Membingkai Kenangan lewat Tulisan
Oleh: Chastfa
Berawal dari sebuah novel yang kubaca
pada usia dua belas
tahun, aku
mulai tersenyum dan merasa telah hidup dalam dunia yang menyenangkan. Dari
situlah aku mulai menulis cerita pertamaku. Hingga terpatri dalam benakku, aku
ingin menjadi seorang penulis. Namun
sayang, semua itu hanyalah sebuah mimpi yang mengendap di tengah jalan. Aku
mulai berlari dan melupakannya. Bukan tanpa alasan, namun karena banyaknya
kesibukan yang harus kukerjakan. Semua itu bukanlah lagi jadi mimpi dan
cita-citaku.
Menginjak usia tujuh belas tahun, aku seolah merasa
bangun dari tidur panjangku. Melirik buku-buku diary yang sempat jadi teman setiaku. Aku memang masih menulis,
tapi hanya sekadar meluapkan isi hatiku, hanya untuk kesenanganku, bukan untuk
dinikmati orang lain. Di saat itu juga, aku merasa tergerak untuk menulis
cerita kembali. Setelah aku membaca karya-karya dari beberapa temanku, aku mulai berpikir, kalau mereka bisa kenapa aku tidak? Dan
aku pun menulis. Merangkai aksara yang sempat terhenti bertahun-tahun. Aku
bertekad
membangun mimpiku kembali. Menjadi seorang penulis.
Dalam
semangat itu, ternyata aku mendapat cambuk. Banyak orang di sekitarku yang
mencemooh dan meremehkanku soal menulis. Sungguh saat itu aku merasa sakit.
Namun setelahnya aku mulai berpikir, kenapa aku harus berhenti
karena mereka? Bukankah ini mimpiku? Sepahit
dan sesakit apa pun,
aku harus bertahan. Aku bisa!
Bersama
waktu yang mengalir,
aku mulai merasakan keajaiban itu. Dengan menulis aku merasa hidup, bercerita,
mengenang masa lalu, mencurahkan isi hati, dan berbagi dengan orang lain.
Menulis bukan sekadar menggores tinta, namun selalu ada sesuatu yang terasa
jika telah menyelami dunia aksara. Seperti yang kurasakan, dan keajaiban itu
mulai datang.
Suatu
saat jika aku menua dan mulai
lupa dengan cerita yang telah lalu, maka akan kubuka kembali lembaran-lembaran
cerita yang pernah kutulis dahulu, semua itu akan menjadi pengingatku. Sebagai
sebuah kenangan yang tak pernah hilang, tidak seperti memori otak yang
terkadang kapan saja bisa melupakan. Inilah dunia baruku, menulis segala kisah
dalam lembar-lembar buku menuju tercapainya mimpi-mimpiku.
***
Biodata
Penulis
Chastfa,
dapat dihubungi melalui e-mail: fairylovva@yahoo.co.id,
FB: Chastfa Dandelion, atau twitter:
@Chastfairy
Kukagumi Catatanmu
Oleh: Victoria Alwi
Menulis
sebuah kisah nyata, yang orang akan tahu betapa tulisan itu dapat ditelaah
dalam sebuah kehidupan penuh estetika. Aku tak mencari, namun kebetulan saja
aku membaca catatan dari jejaring sosial gadis itu. Sepertinya gadis itu penuh
cerita. Dari catatannya saja dia bisa mengungkapkan apa yang telah dijalaninya,
sampai dia benar-benar membuktikan bahwa ternyata dia sama sepertiku. Nama
gadis itu
“Ya,
sepak bola.
Sejak kelas lima
SD aku menyukai sepak bola.
Namun, aku tak tahu dan bahkan sama sekali tak mengerti tentang istilah dalam sepak bola. Yang kutahu saat
itu hanyalah Mahyadi Panggabean. Namun, sejak EURO 2008, aku mulai menyaksikan pertandingan
Jerman lawan Spanyol. Nah, pada waktu itu aku menyukai sepak bola luar negeri. Jermanlah yang membuatku
menyukai sepak bola
dan bisa dibilang pecinta sepak bola.
Tahun demi tahun berlalu, sampai akhirnya rasa cinta bolaku tumbuh dengan pesat
pada 2010 saat piala dunia. Saat itu tak tahu mengapa aku suka Argentina. Oh, karena ada Messi dan
Tevez. Tetapi karena Argentina kalah 4-0 lawan Jerman, akhirnya aku suka lagi
sama Jerman, padahal laga sebelumnya Argentina tak terkalahkan, tetapi kesedihanku harus
muncul.
Saat
di semifinal,
Jerman harus kalah lawan Spanyol. Hal itu tak membuatku luntur
untuk mencari informasi tentang sepak bola Jerman. Sampai
akhirnya,
aku menemukan seorang gelandang Jerman, Bastian Schweinsteiger. Itulah pemain
sepak bola
pertama yang aku favoritkan. Lalu, tepatnya Oktober 2010 aku menyukai seseorang
yang namanya mirip pesepak bola
dari salah satu klub Inggris, Arsenal. Nama orang itu mirip dengan pemain
Arsenal bernomor punggung 23, Arshavin. Saat aku menyukai orang itu, aku ingin sekali
bersamanya, namun tak bisa. Sampai
akhirnya pada 9 November 2010 aku bertemu dengan orang itu, tetapi ternyata dia
sudah punya kekasih. Aku sedih dan malamnya aku menonton Arsenal dan seakan
kesedihanku lenyap. Dan semua tak berhenti di situ aku pun mulai mencintai klub
ini. Dimulai dari sejarahnya, pemainnya, pelatihnya, dan semua tentang klub ini
membuatku kagum dan hanya Arsenal satu-satunya klub yang aku favoritkan. Bahkan
aku pernah menangis di sekolah diledek temanku gara-gara Arsenal kalah 1-3 dari Barcelona. Karena
kejahilan
teman-temanku, saat aku menangis direkam menggunakan ponsel dan parahnya
diunggah ke facebook. Dan itulah pertama kalinya aku menangis karena sepak bola, 9 Maret 2011.
Victoria Concordia Crescit ( Kemenangan Berasal dari Keharmonisan)”
Itulah catatan gadis pecinta Arsenal
yang membuatku selalu kagum padanya atas segala karyanya. Beruntung sekali pada
Oktober 2012 aku bertemu dengannya saat pertemuan seluruh pecinta Arsenal di
seluruh
The
Start and the Beginning
Oleh: Shafira
Bayugiri R
Kalian
boleh tertawa karena cerita konyolku. Kalian boleh menangis karena kisah jalan
hidupku. Kalian boleh marah karena sikapku. Tapi aku tak akan pernah
mengizinkan kalian untuk meremehkan tulisanku.
Bukan hal yang mudah, menulis dengan
batasan-batasan yang ada. Batas waktu, misalnya. Seorang penulis tidak dapat
ditebak. Terkadang ide muncul begitu saja di dalam kepala, dan dengan mudahnya
tertuang tanpa beban apa pun.
Tapi ketika kita harus menulis dengan batasan-batasan tertentu, ide-ide yang
meluap dengan sekejap hilang dari pikiran.
Lain
halnya denganku yang memulai menulis dengan setumpuk batasan yang mau tidak mau
harus dipatuhi. Maka dari sinilah aku belajar. Semakin lama batasan-batasan
tersebut aku kurangi. Kuputuskan untuk menuliskan apa saja yang ada di
pikiranku, kapan pun dan di mana pun ke dalam sebuah buku
catatan kecil untuk membantuku mengumpulkan ide-ide yang lebih baru dan
mengembangkannya. Inilah awal dari kesuksesan seorang penulis, di mana batasan menjadi
tantangan dalam menulis.
Menulis
berita untuk sebuah blog
kecil-kecilan adalah awal dari perkembangan menulisku. Hingga kini, blog tersebut sudah semakin
eksis dan sukses, ialah saksi bisu perjalanan menulisku. Cerpen-cerpen yang
selama ini kuabaikan kembali kugarap dan kukirimkan untuk berbagai lomba.
Gagal, namun bangkit kembali dan terus mencoba.
Hingga
akhirnya kesempatan emas itu datang. Sebuah penerbit besar mengajakku untuk
menulis buku. Revisi demi revisi, catatan-catatan kecil dari sang editor yang
harus aku cermati hingga tulisanku menjadi sempurna, akhirnya naskahku sudah
siap untuk diolah.
Semangatku
kian menggebu setelah menjadi seorang kontributor antologi atas cerpenku yang telah
berkali-kali gagal dan diubah ulang. Lomba demi lomba aku ikuti. Tak peduli
kalah atau menang, asalkan semangat menulisku tidak tersia-siakan. Sekarang, aku izinkan
kalian untuk tersenyum karena tulisan ini.
Kutorehkan Pemikiran
dalam sebuah Tulisan
Oleh: Erlida Amnie Lubis
Banyak yang mengatakan
menulis itu lebih sulit dari membaca. Faktanya, kebanyakan masyarakat sendiri
pun jarang suka membaca, apalagi menulis. Ini tidak hanya terjadi bagi
yang tidak mengenyam pendidikan. Yang sedang menekuni pendidikan pun banyak
yang tidak menikmati. Maka tidak jarang kalau bangsa ini masih memiliki sedikit
karya dalam tulisan bermutu.
Sejak mengetahui apa
arti dari sebuah bacaan, menulis menjadi kebiasaanku. Setiap apa yang kubaca
hampir semuanya aku buat ringkasannya dalam tulisanku. Baik buku pelajaran
maupun bacaan biasa sudah menjadi lahapanku setiap hari. Sekarang, menulis
sudah menjadi temanku. Baik sedih maupun senang, apa pun yang kurasakan pasti
kususun dalam sebuah tulisan. Tidak perlu dalam narasi yang menyita waktu
ataupun media yang khusus. Tak jarang
pula kurangkai pemikiranku dalam kertas koran bekas dan kusalin kembali dalam
komputerku.
Aku menulis untuk
menuangkan isi pikiranku terhadap apa yang sedang terjadi di sekitarku. Bukan
hanya membuatku cerdas, tetapi aku ingin masyarakat pun ikut mengerti apa yang
terjadi saat ini. Memang belum ada karyaku yang terpatri dalam sebuah buku
sampai sekarang, tetapi itu bukanlah masalah. Menulis itu tidak
membutuhkan sebuah pengakuan.
Menulis merupakan salah
satu cara menyampaikan aspirasi kita. Setajam-tajamnya senjata seorang manusia
itu adalah pena. Melalui pena, akan terangkai kata demi kata menjadi sebuah
tulisan dengan kumpulan paragraf berarti. Dari tulisan, maka masyarakat akan
tercerdaskan. Dengan sebuah tulisan, masyarakat akan terbiasa memahami sesuatu
dan mendiskusikannya.
Jika masyarakat semakin
cerdas, maka dapat dipastikan tidak ada lagi keterpurukan bagi negeri ini.
Tanpa sebuah tulisan, maka tidak mungkin ada sebuah bacaan yang cerdas untuk
masyarakat. Karena itu, dibutuhkan sebuah komitmen untuk menulis. Dan bukanlah
hanya sekedar menulis. Tulislah setiap pemikiranmu untuk kebaikan negeri. Dan jangan
pernah berhenti hingga napasmu tiada terdengar
lagi.