Tulisanku adalah
Aku
Oleh:
Rin Agustia Nur Maulida
Sejak kecil,
orang mengenalku sebagai seorang anak yang tertutup. Aku jarang sekali
berbicara dengan orang yang ada di sekitarku. Ada perasaan kurang percaya diri
pada diriku saat berada di antara yang lain. Entah apa yang membuatku merasa
kurang percaya diri tersebut.
Sikap ini terus
diam dalam diriku hingga aku duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Sikap
tertutupku ini tidak hanya pada orang di sekitarku, tapi juga pada keluargaku.
Aku sangat sulit mengungkapkan pendapatku. Bahkan berbicara dengan ibuku
sendiri, jarang sekali kulakukan.
Awalnya, aku
tidak tahu bagaimana caranya agar aku bisa menumpahkan semua isi hatiku. Hingga
kudengar teman-teman di kelasku bercerita tentang buku harian mereka. Sejak
saat itu, mulai kulakukan kebiasaan menulis di buku harian itu. Ada perasaan
lega di setiap aku selesai menuliskan apa yang ada di pikiranku ke dalam buku
harian itu. Perasaan yang tidak bisa kuungkapkan kepada orangtuaku, kutuangkan
semuanya dalam buku harianku. Apa yang tidak aku kehendaki, juga kutuangkan
dalam buku harianku. Hingga pada suatu hari, buku harian itu terbaca oleh
ibuku.
Siang itu, aku
yang baru pulang sekolah dikejutkan oleh ibu yang sedang menangis di kamarku.
Melihatku datang, ibu langsung menghampiriku dan memelukku. Setelah ibu
mengucapkan beberapa kata, barulah aku sadar kalau ibu sudah membaca buku
harianku. Akhirnya, aku pun turut menangis.
Sejak saat itu,
ayah dan ibuku mulai melakukan pendekatan dari hati ke hati padaku. Rasanya
nyaman sekali bisa menyampaikan apa yang kupikirkan kepada kedua orangtuaku.
Aku juga mulai menjadi orang yang lebih terbuka. Semua berkat tulisan di dalam
buku harianku.
Make Writing a Priority
Oleh: Paramitha Kiky
Semua berawal ketika aku duduk di bangku SMA. Aku
tergabung ke dalam anggota ekstrakurikuler jurnalistik. Saat
teman-temanku yang lain memilih ekstrakurikuler bergengsi seperti teater,
paskibra, dan tari, aku justru
memilih ekskul jurnalistik. Bukan hanya karena aku suka menulis, tetapi juga
karena tidak membutuhkan latihan rutin. Ekskul jurnalistik membidangi
bagian mading sekolah, majalah sekolah, dan pendokumentasian acara-acara
sekolah yang harus dibubuhi dengan tulisan-tulisan yang apik, menarik, dan persuasif.
Aku suka
menulis, tetapi aku belum cukup berani untuk mengikuti
lomba-lomba menulis apalagi mengirimkan tulisanku ke media massa. Sampai suatu
hari, seluruh anggota tim jurnalistik diwajibkan untuk mengikuti seminar sehari
bertajuk Make Writing a Priority.
Tentornya adalah alumni dari sekolahku yang dulu juga tergabung dalam ekskul jurnalistik
yang kini kuliah di jurusan Sastra Indonesia.
Masih terekam dalam memoriku sampai saat ini, saat ia berkata, “Jangan ragu-ragu mengawali
sebuah tulisan, apa yang ada di pikiranmu, tumpahkan saja semuanya ke dalam
tulisan. Jangan pedulikan tata bahasamu. Menulis saja. Nanti saat
tulisanmu telah rampung, dengan sendirinya kamu akan bisa membenahinya.”
Dari situ aku semakin rajin menulis. Entah tulisanku
bagus atau tidak, yang penting aku menulis. Sampai suatu ketika, aku melihat ada
sebuah lomba cerpen yang temanya sangat pas dengan tulisanku. Tanpa berpikir
dua kali, aku ikut sertakan cerpenku pada lomba itu. Mengingat aku masih piyik, tentu saja aku tidak berharap
namaku muncul sebagai juaranya. Melihat namaku bertengger sebagai salah satu
peserta saja sudah membuatku bangga pada diriku sendiri.
Sampai tiba
saatnya pengumuman pemenang, entah siapa yang telah mendoakanku, namaku terpampang
menduduki juara 3. Unbelieveable. Dari
situ aku semakin semangat untuk mengembangkan tulisanku dan menjadikan menulis sebagai sebuah prioritas.
.
I Love Sastra Indonesia
Oleh: Winda
Aulia Saad
Bahasa Indonesia. Pelajaran yang paling aku senangi sejak duduk di kelas empat SD.
Semua hal yang berhubungan dengan kosa kata, kalimat, paragraf, dan masih
banyak lagi, adalah hal yang paling aku sukai selain pelajaran
hitung-menghitung Matematika.
Di saat naik ke
kelas enam SD, pikiran favoritku pun bertambah lagi dengan yang
namanya “Sastra Indonesia”. Hobiku yang mulai gemar membuat cerpen maupun
cerita novel membuatku semakin terpancing untuk menjadi seorang penulis
terkenal. Ya, itulah cita-cita terbesarku mulai dari saat itu.
Beberapa tahun
berlalu. Setelah lulus
Sekolah Dasar dan melanjutkan pendidikan di rumah karena sebuah penyakit yang
tergolong cukup berat, aku pun lebih banyak menghabiskan waktuku di depan laptop
untuk mengetik apa pun yang ada di dalam pikiranku. Walau dengan
keterbatasan gerakku yang semakin lama semakin menyulitkanku untuk mengetik keyboard di laptop, hal itu pun tak
pernah membuatku patah semangat untuk terus menulis cerita novel maupun
beberapa cerpen yang menghabiskan minggu, bahkan berbulan-bulan waktu hidupku, karena hanya itulah yang bisa kulakukan untuk menggapai
cita-citaku.
Mengapa? Karena aku percaya,
keterbatasan fisik tidak akan pernah menghalangi seseorang untuk berkarya.
Setiap orang memang memiliki kelebihan dan kekurangan mereka masing-masing.
Tidak ada yang sempurna, karena yang sempurna itu hanyalah Sang Pencipta. Bagaimanapun
parahnya rintangan yang bisa saja menghalangi, tetap saja jika kita masih bisa
melakukan sesuatu hal dengan niat yang baik, pasti akan dapat tercapai.
Bagiku, menulis
sudah menjadi bagian dari diriku. Aku bisa dengan mudahnya mencurahkan semua
isi hati maupun pikiranku hanya dengan menulis. Bisa dibilang, curhat sambil
menyalurkan hobi dan bakat. Dan seiring berjalannya waktu, aku pun dapat
merasakan keajaiban di balik itu semua. Aku bisa menjadi lebih bersemangat saat
menemukan ide-ide baru melalui buku-buku yang aku baca. Tanpa menulis, mungkin
aku tidak akan pernah menemukan semangat itu. Karena aku yakin, jika berusaha
dengan giat, pasti hasilnya tak akan pernah menjadi sia-sia.
***
Biodata Penulis
Nama lengkap/pena: Winda Aulia Saad. TTL:
Dili, Timor Timur 19 Februari 1995 (17 tahun).
Bisa dihubungi melalui FB: Aulia Indah
Ompe’na Saad (Winda Aulia Saad), twitter:
@auliasaad, dan blog:
lhianaaulia.wordpress.com