-->

BELAJAR MENULIS OPINI : TERBIT DI MEDIA NASIONAL

| 2:22 PM |

 

Memaksaku untuk Cinta Baca

 

Oleh: Wahyu Widayati

 

Terlintas sebuah ingatan tentang ucapan salah seorang pemateri dalam acara launching sekolah menulis di Surabaya. Dengan samar memori ini kembali memperdengarkannya, “Aksi terbaik setelah membaca adalah menulis,” kata beliau yang juga praktisi salah satu lembaga survei di Indonesia. Ya, memang perlakuan pasca membaca adalah menulis, agar apa yang telah terserap dari proses membaca akan membentuk suatu rangkaian pemahaman wawasan yang kemudian berkembang menjadi lebih. Adapun yang berkata bahwa menulis itu jodohnya membaca, dan keduanya tak akan terpisahkan seperti dua sisi mata uang.

Begitulah seorang penulis bersikap dalam memperkaya khasah ilmunya dengan membaca. Namun, tak sama apa yang telah terjadi di saat pertama keinginan menulisku menggebu-gebu dengan motivasi membacaku, sangatlah di bawah semangat menulis. Lantas, yang terjadi adalah kualitas tulisanku yang tak lebih dari sebuah tulisan diary, hanya coretan-coretan pengalaman dengan minim sentuhan sastra.

Pelan-pelan, perubahan ini harus aku paksakan. Membaca harus jadi aktivitas wajibku agar kualitas karya fiksiku yang bisa berbau diksi sastra. Memang tak mudah untuk mengubah sebuah aktivitas yang awalnya dianggap membosankan, menjadi sebuah aktivitas yang dibutuhkan untuk menyuplai pilihan kata. Ya, merasakan sekali kebutuhan membaca yang lebih agar menulis menjadi berarti. Sedikit demi sedikit kesukaan itu mulai memberi semangat untuk terus menggoreskan pena.

Alhamdulillah, proses ini membawaku pada suasana nyaman ketika membaca dan menimbulkan keajaiban, juga memberi impact bagi sisi kehidupan yang lain. Membaca, membaca, dan membaca, agar ide mudah muncul dan mudah menggambarkan setting sebuah peristiwa dalam bentuk tulisan. Dan aksi ini akan terus beraji sampai kapan pun. Tak hanya aktivitas menulisku, tapi aktivitas yang lain dengan hikmah dari bacaan yang berkualitas.

Jadi, menulis ini telah membawaku ke dalam keajaiban merasakan zona nyaman sebuah aktivitas yang dinamakan “membaca”. Sebuah proses yang indah dengan menggabungkan dua hobi yang berjodoh, yakni menulis dan membaca.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Wonderful of Write

Oleh: Nura Risala Kerinduan

Sebuah kajaiban biasanya hadir disanding ketakjuban yang mengalaminya, termasuk keajaiban dalam menulis. Dengan menulis dapat memperindah tutur bahasa dan bahkan dapat  melihat keajaiban dunia lewat perantara membaca.

Seorang penulis tentu saja tidak bisa lepas dari membaca. Baik itu membaca buku atau hal yang berkenaan dengan tulisan maupun membaca keadaan atau peristiwa tertentu. Intinya, penulis adalah insan pembelajar. Ia dapat belajar di mana pun dan kapan pun lewat peristiwa yang menjadi inspirasi dalam tulisannya. Dengan perantara membaca, penulis juga dapat memperindah tutur bahasanya, misalnya membaca novel dan puisi, dan membaca yang lainnya. Tentu saja hal tersebut merupakan anugerah yang mungkin orang lain tidak mendapatkannya.

Keajaiban dunia yang dapat dilihat sebagai bias keajaiban menulis, bersumber dari goresan aksara yang tersusun rapi. Aksara itu dapat membawa pencerahan bagi umat manusia. Dengan kata lain tulisan itu telah go internasional dan secara otomatis  diterjemahkan ke dalam bahasa lain selain bahasa asal sang penulis.

Bagiku sendiri keajaiban menulis itu terletak pada kelihaian dalam menyusun aksara itu sendiri. Aku sama sekali tidak pernah belajar tata bahasa dan EyD, bahkan aku agak alergi untuk serius mempelajarinya walaupun aku ingin sekali menjadi penulis. Seiring berjalannya waktu, aku cukup takjub tatkala aku sanggup menyusun aksara dengan rapi, padahal aku hanya mengandalkan partisipasi mengikuti ajang kepenulisan saja.

Ternyata menulis bisa disebut kebudayaan atau perubahahan atau lebih singkatnya pembangunan dari jiwa untuk dunia.

 

 

 

 

Pilihanku

 

Raut mukaku mulai mengkerut, tapi bukan tua yang keriput. Memerah pula muka ini dengan tertunduk. Aku duduk di kursi tempatku bekerja dengan meja biru yang selalu kupandang tak kenal jemu. Suara bising mesin yang tak pernah bisu jadi nada merdu yang temaniku hampir setiap waktu. Memang, seperti inilah nasibku bekerja di sebuah pabrik minyak di Kalimantan. Hidup di tengah kepungan prajurit-prajurit hijau berbaris rapi. Jauh dari glamorisasi kota, berjarak dengan hiburan penyemangat jiwa, kerinduan akan keluarga hingga kehilangan yang tercinta.

            Tragis, kata yang cukup pantas untuk keadaanku. Bagaimana tidak. Ketika aku ingin merasakan euforia kota, hanya fatamorgananya yang aku dapat dari debu beterbangan di jalan tak beraspal. Saat rindu ingin melihat gemerlap lampu-lampu kota, hanya warna pelangi yang aku saksikan menjulang terlalu tinggi dan memanjang hingga tak nampak. Kerinduan akan dekapan hangat keluarga harus rela terganti dengan suara dari seluler. Untuk yang tercinta, sudahlah semua sudah berlalu.

            Di tengah renunganku, aku teringat akan perkataan temanku. “Ini sudah jadi risiko orang perantau, Dik, ujar lelaki tua yang bekerja satu pabrik denganku.

            Jenuh itu menghantuiku setiap waktu. Mengiringi setiap langkahku menjadi bayang dalam kehidupanku. Buku laporan di mejaku sering menjadi pelampiasan kebosananku. Coretan demi coretan tersimpan di dalamnya. Sebuah ungkapan rasa dari hari ke hari tanpa kusadari memenuhi setiap lembarnya. Aku susun setiap potongannya dan kurangkai dalam bingkai yang lebih indah. Dalam sebuah cerita lalu, sebuah rasa yang kurasakan dulu.

            Pertama kalinya aku menikmati hidup di perantauan dengan senyum terpancar saat potongan itu terkumpul menjadi sebuah naskah. Tak henti-hentinya aku membaca dan mengenang apa yang aku alami dulu. Hingga kusadari hidupku begitu indah dan berarti. Ini semua bukan tentang apa yang aku alami sekarang, tapi tentang konsekuensi jalan yang aku pilih dulu. Aku salah bila menyesali pilihanku, karena aku punya seribu alasan untuk mensyukuri pilihanku. Aku tak berharap menjadi seorang penulis, meski menulis membuatku bertahan hidup. Aku hanya ingin memuntahkan rasa bila hanya ada secarik kertas di depanku, itu pilihanku.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Seni Menulis dengan Bahasa Jiwa

Oleh: Dito Anurogo

 

Tulisan jiwa itu abadi sebab berisi sabda suci Ilahi.

 

Andai umat manusia memahami betapa indah menulis dengan bahasa jiwa, dan merangkai makna tanpa kata, maka akan terkuak bagaimana jiwa berkata dan bagaimana hati berkomunikasi. Lalu, yang ada hanya melodi cinta kasih yang bersemi, damai menghiasi bumi pertiwi.

Diamlah

Dalam diam, biarkanlah jiwamu untuk mengembara. Bebaskanlah pikiranmu untuk berkelana. Istirahatkanlah nafsumu untuk sementara. Dalam keheningan, jiwa akan menemukan jalan yang membimbing kita menuju cahaya. Cahaya yang menerangi kehidupan. Kehidupan menuju keabadian.

            Pandanglah

Pandanglah pagi dan hendaklah sejenak melupakan malam. Sebab pagi selalu membawa harapan dan malam selalu menawarkan kegelapan. Bagi jiwa-jiwa yang merindukan pencerahan, pandanglah pagi, nantikanlah mentari berseri. Namun hendaklah kita mengingat bahwa ada bintang yang menerangi malam dan ada mendung yang menyelimuti pagi. Malam tak selamanya kelam, dan pagi tak selamanya berseri.

            Renungkanlah

Kehidupan selalu menawarkan sejuta keajaiban. Renungkanlah. Betapa jiwa-jiwa yang rindu akan keajaiban dan berusaha untuk terus mencapainya, pastilah akan mendapatkan. Bukan sekadar memimpikan atau menginginkan, melainkan menciptakan. Renungkanlah. Cinta adalah keajaiban dan Kasih adalah keabadian, sehingga jiwa yang bersahabat dengan Cinta dan berkerabat dengan Kasih akan mudah menciptakan keajaiban yang menuntun ke jalan Keabadian.

            Dengarkanlah

Jiwa mampu berkata. Hati mampu bermelodi. Nurani mampu bersimfoni. Dengarkanlah. Tiada yang lebih mesra dari perkataan jiwa. Tiada yang lebih murni dari melodi hati. Tiada yang lebih menawan dari simfoni nurani. Dengarkanlah. Jeritan kaum papa. Ratapan orang teraniaya. Jiwa mereka menjelma doa. Hati mereka menjelma kidung. Nurani mereka menjelma solilokui. Dengarkanlah.

            Bersyukurlah

Ada sesuap nasi. Ada sekuntum melati. Bersyukurlah. Nikmat bertambah. Rezeki berlimpah. Syukur merupakan karunia mulia bagi jiwa. Jiwa mencerahkan dunia dengan kemuliaan syukur. Bersyukurlah. Merindu hari cerah. Mengharap hidup berkah.

            Berbuatlah

Sepenuh hati. Seluruh diri. Berbuatlah. Sekarang. Selekasnya. Kehidupan tak pernah menanti. Menanti tak pernah jemu. Jemu tak pernah berjumpa. Berjumpa tak pernah bersatu. Bersatu tak pernah abadi. Abadi tak pernah berharap. Berharap tak pernah bermimpi. Bermimpi tak pernah berbuat. Berbuatlah. Demi Kehidupan. Demi Tuhan. Sahabatku… inilah seni tertinggi. Seni menulis dengan bahasa jiwa.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

GENDAM NUSANTARA 919

Back to Top