-->

Yuna dan Yulian - Antologi Maaf

 Ditulis Oleh Kharissa Widya Kresna - Mahasiswa Unnes 



“Yul, aku minta maaf …” Yuna berbisik lirih. Yulian memandangnya dingin.

“Maaf  buat apa? Yang mana kesalahanmu yang harus kumaafkan?” Yulian menatap lurus ke mata Yuna. 

“Hm ... entahlah. Aku tidak tahu. Maksudku ... mungkin semuanya ...” Yuna terbata.

“Kalau kamu saja tidak tahu meminta maaf untuk apa, bagaimana bisa aku memaafkanmu?” Yulian mendengus, kemudian beranjak meninggalkan Yuna. Yuna tertegun. Dika yang sedari tadi melihat perdebatan dua anak manusia itu hanya bisa terdiam kaku di tempatnya berdiri.

Yuna dan Yulian berteman baik. Sangat baik hingga teman-temannya mengira mereka berpacaran. Kecuali Yuna dan Yulian, tidak ada yang tahu pasti apakah gosip yang tersebar itu benar. Namun, sudah beberapa hari ini mereka berselisih paham. Persoalannya sepele. Yulian tersinggung dengan tulisan Yuna yang dimuat di sebuah majalah. Menurut Yulian, Yuna sudah mengkhianati persahabatan mereka.

Yuna melangkah pulang tersaruk-saruk. Dia menendangi kerikil-kerikil yang ada di depannya. Pikirannya melayang memikirkan bagaimana cara yang tepat untuk meminta maaf kepada Yulian. Sudah terlalu banyak suka dan duka mereka lewati bersama. Yuna merasa kehilangan.

Yulian adalah sahabat, sekaligus kakak bagi Yuna. Semenjak kematian ayahnya, dan kekasih Yuna yang meninggalkannya untuk menikah dengan oang lain, Yuna menutup diri dari pergaulan. Dia sering melamun dan menyepi menghindari teman-temannya, juga terlalu asyik dengan buku bacaan atau headset-nya. Yuna anak tunggal, dan ibunya harus bekerja untuk keluarganya setelah ayahnya tiada. Karena itu ibunya tak banyak bertemu dengan Yuna di rumah.

“Huhh …” Yuna mendengus lagi. Hatinya kalut. Bagaimana mungkin Yulian semarah ini padanya? Apa Yulian tidak memahami dengan benar maksud tulisannya?

“Yun, ayo pulang. Kamu kenapa jalannya lambat banget? Nggak kepanasan apa?” sapa Putri.

“Ah, enggak. Lagi pengen aja, Put,” jawab Yuna seadanya.

“Ya sudah aku duluan ya, Yun …” Putri tersenyum sambil melambai ke arah Yuna, lalu memacu motornya cepat.

“Iya, hati-hati, Put …” Yuna menjawab lirih. Dia tak yakin Putri bahkan mendengarnya.

Tiba-tiba Yuna tersentak, kemudian mengambil ponselnya dari tas.

Temui aku di jurang sore ini, yah.

Aku mau ngomong sama kamu.

Ketiknya. Kemudian memasukkan nomor Yulian sebagai penerima pesannya.

Yuna menghela nafas sambil berharap Yulian akan membaca dan mau menerima tawarannya untuk berdamai.

Yuna berulang kali melirik jam tangannya, kemudian mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru taman di tepian jurang kampusnya, tempatnya menunggu.

Harusnya kamu datang dua jam yang lalu, sekarang sudah senja. Apa kamu tidak mau menemuiku?  bisiknya dalam hati. Tangan kirinya menggenggam plastik hitam yang sedari tadi dibawanya, sedangkan tangan kanannya berulang kali memencet ponselnya. Tidak ada jawaban. Tidak bisa dihubungi.

“Yulian, kamu kemana sih? Aku kan cuma mau minta maaf,” dengusnya kesal. Dia berdiri, berjalan gelisah dan menghempaskan kembali tubuhnya di kursi.

Yuna menunduk. Di pelupuk matanya timbul lapisan air yang mengaburkan pandangannya. Tangannya meremas plastik hitam yang digenggamnya. Sejurus kemudian butiran-butiran bening jatuh membasahi jilbabnya. Yuna berdiri dan melangkah pergi. Putus asa sudah dia menunggu.

Keesokan harinya Yuna kembali ke taman tepi jurang kampusnya. Langit siang di kampusnya selalu panas, tapi angin sepoi-sepoi juga berhembus menerpa jilbab cream-nya ketika dia duduk di rerumputan di pinggir jurang itu.

“Pulanglah,” kata Yulian.

Yuna menoleh. Dia terkejut melihat Yulian yang tiba-tiba berada di belakangnya. Tapi dia hanya diam.

“Pulanglah,” ulang Yulian lebih keras.

Yuna bergeming.

“Yun, pulanglah,” kata Yulian lagi. Kali ini lembut sekali.

“Apa pedulimu?” tanya Yuna

“Pulanglah. Sudah siang. Panas,” kata Yulian.

“Kemana kamu kemarin?” Yuna bertanya lagi.

“Pulanglah Yun. Atau mau kuantar?” Yulian balik bertanya.

“Kamu nggak jawab pertanyaanku,” sahut Yuna.

“Aku datang!” teriak Yulian tiba-tiba.

“Bohong! Aku di sana sampai dua jam. Kamu nggak datang!” Yuna berteriak pula. Beberapa orang yang lewat memperhatikan mereka. Yuna memalingkan muka tidak peduli.

“Aku datang,” kata Yulian. “Ketika kau pulang aku datang,” lanjut Yulian lemah.

“Kau selalu begitu. Datang di saat tak tepat …” Yuna berkata lirih, tapi cukup keras untuk didengar Yulian. Yulian tercekat. Rasa nyeri mendadak menjalar di relung hatinya. Yuna bangkit dan berjalan pergi.

“Aaaargh …” Yulian hanya bisa mengeluh dan menghempaskan tubuhnya ke atas rerumputan. Dia kesal. Seharusnya dia yang marah pada Yuna. Tapi sekarang? Malah Yuna yang marah.

“Ah, dasar cewek! Kamu yang salah. Sekarang kamu yang marah?” dengus Yulian. Kapan selesainya perkara ini?

Sebenarnya Yulian tidak ingin marah pada Yuna. Yuna penting baginya. Selama ini Yuna-lah yang berada tepat di belakangnya. Mendorongnya. Membantunya. Semuanya. Yuna sudah menjelma menjadi seseorang yang lekat dengan hidupnya. Tetapi setiap kali melihat Yuna, hatinya sakit karena teringat tulisan yang ditulis Yuna. Seharusnya Yuna tidak menulis seperti itu. Bukankah dia tahu Yulian akan marah jika dia nekat menulisnya? Apa Yuna tidak sadar tulisannya membuka luka lama yang dia pendam? Bukankan Yuna tahu dirinya tak bisa berdamai dengan masalah itu? Yulian makin tak habis pikir. Semakin Yulian memikirkannya, hatinya semakin digerogoti amarah dan kecewa. Akhirnya dia memutuskan tidak akan bicara dengan Yuna jika Yuna tak menyapanya terlebih dahulu.

Sebenarnya Yuna tidak bermaksud menyinggung Yulian. Yuna hanya ingin mendamaikan Yulian dengan sahabatnya, Bara. Tetapi sepertinya Yulian salah menerima maksud Yuna. Hanya itu. Sebenarnya yang terjadi hanya kesalahpahaman biasa. Hanya saja mereka berdua tidak tahu bagaimana meluruskan masalah itu, karena sudah terlalu rumit dan berhubungan dengan luka masa lalu ketiganya.

Hingga lebih dari sebulan Yulian dan Yuna tidak saling bertegur sapa. Yulian masih belum bisa memaafkan Yuna karena tulisannya, sedangkan Yuna belum bisa memaafkan Yulian karena mengabaikan permintaan maafnya.

“Sudah dua kali aku meminta maaf padanya,  Di. Kamu tahu sendiri kan? Kamu yang paling tahu. Tapi apa? Dia mengabaikanku. Ini kan cuma salah paham, Di. Dan aku sudah berusaha menjelaskan. Kenapa Yulian jadi rumit sekali jalan pikirannya?” Yuna mengaduk minumannya. Dika hanya bisa menghela nafas melihat Yuna.

“Sabar, Yun. Mungkin Yulian hanya belum reda amarahnya. Kamu lebih kenal dengan Yulian. Kan kamu sudah bersahabat jauh dengannya sebelum aku kenal kamu,” Dika berusaha menetralkan amarah Yuna.

“Omong kosong, Dik. Ini sudah sebulan. Mau berapa lama lagi?” Yuna tertunduk.

“Kemarin katanya Yulian mau ngomong sama kamu, besok, di tempat biasa jam setengah sepuluh,” Dika berkata datar.

“Mau ada apa lagi, Dik? Dia mau memojokkan aku lagi seperti waktu itu? Aku tidak mau,” sambar Yuna cepat.

“Please, Yun ... Sekali ini aja, oke? Ini demi persahabatan kalian juga. Masa kita harus misah-misah lagi kalau pergi bareng? Kamu nggak kasian sama aku yang jadi sasaran marahmu atau marahnya Yulian? Setelah ini aku nggak akan maksa kamu lagi. Janji,” Dika merayu Yuna.

“Oke. Sekali ini saja ya ...” Yuna akhirnya menyetujui. Dika tersenyum senang.

Baik Yuna dan Yulian ternyata menepati janji mereka. Yuna datang menemui Yulian ditemani oleh Dika. Namun, apa yang terjadi ternyata di luar harapan. Yulian bersikeras dengan pendapatnya sendiri, sedangkan Yuna mulai terisak. Dika hampir kehabisan akal melihat mereka.

“Nggak bisa gitu, Dik. Yuna sudah mencemarkan nama baik kita,” Yulian meradang. Yuna terperangah mendengar kata-kata Yulian.

“Yul, kamu sadar nggak sih kamu ngomong sama siapa? Apa yang bikin kamu berpikir kamu layak mengadili aku kayak gini?” Yuna mulai terpancing emosi.

“Sabar, sabar. Kalian jangan saling tuduh dulu. Yul, mungkin iya Yuna tidak bermaksud menjelek-jelekkan kita di tulisannya. Kan kamu tahu sendiri Yuna sudah lama berteman sama kita. Sekilas memang tulisannya provokatif. Tapi kalau dicermati memang tidak ada unsur  begitu kok. Dia cuma menyampaikan lewat sudut pandang lain ...” Dika berusaha menengahi.

“Apa yang membuat kamu sebegitu yakin, Dik?” tantang Yulian. Dika menghela nafas.

“Nih, Yul. Ini tulisannya Yuna,” Dika menyerahkan secarik kertas.

“Alah, paling sudah diedit,” Yulian berkata datar. Yuna tersentak.

Yuna kemudian berdiri dan merebut kertas yang dipegang Dika. Kemudian melempar kuat-kuat. Yulian tercengang.

“Hei, dengar. Ini di ruang terbuka dan kamu bicara seenaknya. Kamu pikir kamu siapa? Kamu pikir setelah kesalahpahaman ini kamu pantas berbuat sebanyak ini untuk membalas sakit hatimu? Aku ini kurang apa? Kamu bilang ini salah paham. Aku sudah berusaha menjelaskan. Berapa kali, Yul? Kamu menghitung tidak? Dan apa? Kamu masih tak bergeming dan memperlakukan aku seperti terdakwa. Apa seperti ini yang kamu bilang teman? Kamu bilang kakak adik? Aku tidak percaya,” Yuna berkata sambil terengah-engah menahan emosinya. 

Yulian tertegun. Dia masih berusaha menguatkan hatinya menerima cecaran kata-kata tak berperasaan yang dilontarkan Yuna. Yuna masih diam dengan ekspresi beku.

“Baiklah. Kamu mau apa?” tanya Yulian. Yuna mendongak, menatap Yulian yang terpaut 15 centimeter dari tinggi badannya, kemudian tersenyum.

“Aku mau kamu mengerti.”

Yulian gusar. Dia mulai kehabisan kesabaran.

“Kamu ini kenapa, Yun? Kenapa mendadak aneh begini?”

“Aku tidak aneh,” Yuna menyahut datar.

“Terserah kau saja. Aku lelah!” Yulian akhirnya beranjak meninggalkannya. Yuna hanya memandang.

Sepeninggal Yulian, Yuna menghela nafas. Memandang nanar ke kejauhan. Hatinya perih.

Tidak. Aku tidak harus bersedih. Aku sudah berusaha meminta maaf dan menjelaskan kesalahpahaman ini. Yuna mengulang kalimat itu dalam hatinya. Berulang kali, hingga kalimat itu hanyalah sebuah kalimat. tanpa makna. Hilang dalam riuh rendah gejolak hatinya.

Malam itu, Yuna turun dari motornya dan merapikan jilbabnya.

Dia memandang sekilas dari kaca spion, memastikan agar tak ada yang terlewat dari penampilannya. Dia ingin terlihat sempurna. Yuna melangkahkan kaki memasuki minimarket dengan riang. Dia berencana membeli beberapa es krim untuknya dan Yulian. 

Sore tadi Dika mengirimkan sebuah sms yang mengabarkan bahwa Yulian, Dika, dan beberapa temannya akan pergi menonton Jateng Fair bersama-sama. Tapi bukan itu yang membuat Yuna senang. Tetapi karena Dika mengabarkan bahwa Yulian tidak keberatan jika Yuna ikut. 

Yuna pikir ini merupakan pertanda baik bahwa Yulian sudah ingin mengusaikan perdebatan di antara mereka, dan kembali bersahabat seperti semula. Maka Yuna pikir tidak ada salahnya dia membelikan Yulian dan teman-temannya es krim. Dia akan memberikannya kepada Yulian sebagai tanda persahabatan sekaligus akan meminta maaf lagi.

Sambil memilih es krim kesukaan Yulian, dia tersenyum. Membayangkan tawa Yulian benar-benar membuatnya senang. Yuna berjalan memutar, sambil menimbang, kira-kira apa rasa es krim kesukaan Yulian.

Malam itu gerimis mengguyur pelan, menyisakan uap-uap air di kaca minimarket. Tak banyak orang yang berada di minimarket, tapi itu justru membuat Yuna leluasa. Dia tak pernah suka keramaian. Sejenak Yuna berpikir: apakah keputusannya membeli es krim di saat hujan tidak akan membuat Yulian flu nantinya? Tapi ah, es krim selalu nikmat dinikmati. Walapun suasana sedang hujan sekalipun. Apalagi Yulian baru saja bersitegang dengannya. Es Krim cokelat pasti bisa membuat mereka sedikit rileks. Yuna berdiri beberapa saat di depan kotak penyimpanan es krim, hingga akhirnya memilih dua buah es krim rasa cokelat. 

Tiba-tiba ponsel di sakunya bergetar. Yuna tergopoh mengambilnya. Ternyata ada pesan dari Dika yang masuk ke ponselnya.

Yun, kita batal pergi. Teman-teman mendadak tidak ingin pergi karena gerimis. Takut kehujanan katanya. Sedangkan Yulian tiba-tiba batal ikut tanpa alasan. Begitu bunyi pesan dari Dika. Yuna seketika kecewa. Yuna mengancingkan jaketnya lebih rapat, memasang tudungnya dan bersiap pulang sambil menahan rasa kecewa di hatinya. 

Yuna beranjak membuka pintu mini market. Beberapa percikan hujan menetesi wajahnya. Refleks dia memalingkan muka, dan dilihatnya Yulian sedang memarkir motor. Yulian. Yuna tersenyum. Semestanya seketika berwarna. Seolah hujan sudah berhenti dan langitnya serupa pelangi. Tak apa tak jadi pergi bersama Yulian dan Dika. Dia bisa meminta maaf dan memulai kembali persahabatannya dari sini. Kebetulan sekali mereka bertemu di sini.

Hanya saja senyumnya tak berlangsung lama. Sepersekian detik kemudian Yuna melihat bahwa ternyata Yulian tak sendirian. Dia bersama seorang gadis yang dia kenal. Refleks, Yuna merapatkan tubuhnya ke tiang penyangga minimarket yang 3 kali lebih besar dibanding tubuhnya. Berusaha agar Yulian tak melihatnya.

Yuna masih terus memandangi Yulian yang berjalan sambil mengucek rambut gadis yang sedari tadi bersamanya. Bayangan tubuh mereka terus berjalan tanpa menyadari kehadiran Yuna, dan baru berhenti di depan boks es krim tempat Yuna berdiri beberapa menit yang lalu. Yuna tersenyum, kemudian mencantolkan plastik belanjaannya yang berisi dua buah es krim di stang motor Yulian. Membiarkan rintikan hujan yang mengenai plastiknya menimbulkan bunyi gemerisik lembut dengan irama yang konstan.

Yuna mengambil kunci, menghidupkan motornya, kemudian memacunya menerobos keremangan malam dan tirai hujan. Setengah tidak percaya karena Yulian membatalkan acara dengannya hanya untuk orang lain. Apa Yulian sudah benar-benar tidak ingin melihatnya lagi?

Sudah genap lima minggu sejak Yulian marah dengan Yuna, dan keadaan Yulian justru tidak membaik seperti harapannya, Yulian mulai rindu tertawa bersama Yuna.

Hanya Yuna. Dia mulai berpikir bahwa mungkin keputusannya salah, tapi dia tidak bisa membayangkan jika harus menemui Yuna dan meminta maaf terlebih dulu. Yulian malu. Terlepas dari itu, sebenarnya Yulian mulai tidak tahu bagaimana cara berdamai dengan Yuna.

Tiba-tiba bel motor tukang pos membuyarkan lamunannya. Dia melihat pak pos menyelipkan sepucuk surat di kotak surat miliknya. Yulian bergegas menuju jalan dan mengambil surat tersebut. Tidak ada alamat pengirimnya.

Dadanya tiba-tiba berdebar. Ada sebuah firasat buruk yang tidak bisa dijelaskannya. Dia merobek amplop dan segera membaca isinya.

 

Dear, Yulian ... Sahabat terbaik yang selalu ada di hati teman-temannya ...


Begitu bunyi pembukaan suratnya. Hati Yulian semakin tidak tenang.

 

Aku meminta maaf atas kesalahpahaman kita.

Aku mencoba menjelaskan tapi kamu nggak mau mendengar kata-kataku.

Aku berusaha menemuimu tapi kamu menghindari aku terus-menerus.

Aku mencoba menghubungi ponselmu tapi kau tidak pernah menerimanya.

Aku menulis ini dari rumah sakit. Aku tidak punya banyak waktu.

Tapi aku berharap masih sempat mengatakan jika saat itu aku meminta maaf atas kesalahpahaman di antara kita.

Aku sungguh tidak ingin menyakitimu dengan tulisanku.

…Karena kita adalah kata yang membutuhkan kata untuk menjalin sebuah kalimat. Tetapi kita tetaplah kata yang mempunyai jarak. Mempunyai spasi. Dan yang lebih penting, kita mempunyai makna kita sendiri-sendiri…

Aku menuliskan itu bukan untuk mengatakan bahwa kita ini berbeda dan harus mempunyai jarak dalam berhubungan. Tidak. Tetapi karena kita bersahabat laksana kata yang membutuhkan orang lain untuk menjadi kalimat. Namun meski selalu bersama, kita tetap unik dan bermakna sesuai dengan kepribadian kita. Itu saja. 

Percayalah kamu selalu menjadi bagian penting dalam hidupku. Sama pentingnya dengan apapun yang kusayangi selama ini. Percayalah. Kamu takkan mengerti seberapa dalamnya perasaan itu. 

Sayangnya, kamu tak sempat mempercayaiku

Tapi tak apa. Aku bahagia sudah menjadi sahabatmu. Walau tak kupungkiri kadang aku menganggapmu lebih dari itu. Menghabiskan banyak suka dan duka bersamamu. Aku sudah menganggapmu sebagai kakak dan pengganti ayahku.

Sampaikan salamku pada Dika ya, dia baik sekali mau berusaha mendamaikan kita. Juga memastikan surat ini sampai di tanganmu tepat pada waktunya.

 

Salam hangat,

Yuna.

 

Yulian bagaikan tersambar petir. dia segera pergi ke rumah sakit. Dia berlari menyusuri lorong-lorong rumah sakit dengan gusar, dan berlari semakin cepat dan semakin cepat.

Yulian tiba di kamar Yuna tepat saat ibu Yuna berteriak histeris meminta agar Allah mengembalikan nyawa anaknya.

 

Mungkin memang seperti ini, hidupku yang seharusnya.

 Sepi dan ditinggalkan.  Bukannya berkawan dengan tawa dan tertawa bersama orang yang mengisi hidupmu dengan pelangi aneka warna,

 atau melihat teman-temanmu tertawa karena saling memiliki dan jauh dari dendam dalam hati.

Mungkin memang seperti ini, hidupku yang seharusnya. 

Ditinggalkan oleh seseorang yang sebenarnya sangat kubutuhkan keberadaannya.

 Tapi aku mengerti bahwa seluruhnya hanyalah sekadar perpindahan tempat. Tanpa meninggalkanku.

Yuna berpindah tempat dari sisiku ke sisi pemiliknya yang abadi, tapi tetap menyayangiku sebagai sahabat—bahkan kakak—nya hingga akhir hidupnya.

Mungkin memang seperti ini, cara mengingatkanku yang seharusnya. 

Allah mengingatkanku dengan penyesalan dalam yang kini menggelayuti hatiku karena belum sempat mengatakan kepada Yuna

“Ya, aku memaafkanmu. 

Aku juga meminta maaf karena bertindak buruk kepadamu. 

Aku hanya menuruti emosiku.”

Tapi tak apa. Inilah hidup.

Allah selalu mencintaiku ...

 

Yulian menutup bukunya, dan memejamkan mata sejenak sambil mengusap nisan pusara Yuna, kemudian beranjak pergi.

BUKU INI TERBIT DALAM ANTOLOGI MAAF 
TERBIT DI AFSOH PUBLISHER - 2013 

Tulisan Lainnya dalam Antologi Buku ini : 
Maafkan Aku Mas 

GENDAM NUSANTARA 919

Back to Top