Di atas ayunan bawah rembulan aku mencoba menahan tiap tetes air mata yang memaksa untuk berjatuhan. Dingin angin malam menyeruak di sela pori-pori tubuhku, begitu merasuk dalam tulang-tulangku. Ngilu, entah angin malam atau suasana hancurnya hatiku yang membuat ku gemetar. Gigiku gemeretak dan badanku menggigil kedinginan. Apa yang terjadi dengan diriku Ya Tuhan? Mengapa aku merasa sesakit ini? Ahh, biarlah aku sakit, toh tak ada yang peduli dengan hidupku, lagipula hatiku juga sudah terlebih dahulu sakit dan perih.
Sendiri..
Ya aku selalu saja sendiri begini. Sepi
yang selalu menggelayuti hidupku, sepertinya enggan beranjak pergi dari sisiku.
Hatiku bergejolak, apakah sepi ini membuatku senang atau sedih. Akan
tetapi rasa sedihlah yang menguasai
hatiku saat ini. Meratapi betapa hancur dan terpuruknya aku. Aku
takut jika kesepian dan kesendirianku ini
bertahan lama.
Aku ingin ada seseorang yang mampu mewarnai hari-hariku dengan ketulusan
hatinya. Mampu membuatku selalu tersenyum dan bahagia. Selalu
nyaman saat bersamanya. Tapi, kapankah itu akan terjadi padaku? Apakah mungkin
dia ada untukku?
Doa dan harapan selalu ku lantunkan bersamaan dengan air mata yang tak
berhenti mengalir. Aku panjatkan doa kepada Tuhanku. Meminta
ketabahan dan ketenteraman hati, agar aku sanggup menghadapi rumitnya
persoalan ini.
Aku sakit. Ku tau Engkau pasti
mendengar
rintihan hati jauh dalam hatiku. Kau tahu, dia adalah orang yang ku sayang,
selalu ku nantikan kehadirannya. Dia yang dulu juga menyayangiku. Tapi
itu semua tinggal kenangan….
***
Musim telah berganti,
aku masih terpuruk dan hatiku sakit karena merindukanmu, tentu saja. Kenangan-kenangan bersamamu,
silih berganti muncul dalam benakku, seperti rekaman yang menampilkan setiap
kejadian secara acak. Tapi tiba-tiba berhenti disaat kita bertemu untuk pertama kali.
“Hey, aku sudah memesan meja ini!” ucap seorang laki-laki yang berdiri dihadapanku, dia terlihat
rapi dengan kemeja yang ia pakai. Aku hanya meliriknya dan mulai bangkit dari
tempat dudukku, tidak, bukan untuk meninggalkan meja ini.
“Maaf, tapi tidak ada yang memberitahuku kalau meja ini sudah dipesan,” bantahku dengan cukup tenang. Tak ada bantahan yang
keluar dari mulutnya, ia malah mendelik dan terus menatapku.
* * *
Mengingat
kejadian itu, membuat bibirku
perlahan mulai tertarik, dan nampaklah senyum yang telah lama tak kutunjukkan
pada orang-orang di sekitarku.
Perlahan
kenangan itu mulai memudar dan digantikan oleh kenangan lain, saat aku
melihatmu duduk sendiri di taman bunga. Aku tidak bisa menebak perasaanmu saat itu.
Kau menampilkan kemarahan, kesedihan, dan kekecewaan di waktu yang sama.
Seikat
bunga mawar dan sebuah kotak
kecil yang ada ditanganmu perlahan merosot. Genggaman tanganmu tak sekuat tadi,
dan kedua benda itu pun jatuh. Tiba-tiba air mata membasahi pipimu. Entah apa yang membuatmu
seperti itu.
* * *
Aku
mendekatimu. Kusentuh bahumu dengan lembut,
kuharap kemarahan tidak sedang menguasaimu saat ini. Perlahan kau menoleh dan menatapku
dengan tatapan bingung. Tapi kamu hanya mengangkat alis
tanpa mengalihkan pandanganmu dariku. Aku
tersenyum, dan kau mulai mengerjapkan
kedua matamu.
“Bukankah
kau. . .”
“Ya,
ternyata kau masih mengingatku,” jawabku dengan tersenyum. “Aku Victoria, kau siapa?”
“Kris. Kau mengukutiku ya? Kau suka padaku?” ucap Kris percaya
diri.
Sejak
saat itu kami mulai dekat, kami sering menghabiskan waktu bersama. Sampai suatu
hari Kris mengajakku makan
malam di Restoran Arirang, di meja no. 3, dimana kami pernah berebut tempat duduk di sana.
“Aku
mencintaimu Victoria. Aku mau kau menjadi kekasihku. Apakah kau mau?,” ucap Kris dengan tulus. Aku tersenyum dan
menyambut uluran tangannya.
* * *
Saat
itu yang ada dipikiranku hanyalah bahwa aku terlahir untuk bertemu denganmu,
dan aku mencintaimu sampai mati.
Kini,
kita di bawah langit yang
sama, tapi di tempat yang berbeda. Kau bersembunyi karena menganggapku tak pantas bersanding denganmu. Seperti inikah akhir perjalanan cinta kita?
Mataku
masih terpejam, aku terus berusaha membuat otakku memutar kembali memori yang
sebenarnya tak ingin aku ingat lagi.
***
“Apa
kau sudah lama?” mataku masih terpejam, tapi aku bisa merasakan senyum mulai
menghiasi wajahku ketika kudengar suara yang telah kurindukan itu.
“Aku
bisa mendengar suaramu, ini sangat nyata,” gumamku tanpa mencoba membuka mata.
Aku
merasa keanehan mulai menyelimutiku.
Tanganku terasa hangat. Kehangatan yang selama ini kurindukan,
kehangatan yang kuharapkan segera kembali padaku. Perlahan kucoba membuka kedua
mataku. Aku terkejut, ternyata
Kris sudah di depan mataku.
“Aku
sudah memesan meja ini,” suara itu berhasil
membuatku terlonjak. Aku baru sadar sedari tadi ada seseorang yang duduk di
depanku. Ia terus memperhatikanku, dan masih menggenggam
tanganku.
“Kris,” bisikku. Ia pun tersenyum dan masih terus menatapku.
Hening,
itulah yang terjadi selama beberapa menit, sampai akhirnya seseorang memecahkan
keheningan diantara kami. Aku mengenalnya, tentu saja, karena ia adalah
sahabatku dari kecil, tapi kini kami sedikit menjaga jarak. Sesuatu telah
membuatnya mulai menjauhiku.
“Kau
juga di sini ya?” Jennifer bertanya padaku,
dengan keramahan palsu, aku tahu itu, karena itu nampak
sangat nyata.
“Aku
akan pulang,” jawabku dengan
setenang mungkin. “Thanks, karena kau telah merebut pacar sahabatmu sendiri,” bisikku saat
kuberlalu di sampingnya.
Aku
terus berjalan menjauhi mereka, menahan butiran-butiran sebening kristal yang
siap jatuh membasahi pipiku. Aku tak peduli, entah mereka masih
memperhatikanku, ataukah mereka telah sibuk dengan urusan mereka. Yang ada
dipikiranku hanyalah menjauh, menjauh dari orang yang kucintai, dan menjauh
dari sahabat yang telah mengkhianatiku.
“Victoria!” seseorang mencengkeram pergelangan tanganku,
suara itu tak asing lagi di
telingaku.
Perlahan aku berbalik, menatap kedua matanya yang sayu. Aku benar-benar
merindukan tatapan itu, sungguh aku merindukannya.
“Tersenyumlah,
aku hanya bisa tersenyum kalau kau juga tersenyum, percayalah kau akan
menemukan seseorang yang lebih baik dariku,” Kris diam dan terus
menatapku dengan khawatir. “Kau gadis yang baik, cantik, dan begitu sempurna
dimataku. Percayalah bahwa kau akan mendapatkan semua yang kau inginkan.”
“Terima
kasih untuk semuanya, tapi tak ada kata yang bisa menghiburku saat ini.”
“Hey,
aku tidak berusaha menghiburmu, aku mengatakan yang sebenarnya, dan maaf karena
aku sekarang telah bersamanya.”
“Sudahlah,
kembalilah pada kekasihmu, kuharap ini adalah sandiwara kesedihan terakhir
dalam hidupku.”
Kris mengerutkan keningnya
dan bertanya apa maksud dari ucapanku itu, tapi aku hanya menjawabnya dengan
senyuman, dan pergi, benar-benar pergi. Tak ada lagi Kris yang menahanku dan memohon agar aku tetap di sisinya.
* * *
Kurasakan
jantungku seakan-akan berhenti berdetak, ketika ingatan itu muncul, saat kau
dan aku membeku setelah pertengkaran itu. Pertengkaran yang membuat dadaku
terasa sesak.
“Kau
jahat Vic!” ucap seseorang dari
ambang pintu kamarku. “Teganya kau mengatakan sahabatmu hanya memanfaatkan
popularitasmu, dan mengapa kau tega mengkhianatiku?”
“Kris….”
“Kau
bilang kau tidak bisa hadir di konserku karena ada yang harus kau lakukan, dan
ternyata yang kau lakukan hanyalah bertemu laki-laki lain,” nada suara Kris mulai meninggi, dan
kemarahan benar-benar menguasainya.
“Itu
karena aku meminta bantuan pada Keyl tentang album baruku.”
“Aku
tak mau mendengar alasanmu lagi, aku sudah muak. Kurasa kita harus berhenti
sekarang,” aku hanya bisa
berbalik dan terisak mendengar ucapanmu
yang begitu kasar.
Entah
mengapa saat itu aku tak memiliki daya untuk menjelaskan semuanya. Menunjukkan
bukti-bukti bahwa dia berusaha agar kita berpisah. Mengapa aku tak
memberitahumu bahwa Jennifer adalah
perempuan licik.
Sungguh,
aku benar-benar bodoh, aku tidak memberitahumu dan malah semakin terisak. Lidahku kelu untuk mengatakan sebenarnya. Wajahku telah memerah
berusaha menahan air mata yang semakin memaksa untuk keluar.
Sekarang
aku merasa lebih kuat, aku tidak sakit ataupun kesepian. Bagiku kebahagiaan
hanyalah omong kosong. Tapi
terkadang aku merasa aku tak bisa menahan sesuatu yang lebih rumit dari ini.
Biarkanlah
aku pergi dari hidupmu, biarkanlah hanya diriku yang merasakan kesedihan ini.
Jangan tanya kapan kesedihan ini akan benar-benar berakhir, biarkan waktu yang
akan menjawabnya. Aku hanya bisa
berharap, suatu saat nanti ada seseorang yang mampu menyembuhkan luka hatiku
ini.
BIODATA
Nama : Kapriati
Utami
TTL : Sragen,
5 Oktober 1993
Alamat : Klentang,
RT:08/II, Gemolong, Sragen
Email : kapriatiutami@yahoo.com
Motto : semangat
dan motivasi adalah kunci tercapainya cita-cita.
Tulisan Terbit dalam Antologi Buku : Goresan Pena Melukis Rasa
terbit di Afsoh Publisher 2013
Peserta Workshop Menulis dan Menerbitkan Buku untuk Mahasiswa PGSD Unnes
Isi Buku
* Hati Kardus Untuk Omen
* Kasih Tak Pudar
* Keabadian Cinta Tuk Selamanya
* Jarak
* Lorong Impian si Kecil Clara
* Ceritaku Ceritamu
* CInta Tidak Harus dipaksa
* Kupilih Jalan Terbaik
* Malam ini ...