COKLAT (Celotehan Nikmat lewat Tulisan)
Jika orang bertanya siapa kekasihku
yang sesungguhnya? Aku pun akan menjawab, “Pena”. Pena ini menjadikankan jiwaku
yang mati menjadi lebih berarti. Sebagai tunas akan kebangkitan diri ini dari
sebuah keterpurukan. Jiwa yang hampir saja layu, karena terjepit dalam sebuah
jurang kegagalan yang paling berpengaruh semasa hidupku. Ketika nasib sedang
tak dapat lagi berkompromi dengan keinginan dan perjuangan yang tak ada lagi
nilainya, saat itulah aku merasakan benar-benar terjatuh dan tenggelam dalam
tangis. Tak ada jiwa yang dapat mendengar akan rintihan kepedihan, karena sahabat-sahabatku
yang telah pergi menjauh dari kehidupanku kecuali penaku.
Impianku yang telah lama aku
gambarkan dalam dunia imajinasiku, aku tuangkan lewat tutur kata. Pena ini
menjadi saksi betapa aku menginginkan KULIAH. Aku iri pada sahabat-sahabatku
yang pergi merantau ke
Menulis cerpen menjadi
kegiatan keseharianku dahulu saat masih berstatus pengangguran. Pena ini menari
merangkai kata demi kata menghibur dan memberi warna tersendiri dalam jiwaku.
Lewat tulisan-tulisan ini, aku memotivasi diri, memberikan ATP (energi) bagi
sel-sel di tubuhku, penyembuh luka, dan pengisi ruang hati yang rapuh.
Pena, sahabatku yang paling setia,
selalu menghiburku di kala sedih maupun senang. Dalam tulisan kami berkencan
memadu kasih dalam sebuah karya. Dan pena ini pula yang telah menyuntik
semangatku untuk terus berjuang demi status mahasiswa. Hingga akhirnya impian
yang dahulu aku tulis, kini menjadi nyata.
Statusku telah berubah menjadi
mahasiswa yang menimba ilmu di
Menulis
Bagiku
Oleh: Anisa Dina Rahmayanti
Kita
bersekolah untuk bisa baca tulis, itulah kata sebagian orang-orang tua zaman
dulu. Tetapi, kakek dan nenek juga berpesan agar kita tidak hanya pandai baca
tulis saja, namun juga pandai dalam ilmu hidup. Menulis saat itu digunakan
untuk mencatat apa yang dipelajari di sekolah agar bisa kembali dipelajari di
rumah. Karena manfaat menulis salah satunya yaitu untuk mendokumentasikan ilmu
atau pengetahuan.
Bagiku,
menulis dapat merangsang otak untuk berpikir, karena tidak akan ada tulisan
bila di otak tidak ada yang bisa dituliskan. Isi otak seseorang bisa tampak
dari tulisannya. Bila isinya biasa-biasa saja, maka tulisannya pun akan monoton
dan biasa saja, bahkan buruk. Sehingga mau tidak mau, bila ingin mahir menulis harus
mau banyak membaca, mulai dari membaca buku hingga membaca suasana. Tidak hanya
membaca, kemampuan menulis akan selalu meningkat bila kebiasaan menulis selalu diasah.
Tulisan
bisa mempengaruhi pemikiran atau persepsi seseorang tentang suatu isu. Isu yang
sama bisa mempunyai efek yang berbeda bila dituliskan dengan cara atau bahasa
yang berbeda. Di sinilah letak keunikan dari sebuah tulisan, bisa membawa
pembaca menuju yang diinginkan oleh penulisnya. Namun untuk bisa menulis dengan
kualitas tersebut membutuhkan banyak latihan dan belajar.
Manfaat
menulis bagi tiap orang berbeda-beda.
Menulis
bisa menjadi usaha yang tidak membutuhkan banyak biaya berupa uang. Menulis hanya
membutuhkan pikiran, selembar kertas, dan pena. Siapa pun bisa menulis, di mana
pun, dan kapan pun.
Menurutku,
menulis dengan hati mempunyai efek yang berbeda dengan menulis tanpa unsur
hati. Suasana hati penulis bisa tampak dari tulisannya. Menulis adalah salah
satu wujud syukur kita terhadap nikmat buah pikiran. Bagi sebagian orang,
menulis adalah merupakan napas bagi mereka, karena dengan tulisan mereka bisa
berjuang. Saat ini berperang bukan dengan senjata berat, namun berperang dengan
menulis yang dapat membangun opini dan mempengaruhi pemikiran seseorang.
Sungguh
Tega, Menulis telah Menjerumuskan Saya
Oleh:
Saiful Mustofa
Sebelum anda membaca tulisan ini
lebih jauh, perlu saya ingatkan bahwa tulisan ini nanti sepenuhnya akan
bercerita tentang tindakan asusila saya selama ini, sekaligus kekonyolan yang
baru saya sadari ketika tulisan ini selesai
saya buat. Saya benar-benar jengkel dengan dunia menulis, dunia yang
telah menjadi candu dan seakan telah menjerumuskan ke lembah pemuasan nafsu.
Dan lebih tega lagi, menulis telah memaksa saya untuk terus berkarya, tanpa menanyai
lebih dahulu apakah saya mampu. Itu belum apa-apa, dampak yang ditimbulkan dari
pemakasaan
itu akhirnya membuat saya sering kali
berhasrat bercumbu dengan buku.
Padahal, awalnya saya tak tega jika
harus mencumbui buku, bahkan untuk menyentuh kulit luarnya yang mulus itu saja
enggan. Tapi begitu hanyut dalam pengaruh hipnotis menulis, maka hasrat saya
untuk mencumbui buku-buku semakin menggebu. Bahkan hampir setiap hari selalu
saya paksa untuk memusakan nafsu. Maaf, jika perilaku saya itu tidak manusiawi.
Sungguh itu di luar kendali saya.
Suatu ketika, saya putuskan untuk
tidak menulis lagi, tapi akhirnya tetap tak bisa. Tidak hanya itu, yang tak
kalah menjengkelkan, menulis juga memaksa saya untuk semakin banyak
berganti-ganti pasangan bercumbu. Haram katanya jika hanya menyetubuhi satu
buku. Saya semakin tidak kuat saja menerima cobaan itu, sebab hal demikian
sudah sangat betentangan dengan ajaran yang selama ini saya yakini. Ajaran
tentang kesetiaan dan menjaga kepercayaan. Saya benar-benar tidak bisa
membayangankan betapa besar dosa saya kelak ketika nafsu birahi saya umbar ke
sana-sini.
Sekali lagi, anda pasti akan lebih
tercengang kalau pemaksaan itu telah menyebabkan saya menjadi orang yang gemar
berburu buku perawan yang masih orisinil dan belum dijamah oleh orang lain. Dan
tragisnya, saya telah terjangkit virus menjijikkan yang bernama haus
pengetahuan. Entah berapa buku yang telah saya kangkangi.
Berbagai cara saya lakukan untuk
mendapatkan buku-buku perawan yang masih muda, bahkan sebagian besar saya
lakukan dengan membeli, meski harus merogoh kocek cukup dalam. Sebab tidaklah
mudah untuk mendapatkan buku perawan yang masih muda dan bahenol isinya. Untungnya,
orangtua saya tidak tahu kalau sebagian uang semesteran itu saya gunakan untuk
memuaskan nafsu dengan membeli buku-buku tambun itu.
Iya, itulah kisah perilaku menyimpang
saya selama ini yang memang tak banyak orang mengetahui.Tapi tolong jangan
salahkan saya sepenuhnya, jujur saya mencabuli buku-buku itu karena menulislah
yang memaksa.
Bagaimana
dan Jika
Oleh:
Anis Swedia
Menulis, entah sejak kapan aku mulai
mengenal dunia ini. Namun, ada sisi lain di hatiku saat aku menuangkan
kata-kata yang hanya terkungkung dalam imajinasi diri. Dari membaca buku, hingga belajar cara
menulis yang baik membuatku sedikit demi sedikit mengerti akan apa arti karya
dan manfaat.
Kata pertama, yakni “Bagaimana” yang
selalu terpikir olehku. Selalu bermunculan pertanyaan ini, “Bagaimana cara
menulis yang baik?”, “Bagaimana caranya agar tulisan mampu menggugah pembaca
untuk tertarik larut dalam dunia imajinasi kita?”
Kata kedua, yakni “Jika”. Setiap kali aku
menulis ataupun tidak menulis, selalu ada kata “Jika” di pikiranku. Seperti,
“Jika aku tidak menulis, apa yang akan kupersembahkan kepada dunia
pendidikanku?”, “Jika aku tidak menulis, apa yang akan aku persembahkan kepada
perjuangan ibu dan ayahku?”, “Dan jika aku tidak mencoba untuk menulis dengan
baik, apa yang akan aku sumbangkan kepada negaraku?”
Dua
keajaiban dalam dua kata itu mampu menggugahku untuk meraih mimpi yang dahulu
hanya hidup dalam angan-angan saja. Saat menulis, entah mengapa aku merasa
bahwa aku akan menemukan masa depanku.
Bagaimana dan Jika, dua kata itu mampu membawaku menuju penemuan jati
diri.
Setiap
kali menulis dua kata itu, selalu bersanding manis dengan alam imajinasiku yang
menggugahku untuk menghasilkan karya yang baik. Keajaiban menulis yang lain
adalah aku mampu membuat ibuku tersenyum bangga kepadaku. Dia bilang, “Ibunya
tidak bisa menulis, anaknya semoga menjadi seorang penulis.” Yah, menulis. Dengan
menulis aku ingin menceritakan bahwa aku menulis kisah yang baik yang diajarkan
ibu kepadaku lewat kesabarannya mengajariku tentang dunia pendidikan yang tak
pernah ia kenyam.
“Bagaimana
dan Jika,” dua kata yang penuh keajaiban yang memberi rona kepada masa depanku,
yang memberi semangat setiap kali aku menulis. Setiap kali menulis aku merasa
ada roh
yang hidup yang selama ini tersembunyi dalam kemalasanku.
***
Biodata
Penulis
Nama saya Anis Swidiastuti, saya lebih dikenal dengan
panggilan Anisa Swedia atau Anis Swedia. Saya tinggal dan lahir di