Oleh Hesti Jamiliyah
Arif duduk terdiam di depan meja belajar sambil memandangi laptop pemberian almarhum sang ayah. Tik.. tik..tik..tik suara jam yang tiba-tiba mengusik keheningannya.
“ Astaghfirullah, sudah jam 4 sore, aku belum
shalat ashar “. Terkejutnya
saat melihat jarum jam.
Seperti kebiasaan orang muslim
sebelum menunaikan shalat, Arif berwudlu dengan syarat dan rukun dalam
berwudlu. Dia tunaikan kewajiban sebagai seorang muslim untuk beribadah kepada
sang Pencipta. Sembari berdo’a setelah shalat, terdengar suara memanggilnya “ Mas
Arif.. mas .. kesini sebentar“ panggil Moham adiknya.
Dari kejauhan terlihat adiknya
sedang bermain ular tangga sendiri diruang tamu. Dia mengetahui maksud mengapa
adiknya memanggilnya, itu karena ingin mengajak bermain bersama. Di sela
permainan, tiba-tiba adiknya menanyakan sosok tentang ayah.
“Mas...
ayah kita dimana sih ?”
“Moham..
tidak pernah melihatnya ?”
Anak
kecil yang masih berumur 5
tahun itu sudah menanyakan pertanyaan yang mungkin dia belum mengerti maksud
yang dia tanyakan. Ekspresi yang awalnya senang, kini berubah menjadi keheningan karena pertanyaan adiknya. Arif
seorang kakak yang masih duduk di bangku perkuliahan itu bingung untuk
menjelaskan jawaban dari pertanyaan adiknya. Perlahan dia mulai mengalihkan
situasi agar adiknya lupa dengan pertanyaan yang diajukan itu.
“
Moham, ternyata sudah mahir ya.. bermain ular tangganya ?”
“wah...
pantasan mas Arif kalah terus. “
Ternyata
arif berhasil menglabuhi adiknya tentang pertanyaan itu. Bahkan Moham tidak
menanyakan lagi tentang ayah karena dia sudah asyik sendiri bermain ular
tangga.
Tak beberapa lama, ibu mendatangi
mereka sambil membawakan cemilan kue keju kesukaan Moham. Biasa anak kecil
kalau ada makanan pasti maunya duluan dan ngrebut.. wah..wah nalurinya masih
pengen main. Dua kue sudah habis dimakannya dan masih ada sisa-sisa kue yang
menempel di pinggir bibir dan potongan kecil-kecil kue yang jatuh dibajunya. Dua
buah bola mata selalu mengamati gerak gerik tingkah moham yang gemesin itu.
Ibu.. orang pertama yang akan memandangi apapun yang dilakukan anaknya karena
rasa cinta dan kasih sayang yang tulus kepada buah hatinya.
“
Moham.. sayang, makannya pelan-pelan ya ?”
“
Nanti tersedak lho ?”
Perhatian ibu kepada Moham membuat bahan
perhatian remaja dewasa berumur 19 tahun itu. Senyum bahagia mulai terbentuk
dalam raut wajah putihnya yang menggambarkan betapa bahagianya Arif sebagai
seorang kakak yang memiliki seorang adik laki-laki yang super gemesin dan
seorang ibu yang begitu perhatian kepada dirinya dan adiknya dengan penuh
kehangatan cinta dan kasih sayang yang tidak bisa tergantikan oleh siapapun di
dunia. Bahkan rasa kebahagiaan itu telah melupakannya tentang sebuah pertanyaan
sosok ayah.
Detik berubah menjadi menit dan
menit kini berubah menjadi jam. Sore ini begitu indah dan mungkin yang paling
indah dirasakan oleh Arif. Tangan kecil moham tiba-tiba menghamburkan bayangan
indah dalam pikiran arif.
“aduh...
geli. “ suara secara spontan keluar dari mulut Arif
“siapa
ya... yang jail menggelitikki kaki ku ini ?”
“
he.. he.. he...” moham tertawa kecil seolah memberi isyarat dia yang jail itu.
Kemudian
kakak beradik itu kembali bercanda, namun tiba-tiba krik... Krik... Krik suara nada dering
handphone Arif berbunyi, itu pertanda ada pesan sms masuk dalam inboxnya.
Tangan arif dengan otomatis mengeluarkan handphone yang ada di saku celananya
dan membuka sms itu sambil membaca dalam hati.
“Rif.
Segera ke kampus. Kamu sudah ditunggu pak Joko di ruangannya.”
“Dari
Santoso, teman FIK UDINUS ”
Suasana yang awalnya damai bersama
ibu dan adiknya, kini berubah menjadi panik. Perasaan terburu-buru, gugup dan
bingung mengikat pikirannya sekarang. Keterpaksaan untuk melepaskan semua
kegembiraan bersama adiknya harus dia relakan karena suatu tugas penting.
Dong.. dong.. dong. .dong. . dong suara
langkah yang tergesa-gesa menaiki tangga untuk menuju ke kamarnya seraya
menyiapkan diri untuk pergi ke kampus. Waktu menunjukkan pukul 6 petang dia
cepat-cepat mandi dan berganti pakaian.
Ransel yang biasanya sudah ia persiapkan
jika mau berangkat kuliah, kini terasa ringan karena hanya satu buku yang ia
bawa, bahkan dia dengan gegabah dan dikejar waktu sampai lupa membawa tugas
dari pak Joko yang paling penting.
“
Bu... Arif berangkat dulu ya.”
“Assalamu’alaikum.”
Langkah
arif sudah cepat menjauhi rumah sampai ucapan balik salam dari ibunya hanya
terdengar samar-samar.
Brem..
brem.. bunyi sepeda motor yang biasa menemaninya ke kampus, kini sudah melaju
jauh dari rumah. 90 KM/jam kecepatan yang ditunjukan dalam angka spedometer ,
menandakan arif sangat terburu-buru dalam berkendara. Beberapa mobil, truk, bus
dan alat transportasi darat lainnya berhasil ia dahului. .. wah memang kalau
sedang dalam situasi kepepet di kejar waktu, pasti tidak akan peduli dengan
apapun karena yang ada dalam pikiran arif saat ini hanya kampus dan pak joko. Beberapa kali
handphonenya berdering terus, namun dia hiraukan. Bak motor JP milik valentino
rossy yang melaju dengan kecepatan tinggi dan tiba-tiba di rem mendadak
sehingga ban depan bergesek dengan aspal berbunyi. Siitttzz.... .Postur tubuh
yang gagah dengan gesit turun dari motor yang telah terpakir. Berlari kencang
melewati teman-teman se fakultasnya sambil mengendong ransel hitamnya. Bahkan
suara merdu yang memanggilnya
“
Kak .. Arif “
iapun hiraukan seolah suara itu di terbangkan
angin.
Rasa lelah dan ketakutan perlahan
mulai merasuk dalam tubuhnya. A 105 nomor ruangan yang sekarang didepannya.
“tok..
tok.. permisi”
suara
lelah yang terdengar dari luar ruangan itu. Tangannya yang gemetar memegang ganggang
pintu ia dorong kedalam, lagi-lagi masih ada perasaan takut, udara dingin
diruangan itu perlahan ia hirup pelan-pelan seraya merelaksasikan diri agar
tidak gugup didepan pak joko, beginilah ruangan dosen serba di design berAC...
wah jadi membuat mahasiswa betah di dalamnya walaupun menghadapi dosen sekiler
mungkin, tapi kalau berAC dosennya tidak akan marah karena suhu kemarahan dosen
yang bertanda negatif sudah dinetralkan dengan dinginnya AC yang bertanda
positif.
Wajah
yang ketakutan kini berubah sejuk, mungkin dampak AC diruangan ini sangat ya..
hehehe. Sambil mengeluarkan jurus memikat seperti kebanyakan mahasiswa jika
bertemu dosen pasti hal terpenting adalah memberikan senyuman di depannya.
Senyumannya jangan terlalu lebar ya... nanti malah dosennya curiga, ini
mahasiswa lagi kehabisan batrey atau belum minum obat.. hehehe. Ya senyumnya
standar saja 3x4, atau 4x6 . ooo .. memangnya ukuran foto.
Masih dalam ruangan A 105. Arif
memberanikan diri menyapa pak dosen.
“selamat
malam pak.. maaf, apakah bapak memanggil saya ?”.
Mata
berlensa coklat itu memandangi dosen yang sibuk bermain hape. Maklum handphonenya
baru, touchscreen lagi. Masih asyik bermain hape, perlahan kacamata berframe
biru yang pak dosen pakai mulai turun tidak sesuai posisi dan diangkat kembali
keatas agar sesuai posisi mata.
“siapa
kamu ?”
Pertanyaan
yang tak terduga sebelumnya oleh Arif, wah.. ini dosen benar-benar tidak
mengenali mahasiswanya padahal sudah 2 tahun mengajar. Ini membuat arif
jengkel, tapi apa daya dia hanya seorang mahasiswa yang tidak mampu berbuat
apapun untuk menghadapi situasi. Perlahan ia hirup oksigen di ruangan itu untuk
merelaksasi dirinya.
“
saya Mohammad
Arif Noor,
dari Fakultas Ilmu Komputer.”
Seperti
memperkenalkan diri pada seorang presiden dengan bahasa yang lembut dan
malu-malu serta tidak lupa menabur senyuman manis yang mungkin bisa meluluhkan hati dosennya.
“jadi
kamu. Si Arif itu ?”
“silahkan
duduk.”
“Ini
ditanda tangani ya”
Sambil
menyodorkan selembar kertas berisikan tulisan berfont Times New Roman. Mahasiswa
kelahiran kudus itu bertanya-tanya, maksudnya apa dan ada angin apa. Tiba-tiba
dosen yang ditakuti para mahasiswa itu tersenyum sambil menunjukkan bagian mana
yang harus di tanda tangani.
Arif yang tidak mengerti apa-apa seperti
terhipnotis langsung saja menuruti perintah pak joko. Setelah selesai menanda
tangani, pak joko menjelaskan bahwa ini sebuah surat penting untuk
mengantarkannya menuju masa depan. Masih seperti awal rasa takut itu mulai
muncul lagi. Dia berpikir aneh-aneh.
“
masa depan ?” Maksudnya apa.
Apakah
masa depan yang mengantarkannya bertemu dengan sang ayah.... wah sekarang yang
ada dipikirannya sosok ayah kembali muncul dan pertanyaan yang diajukan adiknya
sore tadi ternginyang kembali. Dinginnya AC dan suara berising yang tiba-tiba
terdengar ditelinganya menambah lengkap sudah kekacauan di memori otaknya.
Tubuh lemas dan gemetar memaksanya untuk segera meninggalkan ruangan ini.
“ pak .. saya permisi dulu .” kata Arif sambil
bangkit dari kursi
“
Sudahkan tanda tangannya ?” jawab pak dosen dengan wajah tanpa ekspresi
“iya
pak” suara lemas dari jawaban Arif.
Keluar dari ruangan, Arif kembali
melihat jam yang ada di handphonenya. 18.45 waktu hampir menunjukkan persiapan
shalat isya’, namun sejak tadi dia belum shalat magrib. Mushola oh mushola yang
sekarang ini dalam pikirannya. Karena sudah 1 tahun setengah ia belajar di
kampus ini, maka secara otomatis ia sudah paham denah-denah dalam kampus.
Sambil berlari, langkah kakinya sudah berbelok sendiri mencari arah mushola
berada. Tepat di samping kantin, bangunan beribadah yang berdiri kokoh dengan
cat warna biru itu terletak.
Setelah masuk mushola, langsung saja
dia meletakkan ransel di dekat tembok dan menuju tempat wudlu. Setelah selesai
berwudlu ia melakukan shalat magrib. Walaupun waktunya hampir habis namun dia
tetap menjalankan shalat dengan khusyuk. Inilah sosok seorang muslim sejati
yang benar-benar menjalankan kewajiban dengan penuh keseriusan dan tanggung
jawab.
Beberapa
doa sesudah shalat ia pun sampaikan kepada sang pencipta, tidak lupa doa untuk
keluarganya. Ibu, adik, dan sang ayah yang sudah mendahuluinya. Arif adalah
sosok laki-laki yang disukai banyak orang karena dia ringan tangan pada
siapapun tidak pilih kasih. Selain parasnya ganteng, dia juga ahli ibadah, tidak
pernah dia meninggalkan shalat, walaupun dalam keadaan terhimpit masalah dan
waktu.
Kelebihan yang dimilikinya adalah
suatu anugrah yang di berikan tuhan kepadanya. Kecerdasan dalam mencerna
pelajaran dan bakatnya dalam berbicara bahasa inggris, itu semua tidak luput
dari bimbingan almarhum sang ayah. Ayah yang bekerja sebagai penjual makanan
tradisional lentog, dulu beliau
dikenal sebagai seorang penjual yang jujur dan dermawan, kerja keras dan kegigihan
beliau dalam mencari nafkah untuk keluarganya patut diberi dua jempol karena hanya
sebagai penjual lentog, beliau mampu membuka cabang dibeberapa tempat di daerah
Kudus. Bahkan beliau mampu menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang perkuliahan
dan tidak tanggung-tangung universitas yang terkenal mahal di provinsi semarang
yaitu Universitas Dian Nuswantoro. Itu semua demi kebahagiaan anaknya kelak.
Subhanaallah jika kita mengingat orang tua, betapa besar perjuangan mereka demi
anaknya. Namun kini semua hanya tinggal kenangan indah bagi Arif dan
keluarganya.
Air mata Arif mengalir jatuh
membasahi sajadah. Kenangan saat masih bersama sang ayah membuatnya semakin lemas.
Tiba-tiba semua kenangan itu kabur ketika ada yang menepuk bahunya dari
belakang.
“Nak....sudah
masuk waktu Magrib.”
“Mau
ikut jamaah.”
Seorang
laki-laki tua yang samar-samar memaksanya untuk bangkit berdiri. Berkali-kali
Arif mengedipkan mata agar penglihatannya jelas. Terkejut ia saat orang yang di
depannya adalah pak joko, dosen yang ditemuainya sejam lalu. Bergegaslah ia
mengambil air wudlu dan menjalankan shalat magrib secara berjamaah. Usai
menjalankan shalat tak lupa ia berdoa kepada sang penguasa alam. Beberapa menit
kemudian pak joko yang telah selesai shalat mendekati Arif. Akhirnya terjadilah
obrolan panjang yang menceritakan semua kejadian tadi sore yang dialaminya.
Mulai dari dipanggil menghadap beliau sampai disuruh tanda tangan.
Dari cerita pak dosen itu, ternyata
Arif mendapatkan Beasiswa untuk belajar ke Tokyo Jepang setelah ia
lulus S1
dari FIK UDINUS nanti. Sedih, senang dan takut bercampur aduk perasaannya saat ini. Dia tidak
mengira bahwa dirinya akan mendapatkan Beasiswa.
Dalam
perjalanan pulang ia terus membayangkan apakah akan diambil atau tidak beasiswa
itu, tapi di lain sisi ia belum bisa meninggalkan ibu dan adiknya yang sendiri
dirumah.
Sampai
dirumah, saat ia membuka pintu ternyata ibunya masih menunggu kedatangannya.
Jatuhlah air mata arif dengan senang sampai memeluk ibunya. Ibu yang merasa
bingung dengan tingkah laku anaknya yang tiba-tiba manja tanpa ada angin hanya suara
nyamuk yang terbang disekelilingnya.
“Bu..
Arif sayang banget sama ibu.”
“Arif
janji akan selalu membahagiakan ibu.”
Mendengar
perkataan anaknya yang sulung itu, membuat ibu terharu dan meneteskan air mata.
Senyuman kebahagiaan nampak pada raut wajah sang ibu. Betapa bahagianya telah
memiliki dua anak laki-laki yang penurut, semakin membuat ketentraman hidup ibu
yang harus menjadi tulang punggung keluarga.
Hari demi hari, bulan demi bulan,
waktu semakin cepat berubah. Tak terasa Arif kini berhasil lulus tepat waktu
dengan gelar sarjana muda dari FIK UDINUS. Sorak gembira dari teman sejawat dan
para dosen yang bangga dengan predikatnya sebagai mahasiswa berprestasi dengan
IPK 3,98. Berkat do’a dari keluarga, teman dan para dosen serta kerja kerasnya
menjadi ia semakin dewasa dan kini saat yang telah di tunggu. Negeri Sakura
telah merindukan kedatangannya seseorang yang genius dari negeri jamrut
katulistiwa .
Tepat
pukul 05.00 pagi usai shalat subuh. Arif mempersiapkan diri untuk
keberangkatannya. Di antar oleh ibu, adiknya muham , santoso dan pak joko menuju
ke bandara ahmad yani semarang. Wajah kegembiraan dan sedikit kesedihan berat
meninggalkan sang ibu dan adik, namun demi cita-cita ia harus kuat dan ikhlas
dengan takdir tuhan yang telah di gariskan kepadanya.
“Bu...
Arif berangkat dulu ya.”
“Arif
akan selalu kirim surat ke Ibu.”
“Ibu
jangan sedih... do’akan yang terbaik untuk Arif disana.”
“Arif
sayang ibu dan Moham.”
Ucapan
perpisahan seorang anak kepada ibunya yang hendak pergi jauh untuk meraih cita.
Senyuman
dan lambaian tangan sang ibu yang ikut mengantarkan keberangkatan anaknya
Dengan
do’a yang selalu ibu panjatkan demi keselamatan dan kesuksesan anak sulung
tercintanya.
Tahun demi tahun telah berlalu, rumah
bercat hijau yang berdiri di samping mushola tak pernah pindah dari barisannya.
Udara pagi yang sejuk berhembus masuk melewati jendela rumah. Seorang anak
berseragam SMP terlihat sedang menyantap sarapannya. Moham adik Arif yang dulu
masih kecil sekarang sudah menjadi remaja yang tampan dan pintar.
“Tok..
tok.. tok.. Assalamu’alaikum.”
Mendengar
suara orang datang, moham menghentikan sarapannya dan menuju ke pintu. Perlahan
iya membuka pintu dan menjawab salam.
“Iya.
Wa’alaikumussalam”
Sepatu
vantofel berkilap yang pertama terlihat di matanya. Perlahan ia mengangkat
pandangannya ke atas agar wajah tamu itu terlihat.
“Subhanaallah.”
“Mas
Arif..”
Kaget
dan senang spontan merasuk pada diri moham. Kerinduannya tak bisa menutupi dan
langsung ia peluk erat seorang laki-laki dewasa berjas hitam yang berdiri
dihadapannya.
Kerinduannya
selama ini telah terobati. Namun mata Arif masih mencari sosok yang ia sangat
rindukan.
“Moham.
Ibu dimana ?”
pertanyaan
yang wajar diajukan oleh seorang anak yang sudah lama tidak bertemu sang ibu.
“Ibu
sudah ke warung. Sejak tadi.”
Perasaan
senang membuat arif untuk melaju menuju ke warung ibu tercintanya dengan naik
sepeda motor yang sudah lama ia tinggalkan.
“Bu...
Ibu “
Suara
teriakan kebahagiaan membuat suasana warung yang ramai menjadi hening.
“Bu..
Arif pulang.”
Piring
yang hendak dibuat wadah untuk menaruh lentog kini ditinggalkan sendiri. Kerinduan
yang lama kini telah terobati semua.
Arif kini kembali ke kampung
halamannya dan membantu sang ibu melanjutkan bisnis lentog yang lebih inovatif
dan kreatif. Kesuksesannya dalam berbisnis membuatnya semakin meningkatkan
ketakwaannya kepada sang Pencipta.
Kemapanan arif sekarang tak perlu diragukan lagi. Dua buah restoran lentog dia kelola sendiri dan
hasilnya dia gunakan untuk pergi haji bersama sang Ibu dan adiknya tercinta.
Itulah cia-citanya sejak dulu untuk menaikkan haji kedua orangtua dengan hasil
kerja sendiri. Walaupun sekarang ayahnya tidak bisa hadir disampingnya, namun
dia percaya bahwa ayahnya selalu mendo’akannya di atas sana dan selalu ada
dalam hatinya.