-->

Maaf Aku Menunggumu -

| 3:18 PM |

 Ditulis Oleh Hesti Febrina R. (Mahasiswi Unnes) 



Cielo adalah bahasa Jerman, artinya langit. Bagiku dibanding laut, langit lebih puitis. Biru, sejuk, kadang juga mendung, kelam, dan badai. Langit mengguratkan banyak arti. Mataharinya, bintangnya, hujannya, udaranya, bahkan burung-burung. Semua terangkai dalam satu bait puisi yang sangat indah bagiku. Begitupun dia, Firman Shidqi. Dia kunobatkan sebagai langitku. Toh, ia setuju dengan nama itu. Ia selalu menyahut ketika kupanggil Cielo. Dari sekian respon yang ia berikan, aku paling bahagia ketika ia menjawab “iya” pada panggilanku padanya, Cielo. Ia pun tahu maksud mengapa aku memanggilnya begitu, tepat saat perpindahanku ke kampung halaman, aku mengiriminya sms yang meminta izin untuk menyebutnya Cielo. Dan ia setuju. Firman selalu bagaikan langit dan aku bumi. Dia selalu begitu jauh, hingga aku hanya bisa menatapnya sepanjang tahun. Hanya hujan dan udara yang membuat aku dan dia bisa berjumpa sejenak. Ya, dia menerimanya, walaupun sebatas menerima.

Itu sudah lama sekali. Tepatnya saat aku lulus SMP di Bojonggede, Depok. Tapi tahukah? Hingga saat ini aku masih memiliki dan menjaga dia di hatiku. Bukan aku yang mau, hanya dia mudah sekali tumbuh subur di hatiku, seperti rumput liar. Meski perasaanku padanya sedalam ini, tak pernah sekalipun ia melihatku, bertanya kabarku, bahkan untuk sekadar hadir sebagai teman. Aku rasa dia masih ragu akan hal itu. Sebenarnya, dia menganggap aku ada atau tidak pun aku tidak begitu yakin. Selalu aku yang mencoba pertama kali menghubunginya, bertanya kabar, atau hanya memanggilnya. Aku memang seperti pengemis cinta. Walau diberlakukan demikian, tetap saja aku terpaut padanya. Sudah, sudah sering ku mencoba melupakannya. Melupakan senyumnya, melupakan caranya berjalan, melupakan gaya berpakaiannya, melupakan senyumnya, dengan segala usaha. Sudah. Tapi rasanya yang kulakukan sia-sia, bahkan malah menambah frekuensiku untuk mengingatnya.

Jika saja, ia mengatakannya padaku dengan gamblang. Ia tidak menyukaiku, lebih baik aku tak mengganggunya lagi, aku bagaikan benal, mungkin akan lebih mudah bagiku. Namun ia tidak pernah melakukannya. Ia selalu merespon padaku tapi dengan respon yang tidak pernah berubah. Iya, tidak, makasih, hanya itu. Membuat aku terus ketagihan namun tak terpuaskan. Dasar pemain hati.  Anehnya, aku tak pernah mendengar kabar tentang kekasihnya. Ia tak pernah mengumbar hubungan asmaranya di muka publik. Walaupun status di facebook-nya bertuliskan berpacaran. Itu juga salah satu faktor mengapa aku dengan PD-nya terus mengganggu dan menunggunya. Karena bagiku dia juga menantiku.

Ada banyak hal positif dari obsesiku padanya. Sosoknya yang cerdas dan pendiam, sedikit banyak mempengaruhi kepribadianku yang selalu aktif. Aku menjadi lebih tenang. Dia seperti teladanku. Dan karena hatiku yang untuk lawan jenis sudah kuberikan padanya, aku lebih terjaga dari tipuan-tipuan lelaki lain. Aku tak pernah main hati dengan yang lain, sehingga aku tak pernah sakit hati. Sepertinya.

Hari ini aku berencana untuk pulang ke Depok. Ya, aku adalah gadis perantauan. Rumah orang tuaku di Depok. Namun semenjak SMA aku sudah melalang buana ke berbagai kota. Pada awalnya, sungguh berat kehidupanku jauh dari orang tua dan teman-teman. Terutama jauh pandanganku pada langitku. Tapi aku tetap teguh menantinya. Aku tak pernah memperlakukan yang lain seperti aku memperlakukannya. Pasti selalu ada saat aku mengingat dan mengabarinya. Dari situ aku mulai merasa bahwa aku memang pantas seperti ini. Karena sekali lagi, ini bukan mauku. Perasaan ini hanya kehendak takdir. Kurasa.

Dua bulan yang lalu, tepat tanggal 2 Juli Cielo berulang tahun yang ke-23, itu artinya aku berumur 23 lebih 133 hari. Memang, aku lebih tua empat bulan setengah darinya. Tapi aku tetap merasa nyaman dan terlindungi bila menatapnya, walau dari kejauhan. Dia laki-laki Sunda. Ya, kami berbeda ras. Aku Jawa asli, ibuku dari Purworejo dan ayahku dari Yogyakarta. Sedangkan keluarganya berasal dari Bandung, Jawa Barat. Jika dikotak-kotakkan, memang kami sangat berbeda. Dia berkulit putih dengan mata yang indah. Hidungnya imut-imut alias mancung ke dalam, jarinya panjang, dan sepertinya sekarang ia sudah lebih tinggi dariku. Maklum, terakhir kali kumelihatnya secara langsung kan saat lulus SMP. Dia cerdas sekali, lulusan terbaik saat SMP dan melanjutkan SMA akselerasi. Lalu ia lulus S1 dari Institut Teknologi Bandung jurusan Teknik Elektro dengan predikat cumlaude. Itu pun 1 tahun sebelum aku lulus. Padahal aku kuliah hanya 3,5 tahun. Ya, jika dibandingkan denganku, sungguh bukan apa-apanya.

Aah, tiada habisnya jika kuceritakan tentangnya. Semua terlihat begitu indah di mataku. Kali ini, tujuanku pulang ke Depok setelah menetap di Yogyakarta kurang lebih 2 tahun setelah diterima sebagai PNS bukan tentang perasaan picisan masa remajaku. Memang aku berniat menemuinya, namun bukan untuk memuaskan nafsu perasaanku. Aku ingin mengonfirmasi sesuatu, yang mudah-mudahan juga termasuk sebabku berhenti mencarinya.

Aku pulang naik kereta api. Dari Yogyakarta berangkat sekitar jam 8 malam. Tidak banyak barang yang kubawa. Hanya satu tas jinjing berukuran sedang yang isinya pakaian ganti dan oleh-oleh untuk ibuku di rumah. Malam itu langit mendung dan hawa dingin menyergap bulu kudukku yang kututupi dengan syal berwarna biru dongker kesukaanku. Cuaca seperti ini cukup asing untuk cuaca di bulan September. Aku telah memesan tiket dari 1 minggu yang lalu melalui sebuah minimarket di samping sekolah tempatku mengajar. Aku mendapatkan kursi nomor 18, dekat jendela. Setelah aku bersiap melewatkan perjalanan dengan tidur, tiba-tiba datang ibu-ibu rempong yang membawa perbekalan banyak sekali. Dilihat-lihat, 4 kardus dan 2 tas besar. O iya, ada 1 tas kecil yang ia gantung di lehernya yang gemuk itu.

Aku tersenyum dan mencoba membantunya menaruh beberapa kardus di tempat penyimpanan barang di atas. Ia balik senyum dan mengucapkan terima kasih. Ramah. mula-mula, kami hanya duduk terdiam, setelah 15 menit kemudian, si ibu mulai membuka percakapan. “Asli Yogyakarta apa Jakarta Mbak?”. “Depok, Bu. Di Yogyakarta kerja.” Ibu-ibu sekitar 40 tahunan ini memang terlihat gaul seperti orang Jakarta. Tak heran ekspresi dan logatnya bersemangat melebihi orang Jawa pada umumnya. “Ooo, dari Depok. Lha ini mau ke Depok?”. “Iya, ini mau pulang,” jawabku yang hanya bisa tersenyum lebar. Setelah setengah perjalanan yang berisi kisah tentang si ibu yang datang ke Yogyakarta menjenguk anaknya yang tengah hamil 7 bulan, sekarang giliranku bercerita. Karena si ibu benar-benar sudah kehabisan cerita dan belum mau tidur akhirnya aku bercerita juga. Perjalananku kuhabiskan dengan bercerita.

Sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi di jam stasiun Pasar Senen Jakarta. Aku yang sudah 5 menit lalu turun dari kereta, berjalan menuju peron jalur Depok. Hatiku tak sabar sekaligus gelisah. Aku mendapatkan kabar bahwa Firman sedang berlibur di rumah sekarang. Berarti, kemungkinan besar aku akan berjumpa dengannya. Dari kejauhan klakson kereta berderu kencang sekali. Aku pulang dan sesampainya di rumah, badanku langsung tergeletak di atas kasur dan terlelap. Sebelum benar-benar terlelap, kusempatkan mengirim sms pada Cielo.

Lagi di rumah? Kalau kamu nggak sibuk, jam 3 sore nanti temui aku di pinggir danau Setu.

Iya.

Balasan singkat yang aku harapkan. Aku tidur sampai hampir tengah hari. Membersihkan diri dan segera ke danau. Danau itu memang berada di sekitar rumahnya dan tak jauh dari rumahku. Tempat yang cocok untuk menyudahi penantianku. Aku mengenakan blus warna pink muda berkerah, rambutku kutata rapi kucir kuda, dengan flat shoes, dan tas kecil. Aku merasa cantik dan penuh percaya diri untuk bertemu dengan langitku.

Aku mempersiapkan kata-kata sambil melempar kerikil ke danau. Satu jam, dua jam, jam 3 lebih 30 menit, jam 5 sore. Tak ada tanda seseorang berjalan ke arahku. Aku menatap layar HP dan tidak ada sms darinya. Hingga akhirnya kuputuskan pulang pada jam 7 malam. Aku jengkel, sebal sekali. Setahuku Firman selalu penuh perhitungan dengan janjinya. Kenapa? Apa mungkin ada urusan lain? Kenapa Ia tak mengabariku? Rasa kecewa menguasaiku hingga pagi. Aku marah dan tak tahu harus bagaimana. Dia tak akan mengabariku lebih dulu, namun aku tak mau sms untuk sementara waktu.

Hari itu, aku diam di kamar sambil membongkar lemari lama yang sebagian besar berisi kenanganku semasa SMP. Satu persatu kubuka tiap lapis kertas, kotak, foto. Nostalgia yang sungguh indah. Memumbul lagi memori yang tersimpan di sanubari. Masa remaja yang bahagia. Tersenyum dan sendu sesekali, membayangkan betapa ego masih menguasai diriku. Hingga secarik foto aku, teman-teman, dan Bu Siti membuatku terhenti dan menatapnya dalam-dalam. Masih ingat dengan jelas kenangan 8 tahun silam. Guru IPA itu kudebat bukan main hanya karena alasan sepele dan kekanak-kanakan.

“Tapi kan Bu, masa sama temen segitu pelitnya?” protesku pada ibu guru cantik itu. Mendengar celotehku, dengan ekspresi datar Firman hanya menenggelamkan wajahnya pada komik yang sedang ia baca. Seperti tak ada apapun yang tejadi. 

“Ya nggak lah, Ri. Tindakan Firman sudah benar, kalau dia kasih contekan ke teman-temannya, itu berarti dia menjerumuskan teman-temannya untuk terus mengandalkan orang lain. Dan bla bla bla,” wejangan Bu Siti hanya masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Dengan emosi yang menguasaiku, aku berpura-pura menyimak setiap kalimat yang Bu Siti ucapkan. Sambil sesekali melirik ke arah Firman yang tenang-tenang saja. Ah, hal itu menambah rasa gondokku.

Hmm, memang lucu sekali ketika mengingat alasanku protes. Saat itu siswa SMP se-Indonesia sedang mengikuti Ujian Nasional dengan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam. Aku dan Firman berada dalam satu ruangan. Saat tengah ujian, seorang temanku yang sedang kelimpungan mengerjakan bertanya padanya. Dengan posisi duduk di belakangnya berjarak 2 meja, dan temanku yang bertanya berada di meja samping kiri Firman, tentu aku dapat merekam dengan jelas kejadian itu. Yang membuat aku geram, ternyata, Firman memberikan jawaban yang salah dengan sengaja. Soalnya sebenarnya mudah, dengan kemampuan Firman, dengan sekali lirik, dia pasti tahu jawabannya. Tapi mengapa ia memberi jawaban yang salah dan tidak hanya sekali. Aku tak suka perbuatan curang, namun aku tak setuju tindakannya. Ia tak jujur dengan kemampuannya. Aku benci itu, dan dengan sifatku yang ceplas-ceplos, tentu aku layangkan rasa tak setujuku pada Bu Siti di kelas.

Setelah mengingat itu, sadarku seketika kembali. Sepertinya aku menyadari alasan kuat apa yang membuatku begitu terobsesi. Aku memiliki hutang. Degup jantungku mendadak melaju cepat. Aku langsung bangkit dan berlari menuju rumah Firman. Entah apa yang kupikirkan, aku berlari sekuat tenaga. Aku hanya ingin memuntahkan segala rasa yang selama ini kusembunyikan untukku sendiri. Rasa yang kucaci karena keberadaannya. Aku ingin membebaskan diriku dari keterpautan ini. Lega, tegang, dan bingung. Semua kurasakan jadi satu. Aku mengingat alasan utama aku mencarinya, menunggunya, dan begitu mengaguminya. Aku mengingat satu hutang yang seharusnya sudah kulunasi tepat pada saatku berhutang. Iya, aku menyadarinya sekarang. Setelah bertahun-tahun. Aku akan mengakhiri kegilaan ini. Sambil berlari aku terus berterima kasih dalam hati. Karena aku telah menyadarinya. Walaupun sekaligus merasa bodoh, pikun, dan terbutakan. Kenapa harus menghabiskan masa begitu lama untuk menyadari satu alasan?

Aku berdiri tepat 3 meter di depan pintu rumahnya. Aku tersenyum dan berkata dalam hati. Aku datang, untuk melunasi hutang maafku padamu yang membuat aku selama delapan tahun ini, jatuh cinta padamu.

“Permisi, Firmannya ada?” Aku bertanya pada sesosok ibu yang kuyakin mirip sekali dengan Firman. Raut wajahnya berubah, ia seperti mengatakan. “Dari mana saja kau?” aku kebingungan dan tak tahu harus bagaimana. Ia marah namun rindu. Itu yang kubaca dari rautnya. Beliau masih diam saat tiba-tiba meraih tanganku dan sedikit menarikku ke suatu tempat. “Maaf Bu, saya Riri temannya Firman. Saya tidak bermaksud mengganggu, kalau memang Firman tidak ingin diganggu, saya akan pergi.” Ibu itu malah menggenggam tanganku lebih erat. Aku ikuti saja langkahnya, aku tidak mau melawan dan meninggalkan memori tak menyenangkan nantinya.

Kami sampai pada tanah lapang 100 meter dari danau. Tanganku dilepas dan beliau berkata, “Sudah lama Firman menunggu kamu, Nak Riri, kenapa baru datang sekarang?”. Dengan belum sepenuhnya ku mengerti, aku berjalan lebih ke tengah mencari-cari sebuah bangunan tempat Cielo tinggal atau sesosok pria yang sedang menantiku. Lima langkah pertamaku, aku sama sekali tak menyadari ada nisan berjajar di sebelah kananku dan pohon kamboja dimana-mana. Langkah keenam barulah aku sadar. Ini, TPU. Aku kaget namun tak bisa berkata apa-apa. Kuhentikan langkahku dan terdiam. “Apa si maksudnya ibu ini?” gumamku dalam hati. “Cari saja nisan yang bertuliskan Firman Shidqi, Nak!” seru si Ibu kepadaku.

Segalanya terasa kosong, aku berjalan dengan tergopoh-gopoh menahan badanku yang sudah tak bertenaga lagi. Padahal aku sudah menemukan jawabanku atasnya. Aku sudah ingin melunasi hutangku padanya. Kata maaf yang seharusnya kuucapkan delapan tahun lalu. Rasa sesalku yang menyakiti hatinya. Di nisannya bertuliskan “salam dari langit”. Sesak dadaku membacanya. 2 Juli 1990 - 13 Agustus 2013. Aku menangis sejadi-jadinya dengan sedikit berteriak. Badanku lemas, hanya tanganku yang meraih-raih nisannya. Semuanya seperti pukulan buatku. Baru saja aku menyadari kesalahanku padanya. Baru saja aku gembira karena akan terbebas dari perasaan yang mengikatku selama ini. Baru saja. Oh, Tuhan. Mengapa tak kau berikan keajaiban padaku? Mengapa kau buat dia pergi sebelum kubayar hutangku? Tuhan, aku tahu aku bodoh, karena menundanya begitu lama. Tuhan, langit yang cerah itu seperti tersenyum padaku. Seperti menyampaikan salam darinya untukku. Kenangan yang sungguh ingin kulupakan.

Hingga petang aku terduduk di sana, sambil menangis dan memandangi pusaranya. Ibu Shidqi menghampiriku dan membawaku lagi ke rumahnya. Aku memang butuh pelukan saat itu. Pandanganku kosong dan terus menangis. “Nak, sebenarnya sudah lama Ibu mau mengabari kamu, tapi Ibu selalu tak berdaya cara mengungkapkannya. Nak Riri yang tinggal di Yogyakarta kan?”. Sambil mengendalikan emosiku, “Iya Bu”. “Ibu baru-baru ini membaca buku harian Firman, ada tiga halaman yang menceritakan tentang kamu, Nak Riri”. Ibu Shidqi menjelaskan dengan nada parau. Lalu ia mengambil sebuah buku jurnal berwarna biru tua dan memberikannya padaku.

Aku sudah berada dalam kamarku, menenangkan diri. Buku harian itu pelan-pelan ku buka sampulnya, di bagian pojok kanan bawah ada tanda tangan dan inisialnya. 2 Juli 2008. Itu lima tahun lalu. Setiap lembar menceritakan hidupnya. Tentang penatnya aktivitas. Lalu, di lembar hampir akhir,


12 Februari 2012

Berarti sudah hampir 7 tahun aku terus-terusan diganggu oleh perempuan yang wajahnya pun aku tak begitu ingat. Dia menyamakan aku dengan langit.


24 Oktober 2012

Jadi dia ... ternyata, yang memanggilku Mr. Virus. Men-judge-ku si pelit. Bau mi gelas di rambutku seperti belum hilang ... R N


11 Desember 2012

Lucu juga, namanya Riri Nada, dia adalah perempuan yang saat SMP selalu mengganggu. Aku dapat fotonya saat wisuda, ya, dia mulai mengisi hari ... Sebenarnya, dia melakukan itu karena apa? Yang jelas, aku mulai nyaman dengan kehadirannya dalam maya. Gadis Jawa yang mulai kurindu wajahnya. 


3 Juli 2013

Terbiasa diganggu. Jangan berhenti Ri ... hadirlah terus dalam mimpiku. Gadis Jawa yang bodoh, yang sabar selama ini denganku. 


Di lembar berikutnya ada selembar fotoku dengannya waktu wisuda, di balik foto itu ada nama dan alamatku. Dia meninggal saat perjalanan ke Yogyakarta, mobilnya menabrak pembatas jalan jam 10 malam. Dia ke Yogyakarta untuk bertemu denganku. Pipiku basah lagi mengetahui itu semua. Ternyata dia mulai mengharapkanku. Dia masih ingat kesalahanku yang membuat dia ditertawakan oleh siswa sesekolah saat kutumpahkan mi gelas ke kepalanya dari lantai dua. Itupun aku belum mengucapkan kata maaf. Hutang yang belum tersampaikan yang membuatku tak cepat ikhlas dengan kenyataan yang mengisyaratkan dia telah pergi, Cielo yang padanya kutaruh rasa menyesal, langitku yang karena hutangku aku terobsesi.

Baiklah, ternyata memang kau hanya lewat di dunia. Namun aku yakin, kita berjodoh, di surga nanti.



Teruntuk langitku di surga,

Maafkan aku yang sembunyi dan lari dari perasaan yang seharusnya kau tahu. Maafkan aku membuat memori tak menyenangkan pada masa lalumu. Maafkan aku membuatmu menerka mengapa aku begitu. Aku terlalu takut menyentuh langit, takut akan kilat dan petir yang menyambar. Rasa takut itu menutupi pelangi yang hadir setelah badai, menjauhkanku dari hembusan angin mesra yang kurasakan setiap pagi. Maafkan aku Cielo. Maafkan aku yang telah lebih dulu menantimu.


Riri

TULISAN INI TERBIT DI BUKU ANTOLOGI MAAF 
TERBIT 2013 @ AFSOH PUBLISHER 

Tulisan Lainnya : 

Yuna dan Yulian 

Maafkan Aku Mas 

Maaf, Aku mencintaimu dalam Bisuku

Kukis Ampas Tahu

GENDAM NUSANTARA 919

Back to Top