-->

UPDATE BERITA MENULIS TERBARU

| 2:14 PM |

 

Deretan Kata Pembawa Irama Kehidupan

Oleh: Dyas Kirei

Malam itu kucoba mengayunkan jemariku pada keyboard yang selalu setia menemaniku mengerjakan tugas-tugas kuliah. Namun kali ini berbeda. Aku tak lagi menjamah tumpukan tugas yang ada di sampingku, melainkan mengetik sederet kata opini untuk kukirim ke sebuah media cetak nantinya.

Pertama kucoba mengetikkan lima sampai sepuluh kata, kemudian kuhapus lagi, hingga hal ini berlarut-larut dan membuatku merasa bosan. Akan tetapi, entah mengapa tekadku malam itu terasa seperti menembus cakrawala, membuatku semangat untuk menyelesaikan tulisanku yang paling tidak mencapai seribu kata. Hingga akhirnya waktu menunjukkan pukul dua pagi. Aku masih saja berkutat dengan barisan kata yang semenjak sore ini aku rangkai.

Akhirnya satu jam kemudian, kepuasan batinku mulai terpenuhi. Kulihat kata demi kata berjajar rapi menyatukan jiwa satu sama lain. Dan saat itu pula, aku mengirim mereka ke tempat di mana seharusnya mereka berdecak memberi kabar pada seseorang. Ya, seorang editor sebuah media cetak. Tak banyak harapanku saat itu, namun entah mengapa, hatiku masih saja senang melihat rangkaian itu.

Empat hari kemudian, beberapa teman sejawatku berteriak kepadaku, “Wah, selamat ya. Tak kusangka kau memang pandai menulis. Lain kali ajari aku dong.” Saat itu aku masih terheran-heran kenapa beberapa dari mereka berucap memuji kepadaku. Setelah kupastikan ternyata memang benar, tulisanku terpajang dalam deretan kata di media cetak tersebut.

Senang rasanya mendapatkan pengalaman berharga dari hasil tulisanku. Membuat sebuah pintu penyelaras dalam hidupku terbuka lebar dan mempersilahkan aku masuk ke dalamnya, seakan mengajakku untuk menapaki jalan baru melalui barisan-barisan kata yang membawakan irama baru dalam kehidupan.

***

Biodata Penulis

FB: Dyas Kirei Setyani | Twitter: @dyasayu | E-mail: dyahayu90@gmail.com

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kekuatan Imajinasi dalam Menulis

Oleh: Eko Hartono

               Imajinasi bagi seorang pengarang layaknya alam semesta maha luas tanpa batas. Manusia dikaruniai kemampuan berkhayal atau berimajinasi. Kemampuan ini sangat berguna bagi kegiatan menulis, sebab dengan imajinasi manusia bisa menembus dinding kemustahilan. Imajinasi menumbuhkan harapan dan mimpi. Imajinasi memberi hiburan dan pencetus semangat. Imajinasi yang tertuang dalam sebuah karya tulis mampu mempengaruhi pembacanya hingga tumbuh rasa senang, terharu, dan kagum.

            Banyak orang yang terkesan dan mengidolakan Harry Potter, Jack Sparrow, Sherlock Holmes, Old Sutherhand, atau tokoh fiktif lainnya. Mereka bahkan lebih terkenal dari manusia sesungguhnya. Padahal mereka tak lebih dari hasil imajinasi pengarang, namun sosoknya begitu merasuk ke dalam jiwa pembacanya sehingga mereka seolah hidup. Banyak orang terinspirasi dan menjadikan tokoh fiktif itu sebagai panutan. Jadi, betapa dahsyatnya hasil kreasi imajinasi penulis!

            Apakah menulis bisa dijadikan mata pencaharian? Dengan tegas saya katakan YA! Saya berani mengatakan demikian karena saya sendiri telah menjalaninya. Walau bukan tergolong penulis top dan terkenal, tapi selama lebih dua puluh tahun menekuni kegiatan mengarang, saya mampu memenuhi kebutuhan hidup sendiri, bahkan menghidupi keluarga dengan seorang istri dan dua anak yang sudah remaja.

            Saya menulis cerpen, cerber, puisi, novelet, novel, drama, sinopsis ftv, skenario, dan artikel. Tulisan saya tersebar di beberapa media massa nasional dan daerah. Saya juga telah meraih kemenangan dalam beberapa event lomba mengarang. Saya menekuni kegiatan menulis ini sejak berumur sembilan belas tahun. Saya belajar menulis secara otodidak dengan cara membaca dan mempelajari karya orang lain. Faktanya, saya hanya lulusan SMP, ditambah kondisi fisik disable, tapi hal itu tak menjadi hambatan saya eksis di dunia kepenulisan. Saya bahkan berani menyebut profesi saya: PENULIS!

            Rata-rata dalam setahun, saya mendapat penghasilan di atas sepuluh juta rupiah, bahkan bisa lebih bila kebetulan mendapat kemenangan dalam kompetisi menulis. Penghasilan itu didapat dari tulisan berupa cerpen yang dimuat di beberapa media cetak. Untuk 1 buah cerpen, honor yang diterima berkisar 200 ribu hingga 1 juta rupiah. Bayangkan, jika dalam satu bulan ada 2 atau 4 cerpen dimuat di media berbeda. Hal ini bisa terjadi karena di Indonesia ada ratusan media cetak (koran, tabloid, dan majalah).

            Memang tidak setiap bulan tulisan saya nampang di media cetak. Kadang dalam satu bulan tulisan saya tidak ada yang dimuat, tapi terkadang dalam satu bulan ada beberapa tulisan saya dimuat di media berbeda. Tapi dari gambaran di atas, kita bisa kalkulasi berapa penghasilan kita, terlebih bila kita memenangkan beberapa lomba menulis. Sebab, jika tulisan kita menang dalam sebuah lomba hadiah yang diterima cukup lumayan. Minimal untuk juara harapan sebesar 1 juta rupiah. Bagaimana kalau juara 1, 2, atau 3? Tentu saja lebih besar!

            Jadi, dengan menjadi penulis, saya tidak khawatir dengan kehidupan dan masa depan saya. Masih terbuka peluang dan kesempatan kita mengembangkan diri. Meningkatkan pendapatan, karena media untuk menampung tulisan kita juga makin luas, tidak hanya media cetak tapi juga elektronik. Masih terbuka kesempatan menjadi penulis drama, penulis naskah film, penulis elevise elevise, bahkan penulis iklan (script writer). Jadi, tak perlu harus koprol dan bilang WOW untuk jadi penulis!

***

Biodata Penulis

Eko Hartono dapat dihubungi melalui e-mail: eko_hartono69@yahoo.com

 

 

 

 

 

 

 

Berkawan dengan Tulisan

Oleh: Yuna Pradita

            Membaca dan menulis, dua hal yang tak mungkin terpisahkan. Sejak kecil, membaca sudah menjadi rutinitas bagiku. Dari majalah Bobo, Kuncup, Dongeng Anak, entah apa lagi buku yang pernah kubaca. Selalu terlintas ide untuk menulis sejak kecil, tapi tak kunjung dilakukan. Dan aku mulai menulis, tapi aku tak tahu apakah tulisanku pantas untuk disebut sebagai sebuah tulisan.

Ketika ujian Bahasa Indonesia sewaktu SD, selalu ada soal mengarang cerita. Lembar mengarangku penuh dengan tulisanku. Aku tak peduli kala itu. Entah itu bagus, runtut, atau apalah, yang penting aku merasa sangat puas ketika melihat lembar mengarang penuh dengan tulisanku.

Majalah dinding menjadi sasaranku ketika aku duduk di bangku SMP. Puisi maupun cerpen, semua kukirim ke redaksi mading sekolah. Ada rasa bahagia yang tak bisa dijelaskan ketika teman-teman sekolah bergerombol di depan mading dan bergantian membaca karyaku di sana. Apalagi ketika ada yang sengaja menyapa ketika bertemu untuk sekedar berkata, “Yuna, tulisanmu bagus”. Tapi terkadang juga ada yang sedikit mencela.

Semakin lama, menulis menjadi teman setia ketika senang maupun duka. Teman curhat terbaik, setelah Allah dan ibuku tentunya. Entah zat apa, atau mungkin lebih tepatnya energi apa yang dialirkan ke dalam tubuhku oleh tulisan ketika sedang menulis. Menulis bisa membuat pikiranku yang penat menjadi santai, mengusir kesedihan, dan menggantinya dengan ketenangan, menghajar pasukan galau dan mengubah kegalauan itu menjadi sebuah inspirasi untuk membuat tulisan yang baru. Selamat menulis.

***

 

 

Biodata Penulis

Yuna Pradita adalah nama pena dari Yuniati Mahmudah. Penulis kelahiran Madiun, 26 Juni 1991 ini masih berstatus mahasiswi jurusan S1 Matematika di Universitas Airlangga Surabaya. Dapat dihubungi melalui FB: De Kecil (Yuniati Mahmudah), twitter: @Yunia_M, dan e-mail: yuniati_mahmudah@yahoo.com

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dunia, Aku Datang!

Oleh: Titi Haryati

Berangkat dari latar belakang keluarga yang pas-pasan, ternyata ikut membentuk perkembangan kepribadianku. Aku terbiasa menghindar dari hiruk-pikuk pergaulan dengan teman-teman karena merasa minder. Aku memilih lebih banyak diam dan mengamati mereka dari tempatku saja. Kemudian kebiasaanku mengamati dengan melibatkan hati sepertinya mengaktifkan elektron-elektron halusinasiku, lalu mengajak jari-jemariku meliuk-liuk di atas kertas mendeskripsikan apa yang ada dalam pikiranku.

Awalnya semuanya kutuangkan pada sebuah buku yang sengaja kusiapkan sebagai ruang bagi tulisan-tulisanku. Apa pun yang kurasakan, apa pun yang kualami, apa pun yang kulihat, semuanya kuabadikan di dalam buku tersebut. Dengan memiliki buku itu, justru aku merasa jadi punya sahabat yang senantiasa memunculkan perasaan rindu untuk setiap saat dekat dengannya, berbicara dengannya, atau sekedar melepaskan beban yang membuat hati penat. Ada sesuatu yang membuat nikmat, nyaman, dan perasaan bahagia yang hanya aku sendiri yang mampu menerjemahkannya ketika aku membaca buku tersebut.

Suatu ketika, entah mengapa  gejolak perasaan lain kemudian muncul. Andai saja ada orang lain di luar diriku yang membaca tulisan-tulisan tersebut, adakah yang mereka rasakan akan sama seperti yang juga kurasakan. Kalau betul seperti itu, alangkah bahagianya bisa berbagi, berbagi apa saja yang dapat membuat perasaan mengharu biru.

Maka kemudian sampailah aku pada fase kehidupan baru. Aku tidak ingin apa yang kupaparkan dan apa yang kurasakan kunikmati sendiri saja. Aku ingin berbagi, aku ingin dunia juga mengetahui bahwa aku ada, aku sama dengan mereka yang lain.

Keinginan  untuk menunjukkan jati diriku tersebut memecut  semangatku untuk menulis tanpa henti. Dan ketika perasaan itu semakin menghanyutkanku, serasa tak ada lagi kendala yang membuatku tersendat dalam menulis, semuanya berjalan begitu saja mengikuti alur isi hatiku. Tiba saatnya kini bagiku untuk berkata dengan lantang tanpa minder lagi, “Dunia, ini aku, akui aku bahwa aku ada, dan aku datang untuk berkarya!”

GENDAM NUSANTARA 919

Back to Top