Senyum
di Akhir Petang
Oleh: Aliyah
Sekar Ayu
Menjelang petang, Aliya semakin
gelisah saja. Langkahnya perlahan tak tentu arah, pandangannya menerawang ke
bukit seberang. Alangkah hijaunya bukit di
Sungguh ingin Aliya menjelma menjadi burung, meraih
kebebasannya sendiri, keluar dari sangkar yang selama ini mengekang bak penjara.
Ia ingin berbagi cerita tentang segala yang ia rasa, akan tetapi siapa pula yang
berkenan mendengarkan?
Lembut hembusan angin menyapu kulit
seiring sang surya yang kian tergelincir di barat. Aliya duduk memeluk lutut di
bawah cemara kipas, tatapannya masih terpaku pada merpati-merpati kelabu yang
kini terbang berputar-putar membentuk formasi di atas bukit seberang. Lantas
sayup di dengarnya
suara angin berbisik, “Ambil secarik kertas dari tasmu... Jangan ragu untuk
tuangkan perasaanmu ke dalam kertas itu...”
Meresapi bisikan angin yang turun ke
kalbu, Aliya pun mulai menulis. Digoreskannya pensil ke kertas, dicurahkannya
segenap rasa yang menumpuk di dasar jiwa. Tentang kegelisahan yang melanda
ketika ia bingung mencari cara untuk membuat senyum terkembang di bibir
orang-orang di sekitarnya,
tentang keinginan untuk meningkatkan semangat belajar
serta prestasi di sekolah, tentang keinginan untuk mempererat persahabatan
dengan teman-temannya, dan
keinginan untuk berbakti kepada keluarga.
Ditulisnya segala detail tentang
dirinya sendiri.
Hobi untuk berekspresi tanpa tahu bagaimana mengungkapkan
ekspresi tersebut,
rasa penat yang sering kali
menjadi penghalang untuk berkarya, tak lupa target-target yang ingin ia
wujudkan di masa mendatang.
Dalam sekejap, Aliya merasakan beban
berat itu sudah tak lagi menggelayuti bahunya. Aliya merasa ringan dan lega,
puas membaca tulisannya yang kini memenuhi permukaan beberapa lembar kertas. Ia
mengetahui jawaban atas pertanyaannya sendiri, tentang cara untuk berekspresi. Ya,
dengan menulis. Melalui tulisan, Aliya percaya ia bisa terbang bebas meski tanpa
sayap di punggungnya. Petang itu, ketika mentari sudah kembali ke peraduannya,
justru senyum cerah menghias wajah Aliya. Damai terasa di hatinya kala ia
menyadari makna sebuah frase, keajaiban menulis, telah menyentuhnya.
***
Biodata Penulis
Menyandang nama Aliyah Sekar Ayu dan
lahir pada 22 September, itulah saya. Beralamat di Rotowijayan KP II No. 10 B,
Kadipaten, Kraton,
Mengapa
Menulis?
Menulis itu nyaman, damai, dan tenang. Tulisan itu
sebuah keindahan, sebuah seni, sebuah hiburan, sebuah keajaiban, karena dari
tulisan kita bisa menciptakan buku untuk para pembaca. Dengan
buku,
kita bisa memberikan informasi bagi para orang yang haus ilmu. Dengan
ilmu kita bisa melakukan sesuatu, dan dengan itu semua, kita semakin pandai
memanfaatkan ilmu yang kita dapat sesuai dengan bidang dan kemampuan
masing-masing.
Coba sejenak kita bayangkan bagaimana
jika tidak ada tulisan,
jika tidak ada sebuah buku, tidak ada informasi tentang hal yang tidak kita diketahui, tidak ada ilmu
yang bisa kita nikmati, bagaimana jadinya dunia ini? Ilmu adalah sebuah kenikmatan untuk kehidupan kita,
ilmu merupakan pelajaran secara teori untuk menjalani kehidupan (untuk bekerja,
untuk berusaha, untuk maju,
dan berkembang).
Bagi pembaca yang haus akan ilmu,
tulisan merupakan makanan yang harus ia temui setiap harinya untuk menambah
wawasan dan pengetahuan, dan bagi penulis menulis merupakan napas, nadi, darah yang
mengalir, serta hidup dan mati mereka. Penulis sangat menikmati di saat mereka berpikir
untuk membuat tulisan yang bermanfaat, sedangkan pembaca yang haus ilmu sangat
menikmati dengan penuh penghayatan ketika ilmu hadir di hadapan mereka.
Jadi, menulis itu merupakan sebuah
proses yang dapat menciptakan sebuah keajaiban besar, karya besar, bahkan pengetahuan yang
besar. Dan kita harus berterima kasih pula untuk para penulis yang bersedia
memberikan informasi
dan ilmu yang diberikan oleh tuhan untuk dapat kita nikmati bersama.
Ayo! Mulai
sekarang kita harus semangat menulis dan semangat membaca agar
kita bisa mendapatkan sebuah keajaiban dari ilmu yang bisa kita dapatkan.
Kanza,
Engkaulah Keajaibanku
Oleh: Aina Sofia
Ketika semua kata tak bisa lagi
terucap,
ketika semua tanya tak lagi terjawab, maka,
semua rasa pun tak bisa terungkap,
hanya bisa terpendam dalam hati. Serasa ingin
menyeruak, tapi apa daya, raga tak mampu. Rasa ini semakin terenyuh, semakin
terperosok dalam kelamnya hati. Ingin berteriak tapi tak mampu, ingin bercerita
tapi tak ada yang mendengar. Semakin terpuruk, semakin terasa sendiri, hanya berteman
sepi, dan
hati pun menangis.
Tak
adakah yang ingin mendengar? Keluhku. Ingin kumarah,
tapi pada siapa. Pada sepikah atau pada malam penghantar pilu? Entahlah, aku
tak tahu. Aku tak butuh seseorang dengan motivasi yang hebat tapi tak mendengar
dengan baik.
Yang aku butuhkan hanyalah pendengar yang baik, tapi tak kutemukan dalam
kesendirianku dan
dalam kegelapan malamku. Ketika tak seorang pun sadar akan kehadiranku, akan
rasa dalam hati ini,
kucari tempat untuk mengadu selain kepada-Nya tentu
saja. Ya, akhirnya kutemukan juga tempat pelabuhan hatiku, tempat mencurahkan
isi hatiku,
mendengar keluh kesahku, dan menjadi
pendengar yang baik.
Dia adalah Kanza, panggilan sayangku
kepadanya. Ia dengan tulus mendengar
kisahku yang tak hanya penuh tawa,
tapi terkadang derai air mata. Dia merelakan aku menorehkan tinta hitam di
tubuhnya yang penuh warna. Dengannya aku bisa menceritakan segala isi hatiku
yang tak semua orang tahu,
bahkan orang-orang terdekatku. Dialah buku diary-ku yang telah menemaniku
selama bertahun-tahun, yang telah melihatku tumbuh dan berkembang dari anak
kecil, remaja,
bahkan dewasa.
Ya,
sejak itu aku mulai rajin,
bahkan sangat rajin berbagi cerita dengannya. Dengannya aku berbagi tawa, duka, bahkan impian. Ia yang
melatihku merangkai kata demi kata menjadi kalimat penuh makna, bahkan terkadang dalam
berbahasa asing. Ia yang menjadi saksi ketika aku membawa piala
kemenangan atas pidato Bahasa Inggris yang merupakan awal dari impianku.
Mungkin semua ini telah ditentukan Tuhan. Karena
dengan menulis,
keinginan, harapan,
dan impian-impianku, semakin termotivasi untukku menggapainya. Walau
terkadang jatuh,
tapi aku tak ingin menyerah, aku ingin segera bangkit dan maju lagi. Kalimat
favoritku ada pada halaman pertama Kanza, yakni “Jangan menyerah sebelum
berperang.”
Itulah yang dikatakan ayah padaku, tulisan itu tidak hanya tertulis pada Kanza, tapi juga pada hatiku.
Kanza, engkaulah keajaibanku.
Mengukir Perbekalan
Oleh: Bidadari Azzam
Orangtua dan para guru yang
mendidikku senantiasa mengingatkan sebuah hadits Rasul-Nya tentang amal manusia
yang tidak terputus setelah kematian, yaitu sedekah jariyah, ilmu nan
bermanfaat,
dan anak-anak saleh
yang mendoakan kita. Setiap tulisan merupakan buah pikiran, untaian doa,
percakapan kalbu, lukisan diri, perjalanan sejarah dalam tiap episode
kehidupan, yang di dalamnya tergores ragam hikmah dan penyampaian ilmu
pengetahuan. Sehingga karya-karya pejuang pena merupakan salah satu usaha
mengukir perbekalan. Dunia hanya tempat kita memungut bekal, bukan?
Salah satu sahabat blogger dan beberapa teman dekat yang berada dalam kenikmatan
‘ikhlas diri’ saat menghadapi kanker, di penghujung hidup mereka tersenyum,
merasa sangat sehat dengan rampungnya tulisan, meskipun hanya selembar surat,
secuil blog, atau beberapa halaman
buku. Karena kunci sehat lahir dan batin adalah semangat, saat berbagi
kebahagiaan dan menularkan inspirasi bagi sesama.
Suatu hari aku bersujud, menumpahkan
rasa syukur atas segala skenario-Nya. Bahagia diri ini, kuterima email-email persahabatan yang salah
satunya mengatakan, “Terima kasih, teman, setelah membaca artikelmu, saya
menjadi malu kepada Sang Pencipta. Saya harus bertaubat, semoga saya kuat dan
teguh dalam mendekap hidayah-Nya…” Potongan kalimat nan membuatku kian gembira,
sebab Allah melimpahkan ganjaran yang besar bagi insan yang menjadi wasilah
kebaikan seseorang. Tulisan adalah butir-butir permata nan kita bawa sebagai
bekal di akhirat kelak, Insya Allah.
Marilah kita turut ilmu padi, kian berisi, kian
merunduk, fokus memperbaiki diri. Kuharapkan semoga tekad dan prinsipku tetap
hadir dalam jiwa, bahwa bagiku, menulis itu dengan hati, dianalisa oleh semua
indra, tak bisa direkayasa, tak boleh terburu-buru pula. Menulis itu adalah
mengukir tanda cinta pada-Nya, mengharapkan apa-apa yang menjadi tulisan adalah
cambuk motivasi diri sendiri dan dihitung-Nya sebagai amal jariyah.
Krakow,
Poland. 5:18pm.11/10/2012