Oleh
Hesty Ayu Desifrenti
Blora adalah sebuah kota yang
terkenal dengan sebutan Kota Sate. Di setiap sudut jalan Kota Blora pasti
banyak sekali pedagang sate yang berjualan demi meraih keuntungan. Sate ayam
Blora juga memiliki cita rasa yang khas. Bahan bakunya daging ayam kampung
pilihan. Bumbu sate yang disajikan khas Blora, yakni bumbu kacang dicampur
dengan cabe halus. Rasanya tidak terlalu manis seperti sate Madura, tetapi agak
pedas. Sate Blora kerap disantap bersama kuah opor ayam.Perbedaan yang mencolok
dalam menikmati sate di Blora dengan daerah lain adalah dalam hal menghitung
harga sate. Kalau biasanya sate dihargai per porsi, di Blora tidak demikian.
Harga sate dihitung dari jumlah yang dikonsumsi saja. Oleh karena itu, saat
menikmati sate di Blora jangan membuang tusuknya sembarangan sebab ongkos yang
kita bayar berdasarkan jumlah tusuk yang ada. Jadi, dalam satu porsi sate tidak
harus dihabiskan semua. Kita mengonsumsi sate berdasarkan jumlah yang kita butuhkan
saja.
Sama halnya dengan kehidupan keluarga
Pak Maryoto sebagai pedagang sate, sebuah keluarga kecil yang terdiri dari
seorang istri dan juga ke 3 anaknya. Setiap hari Pak Maryoto berjualan Sate
Ayam di sekitar Kelurahan Jepon demi menafkahi keluarganya. Pak Maryoto adalah
penjual yang gigih dan pekerja keras. Dia sangat ulet sekalipun dagangannya
tidak laku seharian. Ketiga anaknya itu seorang laki-laki dan dua anak
perempuan. Anak yang pertama sudah menikah dan bekerja di Jakarta sebagai salah
satu sales produk alat-alat rumah tangga. Anak yang kedua juga sudah menikah
dan bekerja di Blora sebagai pembantu Rumah Tangga. Anak yang ketiga masih
duduk di bangku kuliah di salah satu Universitas yang ada di daerah Jawa Timur.
Kini Pak Maryoto hanya tinggal dengan kedua anaknya saja. Ketiga anaknya sangat
mengerti keadaan keluarganya.
Tanggal 15 Bulan Juli tiba, pagi yang
cerah telah menyelimuti keluarga Bapak Maryoto. Tepat dimana hari itu hari
pengumuman penerimaan Mahasiswa Baru untuk anak ketiganya. Ya, Liana panggilan
putri Pak Maryoto itu kini akan duduk di bangku kuliah. Betapa senangnya Liana
saat itu karena dia telah diterima di jurusan Kedokteran salah satu Universitas
Favorit di Jawa Timur. Liana tak menyangka dia dapat kuliah di Universitas tersebut,
bayangkan saja Universitas itu adalah tempat kuliah anak-anak orang berduit,
sedangkan Liana hanya dari keluarga yang kurang mampu. Liana sangat beruntung,
berkat hasil prestasinya di bangku SMA dia berhasil mendapatkan beasiswa dari
Universitas tersebut.
Saat
di rumah…
“Bu,
ibu … (saut Liana)
“Apa
nduk??”
“Bu, alhamdulillah Liana diterima di
Universitas di Jawa Timur itu Bu. (sambil menunjukan surat dari sekolahnya)”
“Alhamdulilah nduk, akhirnya
perjuangan kamu selama ini tidak sia-sia ya. Ibu senang dengernya.”
“Ini semua juga berkat doa Ibu sama
Bapak. Kalau bukan karena itu Liana mana mungkin Bu bisa diterima di
Universitas itu.”
“Iya nduk, tapi berkat usaha dan
kerja kerasmu juga selama ini. Pak, Bapak. Sini Pak..”
“Ada apa Bu? (menghampiri)”
“Ini lho pak, anak kita. Alhamdulilah
dia diterima di jurusan Universitas Negeri di Jawa Timur itu Pak.”
“Beneran nduk??”
“Iya Pak, ini semua berkat doa Bapak
sama Ibu setiap hari.”
“Ya Allah terima kasih atas nikmat
yang selalu Engkau berikan setiap hari kepada keluarga hambaMu ini.”
“Ya sudah nduk, mulai sekarang kamu
persiapkan mental dan fisik kamu nduk buat kuliah minggu depan.”
“Iya Pak, Bu.”
“Ya sudah kalau gitu Bapak jualan
sate dulu ya Bu.”
“Iya Pak.”
“Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam Pak.”
Akhirnya Pak Maryoto pun berdagang
keliling Desa untuk berjualan sate. Kabar tentang Liana anak Pak Maryoto pun
terdengar sampai pelosok desa. Seluruh masyarakat desa pun sangat kagum dengan
Liana karena dia termasuk anak yang rajin dan pandai. Mereka semua kagum pada
Liana.
Saat di Balai Desa Pak Maryoto
berhenti karena ada salah satu penduduk yang mau membeli satenya.
“Pak, Satenya ya 10 tusuk.”
“Iya Bu.”
“Dengar-dengar, anak Bapak di terima
di jurusan kedokteran Universitas Favorit di Jawa Timur ya? Wah, selamat ya
Pak.”
“Iya Bu, terimakasih ya. Ini semua
juga karena keberuntungan Bu.”
“Keberuntungan gimana sih Pak,
jelas-jelas anak Bapak memang rajin dan pandai. Sudah sepantasnya Liana
melanjutkan sekolahnya daripada dia menganggur. Iya Pak?”
“Iya
Bu, terimakasih. Ini satenya.”
“Berapa Pak??”
“Sepuluh ribu Bu.”
“Ini Pak uangnya.”
“Terimakasih Bu.”
Seharian sudah Pak Maryoto
berkeliling desa. Malam kian larut, hingga akhirnya Pak Maryoto pulang ke
rumah.
“Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam. Eh, Bapak sudah
pulang. Gimana Pak satenya??”
“Alhamdulillah Bu, semua satenya
habis hari ini.”
“Alhamdulillah kalau gitu Pak.”
“Ya sudah Bapak mandi dulu ya Bu.”
“Iya Pak.”
Malam sebelum keberangkatan Liana,
orang tua Liana berpesan agar nanti dia berhati-hati disana dan fokus belajar.
Di dalam kamar…
“Ndug, kamu yang hati-hati ya disana.
Jaga diri kamu baik-baik. Belajar yang rajin. Jaga pergaulan kamu. Jangan
macam-macam ya nduk. Kamu disana harus mandiri. Maaf Ibu nggak bisa nganter
kamu kesana.”
“Betul kata Ibu nduk, kamu disana itu
untuk menuntut ilmu. Jadi fokuskan pikiran kamu sama belajar. Mudah-mudahan
kamu sukses ya nduk. Bapak sama Ibumu ini Cuma bisa doain kamu.”
“Iya Bu, Pak. Insyaallah Liana selalu
inget kata-kata Ibu. Ibu jangan khawatir sama Liana. Liana bisa kok jaga diri
baik-baik. Liana nggak akan mengecewakan Bapak sama Ibu.”
“Ya sudah kalau gitu nduk, kamu
istirahat ya supaya besok kamu nggak kesiangan bangunnya.”
“Iya Bu.”
“Ayo Pak kita keluar.”
“(keluar)”
Hari yang ditunggu-tunggu itupun
tiba. Adzan subuh dan suara-suara ayam berkokok telah membangunkan Liana di
pagi buta itu. Suara gelontangan dari dapur diikuti suara jam weker Liana
berbunyi keras, waktu menunjukan pukul 04.00 pagi.
“(Kringg… kring…)”
“Ternyata sudah pagi, aku harus
bergegas mandi nih.”
Keluarga Pak Maryoto adalah keluarga
yang rajin, setiap harinya selalu bangun jam 04.00 pagi untuk siap-siap ke
pasar membeli ayam yang nantinya digunakan untuk membuat sate. Liana pun yang
sudah bangun menuju dapur menghampiri suara-suara keras yang ada disana.
“Ibuk.”
“Eh, kamu sudah bangun nak.”
“Iya Bu, ya sudah sana mandi terus
siap-siap. Ibu mau buat sarapan buat kamu.”
“Iya Bu. Aku mandi dulu ya.”
Beberapa menit kemudian di meja
makan…
“Kok nggak di habisin sih nak
makanannya, nanti kamu lapar lho di jalan.”
“Udah kenyang Bu. Aku mau langsung
berangkatnya aja.”
Akhirnya waktu yang ditunggu kinipun
tiba, Liana pergi membawa tas yang berisi pakaian-pakaiannya.
“Pak, Bu. Liana pamit ya Buk. Liana
berangkat dulu. Bapak sama Ibu nggak usah khawatir sama Liana. Nanti kalau
Liana sudah sampai sana, Liana kasih kabar ke Ibu sama Bapak.”
“Iya nduk, kamu hati-hati disana ya.
Ingat pesanIbu kemarin. Maafkan Bapak sama Ibu yang nggak bisa antar kamu
sampai sana.”
“Iya Buk, ya sudah Liana berangkat ya
Bu. Assalamualaikum. (mencium tangan kedua orangtua)”
“Walaikumsalam…”
Liana pun berangkat menuju terminal
bus. Dia seorang diri menunggu Bus jurusan Blora-Surabaya. Liana adalah orang
yang pemberani dan kuat. Dia juga tidak pernah mengeluh dengan pekerjaan
Bapaknya sebagai Tukang sate keliling. Setelah menunggu beberapa menit, bis
jurusan Blora-Surabaya akhirnya datang. Liana bergegas memasuki bis tersebut.
Perjalanan dia tempuh selama 6 jam. Dan diapun kini sudah sampai di Surabaya.
Di Surabaya Liana akan tinggal di kost saudaranya Bu Dirman, tetangga Liana
yang ada di Blora.
“Wah, bagus sekali kota ini. Ramai.”
“Mau kemana Mbak? Ojek Mbak?”
“Boleh deh Pak.”
“Kemana ini Mbak?”
“Bapak tau Jalan Mawar Asri Gang
Cempaka No.8 Pak?”
“Oh, gang cempaka ya? Iya saya tau,
deket situ kok.”
“Ya sudah, ayo Pak antarkan saya.”
“Ayo.”
“Mbak ini Mahasiswa Baru ya?”
“Iya Pak.”
“Darimana Mbak asalnya?”
“Dari Blora Pak.”
“Wah, Blora? Jauh sekali. Blora
sangat terkenal dengan kota sate ya Mbak? Sate dari Blora memang enak Mbak,
saya jadi pengen mampir lagi ke Blora.”
“Loh, kok Bapak tahu? Iya Pak, Blora
memang terkenal dengan kota sate. Sate dari Blora beda dari sate-sate yang
lainnya. Memangnya Bapak pernah ke Blora ya?”
“Iya Mbak, sebelum Bapak jadi tukang
ojek, Bapak pernah kerja jadi kuli batu selama sebulan di Blora.”
“Ehm, pantas aja Bapak tahu.
Ngomong-ngomong, ini masih jauh ya Pak sampainya?”
“Enggak kok Mbak, sebentar lagi.”
Beberapa menit kemudian Liana sampai
di alamat kost itu. Sebenarnya alamat itu dia dapatkan beberapa hari lalu dari
tetangganya yang pernah bekerja di Surabaya.
“Ini Pak uangnya?”
“Wah, nggak usah Mbak. Hari ini Bapak
ingin beramal.”
“Nggak Pak, ini ambil aja.”
“Nggak usah Mbak, beneran. Hari ini
Bapak ingin beramal.”
“Terimakasih ya Pak, Bapak baik
sekali. Mudah-mudahan kebaikan Bapak dibalas oleh Allah.”
“Aamiin.”
“Permisi Mbak.”
Tukang Ojek pun meninggalkan Liana di
kost sendirian. Liana pun sangat bersyukur karena dia bertemu dengan orang yang
baik yang mau mengantarkannya sampai kost. Setibanya di kost…
“Assalamualaikum…(mengetuk pintu).”
“Walaikumsalam.”
“Maaf Bu, sebelumnya saya mengganggu.
Apa benar ini rumahnya Bu Susi?”
“Iya saya Bu Susi. Kamu siapa ya?”
“Perkenalkan, saya Liana. Tetangganya
Bu Dirman dari Blora.”
“Oh, ini Liana yang mau ngekost
disini ya?”
“Iya Bu.”
“Mari masuk dulu, silahkan duduk.”
“Iya Bu.”
“Kenapa nggak bilang kalau kesini
hari ini, kan Ibu bisa beres-beres kamarnya dulu. Ibu kira masih minggu depan.”
“Maaf Bu, pengumuman dari kampus juga
mendadak. Jadi saya kesini hari ini. Kalau masalah kamar, biar saya sendiri
saja Bu yang bersihkan.”
“Ya sudah kalau begitu. Mari Ibu
antarkan ke kost Ibu. Kostnya tidak disini, tapi di depan rumah Ibu. Ayo kita
kesana.”
“Iya Bu.”
Bu Susi pun mengantarkan Liana menuju
kost di depan rumahnya.
“Nah, ini dia kostnya. Kamar kamu
yang ini.”
“Banyak juga ya Bu yang ngekost
disini. Semuanya ada berapa mahasiswi Bu?”
“Kira-kira 15 orang. Berbeda
angkatan.”
“Oh, masalah pembayarannya gimana ya
Bu?”
“Kalau itu sih gampang. Disini
bayarnya per semester 700 ribu. Ya maklum lah dekat dengan kampus. Segitu juga
udah paling murah daripada kost-kost lain.”
“Iya Bu, tapi kalu saya bayar bulan
depan gimana?”
“Iya nggak papa, tenang saja. Yang
penting jangan sampai saya nagih ya.”
“Iya Bu.”
“Ya sudah kamu istirahat saja dulu.
Ibu mau nyuci baju.”
“Terimakasih ya Bu.”
Liana pun langsung mengabari Ibunya
di rumah.
“Asalamualaikum Bu.”
“Walaikumsalam Nduk. Akhirnya kamu
nelpon Ibu juga. Gimana sudah sampai?”
“Sudah Bu. Alhamdulilah sudah di
kost.”
“Ya sudah kalau begitu kamu istirahat
saja nduk, besok kan sudah mulai kuliah.”
“Iya Bu, salam buat Bapak sama Kak
Mia ya.”
“Iya, nanti Ibu sampaikan.”
“Assalamualaikum.”
Liana senang bercampur sedih, karena
biaya kost dan hidup disana sangat besar. Belum lagi biaya alat-alat praktek
yang nanti dia butuhkan saat praktek. Hari demi hari pun berlalu, kini Liana
hampir sebulan kuliah disana.
“Maaf.”
“Ya gak pa pa kok, santé aja.”
“Kamu Lala ya?”
“Iya.”
“Saya Liana, apakah saya boleh berteman
dengan kamu?”
“Kamu ini ada-ada saja, ya bolehlah.
Aku suka kok punya banyak teman.”
“Makasih ya.”
Lala pun meninggalkan Liana, Dita pun
lalu menghampirinya.
“Li, kamu ngapain sih dekat-dekat
sama orang sombong kaya gitu?”
“Sombong? Maksud kamu Lala?”
“Ya iyalah siapa lagi coba, dia itu
kan terkenal sombong di Kampus ini. Mentang-mentang Bapaknya dosen di kampus
ini dia seenaknya aja.”
“Dita, kamu nggak boleh ngomong gitu
ah, Lala baik kok. Buktinya aja tadi dia mau berteman sama aku.”
“Sudahlah Li, ngapain sih kamu
berteman sama dia. Nggak ada untungnya. Hati-hati aja deh kamu. Nanti kamu
malah dimanfaatin lagi sama Lala.”
“Astagfirullahaladzim Dita, kamu kok
pikirannya negatif gitu sih? Nggak baik tau fitnah orang kayak gitu.”
“Li, kamu ini terlalu polos. Satu
kampus juga udah pada tau kalau Lala itu anaknya sombong Li. Mending kamu
jauhin dia Li daripada nanti kamu kena sendiri.”
“Makasih ya Dit atas saran kamu, tapi
menurutku ini semua nggak pa pa kok.”
“Ya udah terserah kamu.”
Liana pun meninggalkan Dita
sendirian, dia tak percaya dengan apa yang sudah dikatakan Dita. Jam kuliah pun
telah berakhir. Liana pulang sendirian. Saat dia berjalan kaki sendirian di
pinggir jalan, Lala menghampirinya.
“Liana…”
“Eh, Lala.”
“Kamu sendirian?”
“Iya.”
“Ya udah sini bonceng aku aja. Ntar
aku anterin ke kosmu.”
“Nggak usah La, ngrepotin.”
“Ngrepotin gimana? Nggak kok. Udah
ayo masuk.”
Liana pun akhirnya masuk mobil Lala.
Mereka pun berbincang-bincang di dalam mobil. Lala memang punya rencana jahat
pada Liana yaitu merubah Liana menjadi anak yang akan dibenci semua orang,
karena Lala tidak suka dengan Lala yang menjadi perhatian utama dosen-dosen di
Kampusnya.
“Li, gimana kalau kita jalan-jalan
dulu?”
“Jalan-jalan? Jalan-jalan kemana La?
Ini kan udah sore.”
“Ya ke mall daerah sini. Bosen kan
kalau tiap hari kuliah terus.”
“Duh, gimana ya La.”
“Tenang aja, nanti aku anterin pulang
kok.”
“Ya udah deh. Boleh.”
“Nah gitu donk. Itu namanya teman
yang baik.”
Beberapa menit kemudian mereka
sampai. Liana pun akhirnya mau ikut Lala ke cafe. Lianapun kagum dengan tempat
itu. Dia tidak pernah ke tempat sebesar itu sebelumnya. Karena yang dia tahu
selama ini adalah pasar, tempat dimana orang tuanya membeli semua kebutuhan
barang dagangannya. Lala pun melakukan rencana jahatnya pada Liana. Lala
memberikan minuman beralkohol pada Liana.
“Li, duduk sini Li.”
“Iya La.”
“Oh ya minum nih, enak loh.”
“Apa ini La?”
“Udah minum aja, Cuma sirup biasa
kok.”
Akhirnya Liana pun mabuk dengan
minuman yang diberikan Lala. Lala pun malah sibuk mengambil foto-foto Lala yang
mabuk. Setelah itu Lala mengantarkan Liana ke kosnya. Sesampainya di kost…
“(mengetuk pintu)”
“Astagfirullahaladzim Liana. Kenapa
dia?”
“Maaf Bu, apa benar ini kostnya
Liana?”
“Iya Nak benar.”
“Bu, saya Lala temannya Liana. Tadi
saya nggak sengaja liat Liana di pinggir jalan, terus dia juga sudah mabuk Bu.
Terus aku nemuin alamat kostnya, ya udah aku anterin aja kesini Bu.”
“Ya sudah terimakasih ya Nak.”
“Iya Bu, sama-sama. Aku pulang dulu
ya?”
Lalapun meninggalkan Liana. Keesokan
harinya saat Liana terbangun sadar, dia bingung apa yang sedang terjadi pada
dirinya. Dia kaget tiba-tiba dia berada di dalam kamarnya.
“Bu, kemarin yang nganterin saya
pulang siapa ya Bu?”
“Li, kamu semalam itu mabuk. Kamu
minum apa sih? Ibu nggak nyangka ya, ibu kira kamu itu polos, lugu, dan baik.
Tapi, kamu udah ngecewain Ibu. Bagaimana kalau orangtua kamu di Blora sampai
tahu Li? Apa yang harus Ibu katakan sama mereka”
“Nggak, nggak mungkin Bu. Ibu nggak
usah ngarang-ngarang cerita ya Bu. Sebenarnya Ibu nggak suka kan kalau aku
tinggal disini.”
“Astagfirullahaladzim Li. Kamu
benar-benar sudah berubah ya. Baru tinggal sebulan disini kamu udah seperti ini
Nak. Sadar nak sadar. Kamu jangan terpengaruh sama teman-teman yang tidak baik.
Bergaul lah dengan teman yang baik Nak.”
Liana pun meninggalkan Ibu Susi dan
bergegas ke kampus. Sesampainya di kampus Liana bercerita dengan Lala. Lala
pura-pura kaget dan tidak tahu. Dia justru sudah berencana jahat lagi sama
Liana dengan memasukkan dompet Dina ke dalam tas Liana.
“La, sebenarnya semalam aku kenapa
sih?”
“Maksud kamu?”
“Apa aku mabuk ya La?”
“Mabuk? Ya nggak lah, masa kamu lupa
sih. Kita kan kemarin cuma minum biasa. Lalu habis itu kamu pulang naik
angkot.”
“Tapi, kata Ibu kost ku aku mabuk
La.”
“Mabuk gimana. Ibu kost kamu
berlebihan deh. Orang kamu sehat-sehat aja kan. Pasti dia bohong sama kamu Li,
biar kamu nggak betah tinggal di kostnya.”
“Bener itu La. Aku juga nggak tau
kenapa Bu Susi bilang kayak gitu.”
“Ya udah nggak usah dipikirin mending
kita ke rumahku aja yuk pulang kuliah.”
Tiba-tiba Dina berteriak karena
dompetnya hilang. Satu ruanganpun kaget mengetahui hal itu.
“Ada apa sih Din?”
“Liana, dompet aku hilang. Tadi aku
taruh di dalam tas dan sekarang nggak ada. Mana isinya kartu-kartu penting
juga.”
“Ya udah kita cari ya.”
“Teman-teman tenang ya. Gimana kalau
kita cek satu persatu tas teman-teman yang ada disini. (saut Lala)”
“Setuju, setuju, setuju… (semua
anak).”
“Ya udah Liana, bantu aku ya. Kamu
cek disana, aku disini ya.”
“Iya La.”
Beberapa menit kemudian. Dompet Dina
yang berwarna hitam ketemu di tas Liana.
“Apa ini dompetnya?”
“Iya Li, itu dompetnya.(saut Dina)”
“Nggak mungkin kalau Liana yang
ambil. (senyum)”
“Oh, jadi kamu malingnya ya Li. Aku
nggak nyangka ya Li kamu tega ngambil dompet milik orang lain.”
“Nggak Din, ini nggak mungkin. Bukan
aku yang ambil dompet kamu.”
“Halah nggak usah bohong deh.
Jelas-jelas dompet aku ada di tas kamu.”
“Sumpah Din, Demi Allah aku nggak
ngambil dompet kamu.”
“Pokoknya aku bakal laporin kamu ke
kantor polisi.”
“Din, jangan Din. Ini cuma salah
paham aja.”
Liana pun menangis. Begitu senangnya
Lala saat semua teman-teman menghujat Liana. Lala pun semakin terobsesi
menghancurkan Liana, karena hanya Liana yang dapat mengalahkan posisi
prestasinya di Kampus.
“Sudah teman-teman. Kalian apa-apaan
sih. Kita nggak perlu menghukum Liana. Mungkin ini kerjaan orang iseng aja
kok.”
“Sumpah, demi Allah aku tidak
mencuri.”
“Huu..dasar klepto… (serentak satu
kelas)”
“Udah-udah bubar. Udah ya Li, aku percaya
kok kamu nggak ambil dompetnya Dita.”
“Makasih ya La, tapi kira-kira siapa
ya yang tega berbuat itu.”
“Aku juga nggak tau Li, tega banget
dia sama kamu.”
Lala pun tertawa kecil dalam hati.
Dia senang sekali bisa membuat semua orang benci kepada Liana. Semenjak bergaul
dengan Lala, Liana memang berubah. Dia tidak pernah mengabari kedua orangtuanya
lagi di Blora, setiap mereka telpon selalu dimatikan oleh Liana. Minggu ini
kebetulan minggu libur praktek. Liana pun pulang ke Blora. Dia berniat minta uang
pada kedua orangtuanya.
“Assalamualaikum… Buuuu…. Pakkkkk…..”
“Walaikumsalam. Liana. Pak Liana
pulang pak. Dia sudah pulang.”
“Liana, Bapak sama Ibu kangen Nduk.”
“Ah, apaan sih ini. (mendorong tubuh
bapak)”
“Astagfirullahaladzim nduk, apa yang
kamu lakukan sama Bapak. Kenapa kamu jadi kasar gini nduk?”
“Udah lah Bu. Liana tuh capek. Liana
kesini tuh cuma mau minta uang, uang Liana disana kurang. Biaya praktek, kost,
belum yang lainnya. Kalau mengandalkan beasiswa aja nggak cukup Pak Bu.”
“Nduk, Bapak sama Ibu lagi nggak ada
uang Nduk. Nanti kalau ada, Ibu janji akan ngirim kesana Nduk.”
“Halah, Ibu pasti bohong.”
Liana pun meninggalkan Ibunya dan
masuk ke kamar mengambil kotak uang yang biasanya disimpan Ibu Liana.
“Nduk, jangan ambil kotak itu Nduk.”
“Sudahlah Bu. Aku sangat membutuhkan
uang ini Bu.”
“Jangan Nduk, jangan…”
Liana pun pergi dan meninggalkan
kedua orangtuanya. Mereka syok dan menangis atas apa yang dilakukan anaknya.
Entah apa yang memebuat Liana berubah drastis seperti itu. Kedua hati orangtuanya
sangat sakit diperlakukan oleh Liana. Liana yang dikenal sebagai anak yang baik
dan ramah itu kini menjadi durhaka. Sesampainya di Surabaya Liana pergi ke
rumah Lala. Disana Lala mendukung apa yang sudah dilakukan Liana terhadap
orangtuanya.
“Dengan uang ini kita bisa
makan-makan enak hari ini La. Panggil semua teman-teman ke Kafe biasanya. Kali
ini biar aku saja yang bayar.”
“Wah, kamu lagi banyak uang ya Li?”
“Iya lah, sudah lah. Aku bosen di
rumah itu selalu makan sate, sate, dan sate. Itu juga hasil sisa penjualan
Bapak.”
“Iya Li, kamu nggak boleh
terus-terusan hidup seperti itu. Kamu kan dapat beasiswa, seharusnya uang itu
kamu gunakan untuk berfoya-foya donk. Selama ini kan kamu hidup susah terus.
Iya nggak?”
“Bener La apa katamu. Aku sudah capek
hidup gini terus. Aku pengen kayak kamu La, cantik, kaya, pintar lagi.”
“Ah, hidupku ini biasa-biasa aja kok.
Justru kamu yang kurang bisa nikmatin hidup kamu. Ya udah kita ke Kafe aja
yuk.”
Setibanya di Kafe, Liana dan
teman-temannya pun berpesta. Entah kenapa pada saat itu Ibu Liana pun menyusul
ke Surabaya. Hati seorang Ibu pasti kuat terhadap apa yang telah terjadi pada
anaknya. Setibanya disana, Ibu Liana menghampiri ke kost Liana.
“Assalamualaikum…”
“Walaikumsalam. Maaf siapa ya?”
“Saya Ibunya Liana Bu, apa Liana
ada?”
“Oh, Ibunya Liana. Mari masuk Bu.
Maaf Bu, bukankah ini hari libur dan Liana sudah pulang ke Blora?”
“Iya Bu tadi dia memang pulang ke
Blora, tapi saya menyusul.”
“Kemana ya dia?”
“Apa Liana sering seperti ini Bu?”
“E..e..”
“Sudahlah Bu, Ibu jujur saja sama
saya. Sebagai seorang Ibu saya tau Bu apa yang terjadi pada anak saya.”
“Maafkan saya Bu, sebenarnya sudah
beberapa bulan ini Liana berubah. Dia tidak seperti Liana yang saya kenal awal
dulu. Maafkan saya Bu, saya tidak berani memberi kabar Ibu di Blora. Saya takut
Ibu khawatir dengan kondisi Liana.”
“Masyaallah. Nggak papa Bu, justru
saya kesini mau menyadarkan Liana. Apa Ibu tau teman Liana disini siapa ya Bu?”
“Siapa ya? Kalau nggak salah dulu dia
akrab sama Dita Bu.”
“Dita?”
“Iya Dita, kosnya di belakang rumah
saya ini Bu.”
“Ya sudah Bu Susi, saya pamit dulu
ya. Saya akan menghampiri Dita.”
“Saya temani ya Bu?”
“Nggak usah Bu, biar saya saja
sendiri.”
“Assalamualaikum Bu.”
“Walaikumsalam.”
Ibu Liana pun menghampiri kost Dita.
Setelah sampai disana Dita menceritakan semua apa yang telah terjadi selama
ini. Dita memberi tahu Ibu Liana bahwa Liana sekarang berada di Kafe untuk
berpesta bersama teman-temannya. Betapa sakit hati Ibu Liana mendengar hal itu.
Sebenarnya Dita sudah enggan datang ke pesta itu, namun karena kasihan pada Ibu
Liana, akhirnya Dita pun pergi kesana. Mereka pun sampai di Kafe itu.
“Dita, apa benar kafe ini.”
“Iya Bu, benar.”
Pesta itu sangat ramai dan megah,
semua teman-teman Liana ada disitu. Ibu Liana pun akhirnya menemukan Liana
sedang mabuk.
“Liana??”
“Ibu ngapain disini?(berbisik)”
“Ayo Nduk kita pulang. Ngapain kamu
disini?”
“Udahlah Bu, Ibu pulang aja sana.
Kamu juga Dit. Ngapain kamu bawa Ibu aku kesini?”
“Li, kamu emang benar-benar berubah
ya. Ini Ibu kamu. Kamu tega ya ngusir dia.”
Liana pun menyuruh satpam mengusir
Dita dan Ibunya. Seketika keadaan menjadi rusuh akibat peristiwa itu. Dan Lala
pun menghampirinya.
“Satpaaaaaaaaaaaaam, usir kedua orang
ini.”
“Ada apa sih Li kok rebut-ribut gini?
Siapa wanita ini Li?”
“Biasalah pengemis La. Nggak tau diri
banget. Masa’ minta-minta di Kafe kayak gini.”
“Astagfirullahaladzim, aku Ibumu
Nduk. Aku yang sudah membesarkan kamu dari kecil. Sadar Nduk, sadar.”
“Heh, pengemis. Jangan ngaku-ngaku ya
kamu. Mana mungkin aku punya Ibu gembel kayak kamu.”
“Liana, kamu keterlaluan ya. Ini Ibu
kamu Liana. Kamu emang anak yang durhaka Li. Aku menyesal punya temen kayak
kamu.”
“Emangnya aku mau berteman sama kamu.
Teman aku itu cuma Lala. Sudah Pak, usir mereka dari sini. Saya nggak mau lihat
gembel-gembel ini disini.”
“Sadar Nduk, jaga ucapanmu. Allah
akan menghukum kamu Nduk. Allah akan menghukum kamu.”
Semua teman-teman Liana pun tahu
kejadian itu. Ibu Liana dan Dita pun akhirnya pergi dari Kafe itu. Ibu Liana
menangis, hatinya sakit telah dicaci maki sendiri oleh anaknya. Lala pun kini
menjalankan rencananya yaitu menghancurkan Liana.
“Pengumuman, pengumuman. Saya akan
mengumumkan kepada kalian semua. Liana, seorang anak yang kita kenal sebagai anak
teladan, anak yang berprestasi. Ternyata dia adalah anak yang durhaka kepada
orang tuanya sendiri. Seperti yang baru saja dia lakukan. Ibu tua itu adalah
Ibu Liana. Dia seorang penjual sate di Blora. Bukan hanya itu. Liana yang telah
dibangga-banggakan dosen sebenarnya dia juga pemabuk. Aku punya bukti-buktinya.
Gambar ini. Waktu itu sepulang kuliah. Liana mengajak aku untuk mabuk di kafe
ini. Di saat itu juga dia menyuruh aku untuk mengambil foto-foto dia.”
“Lala, apa-apaan kamu.”
“Sudah lah Li, semua teman-teman tau
kelakuan busuk kamu. Jadi nggak perlu ada yang kamu tutupin dari semua.”
Liana pun menampar Lala…
“Cukup La, kamu emang munafik. Benar
yang dikatakan Dita. Kamu memang orang jahat.”
“Huuuuu….huuu… (serentak semua)”
Liana pun malu dan menyesal berteman
dengan Lala. Semua teman-temannya kini membencinya, apalagi mereka tau bahwa
wanita yang di usir itu adalah ibunya Liana. Liana menangis menerima cacian
dari semua temannya. Dia pun meninggalkan kafe itu dan pergi. Setelah keluar,
tak disangka sebuah truk pembawa kayu berjalan dan spontan menabrak Liana.
Liana pun terpental hingga beberapa meter. Orang-orang sekitar pun turut
menyaksikan kecelakaan hebat itu. Keesokan harinya Ibu Liana masih menginap di
kost Dita. Ibu Liana berniat pulang hari itu. Kemudian Dita mendapat kabar dari
Andre teman kampusnya bahwa Liana mengalami kecelakaan parah dan sekarang di
rawat di RS Surabaya. Ibu Liana syok mendapat kabar itu. Ibu Liana mengajak
Dita untuk menengok anaknya. Dan sesampainya di rumah sakit…
“Bu… Ibu yang sabar ya. Mungkin
dibalik musibah ini ada hikmahnya.”
“Iya, maksih ya Nak Dita. Sejak
kemarin Ibu merepotkan kamu.”
“Nggak Bu, saya justru senang bisa
ketemu Ibu. Sudah lama Ibu saya meninggal. Dan sosok Ibu itu mirip sama Ibu
saya.”
“Ya sudah kita cari yuk kamar Liana.”
“Iya Bu.”
Tak lama kemudian Dita dan Ibu Liana
pun sampai di kamar Liana. Kondisi Liana sangat parah. Kedua kakinya patah dan
tidak bisa jalan.
“Ibuuuu… Maafkan Liana Bu. Liana
sudah durhaka sama Ibu.”
“Sudahlah Nduk, Ibu sudah memaafkan
semua kesalahan kamu.”
“Ini mungkin hukuman Allah buat Liana
Bu, karena Liana durhaka sama Ibu. Dan sekarang kaki Liana cacat Bu.”
“Jangan ngomong gitu Nduk. Allah
masih sayang sama kamu Nduk. Buktinya Allah menyadarkan kamu Nduk. Dan kamu
bisa kumpul lagi sama Ibu.”
“Iya Bu. Ditaaa, maafkan aku Dit.
Maafkan aku atas semua yang pernah aku lakukan sama kamu.”
“Sudahlah Li, aku sudah memaafkanmu.”
“Makasih ya Li.”
Liana pun akhirnya di bawa pulang
Ibunya ke Blora. Setelah sampai di rumah Ayah Liana syok mendengar kejadian itu
semua. Liana pun kini tidak bisa berjalan lagi akibat kecelakaan yang
dialaminya. Liana pun memutuskan untuk tidak kuliah lagi dan langsung bekerja
membantu kedua orang tuanya berjualan sate khas Blora di warungnya. Tahun demi
tahun pun berlalu, kini Liana pun menjadi pengusaha sukses sate Blora. Sate
Blora ini tidak hanya terkenal di luar daerah saja, tetapi sampai turis
mancanegara pun ikut mampir di warung milik Liana itu. Begitulah hidup, kita
tidak pernah tau apa yang akan terjadi hari ini, esok dan seterusnya. Semuanya
hanya Tuhan lah yang tahu. Untuk itu teruslah berbuat kebaikan selama kita
masih bisa bernafas di dunia ini. Dan syukurilah hidup yang pernah kita miliki
ini.
Profil Penulis :
HESTY AYU
DESIFRENTI gadis manis kelahiran Blora, 14 Desember
1992 dikenal aktif dalam Organisasi WARUNG KOMUNIKASI PENELITIAN DAN KARYA
ILMIAH (WARKOP DKI PGSD) yang sejalan dengan hobinya yaitu menulis dan membaca.
Saat ini Hesty sedang menempuh pendidikan S1 PGSD UNNES sehingga nanti mampu
menjadi guru yang kompeten, namun tidak meninggalkan dunia kepenulisan. Ingin
tahu Hesty lebih banyak lagi silahkan berkicau dengannya di @Hesty_Ayu_D
terbit di Afsoh Publisher 2013
Kelompok ke-3 Workshop Menulis dan Menerbitkan Buku
Mahasiswa UNNES PGSD
Daftar isi Buku :