Cinta, mengikutimu ke mana pun langkahmu pergi. Membawa sejuta asa yang berharap tak akan sia-sia di ujungnya. Terbang bersama angan dan jatuh bersama luka dan kecewa. Karenamu aku ada, karena cinta dan aku kembali terlupa tentang jarak.
Hari ini pengumuman kelulusan sekolahku. Aku tak akan
lagi memakai seragam putih abu-abu. Teman-teman bersorak ramai, tak seperti
sekolah-sekolah lain sekolahku tidak diperbolehkan mencoret-coret seragam.
“Kalau bisa disumbangkan” itu kata Kepala Sekolah sewaktu upacara. Meski
beberapa temanku ada yang bandel sekalipun nyatanya mereka tak melakukan itu. Bersyukur
mereka lebih sepakat untuk mengadakan syukuran dan perpisahan angkatan.
Di salah satu rumah makan, kami mengadakan syukuran
dan perpisahan angkatan. Dari kami memang sudah beberapa yang diterima di
beberapa perguruan tinggi negeri maupun swasta. Dan aku termasuk yang belum.
Bagiku itu tidak masalah, aku yakin aku kuliah tahun ini dan aku bertekad aku
hanya kuliah di perguruan tinggi negeri meskipun melalui jalur tes. Aku senang
karena aku tak sendiri. Sahabatku Roy, Dika dan Ira belum diterima di perguruan
tinggi manapun. Sayang, Sasti sudah mendapatkannya di salah satu perguruan
tinggi swasta. Karena orang tuanya kaya jadi dia lebih memilih di sana tanpa
perlu repot-repot tes.
“Di, gue udah mutusin karena gue anak IPS gue mau
ambil jurusan kedokteran gigi di Solo.” Kata Roy di sela-sela percakapan kami.
Spontan kami yang mendengar tertawa keras.
“Lo sakit ya Roy, nilai ujian pas-pasan gitu berani
ambil jurusan kedokteran gigi. Emang gampang? Nggak gampang tahu!” kataku
sambil memberi tampang heran.
“Emang susah banget ya, padahal kan tinggal nyabut
gigi doang. Aku biasanya di rumah dihukum nyokap nyabut rumput gampang-gampang
aja.” Roy menjelaskan polos.
“Eh Roy, aku sih seneng aja kamu punya cita-cita
bagus. Tapi aku juga nggak pengen kalo kamu susah dapetinnya. Soalnya
kedokteran gigi itu emang nggak mudah, bahkan kita juga anak IPS. Tapi ya kalo
aku saranin kamu itu masuk manajemen aja.” Saut Ira yang dari tadi sibuk dengah
ponsel-nya.
“Tega banget si kalian, gitu bilang temen. Semangati,
bantuin apa gitu kek!” Roy melengos.
“Udah udah, ya intinya gini Roy kalo kamu emang yakin
bisa. Hajar ! kalo nggak bisa, cari yang lain.” Kataku sambil menepuk pundak
Roy. Sesaat aku merasa seseorang memperhatikanku. Aku pun mencari bayangan itu.
Namun tak kutemukan.
“Eh Di, kamu rencana mau lanjut kuliah di mana ni?”
tanya Ira padaku.
“Di mana ya? Aku kayanya pengen di Semarang biar deket biar gampang pulang.
Haha, lha kalo kamu?” tanyaku balik.
“Iya, mungkin Semarang juga. Ibuku juga bilang jangan jauh-jauh.”
“Cieee, kalian mau SMA bareng kuliah juga bareng.
Cihuy...” goda Dika pada kami tiba-tiba.
“Apaan sih lo, dari mana juga dateng-dateng ngagetin
orang aja.”
“Maap Mas bro, tadi abis ngobrol sama Dinda sama
temen-temen yang di sana noh...” Dika menjelaskan sambil menunjuk-nujuk meja
nomer 5.
“Dinda siapa? Kok kayaknya pernah denger...” Tanyaku
heran.
“Cieee, Adi penasaran. Awas ntar naksir lho!” celetuk
Ira menggodaku. Spontan teman-temen semeja bersorak.
“Heeeey, apa-apan sih. Kayak anak kecil aja.” Aku
merengut.
“Nggak usah ngambek gitu dong, kita juga bercanda. Gue
kasih tahu tuh, yang pake baju biru itu lho. Pake kacamata, manis lho. Kalo lo
naksir gue juga nggak heran. Kan kayanya itu tipe lo banget. Hahaha...”
teman-temanku semakin menjadi-jadi. Aku pun mengamatinya, iya Dinda memang
manis cocok mengenakan kemeja biru dengan jilbab senada. Aku pun tak mau
memperhatikannya lama-lama takut mereka semua semakin menggodaku dan aku paling
tidak suka dengan itu.
Waktu menunjukkan pukul sembilan malam, acara pun
telah usai. Aku dengan teman-temanku bergegas pulang sambil berpamitan dengan
teman-teman yang lain. Ah, perpisahan. Aku pasti akan merindukan mereka, tak
lama berselang Dinda muncul. Aku tiba-tiba merasa salah tingkah.
“Hey Din, nih ada temenku yang mau kenalan. Udah tiga
tahun satu sekolah masak nggak kenal.” Tiba-tiba Dika dengan muka polos
memanggil Dinda dan tidak salah lagi yang dimaksud itu pasti adalah aku. Jika
tidak di hadapan Dinda mungkin ingin kumakan itu Dika.
“Oh iya, siapa? Bukannya udah kenal semua ya?” dengan
santai Dinda menjawab.
“Udah, biarin aja Din. Biasa Dika suka bercanda. ” Ira
menjelaskan dan aku hanya bisa tersenyum.
“Adi lupa ya,
kita pernah kenalan kok waktu MOS dulu. Wajar sih lupa, emang abis itu juga
jarang ketemu. Beda kelas juga.”
“Hah, masak ya? Hehe, iya deh. Maaf ya, banyak temen
cewek di sekolah jadi susah ngehafalin satu-satu...” kataku membela.
“Ya sekarang diinget-inget, kalo nggak inget nggak
apa-apa sih nanti juga pisah sekolah. Kalo gitu aku duluan ya. Udah malem juga
ni. Takut dicariin mama, duluan ya assalamualaikum.” Dinda pun berlalu
meninggalkan kami dan ekor mataku membuntuti kepergiaannya dan hilang.
Aku cukup kaget mendengar perkataan Dinda di sana, aku
mencoa mengingat-ingat ketika MOS dulu. Ketika itu di aula, kami semua siswa
baru mendengarkan wejangan dari salah satu guru namun aku lupa siapa pokoknya
beliau sudah pensiun. Waktu mengisi tanda tangan aku lupa membawa pulpen. Nah,
Dindalah yang dengan baik meminjaminya. Bahkan sepertinya dulu aku lupa
mengembalikan. Oh tidak, malu sekali. Tapi dia dulu tidak memakai jilbab, oh
pantas aku lupa. Wanita memang cantik kalo memakai jilbab, lebih manis.
Alhamdulillah, akhirnya aku masuk salah satu
universitas di Semarang setelah belajar nonstop latihan soal mengerjakan
ini-itu. Tentu saja aku tak sendiri, Ira pun sama satu universitas denganku
ternyata satu fakultas hanya berbeda jurusan. Aku memilih jurusan ekonomi
akuntansi dan dia sosiologi dan antropologi. Dika akhirnya kuliah di Jogja dan
Roy kami tidak menyangka dia diterima kedokteran gigi di Solo dan tebak tentu
saja dengan biaya selangit. Kami pura-pura bangga. Aku pun tak menyangka juga
bahwa Dinda satu universitas denganku, dia mengambil jurusan kesehatan
masyarakat.
Satu semester sudah kulalui dengan tak hanya kuliah.
Beberapa organisasi pun juga kuikuti dan Dinda pun sama. Kami mengikuti
organisasi yang sama. Sejak itu aku semakin dekat dengannya. Tidak tahu nyaman
saja jika berbicara dengan dia. Nyambung.
“Kenapa Di, ada masalah? Proposalnya tuh, udah diminta
sama ketuanya.” Kata Dinda mengingatkan.
“Eh iya, Din. Dikit lagi, kan ini juga baru pertama
kali aku jadi sekretaris. Heran deh, banyak cewek di sini kenapa harus aku?
Kenapa nggak kamu aja, Din?” gerutuku.
“Eh, emang kamu mau jadi bendahara. Nih urusin duit,
emang dipikir enak bawa duit orang. Ya udah si, sabar dijalanin gitu. Toh kamu
juga nggak sendiri, perlu aku bantuin?”
“Eh, nggaklah. Kan aku udah bilang dikit lagi, bantuin
doa cukup kok. Udah sana urusin duit, ilang bingung nanti.”
“Ih, nggak ya. Uda aku simpen di bank uangnya. Kalo
ilang mesti juga kamu yang ngambil. Weeeek...!” canda Dinda padaku sambil
menjulurkan lidahnya.
“Udah? Jangan lupa disimpen datanya. Nanti ilang
nangis lho.”
“Hih, apaan. Emang aku cowok macam apa, paling nanti
aku minta bikinin kamu aja. Weeek!” aku membalas.
“Di, laper nggak? Makan yuuk! Udah nggak ada kuliah
kan ya?”
“Emh, eh... Nggak, boleh. Ayo.” Aku tiba-tiba salah
tingkah.
“Pak pesen bakso dua ya, es teh dua.” Kataku pada
bapak penjualnya.
“Baru nyadar udah lama nggak makan bakso.” Tiba-tiba
Dinda membuka pembicaraan.
“Walah, mungkin terakhir pergi sama pacarnya kali.”
Aku mencoba mencari tahu tentangnya.
Dinda diam saja melihat ke arah luar warung. “Hey, kok
malah ngelamun sih! Aku salah ngomong ya?”
“Ah, nggak kok. Nggak punya pacar kok. Week.”
“Din, kalau boleh cerita. Mmm, sebenarnya ada sih kalo
yang kusuka. Tapi nggak tau dia suka aku apa nggak.” Rasanya aku mau mati
setelah mengucapkan kalimat itu.
“Hah, ciee mau curhat ceritanya. Iya iya, santai aja.
Silakan diterusin.” Dinda tiba-tiba serius menyimak raut wajahku. “Wah, siapa
ceweknya?” tanyanya penasaran. Aku semakin deg-degan tidak karuan. Mungkin
hanya mengatakan tidak masalah. Setidaknya aku lega, pikirku.
“Kamu.” Dinda tertegun
“Ha? Nggak salah denger? Seriusan? Bisa aja
bercandanya, kalo nggak mau jawab juga nggak apa-apa. Aku tadi nanya juga nggak
serius kok.” Dinda mengeles.
“Beneran Din, kalo boleh jujur aku mulai ngrasa aneh
waktu acara perpisahan dulu itu. Beda aja waktu ngeliat kamu.” Dinda tampak
bingung.
“Nggak suka ya, nggak apa-apa kok. Aku juga nggak
maksa. Aku juga nggak pengen ini malah jadi ganggu pertemanan kita.” Dinda
tersenyum tenang.
“Bukan sih sebenernya. Kamu telat Di. Kamu tau, aku
dulu udah suka sama kamu waktu pertama kali ketemu. Waktu MOS. Sebenernya dulu
awalnya sebel, gara-gara aku udah minjemin pulpen ke kamu eh malah nggak kamu
kembaliin. Maen nyelonong pergi aja. Kamu tau itu pulpen kesayanganku. Tapi
gara-gara itu juga akhirnya aku sering perhatiin kamu, niatnya mau minta pulpen
itu balik tapi nggak jadi-jadi. Aku juga malu kalo mau nemuin kamu ke kelas.
Disangka yang nggak-nggak nanti aku. Ternyata kamu itu lucu juga. Akhirnya aku
ikhlasin aja dan malah jadi kepikiran terus. Aku sadar kalau aku mungkin jatuh
cinta sama kamu. Tapi, ...” Dinda berhenti
“Tapi kenapa, Din?” aku penasaran.
“Itu dulu, aku mulai merasa sedih karena kita nggak
bisa deket. Kamu selalu bareng sama temen-temenmu itu. Ada Ira juga, kupikir
dulu itu dia pacarmu. Makanya aku dengan berat hati mundur teratur. Tapi
ternyata bukan. Kupikir juga kamu setidaknya tahu aku, ternyata nggak. Aku
kaget waktu perpisahan dulu itu ternyata kamu nggak inget aku sama sekali. Aku
sedih banget, rasanya perasaanku tiga tahun itu sia-sia. Akhirnya sejak saat
itu aku usaha buat nglupain kamu.” Dinda tersenyum.
“Dan sekarang?” aku masih berharap.
“Maaf Di, nggak bisa. Aku udah nglupain kamu. Awalnya
akhir-akhir ini kita deket aku juga sempet mikir sama perasaanku tapi ternyata
emang udah nggak lagi, Di. Maaf.” Dinda terlihat begitu menyesal.
“Hmmmh, iya nggak apa-apa kok Din. Aku yang salah, aku
malah nggak tau bales budi. Maaf soal pulpennya, aku bener-bener lupa. Aku juga
nggak peka, selama tiga tahun nggak tahu kamu. Kebangetan. Kamu pasti sedih ya,
maaf banget.”
“Hey, apa sih. Udahlah, masalah itu nggak usah
dipikirin. Yang perlu kamu pikirin, apakah kamu akan mengulangi kesalahanmu
untuk kedua kalinya?”
“Maksudnya?” tanyaku tak mengerti.
“Kamu tau, Ira selama ini itu naksir kamu. Masak kamu
nggak ngrasa juga. Dia itu baik banget sama kamu dan kamu tahu dia itu
bela-belain kuliah di sini supaya bisa tetap deket sama kamu. Aku tahu Di,
karena aku cewek. Dan sempet beberapa kali aku mergokin dia liatin kamu lama
banget, kadang aku ngrasa waktu kita kaya gini ngurusin organisasi dia itu
cemburu, nggak rela. Coba pikir sama inget-inget deh, apa semua yang dia lakuin
itu buat kamu itu juga dilakukan ke semua sahabat-sahabat kamu. Nggak kan? Dia
paling deket sama kamu kan.” Aku terkejut bukan kepalang, aku tidak menyangka
apa itu benar.
“Iya udah, aku tinggal dulu ya. Maaf untuk hari ini,
semoga kamu paham maksudku.” Dinda menepuk bahuku dan berlari.
***
“Hey Ira???”
“Hey Di, ngapain kamu di sini? Kok tahu aku udah
selesai kuliah?”
“Tahu dong!”
“Ha? Nggak mungkin, jangan bilang kamu dari waktu sms
tadi sampe sekarang nungguin aku?
“Kok tahu sih?”
“Kamu kan gitu suka gengsian.”
“Makan yuuk, nggak laper kamu? Aku traktir deh...”
“Eh, kamu kenapa sih? Tiba-tiba baik kaya gini,
kesambet ya?”
“Enak aja, nggak ya. Udah ayo, aku udah laper.”
Aku mulai tersadar bahwa Ira begitu perhatian
kepadaku. Secara tidak lanagsung dia selalu menunjukkan bahwa dia hampir
mengetahui segalanya tentangku. Beberapa kali aku merasa dia memandangiku cukup
lama.
“Gimana kuliahmu, Di?” Ira mengagetkanku.
“Hmmm, ya kayak gitu. Tapi akhir-akhir ini dapet
deadline banyak dari senat, jadi harus sering bolos kuliah. Minta tanda tangan
ini-itu, minta tanda tangan dekan, dosen pembina, pembantu rektor. Ya gitulah.”
“Emang kamu doang, yang lain pada kemana?”
“Ya ada, tapi kan bagi-bagi tugas gitu Ra. Kan aku
yang jadi sekretarisnya.”
“Lha Dinda itu, dia juga ikut senat deh kayaknya.”
“Kalo Dinda dia jadi bendahara, udah pusing dia
mikirin duit banyak gitu. Aku juga kasian kalo minta tolong dia.”
“Ehem, lha gimana kabar hubungan kalian? Kayaknya
makin deket aja.”
“Alhamdulillah baik-baik aja kok, dia udah makin
terbuka sama aku.” Aku tertawa nyengir. Sekilas kudapati raut wajah Ira sedikit
kecewa namun dipaksakan untuk tersenyum mendengar ceritaku.
Hari telah berlalu membawa sejuta cerita yang
bermakna. Menyimpan asa di setiap harapan yang dipanjatkan ketika berdoa. Aku
salah satunya, berharap waktu akan segera menjelaskan bagaimana bentuk hatiku
sebenarnya. Aku masih bertanya-tanya. Tak bisa kupungkiri aku terharu mendengar
cerita Dinda tempo dulu yang membuatku semakin memikirkannya, begitu baiknya
dia padaku dan bahkan pada Ira. Namun aku tetap saja tak mengerti, hanya bisa
berharap bahwa akan selalu bahagia di akhirnya.
Jarak yang kutempuh dari masa lalu terhitung cukup
panjang. Lama waktu yang ada, aku telah hidup selama dua puluh tahun. Mengukir
jejak-jejak langkah yang telah sampai membuatku sejauh ini. minggu ini kampus
sedang mengadakan ujian akhir, tentu saja aku dan mahasiswa yang lain
mengikuti. Sehingga komunikasiku dengan Ira dan Dinda hanya sebatas via sms
atau telepon.
Setelah dua minggu berselang, aku menyadari bahwa
Dinda tampak menjauhiku. Beberapa hari yang lalu sempat aku mengirim pesan
padanya namun tak dia balas, mungkin dia sibuk pikirku. Tetap saja aku belum
bisa melupakannya. Tiba- Tiba dari jauh kulihat sosok seperti Dinda berjalan
dengan seorang laki-laki. Kalau dari postur tubuh laki-laki itu aku tak pernah
melihatnya, sepertinya bukan mahasiswa di sini.
“Eh, Sya. Mau tanya, Dinda akhir-akhir ini ke mana ya
kok kayaknya nggak pernah kelihatan.” Aku pun bertanya pada Tasya teman satu
fakultasnya yang juga kebetulan ikut senat juga.
“Dinda ada kok, mungkin kemarin dia lagi fokus buat
ujian. Ya di sms aja to, Di.”
“Udah, tapi nggak dibales.”
“Haha, emang ada urusan apa? Nanti aku sampein kalo
ketemu.”
“Ah, nggak. Cuma masalah proposal aja ada yang belum
beres.”
“Eh, kayaknya juga aku lihat beberapa hari kemarin dia
itu pergi sama cowok. Nggak tahu sapa, kayaknya aku nggak pernah lihat di sini.
Cowoknya kali.”
“Masak sih?” aku memastikan.
“Iya nggak tahu, kan tadi aku bilang kali aja. Eh,
udah ya. Aku mau balik ke kos, capek pengen tidur. Iya nanti kalo ketemu tak
sampein deh.” Tasya pun berlalu meninggalkanku yang bingung. Aku tiba-tiba
khawatir jika memang laki-laki yang kulihat tadi adalah pacarnya Dinda. Aku
merasa tidak rela. Aku mendengus.
Ira tiba-tiba sudah ada di hadapanku.
“Kenapa Di, kok wajahmu kayak kesel gitu. Ada
masalah?”
“Nggak, cuma lagi bingung aja sama proposal buat
program bulan depan. Nah, kamu ngapain tiba-tiba nongol di sini. Nggak balik
kos? Biasanya jam segini juga uda tidur.”
“Ya pengen ke sini aja, ketemu kamu.”
“Tumben, ada apa nih?” tanyaku heran. Tak biasanya dia
menemuiku tanpa mengirim pesan terlebih dulu.
“Nggak tadi kebetulan lewat aja, ya ada yang mau
diomongin juga sebenernya.”
“Apa?”
Ira tahu bahwa aku masih menyukai Dinda. Dia
menceritakan bahwa sebenarnya Dinda pun menyukainya. Dinda berbohong bahwa dia
sudah tidak menyukaiku lagi. Dinda melakukan itu karena tak ingin menyakiti
hati Ira.
“Dinda mungkin merasa bersalah padaku bahwa dulu
ketika SMA kelas satu dia pernah berpacaran dengan Miko.”
“Miko? Pacarmu dulu itu?”
“Iya, ternyata Miko selingkuh sama Dinda waktu masih
pacaran sama aku. Aku baru tau waktu kemaren-kemaren dia cerita sama aku. Maaf
Di, bukan maksudku buat jelek-jelekin dia
ke kamu. Tapi aku justru takut kalo kamu malah menjauh dari dia, atau
mungkin dia yang menjauhimu.” Kulihat tatapan Ira nanar, begitu khawatir, pada
hubungan kami.
Aku semakin tidak mengerti, pikiranku kacau.
Berhamburan mencari tempat yang bebas, mencari ketenangan. Sekarang aku dengan
malam. Di taman kota ini aku merenung begitu banyak, menerka-nerka tentang
perasaanku. Aku bingung.
“Di...” Tiba-tiba Dinda datang memegang pundakku.
“Dinda!” Aku terpengarah. Memandangnya cukup lama dan
aku pun beranjak pergi meninggalkannya. Dia hanya mematung melihatku berlalu
begitu saja. Aku hanya bisa berharap waktu yang akan menjawabnya dan menghapuskan
luka kami.
Nama :
Sumayyah
TTL :
Kudus, 07 Februari 1993
E-mail / FB :
sumayyah_alqudsi@ymail.com
/ Sumayyah
Alamat :
Jalan Pattimura, Loram Kulon 02/02 362 Jati Kudus
Motto :
Do the best, Allah the rest
Tulisan Terbit dalam Antologi Buku : Goresan Pena Melukis Rasa
terbit di Afsoh Publisher 2013
Peserta Workshop Menulis dan Menerbitkan Buku untuk Mahasiswa PGSD Unnes
Isi Buku
* Hati Kardus Untuk Omen
* Kasih Tak Pudar
* Keabadian Cinta Tuk Selamanya
* Jarak
* Lorong Impian si Kecil Clara
* Ceritaku Ceritamu
* CInta Tidak Harus dipaksa
* Kupilih Jalan Terbaik
* Malam ini ...