Oleh: Nurul Indah Saputri
Hujan sore ini
begitu syahdu menyelimuti desa kecil di daerah Sleman, Yogyakarta. Yaitu daerah
yang sunyi berada di lereng Merapi dimana aku tinggal. Sangat tenang, tidak ada
angin besar ataupun petir yang mengiringi.
Lihat lah bagaimana Allah sang Pencipta menganugerahkan nikmat yang luar
biasa itu. Karena setelah hujan yang menyejukkan ini, nanti akan muncul pelangi
yang sangat indah. Tidak hanya itu, rerumputan kuning di halaman itu nantinya
juga akan menghijau. Bunga yang kutanam di pot-pot teras rumah juga akan segera
bermekaran.
“Tapi, bukankah harusnya sekarang ini masih musim
kemarau? Kenapa sudah harus turun hujan setiap sore begini?”, gumamku.
Aku pun
lagi-lagi mengeluhkan hujan yang manis itu dan menghela napas panjang. Niat mau
belajar pun berubah menjadi melamun. Buku setumpuk di atas mejapun lagi-lagi
aku acuhkan. Aku tersadar dari lamunan dan segera fokus lagi pada semua buku
pelajaran kesayanganku.
Entah mengapa
aku lebih suka berkutik dengan angka-angka di buku besar Matematika itu. Tidak
seperti anak muda kebanyakan yang suka baca novel atau cerita cinta. Mungkin
karena sampai sekarang aku belum tertarik dengan hal yang kata orang adalah
‘cinta’.
…….
Tahun 2010 ini
adalah tahun dimana aku sudah duduk di bangku kelas 3 SMA. Biarpun aku bersekolah
di sekolah yang letaknya di desa, jauh dari hirik pikuk perkotaan dan
keramaian, aku tetap bangga dan senang. Karena memang harus begitu, jika saja
aku tidak bangga aku pasti sudah tidak bersekolah. Tidak banyak yang diharapkan
oleh anak seorang petani seperti aku ini. Bahkan aku masih mempunyai 4 adik
yang masih kecil dan pasti akan sekolah
suatu saat.
Hari pertama
masuk sekolah pun bagiku biasa-biasa saja. Teman-teman kelasku pun berbeda
lagi, karena setiap tahunnya pasti kelas akan diacak-acak siswanya. Tapi
beruntungnya aku, karena aku satu kelas dengan sahabat sebangkuku lagi. Dia
adalah Tiwi. Kami sudah berteman sejak kelas 1 dan sudah akrab sekali. Bahkan
kami sudah seperti saudara saja. Kemanapun ada aku, pasti ada dia, begitulah.
Seperti biasa,
hari pertama kami masuk kelas, pasti tema hari itu adalah perkenalan (lagi). Semua siswa pun berkenalan tanpa
terkecuali. Dan saat itulah ada yang menarik perhatianku sebentar. Entah
kenapa, cara dia berkenalan saja sudah membuatku seperti deg-degan. Dia
sederhana, tapi seperti ada aura berbeda yang dapat aku lihat dari dalam
dirinya. Maklum saja, aku ini pandai menilai seseorang yang belum aku kenal
sebelumnya. Sebut saja yang sedang berkenalan itu adalah Aldi, nama lengkapnya
adalah Aldi Firmansyah. “hmm..nama yang
bagus”, gumamku sambil tetap memperhatikan dia. Memang dulu aku belum
pernah satu kelas dengan si Aldi itu. Akupun baru tahu dia setelah kami satu
kelas.
“Hey, zah. Kok bengong? Kamu tertarik sama
aldi itu ya?”, temanku Tiwi menyenggol tanganku dan meleburkan semua
perhatianku pada si Aldi.
“Huh? Eng..enggak. siapa juga yang bengong?”,
kataku mengelak.
“ah..yang bener? Dari tadi itu kamu nggak kedip
ngeliatin si dia loh?”, Tiwi itu emang jago banget kalau mojokin aku kayak
gitu, dan parahnya dia selalu tepat menebak apa yang ada di pikiranku saat itu.
“Aldi itu anak baik kok. Aku dulu pernah satu
SMP sama dia, dan lumayan tau siapa dia. Dan juga dia itu anak alim gak
neko-neko. Apalagi dia itu kayaknya masih jomblo loh. Pas deh kayak tipe ideal
kamu.”
Sahabatkku yang
satu ini malah semakin menjadi-jadi menceritakan teman baruku si aldi itu. Aku
hanya diam saja dan berpura-pura memperhatikan penjelasan dia yang panjang kali
lebar kali tinggi itu.
……
Hari demi hari
pun aku lewati sebagai murid kelas 3 SMA yang sudah mulai sibuk dengan
persiapan ujian akhir nasional. Akupun memasang target tinggi dengan hasil
ujianku kelak. Berharap aku bisa mencapai nilai yang bagus dan dapat
melanjutkan sampai bangku perkuliahan. Lama kelamaan pun aku juga semakin akrab
dengan semua teman-teman baru ku di kelas 12 IPA 3.
Setelah
melakukan observasi dan pengamatan secara diam-diam dan tanpa orang lain tahu,
sepertinya si Aldi itu memang anak yang baik. Tidak hanya itu, dia juga
termasuk dalam golongan anak yang pandai di kelas. Sepertinya aku mulai
menyukai dia. Iya, sepertinya memang begitu.
Pernah suatu
ketika, aku dan dia berpapasan dengannya di kantin. Tak disangka dia
melemparkan senyum manisnya padaku. Ah..rasanya waktu itu ingin sekali waktu
aku hentikan saja sebentar. Hingga semakin lama senyumnya hilang dan dia
berlalu begitu saja dan sebaliknya. Sayangnya, aku ini adalah anak pemalu dan
tidak percaya diri. Sejak dulu sekali, aku selalu memendam perasaan suka pada
seseorang seorang diri. Aku selalu takut untuk mengutarakan perasaanku
sebenarnya.
Belakangan aku
tahu, bagaimana pribadi si dia dan juga bagaimana keluarganya. Diam-diam aku
cari saja informasi yang berhubungan dengan dia. Ternyata dia berasal dari
keluarga yang berada. Ayahnya adalah seorang perwira TNI yang baru saja
dipindahtugaskan di daerah Sleman ini dan ibunya adalah seorag guru di sebuah
Sekolah Dasar. Ternyata dia baru pindah ke daerah Sleman ini baru 5 tahun
terakhir ini. Dulunya dia tinggal di daerah perkotaan.
Walaupun dia
adalah anak keluarga berada, tidak aku lihat ada kesombongan dari dirinya.
Bahkan dia sangat akrab dengan semua teman di kelas tanpa kecuali.
Entah kenapa
ketika aku menaruh perhatian yang lebih (baca: suka), aku lebih ingin
menghindarinya. Contohnya itu ketika aku berpapasan dengannya, aku berpura-pura
tidak lihat dan hal itu berlangsung lama. Mungkin karena sifat malu yang aku
punya ini sudah setinggi tingkat olimpiade mungkin. Lagi pula kalau
dipikir-pikir, aku ini tidak sejajar sama status yang dimiliki Aldi, aku siapa
dan dia siapa.
…..
Sampai
suatu saat ketika pelajaran Biologi. Kami dibentuk dalam beberapa kelompok
praktikum. Dan senangnya waktu itu aku sekelompok dengannya. Meskipun waktu itu
pembagiannya diacak oleh guru kami.
Meskipun
dalam satu kelompok, kami jarang berbicara satu sama lain. Hanya kalau ada hal
yang benar-benar penting saja kami bertanya satu sama lain. Aku sendiri juga
tidak berani banyak ngobrol dengannya. Sebagai seorang perempuan, aku sangat
menjunjung tinggi kejaimanku. Sebagai perempuan kan tidak sepatutnya kita yang
sok kenal. Apalagi aku ini adalah orang pendiam. Jadi selama itu aku hanya diam dan diam.
Sangat pas sekali kombinasi dan perpaduan sifat yang aku miliki, pendiam +
pemalu. Aldi pun sepertinya juga tidak menaruh perhatian lebih padaku.
…..
Setengah
semester sudah terlalui. Dan aku semakin sadar kalau aku menyukainya meskipun
aku sampai sekarang tidak tahu perasaannya. Aku jadi sering memperhatikan dia
saat pelajaran, ngepoin facebook dia dan segala sesuatu yang tentang dia. Dan
sampai saat itu aku masih betah menahan rasa ini padanya dan tidak aku
ceritakan pada siapapun.
Si
Aldi pun sekarang sudah mempunyai beberapa teman cewek yang dekat dengannya.
Mereka pun juga berasal dari keluarga berada sama seperti Aldi. Mereka sering
ke kantin bareng, belajar kelompok bareng, dan sedangkan aku hanya bisa melihat
hal itu dari jauh. Karena aku sadar siapa aku yang tak pantas berteman dekat
dengan dia.
Pernah
suatu ketika dia sms aku, tapi hanya menanyakan tugas kelompok praktikum kami.
“zahrana, laporan praktikum kelompok kita
bagaimana? Mau dikerjakan kapan?”, kurang lebih begitulah bunyi smsnya.
Hanya dia sms seperti itu aku sangat senang. Bahkan sms itu rela tidak aku
hapus selama berminggu-minggu. Sungguh, sepertinya aku ini sudah makin eror
(hatinya). Apalagi akhir-akhir ini aku sering memikirkan dia, bahkan belajarku
pun jadi tidak konsentrasi.
Saat
pelajaran di kelas juga. Berkali-kali aku melihat ke arahnya sebentar, karena
dia duduk di depan sedangkan aku agak belakang. Ketika Bapak guru sedang susah
payah menerangkan rumus-rumus fisika itu, aku malah memperhatikan si dia. Dan
saat itu aku sempat berpikir benar bahwa otakku memang harus direfresh atau
bahkan diinstall ulang. Maklumlah aku ini sudah dikenal sebagai tipe orang yang
fokus pada belajar dan tidak tertarik dengan hal macem gituan.
Aku
pun memutuskan untuk mencoba melupakan Aldi. Karena memikirkan dia adalah hal
yang menyenangkan tapi susah dijalanin. Banyak konsentrasiku terpecah belah
seperti piring pecah. Padahal dulunya aku belum pernah merasa seperti ini.
Perlahan aku coba kurangi intensitas perhatianku ke dia. Tapi yang terjadi
adalah kebalikannya. Semakin kita ingin melupakan seseorang, justru semakin
sering kita mengingatnya. Begitulah.
…..
Hingga
suatu saat ketika aku memasuki semester ke-dua. Dan hatiku tetaplah sama, tidak
bisa melupakan sosok Aldi itu. Ada berita yang membuat aku pribadi kaget, shock, dan sakit pastinya. Ternyata dia
sekarang sudah memiliki pacar. Parahnya pacarnya itu adalah teman sekelasku
juga dan satu kelompok pula denganku sewaktu kita sekelompok praktikum Biologi.
Argh..setelah
mendengar berita itu, rasanya ini pengen makan kursi sama meja di kelas habis
itu jedotin kepala ke tembok ruangan Kepala Sekolah. Kenapa si Aldi harus
jadiannya sama si dia? Dan seketika itu aku membandingkan cewek itu dengan aku,
dan memang dia lebih pantas bersanding dengan Aldi daripada aku ini. Cewek itu
cantik, baik, supel, dari keluarga berada pula.
Jujur
itu membuatku tambah galau. Sebenarnya makna galau sendiri aku tak begitu
paham. Hanya saja perasaan hatiku saat ini sedang tidak enak. Semua pikiran
hanya pada si Aldi yang baru jadian itu. Kenapa harus sama si Dini? Ya, namanya
Andinita Putri, nama yang cantik seperti orangnya.
Yang
membuat aku lebih sakit hati adalah sekarang mereka jadi sering terligat
bersama. Bahkan sekarang mereka duduk satu meja. Dan kalau sudah begini, aku
jadi ingin pindah kelas saja rasanya. Tidak sampai disitu, aku juga sering
melihat mereka pulang bersama, dan boncengan bersama. Sedangkan aku hanya bisa
melihat kebahagiaan mereka berdua dari dalam bis yang sesak penumpang ini.
Saking
bodohnya aku memikirkan hal yang tidak penting itu dan hanya membuat sakit hati
itu, berdampak negatif dengan belajarku. Sampai suatu saat ketika ulangan
harian Matematika, aku mendapatkan nilai terjelek sepanjang sejarah aku duduk
di SMA. Entah kenapa saat itu aku bisa mendapatkan nilai sejelek itu. Padahal
malamnya aku juga belajar seperti pada ulangan biasanya. Sampai-sampai
sahabatku, Tiwi heran dan mencoba meminta penjelasan padaku.
“Kamu ada masalah di rumah ya, zah? Kok nggak
biasanya nilai ulangan kamu seperti itu. Kalau ada apa-apa cerita ke aku ya.
Kali aja aku bisa membantu, bukankah itu gunanya kita mempunyai sahabat.”,
begitulah nasihat Tiwi kepadaku.
“Iya, wi. Terimakasih ya. Kamu memang
sahabatku yang paling ngertiin aku. Tapi tenang aja. Aku enggak ada apa-apa
kok. Kayaknya aku lagi enggak enak badan aja.”
Aku
sangat bahagia mempunyai sahabat yang satu ini. Dia tidak pernah memaksaku
cerita tentang masalahku. Sebaliknya dia malah memberi motivasi dan semangat
buatku untuk tetap move on. Aku
sendiri pun lebih baik diam menyimpan kegalauan hatiku ini. Berharap nanti akan
hilang dengan sendirinya dan aku bisa melupakannya.
…..
Tidak
terasa Ujian Nasional sudah terlalui. Aku pun berharap yang terbaik buatku dan
juga semua teman-temanku yang berjuang keras selama ini. Berharap kami dapat
memberi sebuah kebanggan pada orang tua kami atas jerih payah dan usaha
anak-anaknya. Dan ketika pengumuman itu tiba, aku pun sangat bersyukur karena
aku mendapat nilai yang baik sesuai harapanku. Meskipun tidak menjadi yang
terbaik, aku tetap bangga karena inilah yang terbaik yang dapat aku usahakan
demi bapak dan ibuku.
Hampir
satu tahun lamanya, aku tetap masih sama. Ternyata aku belum bisa melupakan
Aldi. Bagiku dia adalah ‘cinta pertamaku’ yang sangat spesial. Saking
spesialnya aku mampu bertahan memendam rasaku padanya selama satu tahun
terakhir. Aku sendiri juga tidak ingin menjadi orang jahat dan egois memikirkan
diriku sendiri. Aku pun akhirnya juga harus merelakan mereka berdua hidup
bahagia dengan jalan-Nya. Dan aku pun menjalani hidupku sendiri sesuai yang
digariskan Allah.
……
Dua
tahun sudah berlalu sejak aku lulus dari SMA. Sekarang aku sudah kuliah di
salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Aku sangat beruntung aku
dapat kuliah dengan gratis berkat beasiswa yang aku peroleh. Akupun dapat
kuliah sampai lulus nanti secara gratis. Aku pun sekarang berkuliah di jurusan
Pendidikan Matematika, ya sesuai dengan mata pelajaran kesukaanku sejak dulu.
Biarpun ayahku adalah seorang petani, aku tetap optimis dapat menjadi orang
yang mampu mengangkat derajat kehidupan keluargaku.
Hingga
suatu hari ketika libur panjang akhir semester, teman SMA ku dulu mengadakan
reuni akbar setelah kami dua tahun berpisah. Aku pun ingat bahwa ketika nanti
ketika reuni pasti aku akan bertemu dengan Aldi. Dan itu hanya akan membuka
luka lamaku. Karena kenyataannya sampai dua tahun ini aku tetap tidak dapat
melupakan sosoknya. Bahkan sampai aku masuk tahun kedua kuliah, aku belum juga
membuka hatiku pada yang lain. Padahal teman-teman seumuranku sudah memiliki
pacar.
Secara
logika, bertemu saja tidak pernah, kalaupun bertemu di social media pun, pasti hanya diam saja dan tidak saling sapa.
Kenapa bisa menyukainya? Tapi ya seperti itulah rasa suka (cinta?). Tidak dapat
dijawab jika ditanya ‘mengapa’. Haruskah rasa suka dan cinta pada sesorang
harus ada alasannya? Kupikir tidak.
Kalau
dipikir-pikir aku ini bodoh atau apa ya? Selama tiga tahun hanya mengharapkan
yang tidak mungkin. Menyukai sesorang tapi tidak mampu mengungkapkan. Hanya
diam saja dan diam. Bahkan orang yang ku sukai itu sudah memiliki orang lain di
hatinya. Kadang aku berpikir bahwa harusnya dulu aku nyatakan saja perasaanku
padanya. Entah nanti apa jawaban dia atas perasaanku. Tapi kembali lagi bahwa
aku adalah perempuan yang hakikatnya menunggu dan menunggu. Bukan begitu?
Teringat
akan sebuah penggalan cerita di salah satu bukunya Raditya Dika yang judulnya Marmut Merah Jambu, favoritku. Kurang
lebih seperti ini:
Pada
akhirnya, orang yang jatuh cinta diam-diam hanya bisa mendoakan. Mereka cuma
bisa mendoakan, setelah capek berharap, pengharapan yang ada dari dulu, yang
tumbuh dari mulai kecil sekali, hingga makin lama makin besar, lalu semakin
lama semakin jauh. Orang yang jatuh cinta diam-diam pada akhirnya menerima.
Orang yang jatuh cinta diam-diam paham bahwa kenyataan terkadang berbeda dengan
apa yang kita inginkan. Terkadang yang kita inginkan bisa jadi yang tidak kita
sesungguhnya kita butuhkan. Dan sebenarnya, yang kita butuhkan hanyalah
merelakan. Orang yang jatuh cinta diam-diam hanya bisa, seperti yang mereka
selalu lakukan, jatuh cinta sendirian.
Pada akhirnya aku pun sama seperti yang
ditulis dalam bukunya Raditya Dika itu. Sekarang ini aku memang sedang jatuh
cinta (sendirian). That is my one-side
love. Dalam sendiri ini aku hanya bisa menunggu, entahlah siapa nanti yang
mencariku. Tapi aku yakin dan percaya, ALLAH sudah menciptakan makhluknya
berpasang-pasangan, tinggal waktunya saja yang tidak kita tahu. Semua sudah
diatur dan digariskan oleh Yang Maha Kuasa. Bukankan rencana Tuhan itu yang
paling sempurna?
-----
THE END -----
PRAKTEK MENULIS WORKSHOP AFSOH PUBLISHER 2013