-->

One Side Love

| 8:45 AM |


Oleh: Nurul Indah Saputri

 

Hujan sore ini begitu syahdu menyelimuti desa kecil di daerah Sleman, Yogyakarta. Yaitu daerah yang sunyi berada di lereng Merapi dimana aku tinggal. Sangat tenang, tidak ada angin besar ataupun petir yang mengiringi.  Lihat lah bagaimana Allah sang Pencipta menganugerahkan nikmat yang luar biasa itu. Karena setelah hujan yang menyejukkan ini, nanti akan muncul pelangi yang sangat indah. Tidak hanya itu, rerumputan kuning di halaman itu nantinya juga akan menghijau. Bunga yang kutanam di pot-pot teras rumah juga akan segera bermekaran.

“Tapi, bukankah harusnya sekarang ini masih musim kemarau? Kenapa sudah harus turun hujan setiap sore begini?”, gumamku.

Aku pun lagi-lagi mengeluhkan hujan yang manis itu dan menghela napas panjang. Niat mau belajar pun berubah menjadi melamun. Buku setumpuk di atas mejapun lagi-lagi aku acuhkan. Aku tersadar dari lamunan dan segera fokus lagi pada semua buku pelajaran kesayanganku.

Entah mengapa aku lebih suka berkutik dengan angka-angka di buku besar Matematika itu. Tidak seperti anak muda kebanyakan yang suka baca novel atau cerita cinta. Mungkin karena sampai sekarang aku belum tertarik dengan hal yang kata orang adalah ‘cinta’.

…….

Tahun 2010 ini adalah tahun dimana aku sudah duduk di bangku kelas 3 SMA. Biarpun aku bersekolah di sekolah yang letaknya di desa, jauh dari hirik pikuk perkotaan dan keramaian, aku tetap bangga dan senang. Karena memang harus begitu, jika saja aku tidak bangga aku pasti sudah tidak bersekolah. Tidak banyak yang diharapkan oleh anak seorang petani seperti aku ini. Bahkan aku masih mempunyai 4 adik yang masih kecil dan pasti akan  sekolah suatu saat.

Hari pertama masuk sekolah pun bagiku biasa-biasa saja. Teman-teman kelasku pun berbeda lagi, karena setiap tahunnya pasti kelas akan diacak-acak siswanya. Tapi beruntungnya aku, karena aku satu kelas dengan sahabat sebangkuku lagi. Dia adalah Tiwi. Kami sudah berteman sejak kelas 1 dan sudah akrab sekali. Bahkan kami sudah seperti saudara saja. Kemanapun ada aku, pasti ada dia, begitulah.

Seperti biasa, hari pertama kami masuk kelas, pasti tema hari itu adalah perkenalan  (lagi). Semua siswa pun berkenalan tanpa terkecuali. Dan saat itulah ada yang menarik perhatianku sebentar. Entah kenapa, cara dia berkenalan saja sudah membuatku seperti deg-degan. Dia sederhana, tapi seperti ada aura berbeda yang dapat aku lihat dari dalam dirinya. Maklum saja, aku ini pandai menilai seseorang yang belum aku kenal sebelumnya. Sebut saja yang sedang berkenalan itu adalah Aldi, nama lengkapnya adalah Aldi Firmansyah. “hmm..nama yang bagus”, gumamku sambil tetap memperhatikan dia. Memang dulu aku belum pernah satu kelas dengan si Aldi itu. Akupun baru tahu dia setelah kami satu kelas.

Hey, zah. Kok bengong? Kamu tertarik sama aldi itu ya?”, temanku Tiwi menyenggol tanganku dan meleburkan semua perhatianku pada si Aldi.

Huh? Eng..enggak. siapa juga yang bengong?”, kataku mengelak.

“ah..yang bener? Dari tadi itu kamu nggak kedip ngeliatin si dia loh?”, Tiwi itu emang jago banget kalau mojokin aku kayak gitu, dan parahnya dia selalu tepat menebak apa yang ada di pikiranku saat itu.

Aldi itu anak baik kok. Aku dulu pernah satu SMP sama dia, dan lumayan tau siapa dia. Dan juga dia itu anak alim gak neko-neko. Apalagi dia itu kayaknya masih jomblo loh. Pas deh kayak tipe ideal kamu.”

Sahabatkku yang satu ini malah semakin menjadi-jadi menceritakan teman baruku si aldi itu. Aku hanya diam saja dan berpura-pura memperhatikan penjelasan dia yang panjang kali lebar kali tinggi itu.

……

Hari demi hari pun aku lewati sebagai murid kelas 3 SMA yang sudah mulai sibuk dengan persiapan ujian akhir nasional. Akupun memasang target tinggi dengan hasil ujianku kelak. Berharap aku bisa mencapai nilai yang bagus dan dapat melanjutkan sampai bangku perkuliahan. Lama kelamaan pun aku juga semakin akrab dengan semua teman-teman baru ku di kelas 12 IPA 3.

Setelah melakukan observasi dan pengamatan secara diam-diam dan tanpa orang lain tahu, sepertinya si Aldi itu memang anak yang baik. Tidak hanya itu, dia juga termasuk dalam golongan anak yang pandai di kelas. Sepertinya aku mulai menyukai dia. Iya, sepertinya memang begitu.

Pernah suatu ketika, aku dan dia berpapasan dengannya di kantin. Tak disangka dia melemparkan senyum manisnya padaku. Ah..rasanya waktu itu ingin sekali waktu aku hentikan saja sebentar. Hingga semakin lama senyumnya hilang dan dia berlalu begitu saja dan sebaliknya. Sayangnya, aku ini adalah anak pemalu dan tidak percaya diri. Sejak dulu sekali, aku selalu memendam perasaan suka pada seseorang seorang diri. Aku selalu takut untuk mengutarakan perasaanku sebenarnya.

Belakangan aku tahu, bagaimana pribadi si dia dan juga bagaimana keluarganya. Diam-diam aku cari saja informasi yang berhubungan dengan dia. Ternyata dia berasal dari keluarga yang berada. Ayahnya adalah seorang perwira TNI yang baru saja dipindahtugaskan di daerah Sleman ini dan ibunya adalah seorag guru di sebuah Sekolah Dasar. Ternyata dia baru pindah ke daerah Sleman ini baru 5 tahun terakhir ini. Dulunya dia tinggal di daerah perkotaan.

Walaupun dia adalah anak keluarga berada, tidak aku lihat ada kesombongan dari dirinya. Bahkan dia sangat akrab dengan semua teman di kelas tanpa kecuali.

Entah kenapa ketika aku menaruh perhatian yang lebih (baca: suka), aku lebih ingin menghindarinya. Contohnya itu ketika aku berpapasan dengannya, aku berpura-pura tidak lihat dan hal itu berlangsung lama. Mungkin karena sifat malu yang aku punya ini sudah setinggi tingkat olimpiade mungkin. Lagi pula kalau dipikir-pikir, aku ini tidak sejajar sama status yang dimiliki Aldi, aku siapa dan dia siapa.

…..

            Sampai suatu saat ketika pelajaran Biologi. Kami dibentuk dalam beberapa kelompok praktikum. Dan senangnya waktu itu aku sekelompok dengannya. Meskipun waktu itu pembagiannya diacak oleh guru kami.

            Meskipun dalam satu kelompok, kami jarang berbicara satu sama lain. Hanya kalau ada hal yang benar-benar penting saja kami bertanya satu sama lain. Aku sendiri juga tidak berani banyak ngobrol dengannya. Sebagai seorang perempuan, aku sangat menjunjung tinggi kejaimanku. Sebagai perempuan kan tidak sepatutnya kita yang sok kenal. Apalagi aku ini adalah orang pendiam.  Jadi selama itu aku hanya diam dan diam. Sangat pas sekali kombinasi dan perpaduan sifat yang aku miliki, pendiam + pemalu. Aldi pun sepertinya juga tidak menaruh perhatian lebih padaku.

…..

            Setengah semester sudah terlalui. Dan aku semakin sadar kalau aku menyukainya meskipun aku sampai sekarang tidak tahu perasaannya. Aku jadi sering memperhatikan dia saat pelajaran, ngepoin facebook dia dan segala sesuatu yang tentang dia. Dan sampai saat itu aku masih betah menahan rasa ini padanya dan tidak aku ceritakan pada siapapun.

            Si Aldi pun sekarang sudah mempunyai beberapa teman cewek yang dekat dengannya. Mereka pun juga berasal dari keluarga berada sama seperti Aldi. Mereka sering ke kantin bareng, belajar kelompok bareng, dan sedangkan aku hanya bisa melihat hal itu dari jauh. Karena aku sadar siapa aku yang tak pantas berteman dekat dengan dia.

            Pernah suatu ketika dia sms aku, tapi hanya menanyakan tugas kelompok praktikum kami. “zahrana, laporan praktikum kelompok kita bagaimana? Mau dikerjakan kapan?”, kurang lebih begitulah bunyi smsnya. Hanya dia sms seperti itu aku sangat senang. Bahkan sms itu rela tidak aku hapus selama berminggu-minggu. Sungguh, sepertinya aku ini sudah makin eror (hatinya). Apalagi akhir-akhir ini aku sering memikirkan dia, bahkan belajarku pun jadi tidak konsentrasi.

            Saat pelajaran di kelas juga. Berkali-kali aku melihat ke arahnya sebentar, karena dia duduk di depan sedangkan aku agak belakang. Ketika Bapak guru sedang susah payah menerangkan rumus-rumus fisika itu, aku malah memperhatikan si dia. Dan saat itu aku sempat berpikir benar bahwa otakku memang harus direfresh atau bahkan diinstall ulang. Maklumlah aku ini sudah dikenal sebagai tipe orang yang fokus pada belajar dan tidak tertarik dengan hal macem gituan.

            Aku pun memutuskan untuk mencoba melupakan Aldi. Karena memikirkan dia adalah hal yang menyenangkan tapi susah dijalanin. Banyak konsentrasiku terpecah belah seperti piring pecah. Padahal dulunya aku belum pernah merasa seperti ini. Perlahan aku coba kurangi intensitas perhatianku ke dia. Tapi yang terjadi adalah kebalikannya. Semakin kita ingin melupakan seseorang, justru semakin sering kita mengingatnya. Begitulah.

…..

            Hingga suatu saat ketika aku memasuki semester ke-dua. Dan hatiku tetaplah sama, tidak bisa melupakan sosok Aldi itu. Ada berita yang membuat aku pribadi kaget, shock, dan sakit pastinya. Ternyata dia sekarang sudah memiliki pacar. Parahnya pacarnya itu adalah teman sekelasku juga dan satu kelompok pula denganku sewaktu kita sekelompok praktikum Biologi.

            Argh..setelah mendengar berita itu, rasanya ini pengen makan kursi sama meja di kelas habis itu jedotin kepala ke tembok ruangan Kepala Sekolah. Kenapa si Aldi harus jadiannya sama si dia? Dan seketika itu aku membandingkan cewek itu dengan aku, dan memang dia lebih pantas bersanding dengan Aldi daripada aku ini. Cewek itu cantik, baik, supel, dari keluarga berada pula.

            Jujur itu membuatku tambah galau. Sebenarnya makna galau sendiri aku tak begitu paham. Hanya saja perasaan hatiku saat ini sedang tidak enak. Semua pikiran hanya pada si Aldi yang baru jadian itu. Kenapa harus sama si Dini? Ya, namanya Andinita Putri, nama yang cantik seperti orangnya.

            Yang membuat aku lebih sakit hati adalah sekarang mereka jadi sering terligat bersama. Bahkan sekarang mereka duduk satu meja. Dan kalau sudah begini, aku jadi ingin pindah kelas saja rasanya. Tidak sampai disitu, aku juga sering melihat mereka pulang bersama, dan boncengan bersama. Sedangkan aku hanya bisa melihat kebahagiaan mereka berdua dari dalam bis yang sesak penumpang ini.

            Saking bodohnya aku memikirkan hal yang tidak penting itu dan hanya membuat sakit hati itu, berdampak negatif dengan belajarku. Sampai suatu saat ketika ulangan harian Matematika, aku mendapatkan nilai terjelek sepanjang sejarah aku duduk di SMA. Entah kenapa saat itu aku bisa mendapatkan nilai sejelek itu. Padahal malamnya aku juga belajar seperti pada ulangan biasanya. Sampai-sampai sahabatku, Tiwi heran dan mencoba meminta penjelasan padaku.

Kamu ada masalah di rumah ya, zah? Kok nggak biasanya nilai ulangan kamu seperti itu. Kalau ada apa-apa cerita ke aku ya. Kali aja aku bisa membantu, bukankah itu gunanya kita mempunyai sahabat.”, begitulah nasihat Tiwi kepadaku.

            Iya, wi. Terimakasih ya. Kamu memang sahabatku yang paling ngertiin aku. Tapi tenang aja. Aku enggak ada apa-apa kok. Kayaknya aku lagi enggak enak badan aja.

            Aku sangat bahagia mempunyai sahabat yang satu ini. Dia tidak pernah memaksaku cerita tentang masalahku. Sebaliknya dia malah memberi motivasi dan semangat buatku untuk tetap move on. Aku sendiri pun lebih baik diam menyimpan kegalauan hatiku ini. Berharap nanti akan hilang dengan sendirinya dan aku bisa melupakannya.

            …..

            Tidak terasa Ujian Nasional sudah terlalui. Aku pun berharap yang terbaik buatku dan juga semua teman-temanku yang berjuang keras selama ini. Berharap kami dapat memberi sebuah kebanggan pada orang tua kami atas jerih payah dan usaha anak-anaknya. Dan ketika pengumuman itu tiba, aku pun sangat bersyukur karena aku mendapat nilai yang baik sesuai harapanku. Meskipun tidak menjadi yang terbaik, aku tetap bangga karena inilah yang terbaik yang dapat aku usahakan demi bapak dan ibuku.

            Hampir satu tahun lamanya, aku tetap masih sama. Ternyata aku belum bisa melupakan Aldi. Bagiku dia adalah ‘cinta pertamaku’ yang sangat spesial. Saking spesialnya aku mampu bertahan memendam rasaku padanya selama satu tahun terakhir. Aku sendiri juga tidak ingin menjadi orang jahat dan egois memikirkan diriku sendiri. Aku pun akhirnya juga harus merelakan mereka berdua hidup bahagia dengan jalan-Nya. Dan aku pun menjalani hidupku sendiri sesuai yang digariskan Allah.

            ……

            Dua tahun sudah berlalu sejak aku lulus dari SMA. Sekarang aku sudah kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Aku sangat beruntung aku dapat kuliah dengan gratis berkat beasiswa yang aku peroleh. Akupun dapat kuliah sampai lulus nanti secara gratis. Aku pun sekarang berkuliah di jurusan Pendidikan Matematika, ya sesuai dengan mata pelajaran kesukaanku sejak dulu. Biarpun ayahku adalah seorang petani, aku tetap optimis dapat menjadi orang yang mampu mengangkat derajat kehidupan keluargaku.

            Hingga suatu hari ketika libur panjang akhir semester, teman SMA ku dulu mengadakan reuni akbar setelah kami dua tahun berpisah. Aku pun ingat bahwa ketika nanti ketika reuni pasti aku akan bertemu dengan Aldi. Dan itu hanya akan membuka luka lamaku. Karena kenyataannya sampai dua tahun ini aku tetap tidak dapat melupakan sosoknya. Bahkan sampai aku masuk tahun kedua kuliah, aku belum juga membuka hatiku pada yang lain. Padahal teman-teman seumuranku sudah memiliki pacar.

            Secara logika, bertemu saja tidak pernah, kalaupun bertemu di social media pun, pasti hanya diam saja dan tidak saling sapa. Kenapa bisa menyukainya? Tapi ya seperti itulah rasa suka (cinta?). Tidak dapat dijawab jika ditanya ‘mengapa’. Haruskah rasa suka dan cinta pada sesorang harus ada alasannya? Kupikir tidak.

            Kalau dipikir-pikir aku ini bodoh atau apa ya? Selama tiga tahun hanya mengharapkan yang tidak mungkin. Menyukai sesorang tapi tidak mampu mengungkapkan. Hanya diam saja dan diam. Bahkan orang yang ku sukai itu sudah memiliki orang lain di hatinya. Kadang aku berpikir bahwa harusnya dulu aku nyatakan saja perasaanku padanya. Entah nanti apa jawaban dia atas perasaanku. Tapi kembali lagi bahwa aku adalah perempuan yang hakikatnya menunggu dan menunggu. Bukan begitu?

            Teringat akan sebuah penggalan cerita di salah satu bukunya Raditya Dika yang judulnya Marmut Merah Jambu, favoritku. Kurang lebih seperti ini:

Pada akhirnya, orang yang jatuh cinta diam-diam hanya bisa mendoakan. Mereka cuma bisa mendoakan, setelah capek berharap, pengharapan yang ada dari dulu, yang tumbuh dari mulai kecil sekali, hingga makin lama makin besar, lalu semakin lama semakin jauh. Orang yang jatuh cinta diam-diam pada akhirnya menerima. Orang yang jatuh cinta diam-diam paham bahwa kenyataan terkadang berbeda dengan apa yang kita inginkan. Terkadang yang kita inginkan bisa jadi yang tidak kita sesungguhnya kita butuhkan. Dan sebenarnya, yang kita butuhkan hanyalah merelakan. Orang yang jatuh cinta diam-diam hanya bisa, seperti yang mereka selalu lakukan, jatuh cinta sendirian.

              Pada akhirnya aku pun sama seperti yang ditulis dalam bukunya Raditya Dika itu. Sekarang ini aku memang sedang jatuh cinta (sendirian). That is my one-side love. Dalam sendiri ini aku hanya bisa menunggu, entahlah siapa nanti yang mencariku. Tapi aku yakin dan percaya, ALLAH sudah menciptakan makhluknya berpasang-pasangan, tinggal waktunya saja yang tidak kita tahu. Semua sudah diatur dan digariskan oleh Yang Maha Kuasa. Bukankan rencana Tuhan itu yang paling sempurna?

----- THE END -----



ANTOLOGI CERPEN : PELANGI CINTA 
PRAKTEK MENULIS WORKSHOP AFSOH PUBLISHER 2013
MAHASISWA UNNES


DAFTAR ISI ANTOLOGI :

GENDAM NUSANTARA 919

Back to Top