Ditulis Oleh M. Huda Kurniawan (Mahasiswa Unnes) -
Sebelumnya, aku ingin memperkenalkan diriku, namaku Huda Kurniawan bisa dipangggil Huda. Aku terlahir di keluarga yang berkecukupan, aku adalah seorang cowok SMP kelas 2 (kelas 8). Sama dengan Rian kawanku, kami sekelas sejak SD kelas 6 dulu dan sampai sekarang masih berkawan baik. Aku suka menghias tanganku dengan jam tangan kesukaanku, aku juga tipe cowok supel yang mudah begaul dengan siapa saja.
Berbeda dengan Rian, aku rasa dia memang supel namun dia sering dibilang cowok kutu buku oleh anak-anak di kelas. Maklum, sejak dulu dia memang sudah gemar berteman dengan buku-buku. Apapun bentuknya, entah novel, majalah, buku pelajaran, atau buku pengetahuan lainnya. Pokoknya dia adalah Si Cowok Kutu Buku sejati. Dia juga memakai kacamata lensa tebal. Hampir di setiap aktivitas ia membawa sebuah buku di dalam tas, dan jika ada kesempatan ia akan membuka bukunya, dan membacanya. Yah, namanya juga Si Cowok Kutu Buku.
Malam yang cukup cerah, seperti biasa, aku dan kawan karibku Rian asyik memandangi bintang-bintang.
“Hud, kalau ada bintang jatuh apa yang kamu harapkan?” tanya Rian kepadaku.
“Aku berharap kita akan menjadi sahabat selamanya, kalau kamu Rian?” tanyaku. Rian menghadap ke arahku sambil membetulkan posisi kacamatanya yang agak melorot.
“Mungkin sama, tapi aku ingin ada sebuah perpisahan dan sedikit konflik di antara kita, aku ingin tahu apa kita masih bisa jadi sahabat dengan konflik itu?” seru Rian. Kata-kata Rian sebetulnya cukup membuatku terkejut.
“Apa kamu yakin menginginkannya, Yan?” tanyaku keheranan. Rian ternyata kurang menghiraukan pertanyaanku. Dia sedang sibuk membaca novel The Chronicles of Narnia. The Voyage of Dawn Treader.
“Iya Hud, tadi kamu bicara apa?” tanya Rian.
“Aku tanya, kamu yakin menginginkannya, Yan?” kataku mengulang pertanyaan.
“Jelas aku yakin, apa jadinya persahabatan tanpa konflik! Tak seru, ah! Di setiap persahabatan itu harus ada permasalahannya, Hud. Kalau tidak ada, darimana kita belajar untuk hidup? Bukankah kita bergaul untuk belajar kehidupan, ya?” kata Rian menjelaskan.
Tepat sekali yang Rian bilang. Setiap persahabatan membutuhkan cobaan, agar kita bisa belajar tentang sifat orang.
“Ya, Rian, kamu benar! Aku setuju denganmu,” kataku menyetujui perkataan Rian.
Rian pun melanjutkan membaca novelnya itu. Aku yang tak bisa berdiam diri terlalu lama, akhirnya pun membuka percakapan lagi.
“Semester satu akan segera berakhir, Yan. Nanti kita akan berlibur. Kamu akan liburan kemana?” tanyaku membuka lagi pembicaraan.
“Aku mau pergi ke pantai Lhok Nga,” kata Rian yang lagi-lagi membuatku terkejut.
“Wah, kamu serius mau ke Aceh?” tanyaku seakan tidak percaya.
“Iya, Huda,” jawabnya singkat.
“Nanti bawakan aku oleh-oleh, ya?” tanyaku gembira.
“Bagaimana, ya, Hud … Aku tidak yakin bisa membawakanmu oleh-oleh,” kata Rian agak kecewa. “Liburan sekolah nanti, aku akan pergi ke Lhok Nga, tapi aku tidak akan kembali lagi kesini, aku akan tinggal di Lok Ngha dan sekolah di sana, karena ayahku ada pekerjaan, dan akan kembali sekitar 3 tahun lagi! Artinya aku sudah lulus,” kata Rian menjelaskan panjang lebar.
“Bagaimana dengan persahabatan kita, Yan?” tanyaku. Aku jelas tak mau persahabatan kami yang telah dibangun tiga tahun lalu, tiba-tiba terputus begitu saja.
“Aku juga tidak tahu, Hud, itu tergantung mood kita saja kalau kamu masih mengingatku, kita bisa kontak dengan telepon genggam ayahku,” kata Rian menjawabnya dengan bijak. Aku kagum dengan Rian, setiap pertanyaanku selalu saja dijawabnya dengan bijak.
“Kau sudah selesai melihat bintangnya?” tanya Rian sambil menguap. Tampaknya dia sudah mulai bosan dengan event ini.
“Emm … Memang ada apa, Yan? Kamu sudah bosan?” tanyaku. Rian hanya membalasnya dengan menggeleng dan menguap.
“Bukan bosan, Hud, tapi aku sudah mengantuk. Jam berapa Hud, sekarang?” tanya Rian.
“Pukul 21.30,” jawabku.
“Yah, kan sudah malam … Aku harus pulang, kalau tidak, nanti ayah dan ibuku menunggu,” kata Rian gelagapan merapikan novelnya yang masih terbuka di pangkuannya.
“Minggu depan Ulangan Akhir, kan?” tanya Rian yang ingin cepat-cepat loncat dari genting rumahku.
“Iya, Rian, lusa belajar bersama ya?” kataku sambil memperhatikannya mengambil ancang-ancang menuruni tangga.
“Iya, kamu jangan lupa belajar ya, biar kita bisa lulus ke semester 2 dengan jaminan peringkat yang bagus,” kata Rian sambil menuruni anak tanggga satu persatu. “Tapi, kalaupun aku lulus, aku tidak mungkin bisa sekelas denganmu lagi.”
“Rian, kamu sudah pergi jadi tidak ada lagi kawan yang bisa menemaniku melihat bintang-bintang, dong?” kataku kecewa. Aku benar-benar tak percaya kawan karibku akan pergi meninggalkanku.
“Tenang saja Huda, nanti juga kamu bisa melupakanku, dan akan bisa mendapatkan sahabat baru lagi,” kata Rian bijak. Namun, kali ini kata-katanya membuatku terharu. “Aku ingin, kepergianku meninggalkan kesan yang baik darimu, jadi aku ingin kamu dapat lulus ujian akhir, supaya aku tenang meninggalkanmu di sini,” kata Rian melanjutkan pembicaraannya.
“Baik, aku pamit pulang dulu ya,” kata Rian setelah berada di bawah.
“Iya, hati-hati di jalan ya, Yan. Semoga Allah SWT memberkatimu di rumah, di sekolah, dan di Lhok Nga!” kataku sambil meneriaki Rian yang sudah berjalan ke arah pulang.
“Iya, Hud, terima kasih ya atas doanya!” kata Rian berteriak. Aku pun tersenyum, tapi setelah itu aku masuk ke dalam rumah dengan wajah kecewa.
Mentari pagi bersinar terang benderang, terbit sinarnya disambut oleh kicauan merdu burung gereja liar yang biasanya berada di atas pohon. Aku yang masih tertidur tiba-tiba terbangun karena tersorot sinar matahari yang begitu mencolok.
“Huh, ini sudah pagi sekali ya?” kataku sambil menggaruk kepalaku yang sebetulnya tidak gatal. Aku menyeret handuk dan baju mandiku ke kamar mandi. Setelah aku usai mandi, aku bergegas lari ke arah meja makan dan segera duduk.
“Huda, kok semalam kamu tidur mukanya murung begitu?” tanya ibuku.
“Iya, Bu, kata Rian nanti semester dua dia akan pindah ke Aceh dan tidak akan kembali lagi ke sini. Dia bilang, dia baru akan kembali nanti tiga tahun yang akan datang saat pekerjaan ayahnya sudah selesai, Bu,” kataku dengan wajah yang benar-benar ditekuk.
“Hanya masalah itu yang membuat kamu murung? Itu masalah mudah, nanti juga banyak yang mau menemani kamu melihat bintang-bintang, untuk menggantikan Rian,” kata ibuku yang bermaksud menghibur.
“Tapi Bu, Aku kan sama Rian sudah sangat lama berteman, jadi bagaimana rasanya jika terpisah? Apalagi ini yang satu di Kudus, yang satunya lagi di Aceh,” kataku.
Aku berangkat ke sekolah dengan diantar motor Kakak. Aku hanya terdiam di motor, akhirnya, sampai juga ke sekolahku. Aku pun turun dari motor, nampak Rian sedang menenteng sepeda kesayangannya.
“Rian!” panggilku. Rian pun menengok.
“Hey, kamu sudah sampai Huda?” tanya Rian.
“Iya, kita jadi belajar bersama kan?” tanyaku kepada Rian. Rian hanya mengangguk senang. Mungkin benar kata Ibu, dia sedang memikirkan Lhok Nga bukan aku. Kami berdua pun masuk ke kelas bersama-sama.
KRINGGG… KRINGGG… KRINGGG…
Bunyi bel tanda pelajaran pertama dimulai. Jam pelajaran pertama di kelas kami adalah Biologi. Bu Madulirih, guru Biologi masuk dengan menggandeng seorang anak yang terlihat sombong. Dia berjam tangan, dengan kalung berliontin peace dan tas yang berwarna hitam. Entah kenapa, aku benci sekali melihatnya. Dia sepertinya mempunyai perangai yang tidak baik. Dia lebih terlihat seperti preman dibandingkan pelajar.
“Anak-anak, kenalkan dia adalah siswa baru dikelas kita. Ayo, perkenalkan diri kamu,” kata Bu Madulirih mempersilakan dia memperkenalkan diri.
“Hai, nama aku Najid Azma. Kalian bisa panggil aku Najid, aku nggak suka sama anak yang suka mengatur tapi nggak memakai aturan! Aku harap, kalian suka berteman sama aku,” kata Najid nama anak baru itu.
“Hah namanya saja yang gaul, anaknya mah preman abis,” kataku menggerutu. Rian memperhatikanku bingung.
“Kok kamu begitu sih?” tanya Rian.
“Itu loh Yan, aku kurang suka sama dia! Dia terlalu kayak preman. Lihat! Pakaiannya, penampilannya … Pokoknya kayak anak brandal deh,” kataku menyampaikan pendapat.
“Tapi kan Hud, kita nggak boleh memandang orang dari fisiknya atau dari penampilannya?” raut wajah Rian menandakan dia heran dengan sikapku.
“Iya, tapi aku nggak suka aja sama dia dan aku yakin kok nggak akan ada yang mau berteman sama dia!” kataku menjawab dengan panjang lebar. Ibu Madulirih mempersilakan Najid duduk di belakang kursiku dan Rian. Aku benar-benar kesal.
“Kenapa dia harus duduk di situ?” tanyaku di dalam hati. Tak kusangka, Rian langsung menegur Najid.
“Hai, Najid! kenalin yah aku Rian, yang ini Huda,” kata Rian menegur Najid.
“Rian, kenapa sih kamu tegur dia? Aku nggak suka!” kataku. Aku pikir aku terlalu mengatur Rian.
“Kok kamu malah marah-marah sih? Suka-suka aku dong, mau berteman dengan siapa aja kok jadi kamu yang ngatur?” kata Rian dengan nada marah. Kami akhirnya menyudahi perang di antara kami, begitu sadar bahwa ini masih jam pelajaran.
KRINGGG … KRINGGG … KRINGGG … Bunyi bel tanda istirahat.
“Rian, ke kantin yuk?!” ajakku dengan baik.
“Maaf, Hud, aku mau di sini aja sama Najid. Kamu ke kantin duluan aja!” kata Rian menolakku. Sejujurnya, aku sangat kesal dengan Rian. Tapi biarlah, aku pun memutuskan untuk pergi sendiri, tanpa sengaja, HP-ku tertinggal di meja.
Sekembalinya dari kantin aku dapati HP-ku tergeletak di atas meja dengan keadaan hancur. Tentu, aku menyalahkan Najid.
“Najid, kamu yah yang merusak HP-ku?” tanyaku dengan nada menuduh.
“Bukan, bukan Najid, Huda, tapi aku. Tadi aku mau balik badan, tapi aku tidak tahu kalau ada HP-mu di sini, jadi tersenggol lalu jatuh dan pecah,” terang Rian kepadaku. Aku tidak percaya dengan Rian.
“Oh, aku tahu pasti kamu sengaja membanting HP-ku, karena kamu nggak suka aku melarang kamu berteman dengan Najid kan?” tanyaku.
“Aku tidak pernah sejahat itu, untuk apa aku melakukannya Huda?” kata Rian menjelaskan kepadaku. Tapi tetap, aku tidak percaya dengan penjelasan Rian.
“Aku kecewa denganmu, Rian. Pergi saja kamu ke Lhok Nga! Aku tidak peduli!” kataku. Mungkin aku kelewat kesal.
“Ya sudah!” kata Rian kesal.
Benar-benar tidak dapat kupercaya, semenjak kejadian ini kami berdua tidak pernah bertegur sapa dan berbicara. Bahkan, Rian pindah tempat duduk. Ini semakin mempersulit kami untuk bertegur sapa. Apa kata-kataku yang kemarin terlalu menyinggung perasaannya?
Benar-benar dua sahabat yang hubungannya terputus hanya karena Mobile Phone. Tak kusangka permusuhan kami ini bertahan sangat lama. Sampai ulangan akhir usai pun, kami tak kunjung berbaikan. Jangankan untuk berbaikan, bertegur sapa saja kami tidak pernah. Sekarang, Rian lebih suka bermain dengan Najid dan bukunya. Sedangkan aku tak punya kawan untuk melihat bintang lagi. Bahkan, saat ingin belajar bersama pun, Rian tidak datang ke rumahku.
TENG … TENG … TENG …
Yah, waktunya pembagian raport pun dimulai. Seperti biasa, Rianlah yang mendapatkan juara pertama di kelas, dan aku hanya masuk sepuluh besar. Yang tak kusangka, Najid mendapatkan juara 3.
Pulang dari pembagian raport, aku terlihat lemas. Jelas, hanya dapat peringkat 10 besar. Tak kusangka, tiba-tiba Rian menghampiriku.
“Aku pamit ke Lhok Nga, doakan tak ada apa-apa selama perjalananku, ya?” kata Rian dengan nada yang tidak ceria.
Aku hanya mengangguk. Ternyata harapan kami tidak dikabulkan. Ternyata, kami memang dinasibkan tidak mempunyai kesan yang baik di kepergian Rian ke Lhok Nga.
Rian sudah dalam perjalanan ke Aceh. Semoga dia selamat sampai tujuannya. Aku tak akan menemukan sahabat sebaik dia lagi. Harapan dia benar-benar dikabulkan Allah SWT. Ada perpisahan dan ada konflik. Untunglah, itu bukan perpisahan untuk selamanya.
Sudah hampir satu tahun lamanya namun Rian tidak ada kabar. Ternyata dia benar-benar melupakanku, mungkin aku tidak penting lagi untuknya. Semester pertama di kelas dua pun sudah hampir selesai, benar-benar tidak ada kontak antara Rian denganku. Andai saja dia menelfonku, aku ingin memberitahu bahwa HP-ku hanya rusak ringan dan aku sangat merindukannya. Selama satu tahun ini, aku malah jadi senang berkawan dengan Najid. Suka melihat bintang bersama dan melakukan hal yang biasanya kulakukan bersama Rian.
“Najid, ini sudah bulan Desember, apa Rian pernah punya kontak denganmu?” tanyaku kepada Najid sambil memandangi bintang-bintang di langit.
“Dia pernah mengontakku sekali, lewat telepon, tapi setelah itu kami tidak pernah kontak lagi,” kata Najid menjelaskan.
“Hufft, andai saja di malam minggu ini dia menelfonku, maka aku akan sangat senang,” kataku mengutarakan perasaanku kepada Najid. Najid hanya mengangguk.
“Sudah dulu, ya, Huda! Aku sudah mengantuk! Besok kan hari Minggu, jadi kita bisa main lagi besok, nanti aku akan kesini deh,” kata Najid.
“Jadi sekarang kamu mau pulang?” tanyaku. Najid hanya mengangguk dengan ucapan yang lumayan besar.
“Ya sudah, hati-hati di jalan ya, Jid,” kataku. Najid melambaikan tangannya ke arahku. Aku pun masuk ke kamar.
Mentari pagi berkilau menyambutku, kali ini aku bangun sangat siang. Aku baru bangun pukul 09.05. Aku pergi ke ruang keluarga, kudapati remote televisi di sana. Aku pun duduk dan menyetel televisi hitamku, tepat di suatu acara berita.
Pemirsa, gempa bumi yang terjadi di Aceh tadi pagi pukul 08.00 ternyata menyebabkan tsunami yang besar. Diperkirakan, tsunami kali ini adalah tsunami terbesar di Indonesia selama sejarah. Ribuan orang tewas dalam peristiwa mengenaskan ini. Para peneliti sampai sekarang masih menyimpulkan bahwa daerah yang paling banyak memakan korban adalah daerah Ule Lhee, Peukanabaru, Lhok Nga, Banda Aceh dan beberapa daerah di sekitar pantai Aceh lainnya. Diperkirakan, hanya sebagian kecil orang yang berasal dari daerah-daerah tersebut yang dapat selamat. Saya, Marcellie Darmanti dari Bandar Udara Bilang Bintang Nangroe Aceh Darussalam melaporkan.
Apa? Aceh? Lhok Nga? Tsunami besar? Rian? Apa dia sudah meninggalkanku? Sudah meninggalkan kenangan persahabatan kami? Dia tak mungkin bisa menyelamatkan diri, pasti ia meninggalkan kacamatanya. Dia tidak mungkin dapat melihat dengan mata rabun jauh -9,25. Pasti dia sudah diterkam lintingan air besar dari arah utara Aceh itu. Apalagi, Lhok Nga itu kan daerah pantai? Dan dataran rendah. Ya Allah … Tak sadar, aku menitikkan air mataku.
Sekarang, aku tahu kenapa firasatku semalam tidak enak. Aku tahu kenapa aku ingin sekali bertemu dengannya. Mungkin, karena jika aku bertemu dengannya semalam itu akan jadi pertemuan terakhir kami. Dan aku yakin itu akan sangat berkesan. Kenapa kita harus meninggalkan kesan tak baik? Rian pergi jauh meninggalkanku, bukan sekadar hanya ke Lhok Nga, tapi ke surga sana. Tempat yang sangat jauh.
Tiba-tiba …
TING NONG … TING NONG …
Bel rumahku berbunyi. Kubukakan pintunya, kudapati Najid sedang berdiri.
“Kamu sudah tahu tentang Aceh, Huda?” tanyanya ketika aku membukakan pintu. Aku hanya mengangguk lemas.
“Mungkin Rian sudah pergi, dia ingin kita tabah menerima kepergiannya!” kata Najid. Aku tak bisa menghentikan air mataku. Aku hanya bisa menangis, tidak mungkin Si Cowok Kutu Buku yang dulu kukenal sangat humoris, ceria dan bersemangat tiba-tiba meninggalkan kami begitu saja.
“Masuk, Jid,” kataku mempersilakannya masuk. Aku benar-benar membendung kepedihan, “Rian, kenapa kamu harus pergi?”
“Sudahlah Huda, belum tentu dia pergi. Sebagian kecil yang selamat bukan berarti Rian tak selamat kan?” tanya Najid menenangkanku yang sedang shock berat dengan peristiwa Aceh itu.
Akhirnya, aku dan Najid pun bermain dengan perasaan tidak tenang, channel yang menayangkan acara berita pun kami ganti. Setiap perkembangan dari Aceh sana kami dengar jelas. Kami juga ingin tahu bagaimana keadaan Rian. Tepat saat aku sedang menekan tombol remote televisi, sekelebat kulihat tim penyelamat sedang menggotong anak seumuran kami.
“Yah, Rian! Dia Rian, tidak salah lagi!” kataku kepada Najid. Pembawa acara televisi pun mewawancarai orang yang tadi menggotong Rian.
“Pak, bagaimana keadaan anak ini?” tanya pembawa acara.
“Dia sudah meninggal, kami prediksikan kepalanya membentur sisi-sisi bangunan bahkan denyut jantung dan denyut nadinya pun sudah tidak ada lagi. Medis pun sudah mengatakan bahwa anak yang berasal dari Lhok Nga Utara ini sudah meninggal dunia,” kata Tim Penyelamat tadi.
“Semuanya sudah jelas Najid, Rian sudah meninggal, dia meninggalkan kita berdua tanpa pamit,” kataku sambil menitikkan air mata. Najid yang terlihat sangar pun terlihat meneteskan air matanya. Tampaknya dia juga sedih dengan kepergian Rian.
Tiga hari pun berlalu, peristiwa mengenaskan yang menimpa Rian di Aceh pada hari Minggu lalu ternyata tinggallah kenangan. Namun, aku masih sangat menyesali kepergian Rian.
Aku melamun di pekarangan rumahku. Tiba-tiba, berdiri di depan pagar rumahku seorang yang berseragam oranye, berkombinasikan warna hitam, bersepatu dan berhelm. Aku beranjak dari tempatku duduk, aku pun menghampiri gerbang dan membukakan pintu gerbangnya.
“Ada apa, Mas?” tanyaku.
“Huda Kurniawan-nya ada?” tanya Petugas tersebut. Yah, dia adalah seorang tukang pos.
“Iya, kebetulan saya sendiri,” kataku.
“Ini Mas, ada surat dari Aceh. Surat ini dikirim satu hari sebelum bencana tsunami di Aceh terjadi,” kata Tukang Pos tersebut. Hatiku amat senang mendengarnya. Sebetulnya, aku terharu juga. Dengan sigap, kuambil surat itu.
“Terima kasih, ya Pak!” kataku sambil mengambil surat yang ada di tangan tukang pos tersebut.
“Sama-sama, Mas,” kata Tukang Pos siap mengendarai motornya. Tak sabar, kubuka surat itu, tidak salah lagi surat dari Rian.
Dear My Be
Aku baru mengirimkanmu surat sekarang karena baru sekarang aku mempunyai waktu luang untuk menulis dan mengirimkan suratku ke kantor pos.
Maklumlah, di sini aku sangat banyak kegiatan dan jarak antara rumahku dengan kantor pos sangat jauh. Aku tidak bisa menghubungimu lewat telepon karena aku pikir HP-mu yang kemarin masih rusak. Jadi, aku yakin kamu tidak bisa ku hubungi lewat telepon. Di sini juga jarang ada sinyal. Jadi, aku susah menghubungimu dengan telepon rumah.
Huda, aku ingin minta maaf karena beberapa hari sebelum aku pergi ke sini, aku agak menjauh darimu. Tapi itu semua aku lakukan supaya kamu tidak terlalu kehilangan aku saat aku pergi ke sini. Aku ingin membuat kamu berpikir seolah-olah aku ini tidak begitu penting untukmu. Dan masalah HP-mu itu, kapan-kapan aku ganti ya! Soalnya, di sini selain sekolah aku juga kerja sambilan. Meskipun hasilnya nggak seberapa, tapi aku yakin kok kalau aku kumpulkan terus lama-lama akan cukup untuk mengganti HP-mu itu.
Aku mengirim surat ini, karena aku yakin sampai sekarang kamu masih marah sama aku soal HP dan Najid. Aku cuma mau bilang ke kamu, aku sangat menyesal karena telah menyenggol HP-mu sampai jadi hancur dan rusak. Aku juga mau menyampaikan, kalau aku itu, sayaaaaaang banget sama kamu. Aku ingin, persahabatan kita bisa sampai tua nanti. Tapi rasanya nggak mungkin, kamu sangat marah dan pasti membenciku. Tapi, meskipun begitu, aku akan tetap sayang sama kamu kayak dulu waktu kita masih bersahabat.
N.B. Balas ya, kalau kamu membaca surat ini, tapi kalau tidak mau dibaca dibuang saja anggap saja tidak penting.
Salam Sahabat,
Adrian
Setelah membaca surat ini, aku pun menangis. Aku tak menyangka kalau Rian masih mengingatku, bahkan masih menyayangiku. Aku kira dia benar-benar marah dengan tuduhan yang kutujukan padanya tentang HP itu. Ya Allah, aku sungguh menyesal, sahabat sebaik dia yang sama sekali tidak punya rasa dendam ataupun rasa benci kepada orang yang telah dengan jahat memfitnahnya. Ya Allah, kenapa aku harus sebodoh ini?
Masalah Najid, kenapa dulu aku harus membuat Najid menjadi masalah? Kenapa? Tega-teganya aku menuduh orang yang sangat sayang padaku, yang masih menganggapku sahabat. Aku benci dengan diriku sendiri. Kenapa aku sebodoh ini, Ya Allah? Kenapa Engkau baru membuat hati ini terketuk saat dia sudah meninggalkanku, meninggalkan dunia ini?
Allah SWT ... jika waktu dapat diulang, aku ingin mengulang waktu. Aku ingin merubah semuanya, aku akan larang dia pergi ke Lhok Nga sana. Aku ingin mengatakan padanya, bahwa HP-ku hanya rusak ringan dan tidak perlu diganti. Aku tidak ingin melarangnya berkawan dengan Najid. Aku ingin mengatakan bahwa aku juga masih sangat menyayanginya. Aku akan katakan, betapa berharganya seorang ‘Rian’ bagiku. Dan yang paling ingin aku katakan padanya adalah, “Maafkan aku, sahabat …”.
TULISAN INI TERBIT DI BUKU ANTOLOGI MAAF
TERBIT 2013 @ AFSOH PUBLISHER
Tulisan Lainnya :