Memaksaku untuk Cinta
Baca
Oleh: Wahyu Widayati
Terlintas sebuah ingatan tentang ucapan
salah seorang pemateri dalam acara launching
sekolah menulis di Surabaya. Dengan samar memori ini kembali
memperdengarkannya, “Aksi terbaik setelah membaca adalah menulis,” kata beliau yang juga
praktisi salah satu lembaga survei
di Indonesia. Ya, memang perlakuan pasca membaca adalah menulis, agar apa yang
telah terserap dari proses membaca akan membentuk suatu rangkaian pemahaman
wawasan yang kemudian berkembang menjadi lebih. Adapun yang berkata bahwa
menulis itu jodohnya membaca, dan keduanya tak akan terpisahkan seperti dua
sisi mata uang.
Begitulah
seorang penulis bersikap dalam memperkaya khasah ilmunya dengan membaca. Namun,
tak sama apa yang telah terjadi di saat pertama keinginan menulisku
menggebu-gebu dengan motivasi membacaku, sangatlah di bawah semangat menulis. Lantas,
yang terjadi adalah kualitas tulisanku yang tak lebih dari sebuah tulisan diary, hanya coretan-coretan pengalaman
dengan minim sentuhan sastra.
Pelan-pelan, perubahan ini harus aku
paksakan. Membaca harus jadi aktivitas wajibku agar kualitas karya fiksiku yang
bisa berbau diksi sastra. Memang tak mudah untuk mengubah sebuah aktivitas yang awalnya dianggap
membosankan,
menjadi sebuah aktivitas yang dibutuhkan untuk menyuplai pilihan kata. Ya,
merasakan sekali kebutuhan membaca yang lebih agar menulis menjadi berarti. Sedikit
demi sedikit kesukaan itu mulai memberi semangat untuk terus menggoreskan pena.
Alhamdulillah,
proses ini membawaku pada suasana nyaman ketika membaca dan menimbulkan keajaiban, juga memberi impact bagi sisi kehidupan yang lain.
Membaca, membaca, dan membaca,
agar ide mudah muncul dan mudah menggambarkan setting sebuah peristiwa dalam bentuk tulisan. Dan aksi ini akan
terus beraji sampai kapan pun.
Tak hanya aktivitas menulisku, tapi aktivitas yang lain dengan hikmah dari
bacaan yang berkualitas.
Jadi, menulis ini telah membawaku ke
dalam keajaiban merasakan zona nyaman sebuah aktivitas yang dinamakan
“membaca”. Sebuah proses yang indah dengan menggabungkan dua hobi yang berjodoh, yakni menulis dan
membaca.
Wonderful
of Write
Oleh: Nura Risala Kerinduan
Sebuah kajaiban biasanya hadir disanding ketakjuban yang mengalaminya, termasuk keajaiban dalam menulis.
Dengan menulis dapat memperindah tutur bahasa dan bahkan dapat melihat keajaiban dunia lewat perantara
membaca.
Seorang penulis tentu saja tidak bisa lepas dari membaca. Baik itu
membaca buku atau hal yang berkenaan dengan tulisan maupun membaca keadaan atau
peristiwa tertentu. Intinya, penulis adalah insan pembelajar. Ia dapat belajar
di mana pun dan kapan pun lewat peristiwa yang menjadi inspirasi dalam
tulisannya. Dengan perantara membaca, penulis juga dapat memperindah tutur
bahasanya, misalnya membaca novel dan puisi, dan membaca yang lainnya. Tentu
saja hal tersebut merupakan anugerah yang mungkin orang lain tidak
mendapatkannya.
Keajaiban dunia yang dapat dilihat sebagai bias keajaiban menulis,
bersumber dari goresan aksara yang tersusun rapi. Aksara itu dapat membawa
pencerahan bagi umat manusia. Dengan kata lain tulisan itu telah go
internasional dan secara otomatis
diterjemahkan ke dalam bahasa lain selain bahasa asal sang penulis.
Bagiku sendiri keajaiban menulis itu terletak pada kelihaian dalam
menyusun aksara itu sendiri. Aku sama sekali tidak pernah belajar tata bahasa
dan EyD, bahkan aku agak alergi untuk serius mempelajarinya walaupun aku ingin
sekali menjadi penulis. Seiring berjalannya waktu, aku cukup takjub tatkala aku
sanggup menyusun aksara dengan rapi, padahal aku hanya mengandalkan partisipasi
mengikuti ajang kepenulisan saja.
Ternyata menulis bisa disebut
kebudayaan atau perubahahan atau lebih singkatnya pembangunan dari jiwa untuk
dunia.
Pilihanku
Raut mukaku mulai mengkerut, tapi bukan tua yang keriput.
Memerah pula muka ini dengan tertunduk. Aku duduk di kursi tempatku bekerja
dengan meja biru yang selalu kupandang tak kenal jemu. Suara bising mesin yang
tak pernah bisu jadi nada merdu yang temaniku hampir setiap waktu. Memang, seperti inilah nasibku
bekerja di sebuah pabrik minyak di Kalimantan. Hidup di tengah kepungan
prajurit-prajurit hijau berbaris rapi. Jauh dari glamorisasi kota, berjarak
dengan hiburan penyemangat jiwa, kerinduan akan keluarga hingga kehilangan yang
tercinta.
Tragis,
kata yang cukup pantas untuk keadaanku. Bagaimana tidak. Ketika
aku ingin merasakan euforia kota,
hanya fatamorgananya yang aku dapat dari debu beterbangan di jalan tak
beraspal. Saat rindu ingin melihat gemerlap lampu-lampu kota, hanya warna pelangi yang
aku saksikan menjulang terlalu tinggi dan memanjang hingga tak nampak.
Kerinduan akan dekapan hangat keluarga harus rela terganti dengan suara dari
seluler. Untuk yang tercinta, sudahlah semua sudah berlalu.
Di tengah renunganku, aku teringat akan perkataan
temanku. “Ini
sudah jadi risiko
orang perantau, Dik,” ujar lelaki tua yang
bekerja satu pabrik denganku.
Jenuh
itu menghantuiku setiap waktu. Mengiringi setiap langkahku menjadi bayang dalam
kehidupanku. Buku laporan di mejaku sering menjadi pelampiasan kebosananku. Coretan
demi coretan tersimpan di dalamnya. Sebuah ungkapan rasa dari hari ke hari
tanpa kusadari memenuhi setiap lembarnya. Aku susun setiap potongannya dan kurangkai dalam bingkai
yang lebih indah. Dalam sebuah cerita lalu, sebuah rasa yang kurasakan dulu.
Pertama
kalinya aku menikmati hidup di perantauan dengan senyum terpancar saat potongan
itu terkumpul menjadi sebuah naskah. Tak henti-hentinya aku membaca dan
mengenang apa yang aku alami dulu. Hingga kusadari hidupku begitu indah dan
berarti. Ini semua bukan tentang apa yang aku alami sekarang, tapi tentang konsekuensi
jalan yang aku pilih dulu. Aku salah bila menyesali pilihanku, karena aku punya seribu
alasan untuk mensyukuri
pilihanku. Aku tak berharap menjadi seorang penulis, meski menulis membuatku bertahan hidup. Aku hanya ingin
memuntahkan rasa bila hanya ada secarik kertas di depanku, itu pilihanku.
Seni Menulis dengan Bahasa
Jiwa
Oleh: Dito Anurogo
Tulisan jiwa itu abadi sebab berisi sabda
suci Ilahi.
Andai umat manusia memahami betapa indah menulis
dengan bahasa jiwa, dan merangkai makna tanpa kata, maka akan terkuak bagaimana
jiwa berkata dan bagaimana hati berkomunikasi. Lalu, yang ada hanya melodi
cinta kasih yang bersemi, damai menghiasi bumi
pertiwi.
Diamlah
Dalam diam, biarkanlah jiwamu untuk mengembara.
Bebaskanlah pikiranmu untuk berkelana. Istirahatkanlah nafsumu untuk sementara.
Dalam keheningan, jiwa akan menemukan jalan yang membimbing kita menuju cahaya.
Cahaya yang menerangi kehidupan. Kehidupan menuju keabadian.
Pandanglah
Pandanglah pagi dan hendaklah sejenak melupakan
malam. Sebab pagi selalu membawa harapan dan malam selalu menawarkan kegelapan.
Bagi jiwa-jiwa yang merindukan pencerahan, pandanglah pagi, nantikanlah mentari
berseri. Namun hendaklah kita mengingat bahwa ada bintang yang menerangi malam
dan ada mendung yang menyelimuti pagi. Malam tak selamanya kelam, dan pagi tak
selamanya berseri.
Renungkanlah
Kehidupan selalu menawarkan sejuta keajaiban.
Renungkanlah. Betapa jiwa-jiwa yang rindu akan keajaiban dan berusaha untuk
terus mencapainya, pastilah akan mendapatkan. Bukan sekadar memimpikan atau
menginginkan, melainkan menciptakan. Renungkanlah. Cinta adalah keajaiban dan Kasih
adalah keabadian, sehingga
jiwa yang bersahabat dengan Cinta dan berkerabat dengan Kasih akan mudah
menciptakan keajaiban yang menuntun ke jalan Keabadian.
Dengarkanlah
Jiwa mampu berkata. Hati mampu bermelodi. Nurani
mampu bersimfoni. Dengarkanlah. Tiada yang lebih mesra
dari perkataan jiwa. Tiada yang lebih murni dari melodi hati. Tiada yang lebih
menawan dari simfoni nurani. Dengarkanlah. Jeritan kaum papa. Ratapan orang
teraniaya. Jiwa mereka menjelma doa. Hati mereka menjelma kidung. Nurani mereka
menjelma solilokui. Dengarkanlah.
Bersyukurlah
Ada sesuap nasi. Ada sekuntum melati. Bersyukurlah.
Nikmat bertambah. Rezeki berlimpah. Syukur
merupakan karunia mulia bagi jiwa. Jiwa mencerahkan dunia dengan kemuliaan
syukur. Bersyukurlah. Merindu hari cerah. Mengharap hidup berkah.
Berbuatlah
Sepenuh hati. Seluruh
diri. Berbuatlah. Sekarang. Selekasnya. Kehidupan tak pernah menanti. Menanti
tak pernah jemu. Jemu tak pernah berjumpa. Berjumpa tak pernah bersatu. Bersatu
tak pernah abadi. Abadi tak pernah berharap. Berharap tak pernah bermimpi.
Bermimpi tak pernah berbuat. Berbuatlah. Demi Kehidupan. Demi Tuhan. Sahabatku…
inilah seni tertinggi. Seni menulis dengan bahasa jiwa.