Lagu Iwan fals yang berjudul “ibu” membangunkan Kartika yang tengah tertidur pulas di atas kasur lantai yang usang. Sudah menjadi kebiasaannya bila Sholat subuh telah ia tunaikan maka ia akan tertidur di kamar seluas 3 x 3 meter itu. Sesekali ia mengucek matanya yang enggan terbuka. Tangan kanannya meraba bawah bantalnya untuk mencari telepon genggam. Suatu kebiasan buruk yang sangat sulit untuk ia tinggalkan. Di layar telepon genggamnya tertulis kata “Simbok”. Penuh tanda tanya dalam pikiran gadis berusia 21 tahun itu. Sesegera mungkin ia memencet tombol penerima panggilan dan mulai bersiap untuk bercakap dengan seseorang di seberang sana.
“Assalamu’alaykum,
Mbok”, kata Kartika perlahan.
“Wa’alaykumsalam,
Nduk. Apa kabarmu?”
“Baik,
Mbok. Alhamdulillah. Tumben pagi-pagi
begini Mbok meneleponku, ada apa?”,
tanya Kartika dengan nada yang cukup tinggi.
“kamu
kapan pulang, Nduk? Lebaran tinggal 3
hari lagi.”. Kata Simbok lirih.
“sudah
berapa kali kartika bilang Mbok? Aku
takkan pulang sebelum ada yang bisa ku banggakan padamu”.
Kali
ini Kartika merendahkan nada bicaranya. Tak tega rasanya membentak seorang
malaikat yang Tuhan kirimkan seperti Simbok yang telah susah payah melahirkan
dan membesarkannya itu. Sepeninggal bapak aku memang pergi merantau ke Jakarta
berharap mendapatkan nasib baik di sini. Tiga tahun sudah aku tak pulang ke
kampung halamanku di Purwodadi, Grobogan. Sebuah kota kecil yang tak jauh dari
ibu kota Jawa Tengah, Semarang. Kota kecil dengan sejuta pesonanya. Swieke
Kodok yang menjadi daya tarik pelengkapnya. Dan mudik memang telah menjadi
suatu budaya yang berkembang di masyarakat sejak dulu hingga sekarang.
Sebenarnya
ingin sekali ia pulang, meluapkan seluruh emosi kerinduannya pada sang ibu,
tapi tidak. Dia telah berjanji pada dirinya sendiri, dia takkan pulang sebelum
dapat membelikan ibunya sebidang tanah sawah di kampung. Sebuah impian yang
besar untuk Kartika yang hanya bekerja sebagi buruh pabrik di perusahaan
swasta. Gajinya pun tak seberapa, terkadang untuk menghidupi dirinya sendiri
saja terasa kurang. Maklum saja, hidup di kota seperti Jakarta memang sangat
berbeda dibandingkan dengan hidup di kampungnya. Namun ia tetap optimis untuk
mewujudkan impiannya itu, meski ia harus terpisah jauh dengan sang ibu.
Tekadnya telah bulat. Kalau pun sanggup, gunung Mount Everest pun ingin ia
persembahkan untuk Simboknya jika
beliau memintanya.
“pulanglah,
Nduk. Simbok kangen padamu”. Sekarang kakak perempuannya, Rahayu,yang berbicara
padanya.
“aku
tak bisa pulang sekarang, Mbak.
Tabunganku belum cukup untuk membeli sebidang tanah di kampung.”
“sudahlah,
Nduk. Tak harus sekarang kau wujudkan
impianmu itu. Simbok menangis terus-menerus mengharapkan kepulanganmu di
lebaran tahun ini. Sudah tiga tahun kau berpisah dengan Simbok, apa kamu tidak kangen?” tanya sang kakak dengan nada
kesal.
“aku
takkan pulang” jawabnya tegas.
Kartika
mendesah panjang kemudian menutup teleponnya, ia rebahkan kembali tubuhnya.
Menatap langit-langit kamarnya yang bercat putih. Pucat pasi. Ingatannya
tertuju pada wajah Simbok yang
senantiasa tersenyum padanya ketika Kartika mendapatkan peringkat tertinggi di
kelasnya. Simbok yang dengan ikhlas menyiapkan air panas untuk mandi paginya.
Ya, ingatan Kartika tertuju pada sejuta kebaikan Simbok padanya.
Air
matanya mulai membasahi pipinya yang tirus. Entah berapa kilogram sudah
tubuhnya menyusut karena hidup prihatin jauh dari orang tua. Maafkan aku Mbok, katanya dalam hati.
***
Lebaran
tinggal hitungan dua hari lagi, beberapa kamar kos telah kosong ditinggal
penghuninya untuk mudik ke kampung halamannya. Tinggal 3 kamar saja yang masih
berpenghuni, kamar Kartika, Mbak Santi, dan Mbak aminah. Namun terasa sepi
sekali karena mereka pun sebenarnya jarang pulang ke kos.
Sesuai
rencana tadi malam, Kartika akan pergi ke pasar untuk membeli baju baru. Suatu
tradisi yang masih melekat di kehidupan masyarakat Indonesia, bila lebaran
menjelang maka secara otomatis orang-orang pun bersuka cita membeli baju baru,
mukena baru, dan lain-lain. Meskipun itu bukanlah suatu keharusan di hari raya.
Namun alangkah lebih baik jika menciptakan jiwa yang baru dan menjalani
kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya.
Tampilan
Kartika siang ini cukup menawan. Celana Jeans berwarna hitam dan kaos ketat
berwarna putih sangat cocok untuk tubuhnya yang ramping. Rambutnya yang ikal ia
biarkan menjuntai bebas. Tak hanya itu, sepatu berhak tinggi pun ikut andil
menambah pesona dirinya.
Cuaca
siang ini cukup cerah. Matahari tak enggan lagi menyebarkan kehangatan untuk
bumi tempat Kartika berpijak. Rambut Kartika berkibar bak bendera merah putih.
Ia berjalan kaki menuju ujung gang yang tak jauh dari kosnya. Kompleks tempat
Kartika tinggal benar-benar telah sepi, tak berpenghuni. Separuh dari warga
disini adalah warga pendatang sepertinya, jadi tak heran jika banyak yang telah
mudik.
“kartika!!!”
teriak Pak Slamet, sopir angkutan langganannya itu.
Katika
membalasnya dengan lambaian tangan dan senyum khasnya. Dengan semangat ia
jejakkan kakinya pada permukaan angkutan bercat oranye ini.
Kartika
mengenal baik sopir angkutan kota ini. Lelaki berusia setengah abad ini memang
orang yang ramah. Istrinya yang bernama Kasmirah pun yang menjadi kernet
angkutan juga begitu, sangat ramah pada Kartika. Suami istri ini berasal dari
Kabupaten Blora yang tak jauh dari kampung halaman Kartika.
“kamu
nggak pulang to, Nduk?” tanya Ibu
Kasmirah sambil mengelus pundakku lembut.
“nggak,
Bu. Tahun depan saja” jawab kartika sambil tersenyum tipis.
“kenapa
nggak pulang, Nduk? Kayak Bang Toyib
saja kamu ini, tiga kali puasa tiga kali lebaran nggak pulang-pulang.” Sambung
Pak Slamet dengan tawanya yang renyah.
Kartika
tertawa. “belum rezekinya pulang kampung, Pak.” Timpalnya.
“kamu
ini ada-ada saja, Nduk. Apa nggak
kangen sama orang tuamu?” tanya Pak Slamet dengan wajah seriusnya yang terlihat
dari kaca sopir. Kartika hanya tersenyum tipis. Ia tak mampu menjawab
pertanyaan itu.
Sesampainya
di depan pasar, Kartika langsung saja turun dari angkutan sambil melambaikan
tangannya, lalu menuju sebuah toko baju muslim. Sejak memasuki toko pandangan
Kartika tertuju pada sebuah gamis yang berwarna cokelat berhiaskan payet
berwarna perak yang makin mempercantik gamis itu.
“baju
itu cocok untuk Simbok” katanya perlahan.
Kartika
tak henti menatap gamis tersebut dan sesekali meraba kain baju untuk memastikan
bahan yang digunakan sang designer.
Tanpa pikir panjang, Kartika mengambil gamis tersebut untuk dibawanya ke kasir
yang terletak di samping pintu masuk.
Antrian
cukup panjang mengular di depan kasir yang hanya satu-satunya di toko tersebut.
Sayup-sayup terdengar perbincangan beberapa orang di belakangku. Mereka tampak
bahagia menjelang kepulangan mereka ke kampung halaman. Kembali kartika
mengingat sosok Simbok wanita yang
masih terlihat muda meski usianya yang tak muda lagi. Ia memandang gamis yang
ia beli untuk Simbok. Kalau tidak pulang mengapa aku membeli
gamis ini, pikir Kartika.
Kartika
berperang dengan pikirannya, lantas ia mundur dari antrian panjang. Ia kembali
menuju tempat gamis itu sebelumnya, kemudian ia letakkan kembali. Namun
beberapa detik kemudian ia raih lagi gamis tersebut. “Aku harus membelinya
untuk Simbok” kata Kartika mantap.
Untuk kedua kalinya ia menuju antrian di depan kasir. Meski tak sepanjang
sebelumnya, namun cukup melelahkan berdiri menunggu.
***
Hujan
deras mengguyur bumi Jakarta. Tak bisa dihindarkan, Kartika harus buka puasa di
jalan. Sebuah angkringan menjadi pilihannya. Sebuah jahe hangat menemani
dinginnya malam yang menyusup melewati celah-celah angkringan yang hanya
terbuat dari MMT bekas. Beberapa permukaan angkringan telah terendam air.
Sebenarnya kondisi ini sangat jauh dari kata nyaman, namun Kartika tak
memperdulikannya.
Pandangan
Kartika tertuju pada luar angkringan. Sebuah terminal bus pembantu yang cukup
ramai. Terlihat beberapa orang saling bercengkerama sambil tertawa. Barang
bawaan mereka pun sepertinya tak sedikit. Beberapa tas menggunung di samping
tempat mereka berdiri. Sepertinya menunggu keberangkatan bis sangat menjemukan.
Sudah lama Kartika tak merasakan nikmatnya menunggu.
Kartika
mengeluarkan dompetnya dan mengambil beberapa lembar uang seribuan untuk
$membayar jahe hangat yang telah ia beli. Kartika berjalan menuju terminal.
Entah angin apa yang berbisik padanya. Tekadnya sangat kuat untuk segera sampai
di dalam terminal.
Ia
tersenyum melihat pemandangan yang tersaji disana. Ia dapat lebih dekat melihat
para calon pemudik yang kelelahan menunggu hingga tertidur pulas di kursi
tunggu. Beberapa anak kecil berlari memainkan air hujan yang tertampung dalam
sebuah pot bunga yang besar. Kartika tak sabar menuju agen bus malam yang
melayani antar kota antar provinsi itu. Seorang wanita cantik telah berjaga
disana. Perawakannya yang bak model itu selalu setia dengan senyum khasnya.
Sepertinya dia seumuran dengan Kartika. Atau mungkin tidak.
Kartika
menunduk mendekatkan kepalanya di depan loket. “masih ada tiket untuk ke
Purwodadi, Mbak?” tanya kartika perlahan.
“maaf,
Mbak. Tiket ke Purwodadi sudah habis terjual” kata wanita itu sambil tersenyum.
Kartika
menghela nafas panjang dan berjaan memunggungi loket tersebut. Apa aku memang
sudah ditakdirkan untuk pulang kampung? Tanyanya dalam hati. Hujan kembali
deras.bumi Jakarta semakin dingin menembus tulang. Kartika berdiri di samping
tiang di muka terminal sambil sesekali menggosokkan kedua tangannya mengusir
hawa dingin yang menyeruak. Seorang laki-laki berperawakan kurus mendekatinya
dari samping kanannya. Kulitnya yang hitam legam dan kumis yang tebal agak
sedikit membuatrsenyum tipis. “belum, Pak. Tiket habis”
“saya
punya satu tiket ke Purwodadi. Saya dengar tadi mbak membutuhkannya.” Kata
lelaki itu sambil memperlihatkan sebuah tiket pada Kartika.
Rupanya
lelaki ini adalah seorang calo. Pasti akan mahal harganya bila membelinya,
pikir Kartika.
Kartika
meraih tiket itu perlahan. Ia melihat tulisan Purwodadi disana. “berapa harga
tiket ini, Pak?” tanya Kartika dengan ekspresi wajah yang datar.
“300
ribu saja” kata lelaki itu tegas.
Kartika
mengembalikan tiket yang ia pegang kepada lelaki itu sambil berkata, “terlalu
mahal, Pak. Uangku tak cukup”
“sepertinya
kamu sangat membutuhkan tiket ini, ya sudahlah bayar harga aslinya saja, 250
ribu” kata lelaki itu sambil menyodorkan tiket itu kembali.
Kartika
mendongak sambil tersenyum, “Terima kasih, Pak” kemudian Kartika mengeluarkan
dompetnya yang berwarna cokelat muda. Ia meraih dua lembar uang ratusan dan
satu lembar uang lima puluhan.
“bus
berangkat besok pagi jam 6. Datanglah sebelumnya” kata lelaki itu sambil pergi
menjauh dari Kartika. Kartika kembali tersenyum menatap tiket yang berada di
tangannya. Teringat kembali wajah Simboknya.
Aku pulang Mbok, kata Kartika sambil menangis. Kemudian ia bergegas pulang ke
kosnya untuk Packing.
***
Kartika
sengaja tak memberikan kabar kepulangannya ke Purwodadi. Dengan senyum
sumringah ia merias diri di depan cermin besar di kamarnya. Sesekali ia melihat
jam tangannya. Menunjukkan pukul 5 pagi. Secepat kilat ia menggendong
ranselnya. Dengan jaket jeans dan sepatu kets ia telah siap untuk mudik.
Meskipun ia belum bisa mewujudkan impiannya, ia telah bertekad untuk menemui Simboknya. Tak lupa ia membawa gamis
berwarna cokelat yang telah ia beli untuk Simbok.
Butuh waktu lima belas menit untuk sampai di terminal. Tak sabar menunggu angkot,
ia memutuskan untuk menaiki ojek agar sampai lebih cepat.
Sesampainya
di terminal ia langsung saja mencari bus yang akan membawanya pergi ke tanah
kelahirannya. Bergegas ia menduduki kursinya. Tak berselang lama, bus
meninggalkan terminal yang mulai sepi pemudik. sepertinya armada bus yang ia
tumpangi memang benar-benar yang terakhir karena tak ada lagi bus yang berjejer
di dalam maupun di luar terminal.
Beberapa
jam berjalan kartika masih terjaga melihat pemandangan jalanan yang cukup
lengang. Tak lagi ada kata macet untuk H-1 lebaran seperti ini. Kartika tak
kuasa menahan kantuknya yang luar biasa. Dua belas jam adalah waktu yang cukup
lama untuk memejamkan mata. Ia tertidur pulas sambil memeluk ranselnya.
***
Kartika
telah berdiri mematung di depan sebuah bangunan rumah yang terbuat dari kayu
mahoni tersebut. Inilah rumahnya. Ternyata kerinduanku akan Simbok dan suasana rumah telah
mengalahkan egoku. Terlihat rumah ini tampak sepi. Pintunya tertutup rapat. Tak
sabar lagi, Kartika mengetuk pintu. Beberapa kali, namun tak ada yang menyahut.
Kartika
duduk di sebuah balai kayu yang berada di samping pintu. Sambil melepas
jaketnya, ia memencet nomor telepon ibunya. Tak lama menunggu, seseorang
menjawab teleponnya. Suara Simbok.
“ada
apa, Nduk?” tanya Simbok dengan
antusias.
“tolong
bukakan pintu, Mbok. Aku pulang” kata
Kartika sambil tersenyum.
Tanpa
menutup telepon, Simbok berlari dari
rumah belakang menuju pintu depan. Ia sangat terkejut melihat anak
kesayangannya berdiri dihadapannya. Tanpa pikir panjang, Kartika memeluk Simbok. Pecahlah tangisan Simbok di antara sayup-sayup gema
takbir. Ibu dan anak ini menangis bersama dalam pelukan hangat. Begitu pula
sang kakak, Rahayu yang ikut menangis melihat kepulangan adiknya. Akhirnya
kartika dapat pulang ke kampung halamannya setelah tiga tahun merantau di
daerah seberang. Kekuatan batin antara ibu dan anak memang takkan ada yang bisa
mengalahkan, meskipun oleh ego yang ada dalam diri masing-masing pihak.
TAMAT
BIODATA
Nama
lengkap : Nila Septy Arimbi
Nama
Panggilan : Nila, Onil
Tempat,
tanggal lahir : Grobogan, 01 September
1994
Alamat
rumah : ds. Kandangan 01/III,
Purwodadi, Grobogan.
Alamat
kos : Griya Indopermai
Email : nilasepty@gmail.com
Facebook : Nila Septy Arimbi
Hobi : membaca, memasak
Motto hidup : bekerjalah kamu seakan hidup selamanya, dan
beribadahlah kamu seakan mati esok hari
Tulisan ini terbit dalam Antologi Buku : Kesaksian Kerikil hidup
terbit di Afsoh Publisher - 2013
Penulis merupakan peserta workshop menulis dan menerbitkan Buku - Afsoh Publisher
Tulisan Lain dalam Antologi ini :