuk menjawab pertanyaan ibu Galih, sesaat aku berpikir untuk mengatakan iya namun aku terlalu tabu untuk mengatakannya. Alhasil aku hanya menundukkan kepala.

Terjadi keheningan beberapa saat, sesekali angin berhembus menusuk ke bulu kuduk. Ada raut kebimbangan dan penyesalan di wajah ibu Galih. Hingga akhirnya aku putuskan untuk membuka suara memecah keheningan.

“Aku tidak percaya dengan Tuhan, Tante. Dia tidak pernah ada buatku. Dia tak henti-hentinya mengujiku padahal aku sudah letih. Sudahlah Tante, untuk sekarang ini aku sedang malas berurusan dengan Tuhan,” ucapku dengan nada dingin.

Tampak ada ekspresi kekecewaan pada wajah Tante, namun Tante hanya tersenyum kecil padaku dan berpamitan menuju surau untuk salat.

***

Aku berjalan kembali ke tempat aku ingin mengakhiri hidup. Aku duduk di atas bukit, aku memandang sekeliling bukit, burung-burung tengah asyik berkicau menyambut pagi, daun-daun meneteskan bulir air setelah hujan kemarin. 

“Tuhan, sebenarnya aku tak sepenuhnya kecewa terhadapmu. Masih ada sedikit harapan yang tersimpan di hatiku,” isakku dalam hati.

“Intan! Jangan kau akhiri hidupmu seperti ini! Intan jangan lompat!” teriak Galih berlari sekuat tenaga ke arahku.

Aku kaget melihat Galih berlari dengan berteriak-teriak tertangkap rasa khawatir di wajahnya.

“Intan, jangan bunuh diri! Jalan hidupmu masih panjang, jangan menyerah,” kata Galih sambil menepuk pundakku.

Aku tertawa lepas mendengar perkataan Galih yang menyangka aku akan bunuh diri. 

“Aku tak berniat bunuh diri, aku sedang mencari sesuatu,” jawabku sambil tersenyum padanya.

“Senyummu masih sama manisnya seperti yang di foto, lantas kenapa kau tak pernah mencoba tersenyum kembali?” ucap Galih sambil memandangku.

“Jangan-jangan buku jinggaku ada di kamu? Jadinya kau tahu siapa namaku. Apakah kau membaca tulisan di dalamnya? Kenapa kau tak segera mengembalikannya kepadaku?” tanyaku sedikit kesal.

“Kau beruntung masih punya kedua orang tua, aku tak pernah tahu siapa dan dimana orang tuaku. Dulu waktu aku masih bayi, aku ditinggalkan di dalam surau, hingga seorang wanita yang saat ini aku sebut ibu merawatku hingga aku sampai seperti ini. Namun begitu, aku merasa beruntung sekali karena masih memiliki ibu yang baik hati. Terkadang aku ingin mencari kedua orang tuaku, namun aku tak tega meninggalkan ibu yang kini sudah mulai renta,” cerita Galih mengalihkan pertanyaanku.

“Bagaimana kau bisa memikul beban seperti ini?” tanyaku menanggapi cerita Galih.

“Aku tak pernah menganggap ini beban. Aku jadikan ini sebuah cobaan dari Allah sebagai bentuk ketaatan dan keimananku pada-Nya. Bukankah Allah tidak membebani manusia melainkan sesuai dengan kesanggupannya? Jadi Allah itu yakin kalau aku itu bisa melewatinya.”

Aku tertunduk malu mendengarnya. Begitu sabar dan gigihnya dia menghadapi cobaan yang begitu besar menurutku. Aku baru diuji yang tidak apa-apanya dengan Galih sudah menyalahkan Tuhan, mengganggap dunia begitu kejam kepadaku.

“Seharusnya kau lebih bersyukur menpunyai kedua orang tua yang masih hidup, kau masih bisa membalas kasih sayang kedua orang tuamu, berbakti kepadanya, sungguh menyenangkan,” ujar Galih menambahkan. 

Rasanya hati ini begitu tersayat mengingat sikapku yang selama ini ternyata egois, tak pernah bersyukur dengan apa yang aku miliki. Padahal aku punya kedua orang tua yang baik, aku meminta sesuatu pasti diberikan oleh ayah dan ibuku. Apakah ayahku tersandung kasus korupsi dan ibuku pegi meninggalkan aku itu semua karena aku. Air mataku tak mampu kubendung, aku menutupi wajahku yang berlinang air mata dengan kedua tanganku. 

“Tak perlu kau sungkan untuk menangis. Anggap saja aku tidak ada,” ucap Galih dengan nada lembut.

Aku menangis semakin keras. Aku menyesali atas perbuatanku yang lalu. Aku ingin berubah, aku tak ingin hidup karena sedikit penderitaanku di masa lalu. Aku usap air mataku yang mengalir di pipi.

“Galih, maukah kamu mengajari aku salat?” tanyaku pada Galih yang sedang memandang burung gereja di pohon depan kami duduk.

“Tentu,” jawab Galih disusul dengan senyum lebar dan menyerahkan buku jinggaku.

“Terimakasih,” ujarku sambil membalas senyumnya.

***

Maaf, maaf, maafkan aku, Ya Allah. Aku kira beribu maaf belum mampu menghapus kesalahanku terhadap-Mu. Aku pernah memakimu kalau Engkau ini tak adil, aku berpikir Engkau begitu kejam terhadapku. Aku selalu menuntut kepada-Mu, tapi tak pernah bersyukur  atas nikmat yang begitu  indah yang telah Engkau berikan kepadaku.

Maaf, maaf, dan maaf.

Aku pernah melupakan-Mu tapi Engkau tidak pernah membalas dengan melupakanku. Engkau selalu ingat dan menyayangi aku. Di kala aku baru terlahir di dunia, Engkau hadirkan kedua orang tua yang begitu sayang dan sabar merawat dan menjagaku. Di kala aku mulai goyah dengan hidup ini, Engkau pertemukan aku dengan sesosok lelaki yang menggugahkan hatiku untuk kembali ke dalam naungan-Mu, Ya Rabb. 

Ya Rabb, sebenarnya aku malu untuk meminta kepada-Mu, melihat sikapku yang begitu tidak senonoh terhadap-Mu tempo dulu.  Tetapi aku ingin meminta kepada-Mu dan semoga engkau mengabulkan permintaan ini. Aku ingin ayahku terbebas dari penjara, ibu memutuskan untuk pulang sehingga kami bisa tinggal bersama kembali, serta hamba meminta supaya Galih dipertemukan dengan orang tuanya dan ibu Galih selalu sehat.  

Terima kasih, Ya Allah, Engkau telah menjadi payung teduh yang melindungi aku di kala terik kehidupan yang menggoyahkan semangat hidupku dan menjadi tempat aku mengadu ketika derasnya cobaan mulai mematahkan keimananku. Terima kasih juga Engkau masih mengizinkan aku untuk hidup. Aku berjanji tidak akan menyia-nyiakan hidupku agar berguna untuk orang lain.

Semoga Engkau mengabulkan doa hamba. Aamiin.

TULISAN INI TERBIT DI BUKU ANTOLOGI MAAF 
TERBIT 2013 @ AFSOH PUBLISHER 

Tulisan Lainnya : 

Yuna dan Yulian 

Maafkan Aku Mas 

Maaf, Aku mencintaimu dalam Bisuku

Kukis Ampas Tahu

Maaf Aku Menunggumu

GENDAM NUSANTARA 919

Back to Top