-->

Keadilan untuk Pohon Randu

| 6:10 AM |


Di senja yang damai kupandangi pepohonan depan rumah mbak Faiq yang indah sekali, pepohonan yang berderet rapi seperti tangga yang berundak. Keindahan tersebut dapat di pancarkan dari aura-aura pohon kopi, randu, mahoni, jati dan sangon yang membuat tentram masyarakatnya. Rumah masyarakat yang berderet dan berundak dengan tak ada jarak satu meter sama lain membuat mereka semakin rukun, bahkan tak ada cerai berai. Jiwa desa Karang sini sangatlah jernih seperti beningnya mata air yang mengalir dari tingginya bebatuan yang menjadi penopang kehidupan mereka selamanya. Banyak keindahan yang dapat ditemukan di desa ini secara jiwa dan raganya, seperti alam dongeng dengan penduduk yang baik hati bahkan seperti lukisan-lukisan yang yang telah digores oleh seorang maestro, semuanya ada di sini.

Tiba-tiba ada suara yang memecahkan rasa kagum ini

“Hai, kamu sedang apa? Diluar dingin, ayo masuk”, minta mas Aan.

“Iya mas, lagi menikmati pemandangan gunung aja, maklum saya dari pesisir jadi jarang-jarang melihat pemandangan seperti ini”, jawabku.

“Sering-sering saja main kesini, nanti tak ajak untuk memanen kopi di alas Gede. Kalau puasa naik ke gunung mengasyikan lho, sampe gak kerasa puasanya, pulang ke rumah langsung buka ”, katanya.

“Di sini ada hutanya mas?? Wah enak tuh, kapan-kapan saya diajak main ke alas kopinya ya”, pintaku.

“Beres, yang penting sering-sering aja main ke sini. Besok kalau pulang hati-hati ya”, sahutnya.

Akupun mengangguk. Mas Aan menarik tanganku dengan cepat agar cepat masuk rumah, maklum udara di luar dingin sedingin es salju di kutub.

“Nanti kalau kamu di luar terus, bisa sakit, kan yang repot aku juga. Huft,,,”, celotehnya mulai keluar.

“Iya iya, dasar mas ku yang bawel”, balasku.

Hujan pun turun kembali, dinginnya udara di rumah menjadi kehangatan keluarga yang bersorak ria. Kulihat keponakanku yang mulai belajar berjalan setapak demi setapak kemudian jatuh.

“Ayo, dek mimang. Berdiri,berjalan. Ayo, ayo, ayo “, mbak Faiq memberi semangat anaknya.

“Ayo , jalan, jangan berdiri terus”, Bude menambahkan semangatya.

“Mas Aan, jangan pegangin adek tho, biar bisa berjalan sendiri”, kataku.

Mas Aan pun menjawab dengan anggukan.

@@@

Senja semakin memerah. Seisi rumah telah bersiap dimeja makan untuk buka. Adzan pun mulai terdengar.

Allahu Akbar, Allahu Akbar,,,

“Alhamdulillahhh”, terdengar seisi rumah mengucapkan tanda buka puasa.

“Ayo, di minum takjilnya”, kata bude.

“ Iya, bude”, jawabku.

Kita pun buka bersama dengan keluarga. Nikmat sekali, apalagi ada tetangga Mbah Sani yang lagi main. Beliau suka melucu. Setiap apa yang dikatakan selalu membuat orang tersenyum kecil bahkan tertawa terpingkal-pingkal. Buka bersamapun diakhiri dengan sholat magrib berjamaah.

“Nid, nanti ikut tarawih di musola ya,” minta Bude.

“Hehehe, bagaimana ya Bude? Sholatnya cepet apa lambat, Bude?”, tanyaku polos.

“ Aduh, aduh, cepet kok nik”, Bude tersenyum kecil.

Adzan isya’pun berkumandang. Para penduduk berbondong-bondong ke mushola untuk melakukan sholat tarawih pada malam 27 ramadhan. Ya ramai sekali, berharap malam lailatul qadar jatuh pada malam ganjil ini. Para tetangga yang bertemu pada bersalaman satu sama lain.

Sholatku kali ini memang berbeda karena berada di desa Karang yang penuh kedamaian. Kami melaksanakn sholatnya dengan khusuk. Para jamaah penuh dari shof pertama sampai belakang sampai menyesaki ruangan musola. Tak ketinggalan anak kecil juga meramaikan masjid ini. Bacaan imamnya merdu namun cepat yang membuat hatiku berbunga indah karena kita akan cepat pulang. Hehehe

“Assalamua’alaikum warahmatullah”, imam menoleh dengan salam yang diikuti oleh jamaahnya.

Setelah bersalaman dengan kanan kiri depan belakang, imam melanjutkan dengan doa dan jamaah mengamininya. Setelah jamaah usai kita pun meningglkan masjid.

@@@

Kini telah sampai kamarnya Mas Aan tempat tidurku, kamarnya sepupuku. Dia selau mengalah untuk tidur diluar ketika aku datang kesana. Biasanya tidur di depan Tv ataupun sofa ruang tamu.

“Bismillahirrahmanirrahiim”, aku memulai mengaji.

“Tabarakal ladzi,,,”, aku mengaji pada surat al-Mulk.

“Shodaqallul’adhiim”, aku mengakhiirinya.

Tiba-tiba aku baca sms dari Mbak Widya yang berisi bahwa besok Mbah akan disidang di Balai Desa. Aku sangat kaget ketika membacanya. Akhirnya keputusanku bulat untuk pulang. Jam dinding kamar menunjukan waktu pukul 01.00 WIB, namun aku pun tak bisa tidur. Pusing dan pening sedang aku rasa bersama suasana larut dinginnya malam tingkat dewa. Panggilan alam untuk ke kamar kecil sedang aku rasa, tapi selalu aku tahan. Aku keluar kamar dan ingin mencoba untuk ke kamar kecil, tapi akhirnya tidak jadi. Selalu bolak balik dari kamar tidur ke kamar kecil, namun tidak jadi juga karena dinginnya air yang tercium aromanya seperti es di kulkas. Hrrrr, dingin,,,

“Ngapain kamu bolak balik tidak jelas begitu?”, tanya Mas Aan.

“Pengen ke kamar kecil, tapi takut dingin”, jawabku.

“ Hahaha, sana ke kamar kecil dulu. Ntar tak buatkan wedang panas sebagai penetralisir rasa dinginnya”, katanya.

“Hehehe, iya makasih.”, jawabku malu.

Aku ke kamar kecil, ketika menyentuh airnya dingin banget. Cepat-cepat aku keluar dan berlari. Bener, dingin banget. Sampai di ruang tengah, aku rebut selimut yang dipakai mas Aan.

“Sumpah mas, dingin banget”, kataku.

“Bentar ya, tak buatin wedang dulu”, katanya yang ku jawab dengan anggukan.

Tak sampai 5 menit wedangnya pun jadi. Mas Aan mencoba menyodorkan wedang panas kepadaku.

“Hati-hati, wedang  jahenya panas. Rasanya pasti hangat di badan, karena tadi jahenya sudah taku bakar”,katanya.

“Iya, makasih”, aku seduh wedangnya perlahan.

“Minum sampai habis wedangnya, itu membuat badan kamu menjadi hangat dan membantu agar besok lebih fit”, katanya.

“Ada madunya ya, mas?”, tanyaku.

“Iya”, jawabnya singkat.

Setelah habis aku minum wedang jahenya, aku kembali ke kamar dan tertidur pulas bersama selimut tebal.

Pukul menunjukan 03.30 WIB. Aku dibangunkan Mbak Faiq untuk sholat dan sahur. Ternyata Mbak Faiq telah mengetahui kasus Mbah Sairah yang akan disidang di Balai Desa.

“Nanti kalau kamu pulang salam buat Bapak, Ibu, Lek dan Mbah Sairah ya”, kata Mbak Faiq.

“Iya, Mbak. Aku juga ingin tahu keadaan mereka di sana.”, kataku.

            Semoga mereka dapat hidayah dari Allah, sehingga tidak mengganggu keluarga kita lagi”, harap Mbak Faiq.

“Amiin ya Rabbal’alamiin”, balasku.

@@@

Mentari pagi telah bersinar melalui celah diantara pepohonan yang tertancap di gunung. Bulan puasa tak menyurutkan mereka untuk selalu bekerja dengan keahlian masing-masing. Para penduduk telah berbondong sana sini untuk pergi ke ladang ataupun ke kebun miliknya.

“Kamu udah siap?,”tanya Mbak Faiq melihat aku yang berpakaian rapi dengan tas ransel.

“Siap, pamit pulang ya Mbak?”, pamitku

“iya, hati-hati”, sahutnya.

Aku bergegas mengambil motor dan menghidupkannya. Aku menelusuri jalanan warga yang menanjak dan berliku. Ini belum seberapa, keluar dari jalan warga akan melewati jalan sebenarnya, yaitu jalan yang berbelok seperti ular, menanjak curam kira-kira dengan ketajaman sudut 450 dan apabila kita lalai sedikit bisa berakibat fatal, terperosok jurang yang indah.

Melewati jalan bebatuan dan terjal sedah menjadi bagian hidup mereka dan tak akan terasa karena disuguhi dengan keindahan alamnya. Akan terpampang pesona ciptaan Allah yang maha indah, sungai yang jernih dengan berbagai warna: bening, hijau, merah dan coklat, bunga-bunga yang menghiasi tebing-tebing pegunungan dengan liarnya, dan pepohonan yang belum terjamah oleh tangan manusia. Sekitar membutuhkan 2-3 jam untuk sampai rumah.

“Assalamu’laikum”, kataku.

“Wa’alaikumsalam”, jawab Mbak Widya.

“Mbak, bagaimana dengan sidangnya si Mbah? Mbak mau kemana?. Kok rapi bener?”,tanyaku bertubi-tubi.

“Sidangnya Mbah dibatalkan. Besok baru diadakan kembali. Mbak mau pergi ke Balai Desa, akan bicara sama Kepala Desanya. Awas saja kalau macem-macem sama Mbah, temen-temen kampus akan aku ajak demo kesini. Mentang-mentang orang kecil, kita diremehin”, tegasnya.

“Oh, begitiu tho. Aku ikut mbak”, pintaku.

“Ayo, cepat! Bonceng dibelakang”,balasnya.

Dalam hati aku sangat bersyukur karena akan ada titik keadilan yang membuat Mbah sairah terbukti tidak bersalah.

@@@

Sesampainya di ruang Kepala Desa, Mbak Widya mengatakan bahwa jika Mbah saya dinyatakan bersalah karena permainan hukum ini, saya akan membuat nama Bapak tercemar di masyarakat desa bahkan akan masuk di koran berita.

“ Assalamu’alaikum”, salam Mbak Widya masuk ke ruangan.

“Wa’alaikumsalam, silahkan masuk Mbak. Sampaikan keperluannya secara cepat ya           Mbak. Saya ada acara yang telah menunggu”, kata Pak Handoko yang ingin menghindar dari kita.

“Ok, Pak. Saya akan to the ponit saja ke permasalahanya. Begini, dari analisis saya berdasarkan saksi dari warga sekitar menyatakan bahwa Mbah Sairah tidak bersalah. Saya punya bukti rekamannya”,ujar Mbak Widya dengan tegas.

“Maaf ya Mbak, bukan begitu. Berdasarkan laporan yang saya terima dari warga bahwa Mbah Sairah salah karena menjual pohon randu yang berada dalam kepemilikan tanah desa”, tangkasnya.

“Maaf ya Pak, Bapak jangan memandang masalah dengan sebelah mata saja.apa karena yang melapor masih ada ikatan saudara Bapak, sehingga Bapak membenarkannya?”, tungkasnya.

“Zaman dulu, Mbah Parto suaminya Mbah Sairah yang menanam pohon di tanah milik desa. Begitu pun juga dengan warga lainnya. Mereka menanam pohon di tanah milik desa. Setelah pohon besar, para warga menjual pohon randu yang ditanamnya kepada orang lain. Tak ada masalah, semua baik-baik saja. Tapi kenapa giliran Mbah Sairah yang menjual pohon yang di tanam suaminya dipermasalahkan? Apa karena si Jastro, saudara bapak mau menjual pohon tersebut tidak bisa karena yang menanam adalah mbah saya?  Terus dipermasalahkan dengan alasan pohon randu yang berada di tanah milik desa adalah hak pemerintah desa?. Maaf ya pak, alasan tersebut tidak logis, karena banyak warga desa yang mendukung kami”, ujarnya.

“Bapak Handoko yang terhormat, jika keadilan ini tidak ditegakkan. Saya akan membuat nama pemerintahan disini tercemar di masyarakat, surat kabar bahkan akan sampai kabupaten”, tambah mbak widya.

“Baiklah mbak, kita liat saja besok. Saya pergi dulu ada acara yang telah menunggu”, kata Pak Handoko.

Aku menghela napas di samping tempat duduk Mbak Widya. Terngiang-ngiang pembicaraan mereka berdua dalam benakku. Akhirnya kitapun pulang.

@@@

Malam yang sunyi dalam paduan suara jangkrik tengah sawah memandu suasana kali ini. Iramanya menemani suasana hati kita sekeluarga.

“Gimana kak, sudah siapkah besok dalam persidangan?”, tanya Mbak Widya dalam telpon kepada orang sebrang.

“Siap Wid, gimana dengan keadaan Mbah?”, tanya Mas Sutris.

“Mbah baru sholat, pengacara dan temen polisi mas sudah disiapkan”, balas Mbak Widya.

“Sudah. Kata mereka mbah akan mendapatkan keadilan sesungguhnya karena Mbah tidak bersalah”, ujar Mas Sutris

“Bagus, Mbah akan terbukti tidak bersalah karena kita sudah punya saksinya. Terimakasih Mas”, kata Mbak Widya.

“Ok, sama-sama, Wid”, balasnya.

“Assalamu’alaikum, permisi”, ada suara di depan pintu. Widya segera membukakannya.

“Wa’alaikumsalam”, jawab Widya.

“Dimana Mbahmu Wid, keadaanya bagaimana?”, tanya beliau.

 “Alhamdulillah, begitulah Mbah”, kata Widya.

“Begini lho Wid, kemarin sebelum Mbah mu mau menjual pohon randu itu, Pak Jastro itu menawarkan bahwa pohon randu maudijual kepadaku. Tapi aku menolak karena aku tahu yang menanam pohon tersebut adalah suaminya Mbah Sairah, maka aku gak mau Wid. Karena penolakannku kepada Jastro malah membuatnya menjadi marah dan mempermasalahkannya”, jelas Pak Paidi.

“Oh begitu ya Mbah Paidi”, jawabnya

“Hm hm hm, kalau begitu saya minta tolong kapada Mbah Paidi agar besedia menjadi saksi besok pagi ya. Dan Mbah Paidi jangan khawatir, keselamatan mbah paidi beserta keluarga akan terjamin”, Mbak Widya meyakinkannya.

“Baiklah, saya bersedia Wid. Aku sudah muak dengan orang-orang tamak seperti si Jastro beserta kawannya”, balas Pak Paidi.

“Iya mbah, saya sudah persiapkan secara matang untung melawan mereka semua. Berdoa dan usaha lahir batin akan menjadi kunci kemenangan kita, Mbah”. Ujar Mbak Widya bersemangat.

“Mbak, saya dengar pak Ja’far temannya Pak Jastro menjual kerbau-kerbaunya untuk membantu Pak Jastro membeli keadilan ya mbak?,” tanyaku.

“Iya. Tapi lucu saja. Zaman sekarang, masa keadilan masih dibeli? Lha ini zamannya keadilan ditegakkan kok. Bukan dibeli. Apalagi belinya dengan kerbau???? Mana cukup. Hahaha”, jawab Mbak Widya puas.

“Iya ya, mana bisa ya keadilan dibeli. Apalagi mahasiswa gak bisa disuap???. Siph siph”, kataku.

“Wid, Mbah pamit pulang dulu ya. Assalamu’alaikum”, pamit Pak Paidi.

“Iya mbah, terimakasih bantuannya. Wa’alaikumsalam”, balas Mbak Widya.

@@@

Pagi yang cerah di puasa terakhir ini memang sangat istimewa karena keadilan akan diraih di hari kemenangan. Memang tak wajar, peridangan pada har puasa terakhir. Tapi, karena si Jastro yang mendesak Kepala Desa untuk melakukannya. Pukul  09.00 WIB persidangan telah dibuka. Pak Kepala Desa membuka persidangan. Pak kepala desa menanyakan kepada si Jastro mengenai permasalahannya.

“Pak Jastro, bagaimana permasalahan sesungguhnya?”, tanyanya.

“ Mbah Sairah telah menjual pohon randu yang berada di tanah milik desa”, tegasnya.

“Benar begitu Mbah Sairah?”, tanyanya kepada Mbah Sairah.
“Benar Pak”, jawabnya singkat.

“Benar kan? Pohon-pohon yang berada di tanah milik pemerintahan adalah milik pemerintah karena tidak ada bukti sertifikat ataupun beukti lainnya yang kuat”, Jastro tersenyum menang.

“Maaf Pak Kepala Desa, berdasarkan perkataan Pak Jastro yang kita dengar tadi, jika pohon tersebut milik pemerintah karena ditanam diatas tanah pemarintah desa, berarti Pak Jastro sudah mengetahui kalau pohon tersebut tidak boleh dijual? Selanjutnya mengapa Pak Jastro sendiri yang akan menjual nya kepada Pak Paidi?”, jelas Pengacara Kim.

“Benar begitu Pak Jastro?”, tanya Kepala Desa.

“I..iya pak. Tapi bukti dari perkataan Pak Pengacara Kim apa? Belum ada buktinya.”,tangkasnya.

“Oh begitu, jika Pak Jastro masih mau mengelak, saya hadirkan saksi dari keluarga Mbah Sairah. Pak Paidi, silahkan masuk”,ucap Pengacara Kim.

Pak jastro kelimpungan ketika Pak Paidi memasuki ruangan persidangan. Pak Paidi duduk di samping Mbah Sairah sebagai saksi.

“Tenang Mbah, saya akan menjadi saksi yang baik”, bisik Mbah Paidi kepada Mbah Sairah yang dibalas dengan anggukan.

“Pak Paidi, bisa diceritakan apa yang dilakukan Pak Jastro kepada Pak Paidi?”,tanya Pak Handoko.

“Pak Handoko yang terhormat. Satu minggu sebelum Pak Jastro melaporkan perkara ini ke Balai Desa, beliau telah menawarkan pohon randu yang akan dijualnya kepada saya. Ternyata pohon tersebut milik Mbah Sairah karena yang menanam adalah suami dari beliau”, jelas Pak Paidi.

“ Bapak Ibu yang terhormat, telah jelas perkara hari ini. Saya selaku kepala desa memutuskan bahwa Pak Jastro yang bersalah dan Mbah Sairah boleh menjual pohon randunya”, tegas Pak Handoko memutuskan hasil persidangan.

“Alhamdulillah”,  teriak semua orang yang berada di dalam dan luar ruangan.

“Terimakasih atas perhatian Bapak Ibu semua, semoga desa kita menjadi lebih baik untuk ke depan”, tutup Pak Handoko mengakhiri persidangan dengan bersalaman kepada orang-oranng yang berada pada ruangan tersebut.

Sementara Pak Jastro pergi begitu saja meninggalkan ruangan. Teman-teman Mbak Widya yang berada diluar ruangan menyambut dengan sorak gembira. Mbak Widya bersalaman dengan semua teman-temannya.Mbah Sairah dan warga mulai meninggalkan ruangan bersiap menyambut malam kemenangan.

@@@

            “Allahuakbar.. Allahuakbar… Walillahilham”, suara takbir telah berkumandang di surau maupun masjid. Suara beduk yang berirama pun mengiringinya. Malam yang terasa indah dan damai dalam menyambut hari kemenangan. Senyum Mbah Sairah kini cerah, setelah pohonnya mendapatkan keadilan di hari kemenangan yang suci.

TAMAT

 

Mas: panggilan untuk kakak laki-laki.

Mbak: panggilan untuk kakak perempuan.

Mbah: panggilan untuk kakek/nenek.

Lek: pamggilan untuk paman/bibi.

Alas: hutan.

 

 Tulisan ini terbit dalam Antologi Buku : Kesaksian Kerikil hidup 

terbit di Afsoh Publisher - 2013
Penulis merupakan peserta workshop menulis dan menerbitkan Buku - Afsoh Publisher

tulisan dalam Antologi ini :
Awal Kuliah di Unnes



 

BIODATA

Nama lengkap             : Ninik Efi Mulyani

Nama Panggilan         : Ninik

Tempat, tanggal lahir : Kudus, 04 Mei 1994

Alamat rumah             : Ds. Bulungkulon rt:08, rw:06, Jekulo, Kudus

Alamat kos                  : Griya Indopermai

Email                          : nnk689@gmail.com

Facebook                    : Ninik Efi Mulyani

Hobi                            : jalan-jalan

Motto hidup                  :percayalah bahwa doa dan usaha dapat mengubah takdirmu.

GENDAM NUSANTARA 919

Back to Top