-->

DI BAWAH RINAI HUJAN

| 8:50 AM |


Oleh: Hoshino Nami

 

            Hujan selalu identic dengan kesedihan. Setiap munculnya hujan selalu saja ada rasa luka. Entah luka lama yang menyeruak begitu saja ataukah luka-luka lain yang muncul bersamanya. Begitulah hujan bagi Ren.

            Mulai dari kepergian bundanya gara-gara hujan, yang membuat beliau kesulitan untuk melihat jalan dan berakhir dalam jurang karena tergelincir. Dalam usia yang baru tujuh tahun Ren          mau tak mau harus menjadi yatim dalam sekejap. Seseorang yang paling dekat dengannya direnggut begitu saja. Hilang untuk selamanya.

Hujan selalu merenggut kebahagiaan yang coba ia raih. Padahal sudah susah payah ia belajar dan meraih nilai terbaik dalam ujiannya. Tapi gara-gara hujan jugalah ayahnya tak pernah datang ke acara terbesarnya yaitu acara kelulusannya. Dan memory-memory luka yang tercipta lainnya bersama hujan memenuhi setiap kekecewaan yang ia punya. Hujan selalu membawa mendung yang selalu menyelimutinya. Itu tak lebih dari pertanda kesedihan bukan?

Ren tak mengerti, mengapa ada orang-orang yang begitu suka hujan.berlarian dan bercengkrama dibawah guyuran hujan. Padahal bisa saja rintik hujan menjadi suatu bencana tak terelakan yaitu banjir yang membawa hanyut apapun yang dilewatinya.

Dalam suatu keadaan yang sama, meski Ren berjalan ditengah hujan sedangkan yang lain berlarian dengan gembira di tengah huja, namun perasaan yang dirasakan Ren tetaplah bagaikan awan mendung yang tak kunjung mendapatkan sinar mentari. Karena dia tak suka hujan, dia benci dengan rintikan air yang turun dari langit itu, rintikan yang selalu membawa duka baginya.

Dibalik masalalu tenatang luka ditengah hujan, kini luka itu menghampiri Ren kembali. Satu luka baru tercipta, luka ini bukan karena renggutan hutan, namun karena keegoisan pada hujan. Luka ini dimulai ketika Ren menerobos guyuran hujan leba untuk menuju ke sebuah rumah di suatu kompleks. Dia terus menerjang derasnya hujan tanpa memperdulikan baju terbaiknya yang basah kuyup. Bunga mawar ditangannya yang entah kemana karena hanya tersisa tangkai tak berkelopak. Coklat yang dibawanyapun basah kuyup tak berbentuk lagi, ntah bagaimana rasanya. Tapi ia terus berlari, dalam pikirnya ia hanya ingin menentang hujan, ia mau mengalahkan hujan yang selalu merenggut kebahagiannya.

Ren berlari terus dan terus, untuk menuju ke hadapan gadis impiannya, gadis yang dicintainya, gadis yang data membuatnya melayang, untuk itu dia tak peduli badai sekalipun. Gadis yang bernama Dita itu telah membuatnya berpaling dari hujan, yang ada dalam pikirannya saat itu selain hujan adalah Dita. Dita terus memenuhi semua pikiran dan angannya, Ditalah yang telah membakar semangat Ren, membuat ia tak mau kalah dari hujan.

Senyumnya terus terpanar dari wajah tampannya. Senyum yang bagaikan menghina hujan.

“aku nggak aka berhenti, aku nggak akan kalah darimu. Kau dengar itu!” teriak Ren sambil terus berlari.

Akhirnya terlihat juga gerbang sebuah rumah yang bercat coklat. Kepuasan kemenangan memenuhi hatinya. Ia meresa telah berhasil mengalahkan hujan. Tapi ternyata kepuasan itu, tak sepenuhnya ia dapatkan. Dari luar batas gerbang ia melihat Dita tengah tertawa lepas. Tawa yang selalu ia dambakan dari gadis itu. Tawa yang dapat membuat Ren merasa sesak dan membuat jantungnya berdetak tak karuan. Namun sayang sekali senyum itu bukalah untunya, melainkan untuk laki-laki lain. Wisnu. Sahabat Ren sendiri. Wisnu kini bahkan berani meraih tangan mungil Dita dan mendekatinya. Tangan mungil yang bahkan baru seminggu yang lalu di genggam erat oleh Ren dan pelukan yang baru satu bulan ia terima dari Dita ketika gadis itu menerima cintanya.

Kembali, hujan telah meluruhkan kebahagiannya. Ternyata dia memang salah, dia kalah dari hujan, dia gagal mengalahkan hujan. Keegoisannya telah membuatnya mendapat luka baru, luka mendalam di lubuk hatinya.

Ada sakit yang mulai menusuk Ren dalam seketika. Jantung yang berdegup tak karuan karena bahagia, kini nyeri tak terhankan karena luka. Hatinya bagai ditusuk-tusuk duri tajam. Sena kembali berlari, berlari bukan untuk menemui cintanya, namun berlari menjauh dari adegan yang menyakitkan baginya. Coklat dan seikat bunga tak berbentuk ia lepaskan disela kesedihannya. Ia tak sanggup melihat aura-aura cinta terpancar dari mereka berdua, aura cinta yang dulu ia rasakan, kini telah menusuknya.

Kini pikiran Ren dipenuhi pertanyaan-pertanyaan tentang penghianatan itu. Mungkinkah itu sudah lama? Dan pertanyaan lain yang sejenis, hingga dia tersadar. Sadar bahwa ia tak menyadari kalau selama ini ada relung cinta diantara gadisnya dan sahabatnya itu, dia tak menyadari bahwa selama ini ada tanda-tanda cinta diantara mereka.

Mungkinkah begitu buta cintanya? Buta, sampai tak meyadari tentang tanda-tanda cinta itu. Ia memiliki dua mata, punya dua telinga. Tapi ia tak melihat sesuatu diantara mereka. Mendengar mereka sesuatu diantara mereka selama ini, bahkan ataukah ia tak rasa hingga tak megerti apa yang terjadi.

Segalanya jadi terasa membingungkan. Kebingungan yang membuatnya terus bertanya berbaga pertanyaan tanpa tahu apa jawabannya. Jawaban yang sebenarnya ada, namun ia tak ingin tahu. Ren berharap apa yang dilihatnya hanyalah ilusi hujan, luka hujan itu hanyalah sebuah mimpi yang tak pernah ada.

Namun hujan dam luka selalu beriringan datang padanya. Melarutkan bahagia tanpa sisa. Membekaskan kesedihan dalam diri. Ia memang lelaki. Tapi ia juga manusia, bukan dewa yang tak bisa sakit hati.

Kakinya terus membawanya berlari menjauh, berlari dan terus berlari. Langkah kakinya yang kosong membawanya ntah kemana, hingga kakinya membawanya disebuah taman. Ia duduk dibangku taman itu. Tanpa sadar air matanya mengalir, ia menangis merasakan sakitanya luka itu. Iya menangis dan berteriak berulang kali tanpa peduli keadaan sekitarnya. Sampai tiba-tiba ada sebuah teriakan yang menyadarkannya.

Dia menoleh kekanan, didapatinya seorang gadis dengan paying biru duduk disebelahnya, mungkin dia sudah lama duduk disana. Ren melihat gadis itu, ekspresi yang tergambar dari gadis itu berubah dilihatnya, dari rasa kesal menjadi iba. Ren berfikir “apakah gadia itu melihatnya menangis tadi?”

“apa?! Apa?! Mau loe apa?! Gak uasah masang tampang kasihan kayak gitu. Mau ketawa?! Silahkan! Memang kenapa kalau cowok nangis hah! Gua juga manusia, asal lo tahu. Gak ada aturan kan laki-laki gak boleh nangis. Ini bukan urusan lo.” Teriak Ren dengan tiba-tiba pada gadis itu.

“ya slow aja kali, maaf dech.” Kata gadis itu.

Ren hanya melirik sekilas, kemudian memejamkan matanya dengan kepala menengadah keatas menutupi kesedihannya. Membiarkan hujan yang rintik menerpanya.

“nangis itu wajar kok. Yang gak wajar kalau seseorang yang nggak bisa nangis.”ucap gadis itu memecah kesedihan Ren.

“sok tahu banget sih loe.” Kata Ren sambil menegakkan kepalanya.

“tapi hujan nggak akan nutupin itu, meski kamu berdiri dibawahnya berjam-jam. Karena matamu bakal nunjukkin luka yang ada pada kamu itu. Hujan hanya dapat menenangkan, namun tak dapat menghilangkan sakit itu.” Kata gadis itu lagi.

“hujan itu hanya bisa bawa luka bagi gua. Jadi lo jangan sok tahu. Hujan bagi gua itu sebuah kesialan.” Kata Ren kesal.

“terus loe ngapain tadi?” kata gadis itu.

“kepo banget si lo. Bukan urusan lo!” kata Ren ketus.

“iya maaf. Tapi asal lo tahu ajha, hujan nggak semenyakitkan itu kok. Hujan bukanlah suatu kesialan malahan hujan itu suatu berkah. Kamu makan nasikan? Petani selalu membutuhkan hujan, untuk membantunya menyuburkan sawahnya. Mereka butuh hujan dan selalu menyambut hujan dengan kegembiraan. Hujan itu banyak fungsinya, kita butuh air, darimana air kalau bukan hujan. Memang kamu nggak butuh air? Pasti butuhkan? Hujan berarti nggak sial donk buat loe.” Kata gadis itu sok bijak.

“bagi mereka mungkin hujan menyenangkan, bagi gua nggak. Hujan itu membawa banyak masalah bagi gua.”

“kayaknya loe emang benci banget ya sama hujan. Okelah, gua emang nggak tahu apa yang bikin loe kayak gini. Tapi loe nggak akan ngehargain bahagia tanpa luka. Dan duka akan dapat sembuh bila loe dapat memetik pelajaran dari apa yang terjadi dan move on dari hal yang membuat duka itu. Bahagia nggak akan kamu raih jika kamu hanya menganggap semua ini kesedihan tak berujung. Ada awal ada akhir, jadi lo nggak pantes nyalahis hujan begitu aja.”

“gila! Bawel banget lo ya!”

“terserah deh, tapi yang sakit bukan Cuma kamu aja.”

“cerewet banget sih lo, lo bisa diem nggak sih. Lo tuli apa bego’ si?!”

“terserah ya lo mau bilang apa, tapi gua emang sakit gara-gara lo. Makananya kalau mau galau atau marah-marah liat sikon, sekarang lo liat bawah, baru dech lo bakal tahu kalau gua sakit baget dari tadi.”

Ternayata kaki kanan Ren menginjak kaki gadis itu. Ren benar-benar sejak kapan ia menginjaknya, mungkin sudah dari awal dia duduk di sana. Pantes tadi gadis itu berteriak, dan wajahnya tadi seperti marah yang bercampur kesakitan. Dengan cepat Ren mengangkat kakinya dan bergeser membuat jarak dengan gadis itu. Dalam hati mengutuk diri sendiri.

“wah mas, kalau lama lagi, kaki gua bisa gepeng kayak rempeyek nich.” Kata gadis itu sambil memijit-mijik kakinya.

“ya sorry dech. Lagian lo kenapa nggak bilang dari tadi?” kata Ren lirih.

“gimana mau bilang, kalau lo aja dari tadi bawaanya marah-marah mulu.”

“ya maaf lagi dech kalau gitu.”

“its ok. Eh lihat-lihat, bunga itu padahal tadi layu loh, sekarang udah kembali mekar, cantiknya. Eh lihat diatas.” Gadis itu sambil menunjuk keatas.

“apa?”

“pelangi, aku suka sekali pelangi. Dari sini kita bisa melihat pelangi dengan jelas.”

“heemp lo betul.”

“yaudah lah ya lo nggak usah galau mulu. Masak lo nggak malu sih sama anak-anak kecil yang menjadi korban banjir. Lo nggak piker seharusnya mereka juga benci hujan, tapi kenyataannya nggak kan. Karena mereka lebih dewasa disbanding lo.”

“maksud lo?”

“yaelah, mereka yang masih kecil aja tahu kalau semua itu adalah cobaan dari Tuhan. Tuhan sayang pada mereka semua.”

“lo gila ya? Kalau emang sayang nggak mungkin ngasih cobaan.”

“lo yang gila, ukuran sayang itu berbeda-beda. Bukan Cuma diukur dari segi kebahagiaan seamata saja. Karena nggak semua kebahagiaan itu timbul dari sebuah cinta. Tapi sayang dan cinta itu pastilah selalu memberi kebahagiaan. Itu adalah sebuah cobaan untuk dilalui, cobaan yang diberikan itu buat nguji.”

“nguji?”

“iya, nguji bagaimana manusia itu menerima cobaan itu. Apakah dia akan tabah dan move on ataukah sama denganmu dia bakal memendam benci pada sesuatu dan terus terpuruk dalam kesedihan hati yang membuatnya terus merasakan duka.”

“iya lo benar, mungkin emang gua yang belum dapat menerima ini semua. Gua terlalu larut dalam kesedihan yang membuat gua tidak dapat perpikir move on.”

“yah bener banget, sampe gua juga dibuat pelampiasan kan.”

“maaf dech, kan gua dah bilang maaf.”

“hahaha, iya-iya Cuma bercanda kali.”

“thanks ya, lo dah nyadarin gua tentang semuanya.”

“nggak juga, ini semua tergantung sama lo.”

“Tari, yuk pulang udah sore.” Kata seorang wanita yang memakai seragam bah seorang suster.

“iya sus. Ok, gua pergi dulu ya.” Kata gadis itu.

Gadis itu berdiri, Ren baru menyadari ternyata gadis itu tak sempurna gadis lain. Ia tak menyadari tongkat yang bersandar di samping gadis itu, ternyata gadis itu memiliki masalah dengan kaki kirinya. Beruntung tadi dia menginjak kaki kanannya, coba kalau kaki kiri gadis itu yang ia injak ntah apa yang terjadi. Gadis itu berjalan dengan menggunakan tongkat yang masih dibantu oleh seorang suster yang memapahnya berjalan.

Kepergian gadis itu memberikan keheningan kembali di sekitar Ren. Namun untuk sesaat ucapan-ucapan gadis itu kembali terputar. Semua benar. Tidak sepantasnya Ren menyalahkan hujan atas semua apa yang terjadi padanya, mungkin semua itu memang sebuah cobaan yang diberikan Tuhan padanya.

Hujan juga pasti tak pernah ingin turun dan menghantam kami. Hujan pasti juga tak ingin meninggalkan langit tempat ia terbentuk diantara awan-awan yang menyelimuti luasnya langit.

Hujan pastilah tak ingin melukai. Hujan tak membenci awan yang menurunkan dia begitu saja. Hujan pastinya juga tak membenci orang-orang yang berlarian dibawah guyurannya. Tapi ia mencintai mereka dengan turun tuk memberikan kehidupan ditengah kegersangan.

Kini kegersangan hati Ren perlahan mulai merasakan cahaya mentari yang menerobos celah-celah awan mendung. Ia perlahan telah menemukan cahaya dalam hatinya setelah sekian lama dirulung mendung dalam kebenciannya pada hujan.

Gadis hujan itu telah membuat hati Ren menjadi hangat, meski tubunya menggigil kedinginan karena guyuran hujan yang turun. Gadis itu ikut memerikan cahaya dalam kesedihan hati Ren. Meski Ren tak tahu siapa gadis itu, namun baginya gadis itu bagai peri hujan yang memberinya sebuah sihir kehangatan.

Namun sayang sekali belum sempat Ren tahu siapa dia, gadis itu telah pergi bersama hujan yang reda dan memberikan keindahan pelangi yang melengkung dengan indah dilangit biru. Pelangi itu tidak hanya muncul dilangit, namun juga dihati Ren. Itulah kehangatan yang didapatkan Ren dari seorang gadis dibawah rinai hujan.

THE END




ANTOLOGI CERPEN : PELANGI CINTA 
PRAKTEK MENULIS WORKSHOP AFSOH PUBLISHER 2013
MAHASISWA UNNES

DAFTAR ISI ANTOLOGI :

GENDAM NUSANTARA 919

Back to Top