Di senja yang damai kupandangi pepohonan depan rumah
mbak Faiq yang indah sekali, pepohonan yang berderet rapi seperti tangga yang
berundak. Keindahan tersebut dapat di pancarkan dari aura-aura pohon kopi,
randu, mahoni, jati dan sangon yang membuat tentram masyarakatnya. Rumah
masyarakat yang berderet dan berundak dengan tak ada jarak satu meter sama lain
membuat mereka semakin rukun, bahkan tak ada cerai berai. Jiwa desa Karang sini
sangatlah jernih seperti beningnya mata air yang mengalir dari tingginya
bebatuan yang menjadi penopang kehidupan mereka selamanya. Banyak keindahan
yang dapat ditemukan di desa ini secara jiwa dan raganya, seperti alam dongeng
dengan penduduk yang baik hati bahkan seperti lukisan-lukisan yang yang telah
digores oleh seorang maestro, semuanya ada di sini.
Tiba-tiba ada suara yang memecahkan rasa kagum ini
“Hai, kamu sedang apa? Diluar dingin, ayo masuk”,
minta mas Aan.
“Iya mas, lagi menikmati pemandangan gunung aja,
maklum saya dari pesisir jadi jarang-jarang melihat pemandangan seperti ini”,
jawabku.
“Sering-sering saja main kesini, nanti tak ajak untuk
memanen kopi di alas Gede. Kalau puasa naik ke gunung mengasyikan lho, sampe
gak kerasa puasanya, pulang ke rumah langsung buka ”, katanya.
“Di sini ada hutanya mas?? Wah enak tuh, kapan-kapan
saya diajak main ke alas kopinya ya”, pintaku.
“Beres, yang penting sering-sering aja main ke sini.
Besok kalau pulang hati-hati ya”, sahutnya.
Akupun mengangguk. Mas Aan menarik tanganku dengan
cepat agar cepat masuk rumah, maklum udara di luar dingin sedingin es salju di
kutub.
“Nanti kalau kamu di luar terus, bisa sakit, kan yang
repot aku juga. Huft,,,”, celotehnya mulai keluar.
“Iya iya, dasar mas ku yang bawel”, balasku.
Hujan pun turun kembali, dinginnya udara di rumah
menjadi kehangatan keluarga yang bersorak ria. Kulihat keponakanku yang mulai
belajar berjalan setapak demi setapak kemudian jatuh.
“Ayo, dek mimang. Berdiri,berjalan. Ayo, ayo, ayo “,
mbak Faiq memberi semangat anaknya.
“Ayo , jalan, jangan berdiri terus”, Bude menambahkan
semangatya.
“Mas Aan, jangan pegangin adek tho, biar bisa berjalan
sendiri”, kataku.
Mas Aan pun menjawab
dengan anggukan.
@@@
Senja semakin memerah. Seisi rumah telah bersiap
dimeja makan untuk buka. Adzan pun mulai terdengar.
Allahu Akbar, Allahu Akbar,,,
“Alhamdulillahhh”, terdengar seisi rumah mengucapkan
tanda buka puasa.
“Ayo, di minum takjilnya”, kata bude.
“ Iya, bude”, jawabku.
Kita pun buka bersama dengan keluarga. Nikmat sekali,
apalagi ada tetangga Mbah Sani yang lagi main. Beliau suka melucu. Setiap apa yang
dikatakan selalu membuat orang tersenyum kecil bahkan tertawa
terpingkal-pingkal. Buka bersamapun diakhiri dengan sholat magrib berjamaah.
“Nid, nanti ikut tarawih di musola ya,” minta Bude.
“Hehehe, bagaimana ya Bude? Sholatnya cepet apa
lambat, Bude?”, tanyaku polos.
“ Aduh, aduh, cepet kok nik”, Bude tersenyum kecil.
Adzan isya’pun berkumandang. Para penduduk
berbondong-bondong ke mushola untuk melakukan sholat tarawih pada malam 27
ramadhan. Ya ramai sekali, berharap malam lailatul qadar jatuh pada malam
ganjil ini. Para tetangga yang bertemu pada bersalaman satu sama lain.
Sholatku kali ini memang berbeda karena berada di desa
Karang yang penuh kedamaian. Kami melaksanakn sholatnya dengan khusuk. Para
jamaah penuh dari shof pertama sampai belakang sampai menyesaki ruangan musola.
Tak ketinggalan anak kecil juga meramaikan masjid ini. Bacaan imamnya merdu
namun cepat yang membuat hatiku berbunga indah karena kita akan cepat pulang.
Hehehe
“Assalamua’alaikum warahmatullah”, imam menoleh dengan
salam yang diikuti oleh jamaahnya.
Setelah bersalaman dengan kanan kiri depan belakang,
imam melanjutkan dengan doa dan jamaah mengamininya. Setelah jamaah usai kita
pun meningglkan masjid.
@@@
Kini telah sampai kamarnya Mas Aan tempat tidurku,
kamarnya sepupuku. Dia selau mengalah untuk tidur diluar ketika aku datang
kesana. Biasanya tidur di depan Tv ataupun sofa ruang tamu.
“Bismillahirrahmanirrahiim”, aku memulai mengaji.
“Tabarakal ladzi,,,”, aku mengaji pada surat al-Mulk.
“Shodaqallul’adhiim”, aku mengakhiirinya.
Tiba-tiba aku baca sms dari Mbak Widya yang berisi
bahwa besok Mbah akan disidang di Balai Desa. Aku sangat kaget ketika
membacanya. Akhirnya keputusanku bulat untuk pulang. Jam dinding kamar
menunjukan waktu pukul 01.00 WIB, namun aku pun tak bisa tidur. Pusing dan
pening sedang aku rasa bersama suasana larut dinginnya malam tingkat dewa.
Panggilan alam untuk ke kamar kecil sedang aku rasa, tapi selalu aku tahan. Aku
keluar kamar dan ingin mencoba untuk ke kamar kecil, tapi akhirnya tidak jadi.
Selalu bolak balik dari kamar tidur ke kamar kecil, namun tidak jadi juga
karena dinginnya air yang tercium aromanya seperti es di kulkas. Hrrrr,
dingin,,,
“Ngapain kamu bolak balik tidak jelas begitu?”, tanya
Mas Aan.
“Pengen ke kamar kecil, tapi takut dingin”, jawabku.
“ Hahaha, sana ke kamar kecil dulu. Ntar tak buatkan
wedang panas sebagai penetralisir rasa dinginnya”, katanya.
“Hehehe, iya makasih.”, jawabku malu.
Aku ke kamar kecil, ketika menyentuh airnya dingin
banget. Cepat-cepat aku keluar dan berlari. Bener, dingin banget. Sampai di
ruang tengah, aku rebut selimut yang dipakai mas Aan.
“Sumpah mas, dingin banget”, kataku.
“Bentar ya, tak buatin wedang dulu”, katanya yang ku
jawab dengan anggukan.
Tak sampai 5 menit wedangnya pun jadi. Mas Aan mencoba
menyodorkan wedang panas kepadaku.
“Hati-hati, wedang
jahenya panas. Rasanya pasti hangat di badan, karena tadi jahenya sudah
taku bakar”,katanya.
“Iya, makasih”, aku seduh wedangnya perlahan.
“Minum sampai habis wedangnya, itu membuat badan kamu menjadi
hangat dan membantu agar besok lebih fit”, katanya.
“Ada madunya ya, mas?”, tanyaku.
“Iya”, jawabnya singkat.
Setelah habis aku minum wedang jahenya, aku kembali ke
kamar dan tertidur pulas bersama selimut tebal.
Pukul menunjukan 03.30 WIB. Aku dibangunkan Mbak Faiq
untuk sholat dan sahur. Ternyata Mbak Faiq telah mengetahui kasus Mbah Sairah
yang akan disidang di Balai Desa.
“Nanti kalau kamu pulang salam buat Bapak, Ibu, Lek
dan Mbah Sairah ya”, kata Mbak Faiq.
“Iya, Mbak. Aku juga ingin tahu keadaan mereka di
sana.”, kataku.
Semoga
mereka dapat hidayah dari Allah, sehingga tidak mengganggu keluarga kita lagi”,
harap Mbak Faiq.
“Amiin ya Rabbal’alamiin”, balasku.
@@@
Mentari pagi telah bersinar melalui celah diantara
pepohonan yang tertancap di gunung. Bulan puasa tak menyurutkan mereka untuk
selalu bekerja dengan keahlian masing-masing. Para penduduk telah berbondong
sana sini untuk pergi ke ladang ataupun ke kebun miliknya.
“Kamu udah siap?,”tanya Mbak Faiq melihat aku yang
berpakaian rapi dengan tas ransel.
“Siap, pamit pulang ya Mbak?”, pamitku
“iya, hati-hati”, sahutnya.
Aku bergegas mengambil motor dan menghidupkannya. Aku
menelusuri jalanan warga yang menanjak dan berliku. Ini belum seberapa, keluar
dari jalan warga akan melewati jalan sebenarnya, yaitu jalan yang berbelok
seperti ular, menanjak curam kira-kira dengan ketajaman sudut 450
dan apabila kita lalai sedikit bisa berakibat fatal, terperosok jurang yang
indah.
Melewati jalan bebatuan dan terjal sedah menjadi
bagian hidup mereka dan tak akan terasa karena disuguhi dengan keindahan
alamnya. Akan terpampang pesona ciptaan Allah yang maha indah, sungai yang
jernih dengan berbagai warna: bening, hijau, merah dan coklat, bunga-bunga yang
menghiasi tebing-tebing pegunungan dengan liarnya, dan pepohonan yang belum
terjamah oleh tangan manusia. Sekitar membutuhkan 2-3 jam untuk sampai rumah.
“Assalamu’laikum”, kataku.
“Wa’alaikumsalam”, jawab Mbak Widya.
“Mbak, bagaimana dengan sidangnya si Mbah? Mbak mau
kemana?. Kok rapi bener?”,tanyaku bertubi-tubi.
“Sidangnya Mbah dibatalkan. Besok baru diadakan
kembali. Mbak mau pergi ke Balai Desa, akan bicara sama Kepala Desanya. Awas
saja kalau macem-macem sama Mbah, temen-temen kampus akan aku ajak demo kesini.
Mentang-mentang orang kecil, kita diremehin”, tegasnya.
“Oh, begitiu tho. Aku ikut mbak”, pintaku.
“Ayo, cepat! Bonceng dibelakang”,balasnya.
Dalam hati aku sangat bersyukur karena akan ada titik
keadilan yang membuat Mbah sairah terbukti tidak bersalah.
@@@
Sesampainya di ruang Kepala Desa, Mbak Widya
mengatakan bahwa jika Mbah saya dinyatakan bersalah karena permainan hukum ini,
saya akan membuat nama Bapak tercemar di masyarakat desa bahkan akan masuk di
koran berita.
“ Assalamu’alaikum”, salam Mbak Widya masuk ke
ruangan.
“Wa’alaikumsalam, silahkan masuk Mbak. Sampaikan
keperluannya secara cepat ya
Mbak. Saya ada acara yang telah menunggu”, kata Pak Handoko yang ingin
menghindar dari kita.
“Ok, Pak. Saya akan to the ponit saja ke
permasalahanya. Begini, dari analisis saya berdasarkan saksi dari warga sekitar
menyatakan bahwa Mbah Sairah tidak bersalah. Saya punya bukti rekamannya”,ujar
Mbak Widya dengan tegas.
“Maaf ya Mbak, bukan begitu. Berdasarkan laporan yang
saya terima dari warga bahwa Mbah Sairah salah karena menjual pohon randu yang
berada dalam kepemilikan tanah desa”, tangkasnya.
“Maaf ya Pak, Bapak jangan memandang
masalah dengan sebelah mata saja.apa karena yang melapor masih ada ikatan
saudara Bapak, sehingga Bapak membenarkannya?”, tungkasnya.
“Zaman dulu, Mbah Parto suaminya Mbah Sairah yang
menanam pohon di tanah milik desa. Begitu pun juga dengan warga lainnya. Mereka
menanam pohon di tanah milik desa. Setelah pohon besar, para warga menjual
pohon randu yang ditanamnya kepada orang lain. Tak ada masalah, semua baik-baik
saja. Tapi kenapa giliran Mbah Sairah yang menjual pohon yang di tanam suaminya
dipermasalahkan? Apa karena si Jastro, saudara bapak mau menjual pohon tersebut
tidak bisa karena yang menanam adalah mbah saya? Terus dipermasalahkan dengan alasan pohon
randu yang berada di tanah milik desa adalah hak pemerintah desa?. Maaf ya pak,
alasan tersebut tidak logis, karena banyak warga desa yang mendukung kami”,
ujarnya.
“Bapak Handoko yang terhormat, jika keadilan ini tidak
ditegakkan. Saya akan membuat nama pemerintahan disini tercemar di masyarakat,
surat kabar bahkan akan sampai kabupaten”, tambah mbak widya.
“Baiklah mbak, kita liat saja besok. Saya pergi dulu
ada acara yang telah menunggu”, kata Pak Handoko.
Aku menghela napas di samping tempat duduk Mbak Widya.
Terngiang-ngiang pembicaraan mereka berdua dalam benakku. Akhirnya kitapun
pulang.
@@@
Malam yang sunyi dalam paduan suara jangkrik tengah
sawah memandu suasana kali ini. Iramanya menemani suasana hati kita sekeluarga.
“Gimana kak, sudah siapkah besok dalam persidangan?”,
tanya Mbak Widya dalam telpon kepada orang sebrang.
“Siap Wid, gimana dengan keadaan Mbah?”, tanya Mas
Sutris.
“Mbah baru sholat, pengacara dan temen polisi mas
sudah disiapkan”, balas Mbak Widya.
“Sudah. Kata mereka mbah akan mendapatkan keadilan
sesungguhnya karena Mbah tidak bersalah”, ujar Mas Sutris
“Bagus, Mbah akan terbukti tidak bersalah karena kita
sudah punya saksinya. Terimakasih Mas”, kata Mbak Widya.
“Ok, sama-sama, Wid”, balasnya.
“Assalamu’alaikum, permisi”, ada suara di depan pintu.
Widya segera membukakannya.
“Wa’alaikumsalam”, jawab Widya.
“Dimana Mbahmu Wid, keadaanya bagaimana?”, tanya
beliau.
“Alhamdulillah,
begitulah Mbah”, kata Widya.
“Begini lho Wid, kemarin sebelum Mbah mu mau menjual
pohon randu itu, Pak Jastro itu menawarkan bahwa pohon randu maudijual
kepadaku. Tapi aku menolak karena aku tahu yang menanam pohon tersebut adalah
suaminya Mbah Sairah, maka aku gak mau Wid. Karena penolakannku kepada Jastro
malah membuatnya menjadi marah dan mempermasalahkannya”, jelas Pak Paidi.
“Oh begitu ya Mbah Paidi”, jawabnya
“Hm hm hm, kalau begitu saya minta tolong kapada Mbah
Paidi agar besedia menjadi saksi besok pagi ya. Dan Mbah Paidi jangan khawatir,
keselamatan mbah paidi beserta keluarga akan terjamin”, Mbak Widya
meyakinkannya.
“Baiklah, saya bersedia Wid. Aku sudah muak dengan
orang-orang tamak seperti si Jastro beserta kawannya”, balas Pak Paidi.
“Iya mbah, saya sudah persiapkan secara matang untung
melawan mereka semua. Berdoa dan usaha lahir batin akan menjadi kunci
kemenangan kita, Mbah”. Ujar Mbak Widya bersemangat.
“Mbak, saya dengar pak Ja’far temannya Pak Jastro
menjual kerbau-kerbaunya untuk membantu Pak Jastro membeli keadilan ya mbak?,”
tanyaku.
“Iya. Tapi lucu saja. Zaman sekarang, masa keadilan
masih dibeli? Lha ini zamannya keadilan ditegakkan kok. Bukan dibeli. Apalagi
belinya dengan kerbau???? Mana cukup. Hahaha”, jawab Mbak Widya puas.
“Iya ya, mana bisa ya keadilan dibeli. Apalagi
mahasiswa gak bisa disuap???. Siph siph”, kataku.
“Wid, Mbah pamit pulang dulu ya. Assalamu’alaikum”,
pamit Pak Paidi.
“Iya mbah, terimakasih bantuannya. Wa’alaikumsalam”,
balas Mbak Widya.
@@@
Pagi yang cerah di puasa terakhir ini memang sangat
istimewa karena keadilan akan diraih di hari kemenangan. Memang tak wajar,
peridangan pada har puasa terakhir. Tapi, karena si Jastro yang mendesak Kepala
Desa untuk melakukannya. Pukul 09.00 WIB
persidangan telah dibuka. Pak Kepala Desa membuka persidangan. Pak kepala desa
menanyakan kepada si Jastro mengenai permasalahannya.
“Pak Jastro, bagaimana permasalahan sesungguhnya?”,
tanyanya.
“ Mbah Sairah telah menjual pohon randu yang berada di
tanah milik desa”, tegasnya.
“Benar begitu Mbah Sairah?”, tanyanya kepada Mbah
Sairah.
“Benar Pak”, jawabnya singkat.
“Benar kan? Pohon-pohon yang berada di tanah milik
pemerintahan adalah milik pemerintah karena tidak ada bukti sertifikat ataupun
beukti lainnya yang kuat”, Jastro tersenyum menang.
“Maaf Pak Kepala Desa, berdasarkan perkataan Pak
Jastro yang kita dengar tadi, jika pohon tersebut milik pemerintah karena
ditanam diatas tanah pemarintah desa, berarti Pak Jastro sudah mengetahui kalau
pohon tersebut tidak boleh dijual? Selanjutnya mengapa Pak Jastro sendiri yang
akan menjual nya kepada Pak Paidi?”, jelas Pengacara Kim.
“Benar begitu Pak Jastro?”, tanya Kepala Desa.
“I..iya pak. Tapi bukti dari perkataan Pak Pengacara
Kim apa? Belum ada buktinya.”,tangkasnya.
“Oh begitu, jika Pak Jastro masih mau mengelak, saya
hadirkan saksi dari keluarga Mbah Sairah. Pak Paidi, silahkan masuk”,ucap
Pengacara Kim.
Pak jastro kelimpungan ketika Pak Paidi memasuki
ruangan persidangan. Pak Paidi duduk di samping Mbah Sairah sebagai saksi.
“Tenang Mbah, saya akan menjadi saksi yang baik”,
bisik Mbah Paidi kepada Mbah Sairah yang dibalas dengan anggukan.
“Pak Paidi, bisa diceritakan apa yang dilakukan Pak
Jastro kepada Pak Paidi?”,tanya Pak Handoko.
“Pak Handoko yang terhormat. Satu minggu sebelum Pak
Jastro melaporkan perkara ini ke Balai Desa, beliau telah menawarkan pohon
randu yang akan dijualnya kepada saya. Ternyata pohon tersebut milik Mbah
Sairah karena yang menanam adalah suami dari beliau”, jelas Pak Paidi.
“ Bapak Ibu yang terhormat, telah jelas perkara hari
ini. Saya selaku kepala desa memutuskan bahwa Pak Jastro yang bersalah dan Mbah
Sairah boleh menjual pohon randunya”, tegas Pak Handoko memutuskan hasil
persidangan.
“Alhamdulillah”,
teriak semua orang yang berada di dalam dan luar ruangan.
“Terimakasih atas perhatian Bapak Ibu semua, semoga
desa kita menjadi lebih baik untuk ke depan”, tutup Pak Handoko mengakhiri
persidangan dengan bersalaman kepada orang-oranng yang berada pada ruangan
tersebut.
Sementara Pak Jastro pergi begitu saja meninggalkan
ruangan. Teman-teman Mbak Widya yang berada diluar ruangan menyambut dengan
sorak gembira. Mbak Widya bersalaman dengan semua teman-temannya.Mbah Sairah
dan warga mulai meninggalkan ruangan bersiap menyambut malam kemenangan.
@@@
“Allahuakbar..
Allahuakbar… Walillahilham”, suara takbir telah berkumandang di surau maupun
masjid. Suara beduk yang berirama pun mengiringinya. Malam yang terasa indah
dan damai dalam menyambut hari kemenangan. Senyum Mbah Sairah kini cerah,
setelah pohonnya mendapatkan keadilan di hari kemenangan yang suci.
TAMAT
Mas:
panggilan untuk kakak laki-laki.
Mbak:
panggilan untuk kakak perempuan.
Mbah:
panggilan untuk kakek/nenek.
Lek:
pamggilan untuk paman/bibi.
Alas:
hutan.
terbit di Afsoh Publisher - 2013
Penulis merupakan peserta workshop menulis dan menerbitkan Buku - Afsoh Publisher
tulisan dalam Antologi ini :
Awal Kuliah di Unnes
BIODATA
Nama
lengkap : Ninik Efi Mulyani
Nama
Panggilan : Ninik
Tempat,
tanggal lahir : Kudus, 04 Mei 1994
Alamat
rumah : Ds. Bulungkulon rt:08,
rw:06, Jekulo, Kudus
Alamat
kos : Griya Indopermai
Email : nnk689@gmail.com
Facebook : Ninik Efi Mulyani
Hobi : jalan-jalan
Motto hidup :percayalah bahwa doa dan usaha dapat mengubah
takdirmu.