-->

MALAIKAT DAN PERI KECILKU

| 8:13 AM |

BELAJAR MENULIS BERSAMA AFSOH PUBLISHER 

Dua minggu lagi aku akan menghadapi Ujian semester. Meskipun aku tergolong siswa yang memiliki IQ rendah, tapi aku sangat ambisius untuk berbuat yang terbaik untuk memenuhi harapan kedua orang tuaku terutama ayahku. Segalanya telah ku upayakan, tak henti-hentinya aku belajar hingga ha-hal lainnya terlupakan olehku. Zahwa sahabat terbaikku selalu mengingatkanku untuk tidak lupa makan, sholat ataupun istirahat namun semua itu tak mengubah gaya belajarku yang berlebihan. Hari itupun datang, ku langkahkan kaki ini menuju ruang ujian. Pintu ruangan tertutup rapat dengan gembok yang masih menggantung. Suasana sekolah masih terasa sepi. Terdiam aku menanti teman- teman yang lainnya. 

Aku berusaha mengingat kembali materi pelajaran yang telah aku pelajari semalam suntuk. Tiba-tiba dari koridor terdengar langkah kaki yang semakin mendekat. 

“Assalamualaikum Zahra.” Sapa Zahwa sambil menepuk bahuku sebelah kanan

“Walaikumsalam.”

“Apa kamu baik-baik saja Ra? Kamu terlihat pucat sekali.”

“Nggak apa-apa kok. Aku hanya sedikit mengantuk karena semalam aku nggak tidur.”

“Jangan begitu Ra. Kamu harus tetap menjaga kesehatanmu.”

“Alah nggak apa-apa kok Wa. Aku bisa ngurusin diriku sendiri.” Jawabku dengan nada tinggi

Tet…tet…tet.. bel masuk telah mengakhiri perbincangan kami. Hatiku mulai tak karuan antara cemas dan bingung. Memang ini bukan pertama kalinya aku ujian tapi aku selalu trauma ketika ujian karena setiap ujian yang kulakukan tak pernah mendapatkan hasil yang baik. Itu mengapa orang tuaku selalu mewanti-wanti agar aku bisa menjadi yang terbaik. Pengawas mulai membagikan soal- soal kepada kami. Ku tatap soal tersebut dengan penuh ketegangan dan yang ku sesali mengapa tak satupun materi yang dapat aku ingat. Ingatan ku mulai kacau dan bercampur dengan rasa kantuk yang mulai mendera. Tanpa ku sadari rasa kantuk itu semakin tak tertahankan lagi dan akhirnya akupun tertidur. Aku terbangun ketika waktu tersisa 2 menit. Dengan tergesa-gesa, aku berusaha mengerjakannya tapi apalah daya dengan waktu yang terbatas aku tak bisa menyelesaikannya. terpaksa lembar jawabku di tarik oleh pengawas. Aku lari keluar ruangan dengan tubuh yang tak berdaya. Air mata yang tertahanpun mulai jauh tak terkendali meratapi hari yang begitu menyebalkan. Hari-hari berikutnyapun berlangsung tak lebih baik dari hari itu. Kegagalan hari itu telah memecah konsentrasi belajarku. Semuanya hancur berantakan. Zahwa selalu berusaha memotivasi agar aku bangkit dari keterpurukannku tapi semua itu seperti angin yang hanya berlalu bagiku. 

Hari pembagian raporpun tiba, aku tak banyak berharap terhadap hasilnya. Tapi bagaimana dengan ayahku, apakah dia bisa menerimanya atau tidak semua itu membuatku semakin cemas. Semua orang tua siswa mulai memasuki ruang pembagian rapor. 30 menit kami telah menunggu di luar ruangan. Akhirnya para orang tuapun keluar dari ruangan. Dua mimik wajah yang sangat berbeda antara ayahku dan ibunya Zahwa.

“Dasar anak yang tak tau di untung. Kami telah susah payah menyekolahkanmu tapi apa balasanmu untuk mendapat hasil yang baik saja tidak bisa apa menjadi juara kelas. Lihat Zahwa! Nilainya begitu bagus dan dia menjadi juara kelas. Apa kau tak bisa menirunya?” Kemarahan ayahku mulai memuncak. Aku hanya terdiam. Zahwa dan ibunya mencoba menenangkan ayahku tapi semua itu tak ia pedulikan. Karena tak tahan mendengar  semua kemarahan ayahku, akupun berlari meninggalkan mereka dengan rasa malu. 

“ Cukup Yah……” 

Zahwa mencoba menghentikanku tapi aku hanya ingin sendiri tuk sesaat. Aku terus berlari tanpa mempedulikan mata-mata yang memandang ke arahku. 

Tapi tiba-tiba “Bruk” Akupun terjatuh. Tak ku sangka aku telah menabrak seseorang. 

“Maaf, maaf. Kamu nggak apa-apa?” dia ulurkan tangannya padaku. Akupun berdiri atas bantuannya. Ku hapus air mata yang menetes. dia menatapku dengan aneh, mungkin ia heran denganku yang menampakkan wajah yang kurang menyenangkan. 

“ Nggak apa-apa kok. Seharusnya aku yang minta maaf kepadamu.” Ku jawab dia dengan dingin.

“ Oke lah nggak apa-apa kok. Maaf apa kau tahu dimana ruang kepala sekolah?”

“ Kamu lurus  aja nanti kalau ada perpustakaan kamu lihat di depannya. Disana ada ruang kepala sekolah.”

“ Makasi ya.” 

“ Iya.” Kami berlalu seketika tanpa sempat berkenalan. Sepertinya dia lagi terburu-buru.

Ku hentikan langkah di depan perpustakaan. Sepertinya perpustakaan merupakan tempat yang cocok untukku menenangkan diri, melepaskan segala penat yang ku rasakan. Sebuah novel karya Andrea Hirata menemaniku dalam kesendirian. Tanpa sadar aku telah tertidur beberapa menit. Aku terkejut ketika seseorang telah berada di sampingku ketika aku membuka mata terbangun dari tidur. Aku tak tahu yang sedang ia pikirkan tapi dia memandangiku dengan senyum yang membuatku bingung. Mungkin dia heran melihatku  yang dengan gampangnya bisa tidur di sembarang tempat seprti itu.

“Hi, gimana tidurnya  udah puas?” tanyanya dengan sedikit bercanda.

“Sejak kapan kamu disini?” ku nampakkan wajah yang penuh keheranan.

“Lumayanlah sekitar 20 menitan. Kau cewek yang tadi kan? Kenalkan namaku Dimas.” Sambil mengulurkan tangan, dia melemparkan senyuman padaku. Tapi semua itunbelum dapat  mengubah sikap dinginku. 

“ Namaku Zahra.” 

“Nama yang cantik seperti orangnya. Sepertinya kamu sedang bersedih y? Kalau kamu mau kamu bisa bercerita kok padaku Ra.”

Aku hanya terdiam dalam kebisuan. 

“ Kalau nggak mau cerita nggak apa- apa kok. Kita ganti topik aja. Apa kamu pernah baca buku ini?” 

Aku hanya menggelengkan kepalaku. 

“ Kamu harus coba baca buku ini. Buku ini seru banget lho. Pasti kamu akan sedikit melupakan kesedihan yang kamu alami.”

Dimas mulai mencerikan hal- hal yang lucu kepadaku. Kekonyolannya  sedikit membuatku tersenyum kembali. 

“ Lha gitu kan lebih cantik. Jangan cemberut lagi yah…nanti semut aja takut lho.”

Aku hanya tersenyum kepadanya. Kamipun mulai terlibat pembicaran yang seru. Kami  larut dalam tawa. 30 menit yang terasa begitu cepat. 

“ Aku balik yah. Sampai jumpa Icil?”

“Apaan Icil ? namaku Zahra tahu.” Aku sedikit marah

“ Icil. Kelinci kecil soalnya hidung kecil kayak kelinci.” Diapun pergi dengan tawanya yang begitu puas. “ da  Icil.” 

Secara sepontan akupun berteriak.“ Berarti kamu Bobo”  

Dari kejauhan dia berteriak.” Apaan Bobo?”

“Dia kartun kesukaanku.” Dia hanya tertawa. “Ok Icil.” Aku hanya tersenyum memandanginya. Saking asyiknya ngobrol, aku sampai lupa menanyakan mengapa dia bisa sampai disini dan ada keperluan apa dia kesini. Aku hanya tak sadar dengan diriku sendiri, mengapa aku bisa begitu akrab dengannya padahal aku itu orangnya tidak mudah akrab dengan orang yang baru ku kenal. Entahlah. Tapi kalau dilihat-lihat Dimas lucu juga kok tapi tidak, tidak, aku harus mulai memikirkan ayahku, aku tak mungkin pulang sekarang. Aku memerika HP yang ada di saku bajuku. Ternyata Zahwa telah menelponku berkali-kali. Untuk saat ini aku ingin sendiri dulu. Terlintas di pikiranku nama Intan. Benar sekali, lebih baik aku ke rumahnya saja. Aku coba menghubunginya untuk menyatakan niatku ternyata dia sangat welcome terhadapku. Memang dia sahabat terdekatku selain Zahwa. Dalam 15 menit aku telah sampai di rumah Intan.

Aku kembali teringat kembali dengan sikap lucu Dimas.Ingatanku tentangnya membuatku seperti orang gila. Dimas seperti kartun bobo yang selalu membuatku tersenyum ketika aku bersedih. Apakah ini kagum atau lebih dari itu? Tanyaku dalam hati. ”Entahlah”.

“Zahra.” Sapa Intan sambil menepuk bahuku. Akupun terkejut. Secara spontan aku mebalas sapanya.

“Intan. Sejak kapan kamu disini?”

“ Barusan kok. Ayo lagi ngelamunin apa?  Masa senyum-senyum aja dari tadi. 

“ Nggak kok aku cuma lagi lihat bintang aja.”

“ Apaan. Kalau bohong kira-kira lah Ra. Masa langit mendung gitu kamu lagi lihat bintang. Bintang yang mana ni ?”

“Apaan sih Tan?”

“Ciye Zahra lagi jatuh cinta.”

Wajahku mulai tersipu malu mendengar perkataan Intan. 

“Udah-udah Tan, aku mau tidur.”

“Ciye yang lagi jatuh cinta. Ehem.” 

Tak terasa sudah 3 hari aku di rumah Intan. Memamg sekolah memberikan liburan semester selama 2 minggu. Ibuku sealu mencoba menghubungiku tapi tak kupedulikan sama sekali.

Sore itu ringtone HP ku berdering. Ternyata Zahwa yang menelpon.

“Hallo.”

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam. Ada apa Wa?”

“Apa kamu baik-baik aja Ra. Aku cemas sekali. HPmu selalu tak bisa ku hubungi. Orang tuamu juga sangat mengkhawatirkanmu terutama ibumu. Sampai- sampai kemarin ibumu jatuh sakit. Apa kamu tak khawatir dengan ibumu?”

“Maaf Wa, memang akhir-akhir ini aku tidak mengaktifkan handphoneku. Sebernarnya aku sangat mengkhawatirkan orang tuaku terutama ibuku. Tapi aku tak bisa pulang sekarang Wa. aku hanya bisa berdoa supaya ibu bisa cepat sembuh.”

“Ayolah Ra pulang. Apa yang menghalangimu untuk pulang? Apa rasa takut akan dimarahi ayahmu kembali?”

“Sebernarnya aku belum bisa pulang bukan karena aku takut dimarahin ayah tapi aku malu dengan diriku sendiri. Aku hanya butuh waktu”

“Baiklah kalau gitu. Sekarang kamu dimana Ra?”

“Aku sekarang di rumah Intan. Tapi jangan coba –coba kasih tahu orang tuaku ya.”

“Ya. Insyaallah. Kalau gitu udah dulu ya. Jangan lupa jaga kesehatanmu.Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam.”

Keesokan harinya aku terkejut ketika orang tuaku datang bersama Zahwa datang ke rumah Intan untuk membujukku pulang. Setelah mendapat pengertian dari Zahwa, akhirnya aku dan ayah dapat berdamai dan akupun bersedia pulang. Tadi sebelum aku pulangtak lupa ku ucapkan terima kasih kepada Intan yang telah menemani kesepianku.

Tiga minggu telah berlalu, hari ini merupakan hari pertama masuk sekolah kembali. Aku berangkat bersama Zahra dengan penuh kegembiraan seraya melupakan semua yang telah terjadi pada semester lalu. Bel telah berbunyi, wajah-wajah penuh keceriaan memenuhi ruang kelas hari hari ini.

“Selamat pagi Anak-anak.” 

“ Pagi Pak.”

Pak Hartono datang bersama seseorang yang tak sing bagiku. Mataku terbelalak terkejut, rasanya ini seperti mimpi. ”Bobo.” Sepertinya kebetulan ini emang udah jalannya. Cinta itu selalu datang pada temapat dan waktu yang tepat.

“Hari ini bapak bersama dengan murid baru di sekolah ini. Dia akan menjadi bagian dari kelas ini. Silakan Dimas perkenalkan dirimu.” 

Pandanganku tak henti-hentinya menatapnya. 

“Zahra. Kenapa kamu?” Zahwa mwngagetkanku

“ Apa Wa?”

“Hayo kamu suka ya sama Dimas. Masa dari tadi kamu memandangi dia sampai segitunya?”

“Apa sih Wa?”

“Ciye-ciye.”

Pak Har mempersilakan Dimas untuk duduk di belakangku.

“Hai Icil, Zahwa.” Dia menyapa kami berdua. Aku hanya tersenyum. Senengnya ternyata dia masih ingat sama aku tapi anehnya mengapa dia kenal Zahwa.

“Wa apa kamu sudah kenal sama Dimas?”

“ Oh Dimas itu anak dari temen ayahku. Sejak kecil kami  memang sudah berteman bahkan sejak TK sampai SMP kami selalu satu sekolah. Inipun di SMA ketemu dia lagi.”

“ Oh gitu ya. “

Hari berganti hari, semakin bertambah keakrabanku dengan Dimas. Tapi yang mengherankan bagiku kenapa Zahwa juga semakin dekat dengan Dimas. Tapi aku tidak boleh berprasangka buruk terhadap Zahwa. Dia orang yang sangat mengerti perasaanku. Dia tak mungkin mengkhianatiku. Seminggu lagi adalah ulang tahun Bobo. Aku ingin bercerita pada Zahwa kalau sebernanya aku pengen buat kejutan untuk Bobo. Namun sejak istirahat aku, aku tak bertemu dengannya. Dia bilang mau ke toilet tapi dia tak balik-balik juga. Ku putuskan untuk mencarinya tapi ternyata dia tak ada di toilet, ku bergerak menuju kantin sekolah. Mungkin saja Zahwa ada disana. Tiba-tiba mataku tertuju pada salah satu sudut taman sekolah, aku lihat Bobo bersama Zahwa sedang duduk disana.

“Jangan berprasangka buruk dulu Cil.” Gumamku dalam hati. Aku mulai mendekati mereka secara perlahan. Tak sengaja aku mendengar percakapan mereka. Jantung dan hatiku terasa sakit ketika mendengar Boboku menyatakan cintanya pada sahabatku sendiri yaitu Zahwa.  Dan Zahwapun menerima pernyataan tersebut. Mungkin aku terlalu percaya diri bahwa Bobo juga sayang padaku. Mungkin Bobopun rela pindah ke sekolah ini demi Zahwa. “Kamu ini terlalu pede Cil, mana mungkin Bobo suka sama cewek yang bodoh dan jelek sepertimu. Pasti dia lebih memilih Zahra yang cantik, pintar dan baik. Kamu terlalu berharap. Kamu bodoh banget Cil.” Ucapku pada diri ini. Tak kuasa aku menahan air mata ini yang deras mengalir di pipiku. Aku hanya terpaku di samping tembok salah satu ruang sekolah. Akhirnya Zahwa tahu keberadaanku. Diapun memanggilku. Aku tak peduli, aku mencoba lari dari keduanya. 

“Ra, aku bisa jelasin. Berhenti dulu Ra.” Zahwa terus berteriak mencoba menghentikan langkahku.

“Iy Cil dengarkan dulu penjelasan kita.” Dimas  juga mencoba menghentikanku. 

“Aku ini siapa yang harus mendengarkan mereka. Dimas bukan lagi Bobo yang membuatku tersenyum lagi tapi saaat ini dia membuatku bersedih.” Ucapku dalam hati.

 Aku terus berlari.  Bruk ………akupun menolah ke belakang ternyata Zahwa jatuh pinsan. Aku terhenti sejenak. Dimas juga terhenti dan akhirnya dia membawa Zahwa ke UKS. Sebernanya aku tak tega melihat Zahwa seperti itu, tapi hati ini belum bisa menghapus rasa sakitnya. Aku terus berlari dengan bercucuran air mata. Aku tak menyangka seorang sahabat yang telah ku anggap saudara sendiri ternyata tega melakukan semua itu. Mungkin aku masih bisa menerima ketika orang tuaku selalu membanding-bandingkan aku dengan Zahwa yang sealau perfect di mata orang tuaku. Tapi kenapa dia juga merebut perhatian Dimas.   

Keesokan harinya aku mencoba menguat hati untuk berangkat sekolah, tak ku pikirkan tentang mereka berdua, apa yang harus kulakukan jika  bertemu mereka. Tapi siapa sangka ternyata Dimas tak masuk hari ini dan pengumuman dari sekolah menyatakan Zahwa telah pindah sekolah tapi sekolah enggan memberi tahu dimana sekolah baru Zahwa. Katanya semua itu permintaan Zahwa. Sebenarnya apa yang sedang mereka pikirkan sampai-sampai tak memikirkan perasaanku. Apakah Zahwapun tak lagi menganggapku sebagi sahabatnya lagi, meskipun aku tahu kita sedang berselisih tapi dia tak menginfokan apapun tentang kepindahannya. Kenapa Dimaspun tak ada kabar, sudah 7 hari ia tak masuk sekolah. Apakah mereka benar-benar meninggalkan aku? Hari ini adalah tanggal 12 Februari hari ulang tahun Dimas. Apakah dia akan datang hari ke sekolah atau dia akan menyusul Zahwa untuk pindah sekolah. 

“Icil……!” terdengar suara yang tak asing bagiku 

“Sebutan itu, akankah dia Dimas?” ku tolehkan wajahku ke belakang ternyata benar dugaanku. Akupun mencoba menjauh darinya.

“Tunggu Cil, dengarin aku dulu.”

Akupun akhirnya terhenti sejenak. 

“Please tolong dengerin aku dulu. Jika kamu tak percaya, coba tatap mataku kau akan tahu.” Dimas menatapku dengan serius. Aku menangkap dari matanya sepertinya dia sedang panik.

“ Ayo ikut denganku, bentar aja kok?”

“ Kemana? Ini dah mau masuk?” 

“ Sudahlah ikut saja.” Dia menarik tanganku dan mengajakku menaikki motor matic warna putih keluaran terbaru milikknya. Dengan kecepatan tinggi Dimas mengendarainya. Sedang aku hanya terdiam di belakang dengan memegang sedikit baju belakangnya untuk menahan rasa takutku. 30 menit berlalu akhirnya kami sampai di sebuah Rumah Sakit. Tanpa berkata apapun aku hanya mengikuti langkah Dimas. Dimas terhenti pada sebuah ruang ICU. Ketika ruang tersebut dibuka, betapa terkejutnya diriku ketika melihat yang sedang tergolek lemah di ruang tersebut adalah Zahwa. Jantung ini terasa terhenti sejenak, aku terdiam dan hanya bisa memeteskan air mata. Dimas juga hanya terdiam di sampingku. 

“Zahwa, kenapa kamu merahasiakan semua ini? Sebernanya kamu sakit apa? Kamu jahat Wa.”. 

Dimas menjelaskan bahwa sebenarnya Zahwa mengidap penyakit jantung. Jantungnya mengalami kerusakan pada bagian atrium dexter. Dengan terbata-bata Zahwa mencoba memberi penjelasan kepadaku. Akupun mencoba mendengarkan penjelasan Zahwa.

“Maafkan aku Ra, sebenarnya aku lakukan semua ini agar kamu tak terbebani dengan penyakitku ini. Satu hal lagi aku ingin jelasin Ra bahwa waktu itu yang kau lihat tak seperti yang kau bayangkan. Waktu aku hanya membantu Dimas, dia sebenarnya berniat untuk  menyatakan perasaannya kepadamu di hari ulang tahunmu. Tapi ini pertama kalinya ia jatuh cinta oleh sebab itu ia minta bantuan kepadaku untuk membantu menyusun kata-kata untuk menyatakan perasaannya. Dia memintaku untuk berpura-pura sebagai dirimu untuk melatih menyatakan perasaannya padamu. Mungkin ini terasa konyol dan akan membuatku geli mendengarnya tapi inilah kenyataanya. Maaf Ra semua ini membuatmu salah paham. Aku sangat tahu kalau kau sangat cinta dengan Dimas. Tak mungkin aku mengkhianati sahabatku sendiri. Aku sudah menganggap kalian sebagai saudaraku sendiri.”

Aku hanya tersenyum tak percaya dengan semua ini. Semua ini seperti lelucon yang konyol. Aku menatap Dimas. 

“Apa semua yang dikatakan Zahwa benar Dim?”

“Iy Cil, itu yang sebenarnya terjadi. Tapi apa perkataan Zahwa kalau kau juga mencintaiku itu juga benar?”

Aku tersenyum dan hanya menganggukkan kepalaku. 

“Apa kalian berdua tak ingin mengucapkan selamat ualng tahun kepadaku? Tanya Dimas dengan nada menyindir. Aku dan Zahra kompak mengucapkan selamat ulang tahun pada Dimas. 

“Selamat ulang tahun Bobo.” Dimas hanya tersenyum. Kami bertigapun larut dalam kegembiraan. 

Zahra memegang tanganku dan Dimas kemudian menyatukan keduanya.

“Dim, kamu harus janji padaku kalau kamu akan selalu menjadi Si Bobo bagi Zahra, yang kan selalu menjaga dan membuat dia tersenyum. Dan kamu Ra berjanjilah kamu akan tetap menjadi Kelinci Kecil yang tetap mencintai Bobomu sampai kapanpun sama seperti saat kamu pertama kali mencintainya dan jadilah yang terbaik untuk ujian semester ini di sekolah dan untuk ujian-ujian selanjutnya. Jangan pernah menyerah dengan kekuranganmu. Setiap  usaha yang akan selalu berhasil jika usaha itu berjalan berdampingan dengan rasa syukur, bersikap positif dan doa. Lakukan semua ini bukan untukku, orang tuamu atau yang lainnya tapi lakukanlah utuk dirimu sendiri. jadilah orang yang selalu sadar dan kesadaran itu yang akan menyadarkanmu. Dim, tolong bantu Zahra.” Kami berdua terdiam dan hanya menganggukkan kepala. Tiba-tiba Zahwa berteriak kesakitan. Kami segera memanggil dokter. Dokter menyarankan agar Zahwa segera dioperasi sekarang. Kamipun segera menghubungi keluarga Zahwa. Akhirnya Zahwa di operasi hari ini. Kami berdua   menunggu di luar ruang operasi bersama dengan keluarga Zahra. Dimas selalu memegang erat tanganku untuk menguatkan hatiku. Berjam-jam kami menunggu dengan masih mengenakan seragam SMA. Akhirnya pukul 20.03 dokter keluar dari ruang operasi. Tangispun pecah ketika kami mengetahui bahwa nyawa Zahra tidak dapat diselamatkan. Ibu Zahrapun pinsan mendengar berita tersebut. Semuanya larut dalam kesedihan. 

3 tahun berlalu tanpa Zahra. Sekarang aku dapat dapat membuktikan bahwa dengan IQ yang rendahpun aku masih dapat berprestasi.  Hari ini adalah pengumuman hasil ujian akhir. Dan ternyata dengan usaha keras, pikiran positif dan doa dapat menghantarkan aku menjadi yang terbaik. Sekarang orang tuaku dapat menatapku dengan bangga. Semua ini bukanlah kebetulan semata, aku bisa bertemu dangan Zahwa dan Dimas tapi semua ini adalah takdir. Allah mengirimkan Zahwa yang seperti peri kecil yang  selalu ada menemaniku meski sekarang raganya tak ada lagi tapi jiwanya masih di hatiku selalu bersamaku. Allah juga telah mengirimkan Dimas Si Bobo yang seperti malaikat yang selalu menjagaku dan membuatku tersenyum samapai saat ini. Terima kasih ya Allah, Engkau telah mengirimkan  malaikat dan peri kecil yang telah mewarnai dan menjadikan kehidupanku lebih bermakna.

  






















BIODATA

Nama : Pusporini 

TTL : Rembang,19 Juni 1994

Alamat : Ds. Sidomulyo RT 01 RW  01  Kaliori, Rembang

MOTTO: Menjadi orang yang selalu berguna bagi orang lain


ANTOLOGI BUKU : TIDAK ADA COVER
KELOMPOK 11 MAHASISWA UNNES - 
WORKSHOP MENULIS DAN MENERBITKAN BUKU - 2013 
BERSAMA AFSOH PUBLISHER  

GENDAM NUSANTARA 919

Back to Top