Inilah aku dengan segala keadaanku yang serba biasa. Aku tak suka dengan hal-hal yang “neko-neko”. Simple, ya.. itu pilihan modeku. Mulai dari cara berpakaian, berdandan, dan semua tentang aku. Aku lahir 19 tahun yang lalu di sebuah kota kecil di pulau Jawa. Aku anak kedua dari dua bersaudara. Pekerjaan Ayah dan Ibuku guru Matematika di SMA. Namaku Sabrina. Tahun ini aku duduk di bangku kuliah semester 3. Aku mengambil jurusan Teknologi Pendidikan, di salah satu perguruan timggi di dekat kotaku.
Untuk menjaungkau kuliahku, aku menyewa kamar kos yang luasnya kira-kira 3x2 meter. Ya lumayan luas untuk aku tempati seorang diri. Hari-hariku di sini tidak begitu sepi, aku mempunyai beberapa orang teman baik. Namun, teman-temanku itu hanya bertahan satu semester saja. Entah karena apa hal itu bisa terjadi, mungkin pandangan hidup kami yang berbeda. Namun, aku masih punya seorang teman yang kini menjadi sahabat baikku. Aku mengenalnya ketika awal kami bertemu di saat daftar ulang satu setengah tahun yang lalu.Sejak itu, aku mulai terbiasa bergaul dengannya.
Aku perkenalkan teman baikku itu,, Stesi. Biasanya
orang-orang memanggilnya Sisi. Berbeda dengan sifatku yang enggak suka
“neko-neko”. Sisi selalu berpakaian necis,
dengan model baju yang hampir setiap kuliah gonta-ganti. Maklumlah, ia anak
tunggal dari pasangan pengusaha sukses di kotanya. Namun, yang aku suka
darinya, ia tak pernah sombong ataupun pamer. Justru ia seorang dermawan, ia
merintisi sebuah kegiatan sosial di kampus kami.
Aku sering sekali menghabiskan hari-hariku bersamanya,
mulai dari belajar bareng, makan bareng, dan tak jarang ia sering nginep di kosku karena ngerjain tugas
yang terlalu malam di kosku. Kalau soal
belajar memang aku ahlinya. Aku tak bisa menunda-nunda pekerjaan yang telah
diberikan padaku. Tapi kalau Sisi, dia paling suka kalau ngerjain tugas ataupun
belajar mepet malem harinya. Yahh.. semua orang pasti ada kelebihan dan ada
kekuranganya. Sistem kebut semalam (SKS) ngerjain tugas dan belajar salah satu
andalan temanku.
Hal yang paling menciri khas dari dirinya yaitu setiap
malam selalu duduk berjam-jam hanya untuk menulis di buku dairynya.
“Si,,
kenapa sih, kamu kok lama banget nulis dairy, apa sih yang kamu tulis ni udah tiga
jam lewat kamu nulis?” tanya aku.
“haha...
ya gapapalah... ni tu buat latih ingatan aku, biar cling gitu lohh setiap
harinya”, jawab Sisi.
Namun,
ketika pagi hari tak sengaja aku melihat dairynya di atas meja belajarku.
ternyata tulisannya hanya selembar buku dairy ukuran 15 x 10 cm.
“Hmmm,,
dasar, nulis segini aja lama”, ejekku dengan nada pelan.
Selain aku, sisi mempunyai teman baik lainnya, yaitu
Dhika. Awal aku ketemu Dhika dia anak laki-laki yang judes dan cuek banget.
Tapi setelah Dhika berteman baik dengan Sisi, sifat baiknya lama kelamaan mulai
terlihat. Ya maklumlah, Sisi memang pandai menyenangkan hati orang. Semenjak
itu lah, Dhika menjadi semangat untuk belajar dan akhirnya IP nya salalu
tinggi. Padahal sebelum kenal dengan Sisi, ia seorang pemalas yang suka
nongkrong berjam-jam di warung depan kampus. Mungkin karena semangat hidupnya
menurun, sejak ayah dan ibunya tiada dan ia tinggal hanya bersama neneknya. Tapi
syukurlah sekarang dia tampak hebat, tampil sebagai laki-laki yang penuh
tanggung jawab dan wibawa. Hari-hari
Sisi dan Dhika sering mereka lewati bersama. Tak jarang aku sering diajaknya
makan bersama, tapi hubunganku dengan dhika biasa-biasa aja, bahkan kami jarang
untuk mengobrol.
***
“Si,
gimana IP mu, udah naik belum?” tanya Dhika kepada Sisi.
“Hahaha,,
tentu dong, lumayan lah, naik 0,2 dari kemarin. Makasih yak?” jawab Sisi
dengan nada ceria.
“Sama-sama,
yoo aku traktir makan es krim rujak, trus nanti temenin aku ke toko buku ya?”
ajak dhika.
“Sippp
pak bos”. sahut Sisi.
Begitulah
keseharian mereka, selalu bersama. Keakraban mereka membuat iri banyak orang,
termasuk aku. Sebagai sahabat aku mendukung pertemanan mereka, walau terkadang
aku iri karena Sisi lebih banyak bergaul dengan Dhika. Tapi melihat mereka
berdua tertawa bahagia, aku pun ikut senang melihat dan mendegar ceritanya.
***
Siang itu, sepulang kuliah tak biasanya ia tampak
murung dan pucat.
“Si,,
kenapa kau? Pusing kepalamu? Sini duduk. Bentar aku buatin teh anget dulu”,
kataku.
“Enggak
usah sab, aku gapapa kok, Cuma capek aja jalan tadi”, jawabnya.
“Ga
ahh, bentar tunggu sini”. paksa aku.
Setelah
meminum teh dari ku lalu ini tidur. Tak berapa lama kemudian dia bangun, lalu
berkata.
”Sab,
aku mau pulang. Maaf ya selama ini kalau aku punya banyak salah sama kamu.”
“Ehh,,
kanapa kamu tiba-tiba mau pulang, biasanya kamu anti banget kalau diajak
pulang? Ayah mu sakit? atau Ibu mu yang sakit?” tanya ku penuh penasaran.
“Ga
kok, mereka baik-baik aja, tapi aku pengen pulang udah 3 bulan ini aku ga
pulang”.
”
iya sih,, oke deh,, hati-hati di jalannya.” “O ya, ini kan aku pulang, titip
Dhika ya.. hehe”.
Aku
melepas kepulangan Sisi dengan perasaan tak enak, tapi mendengar perkataan Sisi
yang seperti itu, memang benar mungkin ia kangen dengan ayah dan ibunya, maklum
Sisi jarang pulang ke rumah.
Sore itu aku nonton tv dengan temen-temen kos, tapi
entah kenapa hatiku terasa tak nyaman. Aku merasa ada yang kurang. beberapa
saat kemudian hp ku berbunyi, tak kusangka Dhika meneleponku. ini untuk pertama
kalinya dhika menghubungiku.
“Halo,
assalamualaikum....”
Seketika
aku menjadi lemas tak berdaya, kakiku gemetar, badan ku dingin dan akhirnya aku
jatuh ke lantai. Air mataku pun keluar dengan sendirinya. Untuk beberapa menit
aku tak bisa melakukan apa-apa. Semua teman kos ku panik menlihat keadaanku
yang seperti itu. Setelah minum teh hangat buatan Mery, temen kosku. aku baru
bisa bercerita, bahwa berita dari Dhika tadilah yang menjadikan aku syok. Sisi
sahabat baikku, telah tiada.
Segeralah aku pergi ke rumah Sisi dengan Dhika
menggunakan bus umum. Sepanjang perjalanan kami hanya terdiam dan tak
henti-hentinya air mata kami menetes. Entah pikiran kami kemana pada saat itu.
Bingung, panik, sedih, menyesal itu semua menjadi satu.
Sesampainya di rumah Sisi, kami mengantarkan Sisi ke
peristirahatan terakhirnya dengan gumaman doa dan tetesan air mata. Berat
rasanya menaburkan bunga di atas makamnya dan meninggalkanny untuk selamanya.
Tapi apa yang bisa aku perbuat, ini semua sudah menjadi ketentuan sang Maha
Pencipa.
Setelah kepergiaannya baru aku tahu bahwa ia mempunyai
kanker di otaknya. Dari situlah kecurigaanku selama ini terjawab. Mulai dari sakit
kepala yang sering ia alami, pelupa yang sangat parah, hingga membutuhkan waktu
yang begitu lama untuk mengigat suatu hal termasuk meulis dairy. Mulai saat itu
lah aku menyesali sikapku yang kurang peduli akan ketidaktahuan keadaan sahabatku.
Perasaan bersalah selama ini sulit sekali aku terima. Beberapa hari aku
membiarkan diriku sakit karena terlalu larut sedih atas kepergiaan sahabatku.
Tapi, lama kelamaan aku menyadari bahwa sekarang yang bisa aku perbuat untuknya
hanyalah berdoa. Mulai saat itu, perlahan-lahan aku bangkit. Aku mulai belajar
hidup tanpa ada hadirnya dirinya di sampingku.
Ku ingat pesannya untuk menjaga Dhika. Hal tersebut
sulit aku jalani tapi entah kenapa ada kekuatan dari diri ku yang menyakinkanku
bahwa aku bisa. Aku bingung harus memulainya dari mana. Dhika sekarang berbeda,
dia tampak seperti orang pasif, hanya diam dan menyendiri. Melihat keadaannya
seperti itu, aku menjadi semangat mengembalikan keceriaannya seperti dulu. Walaupun
aku menyadari aku tak kan bisa mengembalikan tawanya seperti ketika ia bersama
Sisi.
Setiap hari ku coba dekat dia, mengajaknya mengobrol.
Walaupun sering kali hanya sunggingan bibir yang ia balas kepada ku.
“Dhika,,
kamu udah ngerjain tugas dari Bu Yus?” tanyaku,
“Belum”,
singkat jawab Dhika.
Tapi
kemana ia pergi aku berusaha selalu ada di sampingnya. Mulai dari makan, pergi
ke kelas, perpus, sampai hanya berdiam diri di depan aula tempat Dhika dan Sisi
biasanya bertemu.
“
Dhika,, kamu udah makan siang? liat ini aku bawa capjay, ayo kita makan”,
ajakku.
“Ayo..”
jawab Dhika dengan senyuman.
Entah
hal apa yang menjadikan ia mulai berubah dan menerima keadaan. Aku tak berani
menayakan mengapa ia mulai bisa mengikhlaskan kepergian Sisi.
Mulai saat itu, kami menjadi dekat, hampir di setiap
kesempatan kami selalu bersama. Begitu pula pada saat perekrutan anggota
organisasi di kampus. Kami sama-sama mengikuti seleksi tersebut. Alhasil, kami
berdua diterima menjadi anggota organisasi tersebut. Sejak itulah, aku mulai
membiasakan diri bergaul dengan orang lain, mengenal lebih banyak orang dan
dikenal oleh banyak orang pula. Kami selalu bertukar ide untuk menemukan hal
yang fantastik dalam menangani suatu permasalahan. Kami dalam organisasi
tersebut seperti keluarga baru yang penuh cinta. Walau tak bisa dipungkiri
banyak konflik yang kami hadapi. Tapi proses itulah yang mendewasakan hidup
kami. Menjadikan kami menjadi manusia yang lebih bijak. Di organisasi itulah
Dhika juga menjadi ramah dan ceria seperti dulu lagi. Secara perlahan kami bisa
melupakan bayang-bayang Sisi dihidup kami.
Kebersamaanku dengan Dhika akhirnya memunculkan
perasaan yang aneh di hatiku. Perasaan yang selalu ingin mendapat perhatiaan
darinya, yang selalu dianggap ada olehnya. Aku sering kali merasa marah ketika
Dhika memuji kecantikan, kepandaian, atau apapun itu mengenai perempuan lain.
***
Saat pulang kampus, hujan turun dengan deras.
Perjalanan kami pulang ke kos masing-masing tertunda. Akhirnya kami menunggu
hujan agar reda di depan audit seperti biasanya.
“Sabriinnaaa....”
panggil Dhika dengan senyum bahagia di pipinya.
“
Tumben kamu seneng banget, ada apa sih,, cerita dong. pasti gara-gara aku pakai
baju ini ya, cantik kan” goda aku.
“Hiiii,,
iya deh kamu cantik hari.. hmm gimana ya ngomongnya?”
“Ngomong
aja kali”
“Sab,,
aku suka sama seseorang di kampus ini, dia cantik bukan hanya tampak luar namun
hatinya juga, baik, rajin, perhatian, pinter lagi, pokoknya dia mengerti aku
apa adanya...” “Siapa dhik,, penasaran nih” dalam hatiku aku menduga bahwa yang
Dhika maksud adalah aku.
“Desi.
menurut mu gimana?”
Seketika,
hatiku sungguh sakit, mataku berkaca-kaca, dan sejenak aku tak bisa berkata.
rasanya mulutku ini berat mengeluarkan kata karena terdesak oleh perihnya rasa
sakit hatiku.
“Sab,,
kamu kenapa? halloo??”
Ku
palingkan muka ku segera ke belakang dan ku usap air mataku yang hampir jatuh
dipipiku.
“Hmm,,
gapapa. Desi?? hmm iya, Desi memang pas buat kamu, cocok deh sama kamu, dia
cantik, baik dan pandai.” jawabku dengan wajah seceria mungkin.
“O
ya, dhik aku pulang duluan ya.”
“
Hehhh,, mau kemana, kan masih ujan, nanti aku anterin”.
“Gak ah dhik,, aku mau ke kos Bella dulu mau
ambil buku”
“Iya nanti aku anterin ke kosnya Bella”,
“Gak,, aku dulu.. daaa” segera aku
meninggalkan Dhika
“Sabrrinnaa,,”
panggil dhika dengan nada curiga.
Sepanjang perjalanan aku tak bisa menahan air mataku.
Aku sendiri bingung kenapa aku harus menangis. Sejak saat itulah aku menyadari
bahwa aku mulai suka dengan Dhika. Namun tentu rasanya sakit jika laki-laki
yang dicintai menyatakan cintanya kepada perempuan lain di depan matanya.
Sejak itulah, aku agak menjauhi Dhika. Namun, Dhika
juga tak merasa jika aku menjauh darinya. Sekarang Dhika lebih banyak
menghabiskan waktu dengan Desi. Melihat kebersamaan mereka, aku bingung harus
sedih ataukah senang. Sedih karena aku akan jarang mendapat perhatiaanya lagi
dan senang akhirnya aku bisa mewujudkan harapan Sisi. Namun melihat senyum dan
tawanya dari kejauhan cukup melepas rasa rinduku padanya.
Kini
aku semakin semangat belajar untuk mendapatkan beasiswa S-2 ke luar negeri
karena kuliahku hampir selesai. Aku ingin pergi jauh dari Dhika, dan perlahan
melupakan rasa cintaku pada dhika. Mungkin dengan aku pergi jauh ke sana dan
dengan kesibukan baruku aku bisa menghalau rasa cintaku pada Dhika.
Rencanaku
ini terdengar juga oleh Dhika,
“Sabrina,,
kamu mau ambil beasiswa Australia?”
“Iya
Dhik,,”
“
Dulu katanya kita mau lanjutin S-2 di sini aja?”
“
Hmm,, setelah aku pikir-pikir aku mau mencoba hal yang baru yang lebih
menantang.” “Yah nanti aku sepi dong Sab?”
“Tak
akan,, kita bisa chatting-an, kan ada
Desi juga”.
“Sab,,
kamu ga marah sama aku kan?”
“Kanapa
aku marah? kan aku yang mau pergi, justru aku yang tanya kamu ga marah sama aku
kan?”
“Ya udah Sab,, hati-hati ya, somoga kita
sama-sama sukses, jangan lupa kita tetep teman.” “Sipp deh, hehe”
***
Sebelum wisuda, aku mendapat informasi kalau aku berhasil
mendapatkan beasiswa S-2 ke luar negeri tersebut. Disatu sisi aku senang
akhirnya perjuanganku selama ini tak sia-sia, namun di sisi lain aku akan pergi
jauh melupakan rasa cintaku pada Dhika.
“Gimana
Sab,, sukses ga?”
“Alhamdulillah
Dhik,, aku dapet beasiswa itu”,
“Ayo
kita makan-makan, nanti biar aku yang bayar. O y, sama Desi juga ya?”
“Ohh,,
iya Dhik.”
***
Setelah hampir satu tahun di Australia aku tak
berhubungan dengan Dhika, email dan chatting
dari Dhika semuanya tak aku balas. Hanya satu email aku kirimkan pada Dhika
dulu awak kedatanganku di Austarlia mengenai keadaanku di sekolah baruku.
Banyak temanku di Indonesia melalui email yang mengatakan Dhika rindu padaku,
kini Dhika tak lagi bersama Desi karena Desi sudah pergi memilih laki-laki lain
pilihan orang tuanya. Namun, aku yakin Dhika akan tegar dan tak akan jatuh
seperti dulu lagi karena banyak teman di sana yang selalu menyayanginya dan ia
telah belajar untuk menjadi laki-laki yang tangguh.
***
Liburan semester yang hanya beberapa minggu aku manfaatkan
untuk pulang ke Indonesia. Tak sengaja ketika berada di bandara, ada orang yang
menepukku dari belakang, seketika aku palingkan badanku ke belakang. Tampak
laki-laki tinggi besar dan gagah, mengenakan jas dan dasi berdiri di depanku
dengan mengandeng seorang wanita cantik. Tak kusangka dia adalah Dhika. Setelah
lama tak berjumpa dengannya kini ia telah menjadi orang sukses yang telah
berkeluarga dan hidup bahagia. Mulai saat itu lah kami kembali menjalin
hubungan menjadi sahabat yang baik untuk selamanya.
Tulisan Terbit dalam Antologi Buku : Goresan Pena Melukis Rasa
terbit di Afsoh Publisher 2013
Peserta Workshop Menulis dan Menerbitkan Buku untuk Mahasiswa PGSD Unnes
Isi Buku
* Hati Kardus Untuk Omen
* Kasih Tak Pudar
* Keabadian Cinta Tuk Selamanya
* Jarak
* Lorong Impian si Kecil Clara
* Ceritaku Ceritamu
* CInta Tidak Harus dipaksa
* Kupilih Jalan Terbaik
* Malam ini ...