“Kenapa kamu hadir saat aku mulai berhenti untuk mencintai ? Kenapa?” Kata-kata itu yang selalu terucap saat Omen bertatap dengan San. Entah, apa yang membuat San begitu nyaman dengan kekakuan Omen. Seakan kekakuan itu adalah daya pikat Omen yang membuat San ingin terus dekat dengannya. Memang sejauh ini Omen telah mengikrarkan hatinya hanya untuk satu cinta yang abadi. Cinta kepada Yang Maha Cinta.
Semenjak keputusan terindah yang
pernah ia buat untuk berpisah dengan Ray kekasih kelamnya 5 tahun silam,
membuat Omen untuk lebih berhati-hati untuk menjatuhkan hatinya kepada seorang
laki-laki. Baginya, cinta adalah penyakit kronis yang menjangkiti seluruh urat
saraf organ tubuhnya. Merusak pemikiran yang sebelumnya terstruktur menjadi
angan-angan, membutakan mata yang terjaga, menulikan telinga atas firman Sang
Maha Cinta, mengusik khusyuknya hati pada dzikir ketentraman.
Namun semua kamuflase pemikiran itu
sirna saat San mulai menebarkan virus pada hati gadis berusia 20 tahun itu.
Berkecimpung pada prodi universitas yang sama membuat intensitas bertemu antara
San dan Omen menjadi semakin sering. Ketika di kamar mandi pun mereka bertemu.
“Cie, yang fesbukan di kamar mandi ?”
Kata San menggoda Omen yang sedang menunggu Nae buang air besar.
“San, apaan si kamu !” kata Omen
terkejut.
“Omen, kenapa tak mau pajang foto di
jejaring sosial ?” Tanya San, saat memergoki Omen sedang membuka profil
dijejaring miliknya.
“ya, karena malu San.” Jawab Omen
setengah jengkel.
“Kenapa malu ? Tak seperti monyet kau
ini.” Balas San asal-asalan.
“Kenapa bilang saya monyet ? Saya
hanya malu jika foto saya dilihat oleh orang banyak.” Jawab Omen ketus.
“Eits.... malu dilihat orang banyak ?
Kenapa tak pakai kardus saja untuk tutupi muka kau itu ?” Kata San sambil
tertawa kecil.
“Huh....sembarangan kalau
ngomong.” Jawab Omen kesal dan berlalu
meninggalkan San.
***
Omen lebih merasa dekat lagi saat
beberapa waktu dapat duduk melingkar untuk menyusun suatu program kerja
organisasi. Memang sudah celupanNya. Omen dan San bertemu kembali dalam sebuah
organisasi yang sama. San adalah seorang ketua yang unik, menurut Omen. San
selalu kukuh pada pemikirannya yang sederhana. Acap kali argumen Omen tertolak
oleh kesederhanaan San. Namun San tiba-tiba berubah ketika hendak menyusun
proposal kegiatan. San sangat ingin tahu pendapat Omen terhadap kegiatan yang hendak
mereka galakkan.
“Omen, menurut kamu kegiatan ini sebaiknya
dilaksanakan satu atau dua hari ?” Tanya San tampak kebingungan.
“Mending 2 hari aja San soalnya
acara ini langka banget. Sayang kalau Cuma sehari. Kita bisa pake narasumber
yang berbeda antara hari pertama dengan hari kedua. Mungkin yang lainnya ada
pendapat ?” Jawab Omen melempar pendapat kepada anggota lainnya.
“Iya, aku setuju sama pendapat Omen. Tinggal
disesuaikan saja dengan estimasi dana kita. Mau dipatok berapa dana untuk
masing-masing narasumber.” Sambung Nae
“Bagus aku setuju. Oke rapat kali ini kita tutup. Mari
berdoa menurut kepercayaan masing-masing.” Tutup San sambil memperhatikan Omen
yang beranjak keluar dari ruangan.
Tiba-tiba handphone San berbunyi. Perlahan ia ambil dari dalam saku celananya
yang agak ketat. Betapa terkejutnya San, ternyata ada sms dari Omen.
“Tak sepantasnya kau memandangi
wanita yang belum halal untukmu. Itu celana apa legging oma ? Ketat amat. “ bunyi sms dari Oman sontak membuat muka
San memerah.
Namun dasar San. Dia begitu apa
adanya. Apa yang ia pikirkan dan rasakan adalah apa yang ia ucapkan. San pun
membalas sms Oman.
“Kau tau aku pandangi kau ? Macam
mama Loreng saja kau. Oh iya ini bukan Legging
oma tapi legging Abah.” Membaca
sms San, raut muka Omen pun berubah. Tampak senyum simpul menghiasi wajahnya.
Omen pun bergegas menuju parkiran menghampiri sahabat yang menjemputnya.
***
Ketika Omen dan Nae sedang asik
bercengkrama di beranda rumah Omen, tiba-tiba terdengar ringtone sms klasik
semakin menaik. “Tut...tut...Tut...tut...”
“Nae, HP kamu bunyi.” Celetuk Omen
menghentikan candaan mereka.
“Ah,
enggak Omen. Bukan punya aku. HP kamu kali.” Jawab Nae setelah menengok HP tak
ada pesan masuk.
Omen
segera merogoh saku roknya sebelah kanan. Omen tiba-tiba meninggikan salah satu
alisnya. Nae pun penasaran pada layar HP Omen yang membuat raut wajah Omen
tiba-tiba berubah.
“Sms dari siapa Men ?” tanya Nae
celingukan berusaha membaca nama pengirim sms yang tertera pada layar HP Omen.
“San” Jawab Omen setengah terkaget
“Ha ? Apa katanya” Nae pun ikut
kaget.
“Omen, tolong kirimkan rancangan
estimasi dana kemarin ke FB aku ya.” Jawab Omen mengembalikan HPnya di tempat
semula.
“Ah biasa.” Sahut Nae segera kembali
ke posisi semula.
“Maksud kamu ?” Tanya Omen heran.
“hihihi.... iya, biasa Men. Aku kira ngajak
ngedate.” Jawan Nae asal-asalan.
“Sembarangan.” Celetuk Omen ketus.
“Tut..tut...tut...tut...” Tiba-tiba
HP Omen berbunyi lagi.
“Cie, San lagi tu ?” Goda Nae pada
Omen.
“Ha ? apaan si ni orang nggak jelas
banget !” Ucap Omen setelah membaca sms masuk yang ternyata dari San.
“Apaan isinya Men ?” Tanya Nae
penasaran ikut nimbrung membaca sms dari San.
“Omen, semangat J”
isi sms San.
Omen dan Nae saling bertatapan
setelah membaca sms dari San. Terdengar mereka tertawa lepas saat Nae menggoda
Omen atas sms dari San.
***
San yang konyol. San yang aneh. Kata
Omen saat membaca sebuah kardus membentuk hati yang tertempel pada rubik “Apa
Kabar Kata” mading kampus.
“Bila cinta mengungkap rasa. Begitu indah mengisi
hatiku. San”
Omen segera berlalu menuju kelas.
“Deg...deg...” Jantung Omen tiba-tiba berdegup sangat cepat. Sehingga
menghentikan langkahnya sejenak. Melihat Omen tampak kesakitan sambil memegangi
dada sebelah kiri, Nae segera menghampiri Omen dan menuntunnya ke kelas.
“Men” Bisik Nae membuat Omen
mengangguk paham seakan tau apa yang akan dikatakan Nae.
Tanpa
disadari, San berada 5 hasta dibelakang Oman dan Nae. San terus mengikuti
mereka sampai ke kelas dan ikut duduk disamping Omen.
“San, ngapain kamu kesini ?” Tanya
Nae heran.
“Ah enggak, aku pindah rombel aja.
Hehehe” Jawab San sambil memandangi Omen.
“Ngapain kamu lihat-lihat aku.” Kata
Omen ketus
“Haish... galak amat. Tapi cantik.”
Jawab San menggoda Omen.
15 menit berselang. Jantung Omen berlangsung
stabil. Omen pun terlihat lebih rileks. Nae yang sedari tadi berada di samping
Omen, tersenyum menatap Omen. Omen pun mengangguk paham sebagai tanda terima
kasih atas perhatian Nae. San pun ikut tersenyum, meskipun tak memandangi Omen.
San pun merasakan Omen sudah agak membaik.
***
Hari berikutnya Omen melintasi mading
kampus dan menemukan tulisan San yang berbeda dari kemarin. “Menatap indahnya
senyuman di wajahmu. Membuatku terdiam dan terpaku. San.”
“Doorrr....” suara San mengagetkan
lamunan Omen.
“Sedang lihat apa kau Omen ? Sampai
tak sadar ada nyamuk gemuk di pipi kananmu ?” Sambung San sambil meniup nyamuk
yang ada di pipi kanan Omen.
“Apaan si kamu ? paling bisa ya ngagetin
orang ? Ini apa lagi niup-niup segala ? Bukan muhrim tau. Jawab Omen Ketus.
Tiba-tiba
“deg...deg...” Jantung Omen kembali berdegup cepat. Membuatnya jatuh tersungkur
pada tangga kedua. Melihat Omen terjatuh San segera menolong Omen. Tetapi Omen
menolak.
“Jangan kasihani aku. Aku bisa
sendiri.” Ucap Omen membuat San mundur satu langkah.
“Tak usah bergayalah kau. Ni, kau
minum obat ini. Pastilah kau akan lebih baik.” Kata San menawarkan sebuah
kapsul merah dan dua buah pil putih. Omen yang masih merasa kesakitan
terheran-heran pada San. San menawarkan obat yang sama persis dengan obat yang
biasa dia minum ketika jantungnya berdegup kencang.
“San ? kamu ?”
“udah cepetan minum. Ini pake pisang
biar gampang.” Ucap San memotong perkataan Omen.
“I..ii..iya... makasih” Omen segera
melahap obat-obatan itu.
“Kalau gitu aku ke kelas dulu ya.”
Kata San sambil selangkah demi selangkah mundur dari posisi Omen kemudian
berbalik badan.
“San” terdengar suara Omen dari
belakang memanggil San. San pun berbalik badan dan menemukan Omen sudah berada
tepat di depannya.
“San, maaf aku tadi kasar sama kamu.”
Kata Omen menunduk malu.
“Haha, kenapa kau ini bak kura-kura
saja. Berbicara sambil menunduk segala. Tak usahlah kau meminta maaf. Aku
mengerti bagaimana perasaanmu. Tak apalah. Hahaha” Jawab San berlalu
meninggalkan Omen sambil melambaikan tangan.
***
Begitulah San dengan gelagat
misterius yang selalu menghampiri Omen, membuat Omen tak habis pikir atas
sikapnya. Omen memang mengidap penyakit lemah jantung. Dokter sudah menyarankan
agar Omen jangan terlalu banyak pikiran karena dapat berpengaruh pada
jantungnya. Namun Omen bukanlah gadis lemah. Meskipun sakit dia tak hiraukan
kesempatan hidup yang diberikan Tuhan.
Dia dengan segudang harapannya tak
akan mundur hanya karena alasan klasik seperti itu. Asal rajin minum obat dan
selalu berdoa pikir Omen dapat merayu Tuhan untuk mengangkat penyakitnya. Omen
suka terhadap hal-hal baru. Organisasi, pengabdian kepada masyarakat, mengikuti
berbagai forum diskusi mahasiswa, membuat suatu program inovasi merupakan
sedikit dari rutinitas yang biasa dilakukan Omen.
Nae, sahabat Omen dari SMA pun heran
kepada Omen. Nae pikir Omen itu seperti kutu loncat. Bahkan ketika kondisi
lemah pun Omen tetap menghadiri undangan di forum diskusi kedaerahan.
“Omen, kamu lagi sakit ! Nggak usah ikut aja deh Men.” Kata Nae
mencoba menghentikan langkah Omen.
“Bismillah,
Nae insyaallah aku nggak apa-apa.”
Ucap Omen berlalu dari Nae meninggalkan seberkas senyuman.
“Omen....Omen.... semoga nggak terjadi apa-apa sama kamu.” Gumam
Nae dalam hati sedikit khawatir.
Omen sampai di kampus dan segera
bergabung dengan teman-teman diskusinya. Namun langkah Omen terhenti saat Omen
melintasi papan mading berukuran 1,5 x 2 meter dengan ornamen sarang semut
membuatnya menjadi pusat perhatian. Namun bukan itu yang menghentikan langkah
Omen. Omen tertegun menatap goresan pena berbentu hati yang terbuat dari kardus
dalam rubik “Apa kabar Kata”.
“Ketika jantungmu mulai tak
berfungsi, akan kuserahkan jantungku. Agar aku tak kehilangan senyummu. San”
begitulah bunyi goresan pena San yang membuat Omen tertegun.
Omen tak mau berpikir yang aneh-aneh.
Mungkin San hanya iseng menulis seperti itu. Bukan karena kejadian kemarin saat
San menolong Omen.
“Ah, San. Maksudnya apa coba.” Gumam
Omen berlalu meninggalkan tempatnya berdiri.
“Deg...deg...” suara jantung Omen
berdetak sangat kencang. Namun tak biasanya. Tak sakit juga tak lemas. Omen
melihat ada sesosok laki-laki Batak, berparas sumringah lengkap dengan lesung
pipitnya, berkacamata, berkulit kuning langsat duduk melingkar bersama
teman-teman diskusinya. Dia Memakai kemeja dan celana kulot menimbulkan kesan
sederhana namun berkelas.
“San. Ya benar, memang itu San. Ngapain dia di sini ?” kata Omen dalam
hati terheran-heran melihat San yang notabene bukan orang yang suka mengikuti
forum diskusi kedaerahan. Bahkan Omen pun tak tau jika San bertempat tinggal di
satu Karisidenan dengannya.
“Woi,,, Men. Duduklah kau. Tak enak
lah aku jika kau pandangi ku sampai melongo seperti itu.” Celetuk San sontak
menimbulkan gelak tawa teman-temannya dan seketika itu pula San melihat wajah
Omen yang memerah.
Omen pun tertunduk malu sambil
menggerutu atas sikap San yang mempermalukannya di depan teman-temannya. Omen
duduk berjauhan dengan San dan sebisa mungkin tak menatap San. Omen masih kesal
dengan sikap San. Setiap San usul pasti Omen tidak setuju.
“Maaf, saya kurang sependapat dengan
saudara Sandi Kuncoro. Menurut saya program rumah baca harus tetap
dilaksanakan. Mengingat minimnya minat membaca di daerah kita.” Tegas Omen
membuat San membalas argumennya.
“Saya setuju dengan pendapat saudari
Omenita Nugraha Kusuma. Tapi kita juga harus ingat sarana dan prasarana di
daerah kita juga minim. Kurangnya pasokan listrik di desa Rukso juga harus kita
perhatikan. Bagaimana bisa membaca jika tak ada listrik ?” Balas San membuat
decak kagum teman-teman diskusi.
“Oke...oke.... semua patut
dilaksanakan segera mungkin. Namun alangkah baiknya jika kita meminta
persetujuan dari pihak desa untuk memudahkan kita memilih kegiatan yang mana
yang harus segera dilaksanakan.” Kata Alif selaku ketua diskusi mencoba untuk
mencairkan suasana.
Diskusi
pun usai. Omen masih saja kesal dengan sikap San. Tak terbesit dipikiran Omen
jika San akan meminta maaf.
“Omen”
San menepuk pundak Omen, berharap Omen mau membalikkan badan.
“Heh,
sembarangan wae. Pegang-pegang. Bukan
muhrim.” Jawab Omen ketus.
“Eh...
maaflah Omen, dari lorong tadi kau ku panggil tak ada mendengar. Jadi ku tepuk
saja kau. Mungkin kau sedang memakai headset.” Jelas San.
“Tau
dari mana aku pakai headset ?” Tanya Omen heran.
“Haha...
asal tebak aja aku dari pada aku sebut kau tuli. Tambah marah lah kau. Jadi tak
enak hati pula aku kalau begini.” Jawab San membuat Omen semakin marah.
“Saaaaaannnnnnnn”
Balas Omen berteriak merasa geregetan dengan
San.
“Omeeeeeennnnnn”
San pun ikut berteriak.
“Ngapain ikut-ikutan teriak ?” Kata Omen
ketus.
“Ha ?
tadi aku buang gas. Biar tak ketahuan aku teriak saja. Tak bau kan ?”
“Jorok
banget si” Gerutu Omen sambil memegangi hidungnya.
Omen
pun tambah kesal dengan San. Sedari tadi bercakap tak jelas dengan San, tak
sedikitpun San mengucapkan maaf atas sikapnya yang keterlaluan saat diskusi
tadi. Omen pun segera membalikkan badan dan melangkah menjauh dari San sebelum
jantungnya kumat lagi. Omen merasakan debar jantung yang tak biasa ketika
berada dekat dengan San. Omen segera menjauh. Namun San tiba-tiba
menghadangnya. “Deg...deg...” debar jantung Omen semakin cepat. Omen terkejut
San tiba-tiba menghadangnya.
“Omen,
aku minta maaf atas sikapku yang kekanak-kanakan tadi. Maaflah Omen habis kau
bengong di depan pintu. Tak tegalah aku jika ada yang menabrakmu dari
belakang.” Kata San memelas.
Omen
pun terdiam. Omen serasa terbang. Bebas. Dihiraukannya semua debar yang kian
mengganas sampai tak berasa. Dan akhirya “bug” Omen pingsan. Melihat Omen
pingsan didepannya, San langsung bergegas membawa Omen ke rumah sakit. San
merasa sangat sedih. San merasa sangat bersalah. San tak tau apakah beribu maaf
dapat membuat Omen tersadar. Omen kritis. San memutuskan untuk mengambil air
wudlu di mushola rumah sakit untuk menunaikan sholat dhuha. San memanjatkan doa
yang sedalam-dalamnya untuk kesembuhan Omen. San menangis. San menyayangi Omen.
San tidak ingin Omen mati. San ingin selalu melihat senyum simpul Omen yang
menjadi pemanis hari-hari San. San menyayangi Omen. San ingin selalu dekat
dengan Omen. Dipenghujung doanya San mendengar suara Nae berteriak di samping
pintu mushola.
“Sann...”
teriak Nae
“Naela”
balas San.
“Omen....San...
Omen....kritis” Kata Nae berlinang air mata.
“Omen...”
San segera berlari menuju ruang UGD berharap Omen baik-baik saja.
San tak mengindahkan anggapan orang
tentang air mata yang mengalir deras. San terhenti pada pintu bertuliskan selain
petugas dilarang masuk. San hanya bisa memandangi Omen yang berjuang untuk
kembali pulih. San masih sibuk dengan perasaannya yang kacau. Nae, ibu, dan
ayah Omen tak berhenti berdoa dan merayu Tuhan. Berharap Omen dapat kembali.
Tiba-tiba dokter keluar memecahkan kesedihan semua. Berharap ada kabar baik
dari dalam UGD. Tapi raut wajah dokter semakin mengacaukan hati semua.
“Maaf, jantung Omen sangat lemah.
Kemungkinan terburuk adalah umur Omen tinggal besok.” Jelas dokter dengan berat
hati.
“Dokter, selamatkan Omen dok,
selamatkan Omen.” Paksa San yang begitu terpukul.
Dokter hanya terdiam.
“kenapa dokter diam ? Masuk dok..
masuk... selamatkan Omen.” Emosi San semakin tak terkendali. San menyuruh
dokter untuk masuk ke ruang UGD.
“Maaf saya tidak bisa. Kecuali ada
salah seorang yang mau mendonorkan jantungnya untuk Omen.” Jelas dokter
berusaha menenangkan San.
“Apa ? Jika aku mendonorkan jantungku
Omen bisa sembuh ?” San berusaha mendapatkan penegasan dari dokter.
“Iya, asalkan jantungnya cocok. Tapi
....” dokter memutus pembicaraannya.
“Tapi apa dok,?” sambung San
penasaran.
“Kamu tidak akan melihat senyum Omen
lagi. Karena jantung adalah organ terpenting dalam tubuh manusia yang mengatur
semua sirkulasi tubuh. Jika jantungmu diambil kamu akan meninggal.” Jelas
dokter berhati-hati.
San melepaskan cengkramannya pada
pundak dokter. San tertunduk lemas. San sangat menyayangi Omen. San ingin
selalu melihat Omen tersenyum. Akhirnya San memutuskan untuk mendonorkan
jantungnya untuk Omen. Sebelum proses pengangkatan jantung dimulai. San
berpesan kepada Nae untuk selalu menjaga senyum Omen. San meminta Nae untuk
selalu menempelkan hati kardus di madding sekolah setiap 2 hari sekali.
“Nae, aku titip Omen.” Pesan terakhir
San sebelum San pergi untuk selamanya.
Nae tak sanggup menahan bulir air
mata. Nae mengangguk paham. Nae tak mengira San yang sok misterius. San yang
aneh. San yang sering menggoda Omen ternyata sangat mencintai Omen. San pun
akhirnya pergi. Omen pun kembali atas izin Tuhan. Senyum Omen kembali
melambung. Omen tak tau jika jantungnya adalah jantung San. Memang San melarang
Nae untuk bercerita. Nae pun menepati janjinya untuk selalu menempel hati
kardus di mading. Hati kardus itu dari awal memang dibuat San hanya untuk Omen.
San cinta kepada Omen tapi San tak mau mengungkapkannya. San lebih suka
menuliskannya dalam hati kardus itu.
Omen pun merasa janggal. Hari-harinya
terasa berbeda setelah beberapa bulan tak bersua dengan San.
“Nae, San kemana ya ? kok udah lama nggak kelihatan batang hidungnya.” Tanya Omen
celingukan.
“Kangen ya sama San ?” Jawab Nae
menggoda Omen.
“Kangen ? enggak ... enggak kangen
kok.” Balas Omen.
“enggak kangen ya... tapi kangen
banget....” Celetuk Nae sambil menggandeng tangan Omen menuju papan mading.
“Ngapain si ngajak ke sini.” Omen
heran atas sikap Nae.
“itu...San” Nae menunjuk pada hati
kardus milik San yang selalu menghiasi mading.
“ Aku ingin, kamu tersenyum. Jika
kamu jatuh cinta, jatuhkanlah cintamu pada orang yang dapat menguatkan cintamu
kepada Tuhan. Just for you. San” isi dari tulisan San yang membuat hati Omen
berdebar kencang setelah beberapa bulan tak merasakannya. Omen tak habis pikir
San tak pernah terlihat namun tulisannya masih saja berganti.
Omen berlalu menuju kelas. Omen
merasa ada yang disembunyikan oleh Nae dan keluarganya. Omen tak pernah tau
siapa yang pemilik jantung yang ada dalam tubuhnya sekarang ini. Omen pun tak
pernah tau dimana San sekarang ini.
“San, Omen kangen.” Itu yang selalu
terucap ketika Omen membaca hati kardus di mading.
Sampai pada akhirnya hati kardus
terakhir San untuk Omen tertempel di mading.
“Jika kau rindu aku, doakan aku. Agar
kita dapat bertemu di surga. San.”
Omen seketika meneteskan bulir-bulir
kerinduannya. Omen sangat sedih melihat tulisan hati kardus San. Melihat Omen
yang menangis Nae segera memeluk Omen. Nae yakin cepat atau lambat Omen pasti tau
jika San telah tiada. Omen sangat terpukul ketika tau jantungnya adalah jantung
San. Nae menjelaskan semuanya. San sangat mencintai Omen. San Membuat hati
kardus itu hanya untuk Omen. Omen sangat sedih.
“Omen, kamu nggak boleh sedih. Karena
San tidak suka melihat kamu sedih. San ingin kamu selalu tersenyum. San sangat
mencintai kamu. Jantung yang ada dalam tubuhmu adalah jantung San. Kamu jaga
baik-baik.” Kata Nae menguatkan Omen
“Iya Nae, aku janji akan menjaga
baik-baik jantung ini.” Janji Omen pada San.
Biodata Penulis
Nama : Fitria Fatmawati
TTL : Pati, 23 Maret 1993
FB :
Fitria Fatmawati
Alamat : JL. Delima No. 92 Pajeksan
Juwana,
Pati
Motto :
Be positive and always inspiring
Tulisan Terbit dalam Antologi Buku : Goresan Pena Melukis Rasa
terbit di Afsoh Publisher 2013
Peserta Workshop Menulis dan Menerbitkan Buku untuk Mahasiswa PGSD Unnes
Isi Buku
* Hati Kardus Untuk Omen
* Kasih Tak Pudar
* Keabadian Cinta Tuk Selamanya
* Jarak
* Lorong Impian si Kecil Clara
* Ceritaku Ceritamu
* CInta Tidak Harus dipaksa
* Kupilih Jalan Terbaik
* Malam ini ...