-->

Melamunkan Partai Indonesia Membaca

| 12:00 AM |

 


AS Laksana 


Ada satu peribahasa yang membuat saya merasa putus asa pada diri sendiri dan suka melamun di masa kecil: "Mens sana in corpore sano." Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat.


Tubuh saya kurus, dengan batang-batang tulang yang menjulur seperti ranting, dan berat badan hanya 25 kilogram pada waktu kelas lima SD. Mungkin naik sedikit pada waktu kelas enam, atau mungkin turun sedikit, saya tidak yakin.


Saya tidak pernah menimbang badan lagi setelah kelas lima dan benci pada tukang timbang badan keliling yang sesekali lewat di kampung kami. Ibu-ibu suka menghentikan tukang timbang badan, memeriksa berapa berat badan mereka, dan menyuruh anak-anak mereka menimbang badan sekalian. Saya sembunyi ke belakang rumah.


Secara keseluruhan penampilan saya tampak seperti kanak-kanak yang selalu cacingan pada segala musim. Kadang-kadang terserang biduren--itu kesempatan untuk terlihat sedikit gemuk, yakni ketika bentol-bentol sudah merata di sekujur tubuh dan rasa gatalnya agak mereda.


Kondisi seperti itu membuat saya berpikir bahwa tubuh saya tidak sehat; dengan demikian jiwa saya juga tidak sehat. Saya meyakini kebenaran mens sana in corpore sano sebagaimana saya mempercayai bahwa tetangga sebelah rumah pernah dililit hantu dan ditidurkan di dahan pohon sukun, sama persis dengan orang-orang dari masa pra-ilmiah yang meyakini bahwa bumi itu datar.


Keputusasaan terhadap tubuh sendiri membuat saya mengagumi tentara. Tubuh mereka sehat dan kekar, pasti jiwa mereka juga sehat dan kekar. Kelak, semasa kuliah di Yogyakarta, saya meralat keyakinan kanak-kanak itu ketika menyaksikan sekawanan tentara Orde Baru bertindak ganas memukuli para demonstran. Pikir saya, jiwa mereka mungkin tidak sesehat tubuh mereka.


Selama saya meyakini peribahasa itu, yang bisa saya lakukan hanya melamun. Dan saya melamunkan apa saja. Saya membayangkan diri sehebat Napoleon Bonaparte, orang Perancis dengan postur seperti penguin yang gemar melakukan penaklukan. Riwayat orang ini saya baca dari buku pelajaran sejarah SMP milik paman saya.


Saat membaca Sherlock Holmes, saya membayangkan diri sebagai Sherlock. Saya pikir akan menyenangkan sekiranya saya memiliki kecerdasan seperti detektif itu. Dengan memperhatikan tanah yang melekat pada sandal seseorang, saya bisa langsung tahu apakah ia baru pulang dari kuburan atau dari rumah seorang dukun.


Saya membayangkan diri sebagai Mahesa Jenar ketika membaca cerita silat S.H. Mintardja "Nagasasra Sabuk Inten", lalu menggambar sendiri jurus-jurus maut di buku notes Pramuka dan memendamnya di bawah pohon jarak di pekarangan belakang rumah. Lain waktu saya membayangkan diri sebagai ilmuwan yang kelak menemukan bahan bakar baru dari air dicampur serbuk kimia, membayangkan diri pergi ke kutub selatan, merasa sedih oleh nasib buruk yang dialami Pangeran Monte Cristo, dan sebagainya.


Setiap kali membaca buku, saya melamun. Mungkin jiwa saya memang tidak sehat.


Akhirnya, ketika masuk SMA, saya melakukan tindakan revolusioner untuk menyehatkan tubuh, dengan tujuan akhir jiwa saya ikut sehat juga. Maka, saya membuat sendiri barbel dari dua kaleng cat tembok diisi adonan semen dan pasir. Berat sekali untuk mengangkatnya, tetapi saya merasa agak berhasil memperbaiki otot-otot lengan.


Berat badan saya naik menjadi 49 kilogram ketika lulus SMA dan saya mampu mempertahankannya selama masa kuliah--kadang-kadang turun tetapi saya selalu berhasil mengembalikannya lagi. Saat meninggalkan Yogyakarta menuju Jakarta, saya tetap berhasil mempertahankannya 49 kilogram itu. Yang tidak berhasil saya singkirkan adalah kebiasaan melamun.


Sekarang, ketika putus asa mengenai rendahnya minat baca masyarakat Indonesia, saya kembali melamun membayangkan alangkah baiknya jika gemar membaca bisa didorong menjadi sebuah gerakan politik.


Saya pikir tidak cukup jika ia sekadar menjadi gerakan kultural, yang dijalankan oleh para aktivis pecinta buku semampu mereka. Saya menghormati idealisme mereka yang sebesar gunung Semeru, tetapi, tanpa dukungan politik, gerakan kultural hanya akan serupa dengan upaya seorang diri untuk mendorong bis mogok.


Sebagai gerakan politik, ia tentu akan mengajukan tuntutan-tuntutan politik agar pemerintah membuat kebijakan yang mampu mewujudkan masyarakat gemar membaca. Saya bayangkan tuntutannya kurang lebih seperti ini:


1. Meminta pemerintah memperbaiki sistem pendidikan sehingga sekolah-sekolah akan menghasilkan lulusan yang mampu menggunakan akal dan gemar membaca buku.


2. Ada perpustakaan di setiap desa, dengan koleksi buku-buku bagus.


3. Menekan pemerintah agar menerjemahkan secara besar-besaran buku-buku penting dan karya-karya sastra terbaik dari berbagai negara di lima benua. Ini penting karena kegemaran membaca akan lebih mudah diwujudkan ketika kita bisa menemukan bacaan-bacaan bagus secara mudah.


Saya agak beruntung pada saat mulai senang membaca ada penerbit Pustaka Jaya, didirikan oleh Ajip Rosidi, yang bersemangat menerbitkan terjemahan karya-karya sastrawan besar, dengan para penerjemah yang menguasai bahasa Indonesia secara baik, di antaranya Sapardi Djoko Damono, Asrul Sani, dan Trisno Sumardjo. Ada juga Penerbit Obor yang didirikan dan dikendalikan oleh Mochtar Lubis.


Gerakan politik gemar membaca tentu saja dimaksudkan untuk menyiapkan generasi baru yang lebih cerdas ketimbang generasi hari ini, menyiapkan mereka yang sekarang masih kanak-kanak. Orang-orang yang telanjur berumur 20 tahun saya pikir tidak perlu didorong-dorong untuk gemar membaca. Anda tahu, pada umur 20 tahun, orang yang tidak gemar membaca akan lebih senang disuruh push-up lima puluh kali sehari ketimbang dipaksa membaca satu buku sebulan.


Orang-orang berumur 40 tahun akan lebih suka belajar agama. Kalaupun mereka mulai melirik bacaan, mereka akan memilih bacaan-bacaan menjelang ajal. Jadi, tidak usah dipaksa mereka membaca buku-buku apa pun selain kumpulan doa-doa mustajab.


Saya sudah cukup senang sekiranya mereka--orang-orang 40 tahun ke atas--mau berpura-pura membaca setiap hari. Cukup berpura-pura, membuka halaman-halaman buku satu dua jam sehari, memandanginya saja dan tidak perlu membaca, tidak perlu juga mulut mereka berkecumik seperti orang salat. Mereka perlu tahu bahwa membaca dalam hati tidak memerlukan kecumik mulut.


Mereka bisa berpura-pura membaca karya-karya Shakespeare, atau Bertrand Russell, atau Stephen Hawking, atau segala buku filsafat, teori ekonomi, teori fisika kuantum, atau Mahabharata, atau apa saja. Yang penting anak-anak melihat orang tua mereka gemar membaca, dan, sebagai orang tua, mereka bisa mengatakan kepada anak-anak mereka: "Membacalah setiap hari, Nak, seperti ayah dan ibumu."


Sekarang saya tahu bahwa mens sana in corpore sano adalah peribahasa yang bukan saja keliru, tetapi tidak bisa dipercaya. Yang benar mestinya di dalam akal yang sehat terdapat jiwa yang sehat.


Agar pemerintah menyadari pentingnya akal yang sehat bagi seluruh warga negara, saya bayangkan perlu tuntutan politik yang keras, sehingga ada kemauan politik oleh pemerintah untuk mewujudkan masyarakat gemar membaca.


Mungkin bahkan kita perlu memikirkan berdirinya Partai Indonesia Membaca, sebuah partai politik yang bekerja untuk menekan pemerintah agar membereskan sistem pendidikan, mendorong penerjemahan semua karya besar ke dalam bahasa Indonesia, dan mewujudkan masyarakat gemar membaca ke dalam kebijakan politik.


Sekiranya ia ada, Partai Indonesia Membaca akan bertarung di kancah politik untuk mempersiapkan generasi Indonesia Baru yang lebih cerdas, lebih damai di bumi, dan lebih siap menjalani pergaulan antarbangsa di dunia luas.


Oh, saya masih suka melamun, tetapi sekarang saya tahu bahwa itu sehat. Orang-orang bijak menyebutnya berimajinasi--ia memberi kita sayap untuk terbang ke mana pun.[]


* Dimuat pertama kali di Beritagar, 18 Januari 2017.

GENDAM NUSANTARA 919

Back to Top