-->

Tangis Simbok di Gema Takbir

| 10:44 AM |

     


Lagu Iwan fals yang berjudul “ibu” membangunkan Kartika yang tengah tertidur pulas di atas kasur lantai yang usang. Sudah menjadi kebiasaannya bila Sholat subuh telah ia tunaikan maka ia akan tertidur di kamar seluas 3 x 3 meter itu. Sesekali ia mengucek matanya yang enggan terbuka. Tangan kanannya meraba bawah bantalnya untuk mencari telepon genggam. Suatu kebiasan buruk yang sangat sulit untuk ia tinggalkan. Di layar telepon genggamnya tertulis kata “Simbok”. Penuh tanda tanya dalam pikiran gadis berusia 21 tahun itu. Sesegera mungkin ia memencet tombol penerima panggilan dan mulai bersiap untuk bercakap dengan seseorang di seberang sana.

“Assalamu’alaykum, Mbok”, kata Kartika perlahan.

“Wa’alaykumsalam, Nduk. Apa kabarmu?”

“Baik, Mbok. Alhamdulillah. Tumben pagi-pagi begini Mbok meneleponku, ada apa?”, tanya Kartika dengan nada yang cukup tinggi.

“kamu kapan pulang, Nduk? Lebaran tinggal 3 hari lagi.”. Kata Simbok lirih.

“sudah berapa kali kartika bilang Mbok? Aku takkan pulang sebelum ada yang bisa ku banggakan padamu”.

Kali ini Kartika merendahkan nada bicaranya. Tak tega rasanya membentak seorang malaikat yang Tuhan kirimkan seperti Simbok yang telah susah payah melahirkan dan membesarkannya itu. Sepeninggal bapak aku memang pergi merantau ke Jakarta berharap mendapatkan nasib baik di sini. Tiga tahun sudah aku tak pulang ke kampung halamanku di Purwodadi, Grobogan. Sebuah kota kecil yang tak jauh dari ibu kota Jawa Tengah, Semarang. Kota kecil dengan sejuta pesonanya. Swieke Kodok yang menjadi daya tarik pelengkapnya. Dan mudik memang telah menjadi suatu budaya yang berkembang di masyarakat sejak dulu hingga sekarang.

Sebenarnya ingin sekali ia pulang, meluapkan seluruh emosi kerinduannya pada sang ibu, tapi tidak. Dia telah berjanji pada dirinya sendiri, dia takkan pulang sebelum dapat membelikan ibunya sebidang tanah sawah di kampung. Sebuah impian yang besar untuk Kartika yang hanya bekerja sebagi buruh pabrik di perusahaan swasta. Gajinya pun tak seberapa, terkadang untuk menghidupi dirinya sendiri saja terasa kurang. Maklum saja, hidup di kota seperti Jakarta memang sangat berbeda dibandingkan dengan hidup di kampungnya. Namun ia tetap optimis untuk mewujudkan impiannya itu, meski ia harus terpisah jauh dengan sang ibu. Tekadnya telah bulat. Kalau pun sanggup, gunung Mount Everest pun ingin ia persembahkan untuk Simboknya jika beliau memintanya.

“pulanglah, Nduk. Simbok kangen padamu”. Sekarang kakak perempuannya, Rahayu,yang berbicara padanya.

“aku tak bisa pulang sekarang, Mbak. Tabunganku belum cukup untuk membeli sebidang tanah di kampung.”

“sudahlah, Nduk. Tak harus sekarang kau wujudkan impianmu itu. Simbok menangis terus-menerus mengharapkan kepulanganmu di lebaran tahun ini. Sudah tiga tahun kau berpisah dengan Simbok, apa kamu tidak kangen?” tanya sang kakak dengan nada kesal.

“aku takkan pulang” jawabnya tegas.

Kartika mendesah panjang kemudian menutup teleponnya, ia rebahkan kembali tubuhnya. Menatap langit-langit kamarnya yang bercat putih. Pucat pasi. Ingatannya tertuju pada wajah Simbok yang senantiasa tersenyum padanya ketika Kartika mendapatkan peringkat tertinggi di kelasnya. Simbok yang dengan ikhlas menyiapkan air panas untuk mandi paginya. Ya, ingatan Kartika tertuju pada sejuta kebaikan Simbok padanya.

Air matanya mulai membasahi pipinya yang tirus. Entah berapa kilogram sudah tubuhnya menyusut karena hidup prihatin jauh dari orang tua. Maafkan aku Mbok, katanya dalam hati.

***

Lebaran tinggal hitungan dua hari lagi, beberapa kamar kos telah kosong ditinggal penghuninya untuk mudik ke kampung halamannya. Tinggal 3 kamar saja yang masih berpenghuni, kamar Kartika, Mbak Santi, dan Mbak aminah. Namun terasa sepi sekali karena mereka pun sebenarnya jarang pulang ke kos.

Sesuai rencana tadi malam, Kartika akan pergi ke pasar untuk membeli baju baru. Suatu tradisi yang masih melekat di kehidupan masyarakat Indonesia, bila lebaran menjelang maka secara otomatis orang-orang pun bersuka cita membeli baju baru, mukena baru, dan lain-lain. Meskipun itu bukanlah suatu keharusan di hari raya. Namun alangkah lebih baik jika menciptakan jiwa yang baru dan menjalani kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya.

Tampilan Kartika siang ini cukup menawan. Celana Jeans berwarna hitam dan kaos ketat berwarna putih sangat cocok untuk tubuhnya yang ramping. Rambutnya yang ikal ia biarkan menjuntai bebas. Tak hanya itu, sepatu berhak tinggi pun ikut andil menambah pesona dirinya.

Cuaca siang ini cukup cerah. Matahari tak enggan lagi menyebarkan kehangatan untuk bumi tempat Kartika berpijak. Rambut Kartika berkibar bak bendera merah putih. Ia berjalan kaki menuju ujung gang yang tak jauh dari kosnya. Kompleks tempat Kartika tinggal benar-benar telah sepi, tak berpenghuni. Separuh dari warga disini adalah warga pendatang sepertinya, jadi tak heran jika banyak yang telah mudik.

“kartika!!!” teriak Pak Slamet, sopir angkutan langganannya itu.

Katika membalasnya dengan lambaian tangan dan senyum khasnya. Dengan semangat ia jejakkan kakinya pada permukaan angkutan bercat oranye ini.

Kartika mengenal baik sopir angkutan kota ini. Lelaki berusia setengah abad ini memang orang yang ramah. Istrinya yang bernama Kasmirah pun yang menjadi kernet angkutan juga begitu, sangat ramah pada Kartika. Suami istri ini berasal dari Kabupaten Blora yang tak jauh dari kampung halaman Kartika.

“kamu nggak pulang to, Nduk?” tanya Ibu Kasmirah sambil mengelus pundakku lembut.

“nggak, Bu. Tahun depan saja” jawab kartika sambil tersenyum tipis.

“kenapa nggak pulang, Nduk? Kayak Bang Toyib saja kamu ini, tiga kali puasa tiga kali lebaran nggak pulang-pulang.” Sambung Pak Slamet dengan tawanya yang renyah.

Kartika tertawa. “belum rezekinya pulang kampung, Pak.” Timpalnya.

“kamu ini ada-ada saja, Nduk. Apa nggak kangen sama orang tuamu?” tanya Pak Slamet dengan wajah seriusnya yang terlihat dari kaca sopir. Kartika hanya tersenyum tipis. Ia tak mampu menjawab pertanyaan itu.

Sesampainya di depan pasar, Kartika langsung saja turun dari angkutan sambil melambaikan tangannya, lalu menuju sebuah toko baju muslim. Sejak memasuki toko pandangan Kartika tertuju pada sebuah gamis yang berwarna cokelat berhiaskan payet berwarna perak yang makin mempercantik gamis itu.

“baju itu cocok untuk Simbok” katanya perlahan.

Kartika tak henti menatap gamis tersebut dan sesekali meraba kain baju untuk memastikan bahan yang digunakan sang designer. Tanpa pikir panjang, Kartika mengambil gamis tersebut untuk dibawanya ke kasir yang terletak di samping pintu masuk.

Antrian cukup panjang mengular di depan kasir yang hanya satu-satunya di toko tersebut. Sayup-sayup terdengar perbincangan beberapa orang di belakangku. Mereka tampak bahagia menjelang kepulangan mereka ke kampung halaman. Kembali kartika mengingat sosok Simbok wanita yang masih terlihat muda meski usianya yang tak muda lagi. Ia memandang gamis yang ia beli untuk Simbok. Kalau tidak pulang mengapa aku membeli gamis ini, pikir Kartika.

Kartika berperang dengan pikirannya, lantas ia mundur dari antrian panjang. Ia kembali menuju tempat gamis itu sebelumnya, kemudian ia letakkan kembali. Namun beberapa detik kemudian ia raih lagi gamis tersebut. “Aku harus membelinya untuk Simbok” kata Kartika mantap. Untuk kedua kalinya ia menuju antrian di depan kasir. Meski tak sepanjang sebelumnya, namun cukup melelahkan berdiri menunggu.

***

Hujan deras mengguyur bumi Jakarta. Tak bisa dihindarkan, Kartika harus buka puasa di jalan. Sebuah angkringan menjadi pilihannya. Sebuah jahe hangat menemani dinginnya malam yang menyusup melewati celah-celah angkringan yang hanya terbuat dari MMT bekas. Beberapa permukaan angkringan telah terendam air. Sebenarnya kondisi ini sangat jauh dari kata nyaman, namun Kartika tak memperdulikannya.

Pandangan Kartika tertuju pada luar angkringan. Sebuah terminal bus pembantu yang cukup ramai. Terlihat beberapa orang saling bercengkerama sambil tertawa. Barang bawaan mereka pun sepertinya tak sedikit. Beberapa tas menggunung di samping tempat mereka berdiri. Sepertinya menunggu keberangkatan bis sangat menjemukan. Sudah lama Kartika tak merasakan nikmatnya menunggu.

Kartika mengeluarkan dompetnya dan mengambil beberapa lembar uang seribuan untuk $membayar jahe hangat yang telah ia beli. Kartika berjalan menuju terminal. Entah angin apa yang berbisik padanya. Tekadnya sangat kuat untuk segera sampai di dalam terminal.

Ia tersenyum melihat pemandangan yang tersaji disana. Ia dapat lebih dekat melihat para calon pemudik yang kelelahan menunggu hingga tertidur pulas di kursi tunggu. Beberapa anak kecil berlari memainkan air hujan yang tertampung dalam sebuah pot bunga yang besar. Kartika tak sabar menuju agen bus malam yang melayani antar kota antar provinsi itu. Seorang wanita cantik telah berjaga disana. Perawakannya yang bak model itu selalu setia dengan senyum khasnya. Sepertinya dia seumuran dengan Kartika. Atau mungkin tidak.

Kartika menunduk mendekatkan kepalanya di depan loket. “masih ada tiket untuk ke Purwodadi, Mbak?” tanya kartika perlahan.

“maaf, Mbak. Tiket ke Purwodadi sudah habis terjual” kata wanita itu sambil tersenyum.

Kartika menghela nafas panjang dan berjaan memunggungi loket tersebut. Apa aku memang sudah ditakdirkan untuk pulang kampung? Tanyanya dalam hati. Hujan kembali deras.bumi Jakarta semakin dingin menembus tulang. Kartika berdiri di samping tiang di muka terminal sambil sesekali menggosokkan kedua tangannya mengusir hawa dingin yang menyeruak. Seorang laki-laki berperawakan kurus mendekatinya dari samping kanannya. Kulitnya yang hitam legam dan kumis yang tebal agak sedikit membuatrsenyum tipis. “belum, Pak. Tiket habis”

“saya punya satu tiket ke Purwodadi. Saya dengar tadi mbak membutuhkannya.” Kata lelaki itu sambil memperlihatkan sebuah tiket pada Kartika.

Rupanya lelaki ini adalah seorang calo. Pasti akan mahal harganya bila membelinya, pikir Kartika.

Kartika meraih tiket itu perlahan. Ia melihat tulisan Purwodadi disana. “berapa harga tiket ini, Pak?” tanya Kartika dengan ekspresi wajah yang datar.

“300 ribu saja” kata lelaki itu tegas.

Kartika mengembalikan tiket yang ia pegang kepada lelaki itu sambil berkata, “terlalu mahal, Pak. Uangku tak cukup”

“sepertinya kamu sangat membutuhkan tiket ini, ya sudahlah bayar harga aslinya saja, 250 ribu” kata lelaki itu sambil menyodorkan tiket itu kembali.

Kartika mendongak sambil tersenyum, “Terima kasih, Pak” kemudian Kartika mengeluarkan dompetnya yang berwarna cokelat muda. Ia meraih dua lembar uang ratusan dan satu lembar uang lima puluhan.

“bus berangkat besok pagi jam 6. Datanglah sebelumnya” kata lelaki itu sambil pergi menjauh dari Kartika. Kartika kembali tersenyum menatap tiket yang berada di tangannya. Teringat kembali wajah Simboknya. Aku pulang Mbok, kata Kartika sambil menangis. Kemudian ia bergegas pulang ke kosnya untuk Packing.

***

Kartika sengaja tak memberikan kabar kepulangannya ke Purwodadi. Dengan senyum sumringah ia merias diri di depan cermin besar di kamarnya. Sesekali ia melihat jam tangannya. Menunjukkan pukul 5 pagi. Secepat kilat ia menggendong ranselnya. Dengan jaket jeans dan sepatu kets ia telah siap untuk mudik. Meskipun ia belum bisa mewujudkan impiannya, ia telah bertekad untuk menemui Simboknya. Tak lupa ia membawa gamis berwarna cokelat yang telah ia beli untuk Simbok. Butuh waktu lima belas menit untuk sampai di terminal. Tak sabar menunggu angkot, ia memutuskan untuk menaiki ojek agar sampai lebih cepat.

Sesampainya di terminal ia langsung saja mencari bus yang akan membawanya pergi ke tanah kelahirannya. Bergegas ia menduduki kursinya. Tak berselang lama, bus meninggalkan terminal yang mulai sepi pemudik. sepertinya armada bus yang ia tumpangi memang benar-benar yang terakhir karena tak ada lagi bus yang berjejer di dalam maupun di luar terminal.

Beberapa jam berjalan kartika masih terjaga melihat pemandangan jalanan yang cukup lengang. Tak lagi ada kata macet untuk H-1 lebaran seperti ini. Kartika tak kuasa menahan kantuknya yang luar biasa. Dua belas jam adalah waktu yang cukup lama untuk memejamkan mata. Ia tertidur pulas sambil memeluk ranselnya.

***

Kartika telah berdiri mematung di depan sebuah bangunan rumah yang terbuat dari kayu mahoni tersebut. Inilah rumahnya. Ternyata kerinduanku akan Simbok dan suasana rumah telah mengalahkan egoku. Terlihat rumah ini tampak sepi. Pintunya tertutup rapat. Tak sabar lagi, Kartika mengetuk pintu. Beberapa kali, namun tak ada yang menyahut.

Kartika duduk di sebuah balai kayu yang berada di samping pintu. Sambil melepas jaketnya, ia memencet nomor telepon ibunya. Tak lama menunggu, seseorang menjawab teleponnya. Suara Simbok.

“ada apa, Nduk?” tanya Simbok dengan antusias.

“tolong bukakan pintu, Mbok. Aku pulang” kata Kartika sambil tersenyum.

Tanpa menutup telepon, Simbok berlari dari rumah belakang menuju pintu depan. Ia sangat terkejut melihat anak kesayangannya berdiri dihadapannya. Tanpa pikir panjang, Kartika memeluk Simbok. Pecahlah tangisan Simbok di antara sayup-sayup gema takbir. Ibu dan anak ini menangis bersama dalam pelukan hangat. Begitu pula sang kakak, Rahayu yang ikut menangis melihat kepulangan adiknya. Akhirnya kartika dapat pulang ke kampung halamannya setelah tiga tahun merantau di daerah seberang. Kekuatan batin antara ibu dan anak memang takkan ada yang bisa mengalahkan, meskipun oleh ego yang ada dalam diri masing-masing pihak.

TAMAT

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIODATA

Nama lengkap             : Nila Septy Arimbi

Nama Panggilan         : Nila, Onil

Tempat, tanggal lahir : Grobogan, 01 September 1994

Alamat rumah             : ds. Kandangan 01/III, Purwodadi, Grobogan.

Alamat kos                  : Griya Indopermai

Email                          : nilasepty@gmail.com

Facebook                    : Nila Septy Arimbi

Hobi                            : membaca, memasak

Motto hidup                  : bekerjalah kamu seakan hidup selamanya, dan beribadahlah kamu seakan mati esok hari


Tulisan ini terbit dalam Antologi Buku : Kesaksian Kerikil hidup 
terbit di Afsoh Publisher - 2013
Penulis merupakan peserta workshop menulis dan menerbitkan Buku - Afsoh Publisher

Tulisan Lain dalam Antologi ini :


Keadilan untuk pohon randu

Namanya Juga Hidup

GENDAM NUSANTARA 919

Back to Top