Oleh: Hoshino Nami
Hujan selalu identic dengan
kesedihan. Setiap munculnya hujan selalu saja ada rasa luka. Entah luka lama
yang menyeruak begitu saja ataukah luka-luka lain yang muncul bersamanya.
Begitulah hujan bagi Ren.
Mulai dari kepergian bundanya
gara-gara hujan, yang membuat beliau kesulitan untuk melihat jalan dan berakhir
dalam jurang karena tergelincir. Dalam usia yang baru tujuh tahun Ren mau tak mau harus menjadi yatim dalam
sekejap. Seseorang yang paling dekat dengannya direnggut begitu saja. Hilang
untuk selamanya.
Hujan selalu merenggut kebahagiaan
yang coba ia raih. Padahal sudah susah payah ia belajar dan meraih nilai
terbaik dalam ujiannya. Tapi gara-gara hujan jugalah ayahnya tak pernah datang
ke acara terbesarnya yaitu acara kelulusannya. Dan memory-memory luka yang
tercipta lainnya bersama hujan memenuhi setiap kekecewaan yang ia punya. Hujan
selalu membawa mendung yang selalu menyelimutinya. Itu tak lebih dari pertanda
kesedihan bukan?
Ren tak mengerti, mengapa ada
orang-orang yang begitu suka hujan.berlarian dan bercengkrama dibawah guyuran
hujan. Padahal bisa saja rintik hujan menjadi suatu bencana tak terelakan yaitu
banjir yang membawa hanyut apapun yang dilewatinya.
Dalam suatu keadaan yang sama,
meski Ren berjalan ditengah hujan sedangkan yang lain berlarian dengan gembira
di tengah huja, namun perasaan yang dirasakan Ren tetaplah bagaikan awan
mendung yang tak kunjung mendapatkan sinar mentari. Karena dia tak suka hujan,
dia benci dengan rintikan air yang turun dari langit itu, rintikan yang selalu
membawa duka baginya.
Dibalik masalalu tenatang luka
ditengah hujan, kini luka itu menghampiri Ren kembali. Satu luka baru tercipta,
luka ini bukan karena renggutan hutan, namun karena keegoisan pada hujan. Luka
ini dimulai ketika Ren menerobos guyuran hujan leba untuk menuju ke sebuah
rumah di suatu kompleks. Dia terus menerjang derasnya hujan tanpa memperdulikan
baju terbaiknya yang basah kuyup. Bunga mawar ditangannya yang entah kemana
karena hanya tersisa tangkai tak berkelopak. Coklat yang dibawanyapun basah
kuyup tak berbentuk lagi, ntah bagaimana rasanya. Tapi ia terus berlari, dalam
pikirnya ia hanya ingin menentang hujan, ia mau mengalahkan hujan yang selalu
merenggut kebahagiannya.
Ren berlari terus dan terus, untuk
menuju ke hadapan gadis impiannya, gadis yang dicintainya, gadis yang data
membuatnya melayang, untuk itu dia tak peduli badai sekalipun. Gadis yang
bernama Dita itu telah membuatnya berpaling dari hujan, yang ada dalam
pikirannya saat itu selain hujan adalah Dita. Dita terus memenuhi semua pikiran
dan angannya, Ditalah yang telah membakar semangat Ren, membuat ia tak mau
kalah dari hujan.
Senyumnya terus terpanar dari wajah
tampannya. Senyum yang bagaikan menghina hujan.
“aku nggak aka berhenti, aku nggak
akan kalah darimu. Kau dengar itu!” teriak Ren sambil terus berlari.
Akhirnya terlihat juga gerbang
sebuah rumah yang bercat coklat. Kepuasan kemenangan memenuhi hatinya. Ia
meresa telah berhasil mengalahkan hujan. Tapi ternyata kepuasan itu, tak sepenuhnya
ia dapatkan. Dari luar batas gerbang ia melihat Dita tengah tertawa lepas. Tawa
yang selalu ia dambakan dari gadis itu. Tawa yang dapat membuat Ren merasa
sesak dan membuat jantungnya berdetak tak karuan. Namun sayang sekali senyum
itu bukalah untunya, melainkan untuk laki-laki lain. Wisnu. Sahabat Ren
sendiri. Wisnu kini bahkan berani meraih tangan mungil Dita dan mendekatinya.
Tangan mungil yang bahkan baru seminggu yang lalu di genggam erat oleh Ren dan
pelukan yang baru satu bulan ia terima dari Dita ketika gadis itu menerima
cintanya.
Kembali, hujan telah meluruhkan
kebahagiannya. Ternyata dia memang salah, dia kalah dari hujan, dia gagal
mengalahkan hujan. Keegoisannya telah membuatnya mendapat luka baru, luka
mendalam di lubuk hatinya.
Ada sakit yang mulai menusuk Ren
dalam seketika. Jantung yang berdegup tak karuan karena bahagia, kini nyeri tak
terhankan karena luka. Hatinya bagai ditusuk-tusuk duri tajam. Sena kembali
berlari, berlari bukan untuk menemui cintanya, namun berlari menjauh dari
adegan yang menyakitkan baginya. Coklat dan seikat bunga tak berbentuk ia
lepaskan disela kesedihannya. Ia tak sanggup melihat aura-aura cinta terpancar
dari mereka berdua, aura cinta yang dulu ia rasakan, kini telah menusuknya.
Kini pikiran Ren dipenuhi
pertanyaan-pertanyaan tentang penghianatan itu. Mungkinkah itu sudah lama? Dan
pertanyaan lain yang sejenis, hingga dia tersadar. Sadar bahwa ia tak menyadari
kalau selama ini ada relung cinta diantara gadisnya dan sahabatnya itu, dia tak
menyadari bahwa selama ini ada tanda-tanda cinta diantara mereka.
Mungkinkah begitu buta cintanya?
Buta, sampai tak meyadari tentang tanda-tanda cinta itu. Ia memiliki dua mata,
punya dua telinga. Tapi ia tak melihat sesuatu diantara mereka. Mendengar
mereka sesuatu diantara mereka selama ini, bahkan ataukah ia tak rasa hingga
tak megerti apa yang terjadi.
Segalanya jadi terasa
membingungkan. Kebingungan yang membuatnya terus bertanya berbaga pertanyaan
tanpa tahu apa jawabannya. Jawaban yang sebenarnya ada, namun ia tak ingin
tahu. Ren berharap apa yang dilihatnya hanyalah ilusi hujan, luka hujan itu
hanyalah sebuah mimpi yang tak pernah ada.
Namun hujan dam luka selalu
beriringan datang padanya. Melarutkan bahagia tanpa sisa. Membekaskan kesedihan
dalam diri. Ia memang lelaki. Tapi ia juga manusia, bukan dewa yang tak bisa
sakit hati.
Kakinya terus membawanya berlari
menjauh, berlari dan terus berlari. Langkah kakinya yang kosong membawanya ntah
kemana, hingga kakinya membawanya disebuah taman. Ia duduk dibangku taman itu.
Tanpa sadar air matanya mengalir, ia menangis merasakan sakitanya luka itu. Iya
menangis dan berteriak berulang kali tanpa peduli keadaan sekitarnya. Sampai
tiba-tiba ada sebuah teriakan yang menyadarkannya.
Dia menoleh kekanan, didapatinya
seorang gadis dengan paying biru duduk disebelahnya, mungkin dia sudah lama
duduk disana. Ren melihat gadis itu, ekspresi yang tergambar dari gadis itu
berubah dilihatnya, dari rasa kesal menjadi iba. Ren berfikir “apakah gadia itu
melihatnya menangis tadi?”
“apa?! Apa?! Mau loe apa?! Gak
uasah masang tampang kasihan kayak gitu. Mau ketawa?! Silahkan! Memang kenapa
kalau cowok nangis hah! Gua juga manusia, asal lo tahu. Gak ada aturan kan
laki-laki gak boleh nangis. Ini bukan urusan lo.” Teriak Ren dengan tiba-tiba pada
gadis itu.
“ya slow aja kali, maaf dech.” Kata
gadis itu.
Ren hanya melirik sekilas, kemudian
memejamkan matanya dengan kepala menengadah keatas menutupi kesedihannya.
Membiarkan hujan yang rintik menerpanya.
“nangis itu wajar kok. Yang gak
wajar kalau seseorang yang nggak bisa nangis.”ucap gadis itu memecah kesedihan
Ren.
“sok tahu banget sih loe.” Kata Ren
sambil menegakkan kepalanya.
“tapi hujan nggak akan nutupin itu,
meski kamu berdiri dibawahnya berjam-jam. Karena matamu bakal nunjukkin luka yang
ada pada kamu itu. Hujan hanya dapat menenangkan, namun tak dapat menghilangkan
sakit itu.” Kata gadis itu lagi.
“hujan itu hanya bisa bawa luka
bagi gua. Jadi lo jangan sok tahu. Hujan bagi gua itu sebuah kesialan.” Kata
Ren kesal.
“terus loe ngapain tadi?” kata
gadis itu.
“kepo banget si lo. Bukan urusan
lo!” kata Ren ketus.
“iya maaf. Tapi asal lo tahu ajha,
hujan nggak semenyakitkan itu kok. Hujan bukanlah suatu kesialan malahan hujan
itu suatu berkah. Kamu makan nasikan? Petani selalu membutuhkan hujan, untuk
membantunya menyuburkan sawahnya. Mereka butuh hujan dan selalu menyambut hujan
dengan kegembiraan. Hujan itu banyak fungsinya, kita butuh air, darimana air
kalau bukan hujan. Memang kamu nggak butuh air? Pasti butuhkan? Hujan berarti
nggak sial donk buat loe.” Kata gadis itu sok bijak.
“bagi mereka mungkin hujan
menyenangkan, bagi gua nggak. Hujan itu membawa banyak masalah bagi gua.”
“kayaknya loe emang benci banget ya
sama hujan. Okelah, gua emang nggak tahu apa yang bikin loe kayak gini. Tapi
loe nggak akan ngehargain bahagia tanpa luka. Dan duka akan dapat sembuh bila
loe dapat memetik pelajaran dari apa yang terjadi dan move on dari hal yang
membuat duka itu. Bahagia nggak akan kamu raih jika kamu hanya menganggap semua
ini kesedihan tak berujung. Ada awal ada akhir, jadi lo nggak pantes nyalahis
hujan begitu aja.”
“gila! Bawel banget lo ya!”
“terserah deh, tapi yang sakit
bukan Cuma kamu aja.”
“cerewet banget sih lo, lo bisa
diem nggak sih. Lo tuli apa bego’ si?!”
“terserah ya lo mau bilang apa,
tapi gua emang sakit gara-gara lo. Makananya kalau mau galau atau marah-marah
liat sikon, sekarang lo liat bawah, baru dech lo bakal tahu kalau gua sakit
baget dari tadi.”
Ternayata kaki kanan Ren menginjak
kaki gadis itu. Ren benar-benar sejak kapan ia menginjaknya, mungkin sudah dari
awal dia duduk di sana. Pantes tadi gadis itu berteriak, dan wajahnya tadi
seperti marah yang bercampur kesakitan. Dengan cepat Ren mengangkat kakinya dan
bergeser membuat jarak dengan gadis itu. Dalam hati mengutuk diri sendiri.
“wah mas, kalau lama lagi, kaki gua
bisa gepeng kayak rempeyek nich.” Kata gadis itu sambil memijit-mijik kakinya.
“ya sorry dech. Lagian lo kenapa
nggak bilang dari tadi?” kata Ren lirih.
“gimana mau bilang, kalau lo aja
dari tadi bawaanya marah-marah mulu.”
“ya maaf lagi dech kalau gitu.”
“its ok. Eh lihat-lihat, bunga itu
padahal tadi layu loh, sekarang udah kembali mekar, cantiknya. Eh lihat
diatas.” Gadis itu sambil menunjuk keatas.
“apa?”
“pelangi, aku suka sekali pelangi.
Dari sini kita bisa melihat pelangi dengan jelas.”
“heemp lo betul.”
“yaudah lah ya lo nggak usah galau
mulu. Masak lo nggak malu sih sama anak-anak kecil yang menjadi korban banjir.
Lo nggak piker seharusnya mereka juga benci hujan, tapi kenyataannya nggak kan.
Karena mereka lebih dewasa disbanding lo.”
“maksud lo?”
“yaelah, mereka yang masih kecil
aja tahu kalau semua itu adalah cobaan dari Tuhan. Tuhan sayang pada mereka
semua.”
“lo gila ya? Kalau emang sayang
nggak mungkin ngasih cobaan.”
“lo yang gila, ukuran sayang itu
berbeda-beda. Bukan Cuma diukur dari segi kebahagiaan seamata saja. Karena
nggak semua kebahagiaan itu timbul dari sebuah cinta. Tapi sayang dan cinta itu
pastilah selalu memberi kebahagiaan. Itu adalah sebuah cobaan untuk dilalui,
cobaan yang diberikan itu buat nguji.”
“nguji?”
“iya, nguji bagaimana manusia itu
menerima cobaan itu. Apakah dia akan tabah dan move on ataukah sama denganmu
dia bakal memendam benci pada sesuatu dan terus terpuruk dalam kesedihan hati
yang membuatnya terus merasakan duka.”
“iya lo benar, mungkin emang gua
yang belum dapat menerima ini semua. Gua terlalu larut dalam kesedihan yang
membuat gua tidak dapat perpikir move on.”
“yah bener banget, sampe gua juga
dibuat pelampiasan kan.”
“maaf dech, kan gua dah bilang
maaf.”
“hahaha, iya-iya Cuma bercanda
kali.”
“thanks ya, lo dah nyadarin gua
tentang semuanya.”
“nggak juga, ini semua tergantung
sama lo.”
“Tari, yuk pulang udah sore.” Kata
seorang wanita yang memakai seragam bah seorang suster.
“iya sus. Ok, gua pergi dulu ya.”
Kata gadis itu.
Gadis itu berdiri, Ren baru
menyadari ternyata gadis itu tak sempurna gadis lain. Ia tak menyadari tongkat
yang bersandar di samping gadis itu, ternyata gadis itu memiliki masalah dengan
kaki kirinya. Beruntung tadi dia menginjak kaki kanannya, coba kalau kaki kiri
gadis itu yang ia injak ntah apa yang terjadi. Gadis itu berjalan dengan
menggunakan tongkat yang masih dibantu oleh seorang suster yang memapahnya
berjalan.
Kepergian gadis itu memberikan
keheningan kembali di sekitar Ren. Namun untuk sesaat ucapan-ucapan gadis itu
kembali terputar. Semua benar. Tidak sepantasnya Ren menyalahkan hujan atas
semua apa yang terjadi padanya, mungkin semua itu memang sebuah cobaan yang
diberikan Tuhan padanya.
Hujan juga pasti tak pernah ingin
turun dan menghantam kami. Hujan pasti juga tak ingin meninggalkan langit
tempat ia terbentuk diantara awan-awan yang menyelimuti luasnya langit.
Hujan pastilah tak ingin melukai.
Hujan tak membenci awan yang menurunkan dia begitu saja. Hujan pastinya juga
tak membenci orang-orang yang berlarian dibawah guyurannya. Tapi ia mencintai
mereka dengan turun tuk memberikan kehidupan ditengah kegersangan.
Kini kegersangan hati Ren perlahan
mulai merasakan cahaya mentari yang menerobos celah-celah awan mendung. Ia
perlahan telah menemukan cahaya dalam hatinya setelah sekian lama dirulung
mendung dalam kebenciannya pada hujan.
Gadis hujan itu telah membuat hati
Ren menjadi hangat, meski tubunya menggigil kedinginan karena guyuran hujan
yang turun. Gadis itu ikut memerikan cahaya dalam kesedihan hati Ren. Meski Ren
tak tahu siapa gadis itu, namun baginya gadis itu bagai peri hujan yang
memberinya sebuah sihir kehangatan.
Namun sayang sekali belum sempat
Ren tahu siapa dia, gadis itu telah pergi bersama hujan yang reda dan memberikan
keindahan pelangi yang melengkung dengan indah dilangit biru. Pelangi itu tidak
hanya muncul dilangit, namun juga dihati Ren. Itulah kehangatan yang didapatkan
Ren dari seorang gadis dibawah rinai hujan.
THE END
PRAKTEK MENULIS WORKSHOP AFSOH PUBLISHER 2013