-->
Showing posts with label Mahabharata kisah ke-7. Show all posts
Showing posts with label Mahabharata kisah ke-7. Show all posts

Mahabharata (7) TIGA PUTRI KASI

 



Oleh: A.S. Laksana 

.

Seribu raja dan pangeran berkumpul di balairung swayamvara, di antara karangan bunga, di bawah lengkungan warna-warni, diselimuti harum melati. Tiap-tiap orang berharap salah satu putri Kasi akan memilihnya. Mereka bercakap-cakap dalam bisikan, dan tertawa lirih dalam suara yang menyiratkan kecemasan.


Amba, Ambika, dan Ambalika duduk di samping ayah mereka, dalam pakaian pengantin, dengan wibawa dan keanggunan yang membuat para raja dan pangeran di balairung saling menakar siapa tiga orang di antara mereka yang paling layak bagi putri-putri itu. Para pendeta istana menunggui jam air, siap mengumumkan waktu yang tepat untuk menyerahkan untaian bunga kepada para putri, dan selanjutnya masing-masing putri akan mengalungkan untaian bunga itu kepada raja atau pangeran yang ia pilih sebagai suami. Karena itulah upacara tersebut dinamai swayamvara, sebab seorang perempuan memilih sendiri (swayam) mempelai lelaki atau ‘vara’-nya.


Saatnya telah tiba bagi putri tertua, Amba, untuk menerima untaian bunga dan mengalungkannya kepada lelaki yang ia pilih, dan ia sedang melangkah ke arah lelaki itu ketika terdengar derap kuda memasuki halaman balairung. Suasana hening dan tegang ketika mereka melihat siapa yang turun dari kereta: Dewabrata dari Hastina, lelaki yang diberi nama Bhisma oleh para dewa karena sumpahnya. Ia masih sangat tampan pada usianya yang sudah di atas lima puluh tahun, dan ia datang ke swayamvara.


Salah seorang dari mereka berteriak mencibir kedatangannya: “Anda datang terlambat, Dewabrata. Kami bisa paham jika anda tidak kuat menanggung sumpah anda sendiri dan membatalkannya, tetapi apakah anda tidak merasa terlalu tua untuk swayamvara ini?”


Cibiran itu diikuti suara tawa menggelegar dari balairung. Putra Gangga menoleh ke arah lelaki yang mencibirnya dan memandanginya lekat-lekat, dan kemudian menyapukan pandangannya kepada semua orang di balairung, seolah-olah ia dewa kematian yang datang untuk mencabut nyawa semua lelaki di tempat itu. Mereka berhenti tertawa seketika.


"Aku datang tepat waktu," kata Bhisma.


Amba mematung di depan mempelai pilihannya, raja Salwa. Ia telah mengangkat tangannya untuk mengalungkan untaian bunga ke leher lelaki itu ketika Bhisma menyambarnya, lalu kedua adiknya, lalu membawa mereka bertiga ke dalam keretanya. 


Dari kereta ia berteriak kepada para lelaki yang menjadi linglung oleh kejadian yang berlangsung cepat di hadapan mereka: “Aku datang untuk adikku! Para putri ini akan menjadi ratu di Hastinapura. Hadapi aku, Ksatria, tunjukkan keberanian kalian.”


Segera setelah itu ia melarikan keretanya meninggalkan mereka. Pada masa itu, kehormatan bernilai jauh di atas nyawa. Masing-masing dari mereka tahu bahwa tidak ada satu orang pun di balairung itu yang sanggup menghadapi Bhisma, tetapi mereka tidak akan membiarkan martabat mereka direndahkan begitu rupa tanpa memberi perlawanan. Mereka melesat mengejar Bhisma, tanpa menduga bahwa Bhisma akan membalikkan arah keretanya untuk menyongsong mereka.


Dewabrata mampu membendung arus Gangga dengan anak panahnya ketika remaja. Sekarang, dalam puncak kehebatannya, sebagai Bhisma, ia tidak mungkin tertandingi oleh mereka, bahkan sekalipun mereka maju bersama-sama. Dengan satu tarikan, ia menghujani mereka dengan badai anak panah. Kereta-kereta hancur. Para raja dan pangeran rubuh, baju zirah mereka tertembus mata panah.


Namun ada satu yang memberi perlawanan sengit kepada Bhisma. Raja Salwa. Amba telah memilihnya, hanya belum sempat mengalungkan untaian bunga ke lehernya, dan Salwa bertekad mendapatkan kembali mempelai perempuan yang direnggut darinya. Dalam pertarungan itu, ia berhasil menancapkan tiga anak panah ke tubuh Bhisma. 


Putra Gangga mengaum setelah mencabut ketiga anak panah itu dan dalam sekejap ia menghancurkan kereta Salwa. Amba memejamkan mata dan berdoa untuk keselamatan lelaki pilihannnya, yang terlontar dari kereta dan sekarang tak berdaya di hadapan Bhisma. Hanya sorot matanya yang masih memberikan perlawanan: Mata itu menatap Bhisma penuh kebencian. Bhisma meninggalkannya; ia tidak membunuh orang yang sudah tidak berdaya.


*


Kereta berjalan pelan-pelan ketika memasuki Hastinapura dan orang-orang berhamburan keluar dari rumah untuk menyambut kedatangan Bhisma. Mereka ingin melihat apa yang dibawa oleh Putra Gangga. Mereka bersorak ketika melihat tiga orang putri di dalam keretanya. Ambika dan Ambalika, dalam paras malu-malu, menyambut lambaian tangan orang-orang yang berkerumun di tepi jalan dengan senyum tertahan, tetapi mereka menikmati. Kedua putri itu telah menyaksikan pertempuran para ksatria, satu melawan seribu, demi mendapatkan mereka. Dan kini lelaki paling perkasa telah memboyong mereka, seorang ksatria yang dicintai oleh semua orang di negerinya, yang kedatangannya disambut dengan sukacita, dan mereka berada di dalam kereta bersamanya.

 

Orang-orang Hastinapura menanyakan nama mereka dan menyebut mereka ratu. Ambika dan Ambalika merasa senang dipanggil ratu dan mereka meyakini, saat itu juga, bahwa Hastinapura adalah kota takdir mereka. Senyum mereka tak lagi tertahan. Mereka tersenyum ramah kepada orang-orang dan melambaikan tangan sepanjang jalan. Amba tidak. Putri tertua Kasi itu hanya menundukkan kepalanya.


Bhisma bergegas ke ruangan Satyawati begitu kereta berhenti di istana; ketiga putri mengikutinya. Satyawati membuka pintu kamarnya setelah ketukan Bhisma.


“Siapa mereka, Dewabrata?”


“Menantumu, Ibu. Putri-putri Kasi.”


Mereka maju dan berlutut menyentuh kaki Satyawati. Ibu suri tertegun melihat kecantikan mereka. “Berdirilah,” katanya. Ia menyentuh bahu mereka satu demi satu.


Kepada seorang penjaga, Bhisma memberi perintah, “Katakan kepada raja bahwa ibu memanggilnya.” 


Wicitrawirya tiba dan pandangan pertamanya langsung tertuju kepada Amba, Ambika, dan Ambalika, dan kemudian ia berlutut di kaki Bhisma. Bhisma mengangkatnya berdiri dan mereka berpelukan. Wicitrawirya merasakan darah di dada kakaknya, darah dari tiga lubang bekas tusukan panah Salwa.


“Engkau terluka,” kata Wicitrawirya.


“Hanya goresan kecil,” kata Bhisma.


“Ibu, cepat ambilkan air hangat dan ramuan.”


Wicitrawirya membalut luka kakaknya dan mengobatinya dengan ramuan yang dibawa oleh pelayan ibunya. Ketika ia selesai, sebuah suara lirih dan gemetar terdengar dari arah belakangnya: “Saya mohon izin untuk bicara.”


Itu suara Amba.


Bhisma mengangkat muka ke arahnya. “Bicaralah, Putri. Tidak perlu takut. Ini rumahmu sekarang.”


Amba diam beberapa saat, mengumpulkan keberanian untuk mengeluarkan apa yang menyesaki dadanya. “Ketika tuan Bhisma datang ke swayamvara dan kemudian membawa kami, sebetulnya saya sedang hendak mengalungkan untaian bunga ke leher raja Salwa. Saya telah memilih dia menjadi suami saya.”


"Kenapa tidak memberi tahu aku soal itu?” kata Bhisma. “Kamu hanya diam, bahkan ketika aku bertarung melawan Salwa.”


"Keberanian saya hilang, Tuan Bhisma. Ketika Tuan bertarung dengannya, saya tahu dia tidak mungkin menang. Tapi tidak mungkin juga saya memohonkan belas kasih untuknya. Maka saya hanya bisa berdoa agar dia tidak celaka, dan saya berterima kasih bahwa Tuan tidak membunuhnya.”


Mendengar itu, Wicitrawirya segera membuat keputusan: "Tidak mungkin aku menikahi perempuan yang telah memberikan hatinya kepada orang lain.”


Bhisma lega mendengar ucapan adiknya. Dan kepada Amba ia berkata lembut: “Pulanglah kepada Salwa. Rumahmu di sana.” Lalu ia memanggil penjaga dan memberi perintah: “Siapkan pengawal untuk Putri Amba. Antar dia dengan keretaku sendiri ke tempat raja Salwa.”


Untuk kali pertama, senyum bahagia muncul di wajah cantik Amba, seperti cahaya pagi. Ia berterima kasih kepada Bhisma, mendoakan kejayaan Hastina, dan memohon berkah dan restu kepada Satyawati. Dalam pengawalan para prajurit kerajaan, Amba meninggalkan Hastina untuk menjumpai mempelai lelakinya, dengan sukacita, tanpa menyadari betapa singkat umur kegembiraannya.[]

GENDAM NUSANTARA 919

Back to Top