Dari
Seorang Gadis
Oleh: Ken
Hanggara
Dulu, waktu masih kecil, aku punya banyak
cita-cita. Aku ingin menjadi seorang dokter, pemain bulu tangkis, aktor, atau
gitaris profesional. Tak sekali pun aku bercita-cita atau bermimpi menjadi
seorang penulis.
Memang hobiku sejak kecil adalah membaca.
Semua itu berawal saat ibu mengajariku bermain dengan buku, mendalami maksud di
balik dua puluh enam simbol asing yang disebut huruf. Hobi itu berlanjut hingga
aku duduk di bangku sekolah dasar. Anehnya, aku tak pernah bisa jika disuruh
untuk menulis sebuah cerita hasil karanganku sendiri. Berimajinasi adalah
kemampuan yang kudapat dari hobi membaca komik dan menggambar. Sayangnya, tak
pernah sanggup jari-jemariku menuangkannya dalam bentuk tulisan.
Hingga tibalah aku di satu mozaik
terpenting dalam hidupku, jika boleh dibilang begitu—di mana aku telah memakai
seragam putih abu-abu. Aku menyukai seorang gadis teman sekelasku. Mengagumi
seseorang yang tampak jauh dariku adalah sesuatu yang sulit dibayangkan. Dia
seorang gadis berparas ayu, pintar mengaji, dan yang membuatku tak nyaman tidur
adalah kenyataan bahwa dia salah satu ahli Matematika di kelas kami. Aku
sendiri bukan orang yang cerdas. Wajar jika pemikiran ‘bagai langit dan bumi’
menelanku bulat-bulat.
Seiring berjalannya waktu, aku kini tak
hanya sekadar menyukai wajah cantiknya, tapi juga
kepribadiannya. Telah lama aku jatuh cinta, tapi tak cukup berani untuk
mendekatinya. Entah apa yang membuatku mati kutu sedemikian rupa.
Suatu malam aku melamun seorang diri,
memikirkan bagaimana cara mendekati gadis itu. Saat mata hendak tertutup,
seseorang mengetuk jendela kamarku. Setengah sadar dan tak sadar, kubuka daun
kayu itu. Tiba-tiba tubuhku serasa ditarik sebuah benda. Dalam sekejap,
kudapati diriku terbang di antara jutaan bintang dengan sayap di kedua sisi
tubuhku.
Ya, aku sedang bermimpi dalam imajinasiku
sendiri. Segera kuambil pena dan kertas. Kutulis sebuah puisi untuk gadis itu.
Bukan puisi rayuan, hanya ungkapan rasa kagumku. Padahal selama ini, menulis
sebait puisi saja aku tak bisa. Sungguh dahsyat pengaruh gadis itu padaku,
mengubah seluruh jalur dalam labirin imajinasiku, menjadi satu perpaduan
berharga: kemampuan menulis.
Itulah cinta—misteri, spontan, dan indah
tak terperi. Kini menulis adalah jiwaku. Dia bagai ruh yang menyatu dalam
aliran darahku. Aku
cinta menulis.
***
Biodata Penulis
Ken Hanggara yang lahir di Sidoarjo pada tanggal 21 Juni
1991, merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara. Nama aslinya adalah
Erlangga Setiawan. Ia penulis dari Surabaya. Sejak kecil, orangtuanya sering
memberinya bermacam buku bacaan anak—membuatnya mencintai buku dan mampu
membaca sebelum masuk taman kanak-kanak. Masa SMA, tanpa sengaja membawanya
menjadi seorang yang mencintai dunia tulis-menulis. Ia menyukai gadis teman
sekelasnya dan secara aneh mampu menulis berlembar puisi untuk gadis itu.
Padahal sebelumnya ia tak pernah bisa menulis, bahkan satu bait puisi saja ia
tak bisa. Dari situlah hobi menulisnya dimulai. Ken adalah anggota resmi Forum
Aktif Menulis (FAM) Indonesia.
Merangkai Kata Sehatkan Jiwa
Oleh:
Elisa Koraag
Mengungkapakan
perasaan adalah salah satu upaya mencegah penyakit jiwa. Barang siapa menyimpan
sendiri perasaannya, apalagi perasaan sedih dan tertekan, maka ia akan
mengalami tekanan jiwa karena perasaannya sendiri. Tidak percaya? Buktikan
sendiri. Manusia terlahir sebagai mahluk sosial yang mengandung arti, selalu
membutuhkan orang lain dalam menjalani proses kehidupannya,
semandiri apa pun orang tersebut.
Kok bisa? Ya,
iyalah. Tidak ada manusia yang lahir dari dirinya sendiri. Manusia pasti
dilahirkan oleh ibunya. Apakah mungkin
seorang wanita hamil lalu melahirkan? Jawabnya tidak mungkin. Pasti si wanita mendapatkan bantuan
dari suaminya. Begitulah proses kehidupan manusia, terlihat hebat namun
tak bisa hidup sendiri.
Lalu apa gunanya
seseorang di luar dirinya? Untuk berbagi, membantu, menghibur, bahkan sekadar mendengarkan. Salah satu
hal yang sudah saya lakukan sejak saya kelas tiga SD, tapi baru
sekitar sepuluh tahun lalu saya sadari bahwa
menulis mampu memberikan kebahagiaan dan ketenangan bagi saya.
Jika saya
mempunyai persoalan, baik dengan orang lain ataupun karena pemikiran saya
sendiri, maka saya menulis. Saya menulis semua yang saya rasa, saya pikir, saya
lihat, saya dengar, bahkan yang saya cium. Perlahan tapi
pasti saya mulai menemukan pola-pola keajaiban saat merangkai kata. Awalnya
hanya berupa curahan hati, keluhan, protes, ekspresi kesedihan, dan kegembiraan, tapi lama-lama
ungkapan jiwa saya menjadi kisah-kisah yang menarik ketika saya membaca
kembali.
Saya bukan hanya
tertawa atau sedih, bukan pula mengerutkan kening. Sebaliknya, saya mendapat
banyak pelajaran dari apa yang saya tulis. Saya menjadi tahu kalau saya benar
atau salah saat saya menuliskannya. Bahkan saya mendapat banyak pencerahan
ketika saya membaca ulang apa yang saya tulis.
Saya bisa
melihat pandangan diri saya yang salah atau benar. Jika salah, saya segera
memperbaiki dan bertekad tidak akan mengulangi. Sebaliknya jika itu benar,
dapat dirasakan dan ditandai dari reaksi orang di sekeliling saya
atas tindakan dan ucapan saya, maka saya menjaga dan berjanji melakukan yang
lebih baik lagi agar tindakan dan
ucapan saya benar-benar mampu
memberikan kegembiraan atau contoh yang benar bagi orang-orang di sekeliling saya.
Kini, saya yakini bahwa kegiatan menulis saya mampu memberikan semangat dan rasa gembira, bukan hanya
pada diri saya pribadi, tapi juga orang-orang di sekeliling saya. Oleh karenanya, tulisan-tulisan saya kini saya berikan untuk dibaca orang lain. Saya
berharap mereka juga bisa mendapatkan ketenangan jiwa dengan mengungkapkan apa
yang dirasa, dipikir, dilihat, dan didengar.
Dengan mengungkapkan semua itu, saya yakin banyak hal baik akan
terjadi. Karena itu, saya mengajak semua orang untuk menulis. Dengan menulis kita dapat berbagi banyak hal, termasuk
tentang kasih dan kedamaian. Semoga dengan menulis dan membaca tulisan orang
lain, dapat tercipta dunia yang damai dan nyaman bagi kita semua.
The Miracle of Writing
Oleh: Radindra Rahman
Berawal dari sebuah hobi, aku mencoba merangkai kata-kata
itu dalam bentuk tulisan. Tak seindah karya-karya yang sudah layak muat di
media memang. Bisa dibilang acakadul. Tak tahu konsep menulis yang bagus dan
cerita yang berbobot. Tapi, hal itu tetap tak menghentikan hobiku dalam
menulis.
Dari keseringan menulis, ribuan puisi, cerpen, dan novel
sanggup aku hasilkan dalam bentuk tulisan tangan. Bahkan, membuatku
berangan-angan untuk membukukannya.
Menginjak masa perkuliahan, aku mencoba menekuni dunia
kepenulisan. Berbagai informasi aku cari tentang dunia kepenulisan. Intensitas
menulis pun semakin bertambah. Semenjak itulah ada suatu yang “unik” saat aku
menulis. Entah itu perasaan batin saat menulis, entah “kejutan” lain dari
lingkungan sekitar.
Pertama, menulis itu teman curhat setia. Saat aku
menulis, seolah beban batin berkurang ketika menuangkannya dalam tulisan.
Sehingga unek-unek tersalurkan. Kedua, menulis membuatku lebih dihargai
lingkungan sekitar. Semenjak menulis, selain banyak teman baru, orang-orang
yang dulu sempat menjauh kini semakin dekat denganku. Mereka bisa menghargaiku
setelah aku berkecimpung di dunia kepenulisan, apalagi setelah ada buku yang
bisa aku hasilkan dari menulis.
Selain itu, keseringan menulis membuatku lebih bisa memainkan
kata-kata dengan mudah, sehingga jika otak ingin merangkai kata-kata, rasanya
lebih terarah. Sebenarnya masih banyak hal-hal unik atau keajaiban selama aku
menekuni dunia kepenulisan. Tapi bagiku, selama berkecimpung di dunia
kepenulisan membuatku lebih menemukan duniaku seutuhnya.
***
Biodata Penulis
Radindra
Rahman,
lahir di Pati, 14 Agustus. Selain menulis, dia juga bekerja sebagai editor.
Untuk mengenal pencinta cokelat ini bisa melalui e-mail: penaradindra@yahoo.com / alammaya42@gmail.com dan FB: Radindra Rahman II.
Menulis
Mendatangkan Ketenangan Jiwa
Oleh: Marjan Anura
Semua isi hati
telah aku curahkan dalam sebuah pena yang telah aku goreskan dalam kertas
kosong. Inilah keajaiban menulis yang selalu membuatku tenang dalam rasa damai.
Menulis membuat diriku merasa semakin lebih leluasa. Aku bisa bersikap lebih jujur dengan kondisi fisikku yang
mempunyai kelainan lordosis dan
penyakit Fistula Ani. Ini semua
adalah anugerah dari Allah SWT. Aku mulai terjun ke dunia literasi ketika kehadiran
Fistula Ani yang melekat dalam
tubuhku.
Menulis aku
anggap sebagai kawan terbaikku dalam suka maupun duka. Menjadi sebuah saksi
kehidupan dalam kebenaran yang tak akan pernah ada dusta. Semua aku tuliskan
dalam sebuah buku harian dengan rangkaian diksi yang lebih indah.
Tanpa menulis,
otak ini selalu pusing, karena menulis sudah mendarah daging dalam kehidupanku.
Sungguh menulis mendatangkan ketenangan jiwa yang sempurna, maka tuliskanlah
semua yang ada di otakmu. Hal ini bisa membuat otak kita menjadi lebih sehat. Percayalah!
Dengan menulis, kita bisa menggapai impian dalam sebuah kisah sejati.
Semangatlah selalu untuk terus berpena dalam menggapai cita-cita untuk menjadi
sang pemenang.
***
Biodata Penulis
Marjan Anura adalah nama pena dari Lilis Nurhalimah.
Lahir di Bandung, 20 Agustus 1992. Tercatat masih kuliah di Pendidikan Bahasa
Sastra Indonesia dan Daerah Universitas Bale Bandung (S1). Tulisannya berupa
puisi pernah dimuat di media dan sudah menghasilkan tiga belas buku antologi
dan beberapa antologinya sedang dalam proses terbit. Penulis dapat dihubungi
melalui e-mail dan facebook: kim_marjan@yahoo.com