-->

Sekotak Coklat Caramel

| 8:19 AM |

Siang ini akhirnya keinginan Dika terpenuhi. Yeah..keinginannya mempunyai sepeda motor baru. Tepat di ulang tahun yang ke 18, dibarengi prestasinya menghafal 15 juz al-Quran. Acara makan-makan sederhana kini diadakan di rumah Dika. Sahabat-sahabat dekatnya di sekolah diundang ke rumah. Totok, Juwita, Rahardian, Willy, dan Bhekti sungguh senang dapat makan siang gratis sepulang sekolah.

“Wah..wah...sering dapat job tilawah nih Dik? Kan udah hafal 15 juz.” Celetuk Juwita sambil mencomot ayam goreng.

“Lumayan juga..hehe…” Jawab Dika.

“Eh ngomong-ngomong, UN kita nanti gimana ya? Tinggal dua bulan lagi lho…” Pemikiran Bhekti yang proporsional keluar.

“Lihat besok aja Bhekti! Lagi makan enak gini masih aja mikirin UN. Tidak menikmati hidup itu namanya. Haha…” Giliran Rahardian angkat bicara.

“Yang penting kita berusaha belajar optimal, hehe..iya kan Tok? Willy menyikut lengan Totok.

“Eh iya…iya benar Wil” Totok yang pendiam gelagapan menjawab pertanyaan Willy.

“Hahaha….” Spontan tawa mereka meledak.

Selesai makan, tidak ada acara berarti, mereka memilih menonton TV. Dika yang tidak bisa diam, mencari-cari bahan diskusi yang seru. Mulai dari memilih tempat wisata asyik untuk perpisahan kelas, mengkritik para politisi di Jakarta, kebijakan kenaikan BBM baru-baru ini, bahkan persoalan degradasi moral yang melanda remaja seusiannya. Namun tetap saja rasa kantuk melanda teman-temannya yang kekenyangan. Tiba-tiba HP Willy berdering, ada telpon dari kerabatnya. Ternyata lukisan Willy ada yang terjual dengan harga mahal. Rasa kantuk berat, kini telah lenyap. Yang lain juga menjadi lebih semangat sekarang, tentunya karena akan dapat traktiran lagi.

“Lukisanmu yang kemarin itu Wil? Lukisan makanan doang ada yang beli mahal? Ups…hehe….” Dika bertanya dengan nada konyol dan wajah polosnya.

“Yee..lukisanku unik lagi, pasti yang beli bisa menangkap unsur-unsur keindahan seni yang tersembunyi dalam lukisanku..wekk…” Balas Willy tanpa rasa tersinggung sedikitpun.

“Ah besok main ke rumahmu ah, mau lihat lukisanmu yang lain. Atau jangan-jangan lukisanmu cuma satu itu yang sudah terjual..haha…” Goda Dika.

“Lukisanku banyak tau, lha kamu, sejak kapan kamu main ke rumah bilang-bilang dulu Dik? Biasanya juga asal masuk rumah orang..haha…” Willy tak mau kalah.

“Bener sih, hehe…Asyik-asyik isyarat bakal jadi tamu terhormat nih aku.” Kemampuan bicara Dika tak terkalahkan.

“Dikaaaa….” Kesal Willy.

Benar saja, hari berikutnya Dika dibuntuti sobat-sobatnya bertandang ke rumah Willy. Setelah dipersilakan masuk, mereka langsung menuju kamar Willy. Willy yang sudah tahu kalau para sahabatnya akan datang, sudah mempersiapkan segalanya. Aha… kamar yang biasanya amburadul seperti kapal pecah, kali ini tampak rapi nan anggun. 

“Wuah..kamu rajin sekali Wil, kamarmu rapi. Calon istri idaman nih.” Goda Rahardian.

“Emang..” Tanggap Willy dengan pipi bersemu merah, dipuji oleh Rahardian yang rupawan.

Sambil melirak-melirik dan pegang sana pegang sini, mereka seperti seniman yang melakukan penjurian kompetisi kondang. Berbagai model lukisan Willy mereka beri kritik dan saran padahal tidak diminta. Willy jadi tertawa cekikikan melihat aksi mereka. Tidak hanya lukisan-lukisan yang dipajang di dinding kamar, Willy juga punya banyak lukisan yang sekadar hanya digambar dilembaran kertas, hampir semuanya adalah bertema makanan. Menurut Willy makanan utamanya makanan khas Indonesia adalah kakayaan kuliner yang susah dicari tandingannya di negara lain. Totok bahkan yang biasanya hemat bicara, kali ini cerewet sekali diskusi tentang kuliner. Dia menceritakan kronologi ibunya yang bisa sampai mempunyai puluhan warteg di berbagai tempat. “Penuh perjuangan dan derai air mata.” Kesimpulan yang mereka ambil dari cerita Totok yang mengharukan.

Dengan antusiasme tinggi mereka terus saja melontarkan berbagai kritikan. Willy sampai terpingkal-pingkal mendengarnya. Bhekti yang mendapat julukan cowok akademisi mengeluarkan berbagai teori tentang seni lukisan yang telah semalaman dipelajarinya. Dan Rahardian tak henti-hentinya menangkal teori yang Bhekti sampaikan. Entahlah Rahardian terlalu suka menggoda Bhekti dengan niat mengundang tawa. Benar saja aksi keduanya membuat yang lain gemas dan ingin memasukkan mereka berdua ke team debat tingkat nasional. 

“Hey..” tiba-tiba Dika menyeru. Dika menemukan gambar sekotak coklat caramel di selembar kertas yang kelihatan lusuh. Mencoba membersihkan debu yang menghinggapi kertas itu, gambar itu tampak unik sekali bagi Dika. Coklat, Dika adalah penggemar berat coklat berbagai rasa. Meskipun gambar itu sudah lusuh, menurutnya masih tampak menggoda selera. 

“Wil, kamu baik kan? Sholehah, terus pintar nggambar lagi, emm…” Dika bicara penuh perasaan, ingin mengambil hati Willy. Sambil mendekapkan kedu tangannya di depan dada.

“Apa? Pasti ada maunya, ya kan? Ngaku deh Dik!” Selidik Willy. Willy hafal ekspresi Dika. Ada maunya. Meskipun begitu, dalam hati, Willy berseru senang menanggapi kekonyolan Dika.

“Ho’oh..wah kamu udah tahu. Berarti kita sehati dong... Gambar ini boleh untukku kan? Please..” Kali ini segenap jurus rayuan yang dimilki Dika, ia keluarkan.

“Enak saja, gantinya apa? Itu gambar aku gambar sepenuh hati lho, makanya hasilnya bagus kan?” Balas Willy memalingkan wajah sok jual mahal.

Rahardian, Bhekti, Totok, dan Juwita hanya cengar-cengir melihat Dika dan Willy saling merayu. Sudah menjadi hal biasa.

“Gantinya? Emm…nanti ku sebutkan namamu di setiap doaku deh.” Dika merendahkan suara, dengan mata mengerjap-ngerjap penuh harap. Tak kehabisan gaya.

“Kalau aku maunya seperangkat alat sholat, gimana?” Tanggap Willy, meyakinkan hatinya bahwa ini semua hanya bercanda. Keempat sahabat mereka lainnya bersuit-suit menggoda. Ikut campur.

“Kalau itu mah, tunggu lima tahun lagi. Ya? Boleh kan? Ini buat aku? Pasti boleh? Asyik-asyik…haha…” Jawab Dika, dengan nada bicara yang susah ditebak, serius atau tidak. Willy hanya bisa mengiyakan dengan menggigit-gigit bibir, imut, menutupi rasa ge-ernya yang gak ketulungan.

***

Hari pengumuman lulus atau tidaknya Dika dan sobat-sobatnya serta ribuan siswa SMA sederajad telah tiba. Dika dan semua siswa kelas XII SMAnya dikumpulkan di aula teduh milik instansi. Dika tak henti-hentinya mengumandangkan pujian-pujian pada Allah, mohon diberi ketenangan. Detak jantungnya serasa puluhan kali lebih cepat daripada biasanya. Hal yang pasti juga dirasakan semua temannya. Duduk di pojok, Dika menunduk. Totok, Rahardian, Bhekti, Juwita, dan Willy segera menghampiri. Mereka tak kuasa menahan tangis, apalah artinya sekolah mereka selama tiga tahun ini jika tidak lulus UN? Tak sabar sekali mereka menunggu pidato Pak Kepala Sekolah.

Suara ketukan microphone menghentikan sejenak tangis mereka. Detik-detik itu, ah..Pak Kepala Sekolah wajahnya tampak sedih, suaranya parau, sepertinya bakal ada berita buruk. Namun Beliau pandai sekali ber-acting. Iya, diujung pidatonya, Beliau menyampaikan bahwa tahun ini kelulusan adalah seratus persen, bahkan sekolah mereka termasuk sepuluh terbaik tingkat provinsi. Sontak, beragam sekali reaksi para siswa, menjerit gembira, memuji acting Pak Kepala Sekolah, malah ada yang menyumpah-nyumpah Beliau. Lucu sekali.

Perasaan lega, begitu mereka syukuri. Dika, Rahardian, Totok, Bhekti, Juwita, dan Willy langsung sujud syukur atas kelulusan mereka. Bahagia dan bingung memilih langkah pendidikan mereka selanjutnya. Pengumuman penerimaan mahasiswa baru, baru akan diumumkan sebulan lagi. Tidak seperti hal lain, dalam hal memilih jenjang pendidikan tinggi ini, mereka sepakat saling merahasiakan dan akan saling berceritra nanti di waktu dan tempat yang telah mereka sepakati.

***

Berkat berbagai kegiatan yang mereka jalani di masa tunggu itu. Wisata perpisahan kelas, berputar-putar mengunjungi rumah para guru mereka, atau sekadar kumpul-kumpul para sahabat ini. Pengumuman penerimaan mahasiswa baru tak terasa sudah bisa diakses. Pangumuman sudah keluar.

Duduk khusyuk, enam sahabat ini akan menceritakan rencana masa depan mereka. Saat yang bisa dibilang sangat membahagiakan, mengaharukan, atau mungkin butuh kemantapan hati karena menyangkut perasaan. Ditemani seonggok kacang rebus dan air mineral yang dibawa Juwita dari rumah, mereka duduk melingkar di taman belakang sekolah mereka dulu. Meski cuaca sore itu agak mendung semendung hati Willy yang sangat berharap satu jurusan dengan Dika, ya minimal satu kampus. 

Willy sungguh tidak bisa melupakan candaannya dengan Dika, Dika yang konyol, nakal, namun bacaan al-Qurannya selalu meruntuhkan anggapan buruk orang padanya. Dika yang pernah meminta lukisan Sekotak Coklat Caramel-nya, dan diganti dengan menyebut namanya di setiap doa lelaki itu. Apa iya? Dia menyebut nama Willy dalam doanya? Willy gak yakin kalau Dika mengingat nama lengkapnya yang super panjang itu. Atau malah akan digantikan seperangkat alat sholat lima tahun lagi? Seperangkat alat sholat? Berarti menikahinya? Dalam hati Willy beristighfar berkali-kali, mencoba mengusir angan-angan kosong itu.

Tepat di bawah pohon mangga bongsor, di taman belakang sekolah. Formasi duduk mereka lebih membentuk kotak daripada lingkaran. Totok disepakati sebagai orang pertama yang berceritra. Dengan tawanya yang kekanak-kanakan, Totok memulai.

“Hehe..sahabat-sahabatku tercinta. Kemarin aku daftarnya ke jurusan ilmu gizi, kalian tahu dong, ibuku punya banyak warteg. Mungkin jurusan itu sangat sesuai, tapi apalah daya, aku malah diterima di pilihan keduaku, tehnologi pangan di Solo. Haha..malah lebih sesuai kan?Haha….” Tawa riang terus menghiasi bibir Totok.

“Cihuy..bener..bener.. Berarti kalau sama sahabat sendiri pasti dikasih gratis nih, makan di wartegmu. Iya kan Bos?” Keisengan Dika kali ini disetujui yang lainnya.

“Haha..dasar kalian. Bisa diatur lah..” Kalimat yang agak berat diucapkan Totok.

Sambil memejamkan mata, kali ini giliran Juwita. Cewek gaul yang paham fashion ini ternyata diminta bapaknya meneruskan profesi beliau sebagai dokter. “Iya sob, aku udah diterima di FK salah satu Universitas di Semarang. Dokter umum. Gimana menurut kalian?

“Juwita.. kamu serius? Aku juga di FK lho.. juga di Semarang.” Sahut Bhekti tanpa berhenti mengunyah kacang, matanya berbinar-binar. Bhekti merasa mendapat saingan seimbang kala kuliah nanti.

“Oh..oh..oh.. Bu Dokter dan Pak Dokter, selamat.. keren sekali.” Dika memuji, yang kali ini serius. “Ayo Wil, sekarang kamu, keburu sore nih.” Lanjut Dika.

“Iya..iya.. ah rese. Guys..hehe.. tak jauh-jauh dari hobiku melukis dan menulis. Aku milih melanjutkan di Institut Kesenian Jakarta sini. Ibuku juga sudah setuju dan mendukung kok.” Nada bicara Willy lembut sekali, sambil meneguk air mineralnya lagi. “Udah gitu aja, cepet kan Dik? Ganti kamu yang cerita dong!”

“Aku.. aku pengen jadi guru atau dosen, jadi milih di universitas pandidikan dekat rumahku. Asyik kan.. dekat rumah, bisa pulang kapanpun sesuka hati. Hehe…” Sahut Dika  berusaha menghibur diri mengetahui sobat-sobatnya yang akan kuliah jauh. “Lanjut..lanjut... siapa ya? Rahardian.”

“Universitas pendidikan? Ehem.. walaupun gak sekampus apalagi satu jurusan, Dika dan aku masih satu kota, toh kampus kita juga gak terlalu jauh. Hehe...” Willy hanya berani berkomentar dalam hati.

“Kalian hebat semua, aku malah belum dapat tempat sob, aku daftar militer. Perwira TNI, dan sampai saat ini belum jelas diterima atau tidak. Doanya ya..” Rahardian, cowok rupawan dan gagah ini, pertama kalinya tampak sedih.

“Santai lah bro, kamu pasti diterima. Apa lagi yang kurang darimu? Cocok sekali jadi tentara. Ayolah kita harus semangat.. oke? Eh, kapan lagi nih kita kumpul-kumpul begini? Aku nyaranin tepat lima tahun lagi, saat kita udah lulus kuliah plus udah kerja, pasti seru. Aku penasaran lihat wajah-wajah loe lima tahun lagi. Haha… gimana? Bicara Juwita serius sekali nampaknya.

“Setuju…setuju.., kita lihat keajaiban apa yang akan kita alami lima tahun kedepan.” Bhekti berseru.

“Aku terserah kalian. Kalau kamu gimana Wil? Kok diam aja.” Rahardian menimpali.

“Eh, aku juga setuju, deal.” Jawab Willy. “Lima tahun? Lama sekali,” katanya lirih sekali.

Spontan mereka berenam mengucakan “deal” dan sulit diperagakan, jari kelingking keenamnya saling bertautan erat sekali, sampai kelingking Juwita yang putih itu memerah. Selanjutnya mereka berfoto. Berbagai gaya mereka coba, dari yang formal sampai yang paling narsis. Untuk persahabatan, begitu alasan mereka.

“Bubar…bubar…ayo udah mau maghrib.” Teriak Dika. Segera mereka membersihkan tempat itu. Kulit kacang yang terbawa angin kemana-mana, gelas plastik sisa air mineral. Sekarang beres. Mereka pulang bergandengan tangan dengan hati riang gembira. ”Syalala…lala…” Candaan sepanjang jalan menjadi semakin sulit terlupakan.

*** 

Menjelang lima tahun kemudian.

“Wil, ayolah jangan malas gitu dong aah..ini kan seminar penting.” Rahma teman kantor Willy berusaha membujuk. Dia menarik-narik tangan Willy. Willy tergelagap, namun tetapa saja hanya menggeliat yang lalu bersandar di kursi peserta kembali. “Willy..semangat woy..mau dimulai nih acara, malu ah ngajak kamu lagi kalau kamu gini, Willy…” Meski sudah dibujuk terus oleh Rahma, Willy tetap saja malas. Bahkan ingin pulang saja kalau tidak kasihan dengan Rahma.

Dan saatnya tiba, MC sudah memberi salam bahkan sudah membacakan rentetan acara seminar nasional itu, sekarang seorang lelaki muda menuju podium, mampak membawa sebuah al-Quran mungil. Lantunan kalam Illahi itu yach..Willy seperti tak asing dengan suara itu. Willy langsung duduk tegak, tak memperdulikan Rahma yang kaget melihat sikapnya. Willy memperhatikan benar-benar lelaki itu, suara itu, “Dika” Teriaknya yang untungnya tak terlalu keras karena mulutnya ia dekap sendiri dengan kedua tangannya. “Dika, benarkah kau Dika teman SMA ku dulu? Yang meminta lukisan sekotak coklat caramel-ku? Ouw..semakin tampan saja kamu Dik, pasti karna saking seringnya kena air wudlu. Sekarang kamu hebat ya..tilawah di acara sebesar ini? Aku kangen kamu tau…hampir lima tahun tak bertegur sapa, apakah kau masih ingat denganku, ingat candaan kita dulu?”  Begitu suara hati Willy dibarengi matanya yang mulai basah.

*** 

Tepat lima tahun kemudian.

Tempat dan waktu yang sama. Pohon mangga di belakang sekolah masih sama seperti lima tahun silam, hanya saja sekarang terlihat lebih kusam terkena udara kotor Jakarta dan tentunya faktor usia. Willy adalah orang pertama yang hadir saat itu. Mengenakan long dress warna coklat kalem, dibalut jilbab warna senada. Dia nampak anggun dan cantik meski sederhana. Sambil menunggu kedatangan teman lainnya, dikeluarkannya buku note kecil, lalu ditulisnya jawaban-jawaban dari pertanyaan yang sekiranya akan diajukan padanya, termasuk kemungkinan bila mereka menanyakan calon pendamping hidup. Baru beberapa kalimat menulis, Juwita dan Bhekti menghampiri. “Willy….kangen kamu..cantikan sekarang euy…” Peluk Juwita erat sekali sampai Willy kesulitan napas. “Ah bisa aja..haha…” Balas Willy sambil mencubit pipi Juwita, gemas. Bhekti tak kalah hebohnya setelah lama tak bertemu Willy, pujian dan celaan ia lontarkan penuh nada godaan. Cerita-cerita, ternyata Juwita dan Bhekti sudah menikah beberapa bulan lalu. Seringnya bertemu membuat mereka jatuh cinta. 

Tak lama berselang, tampak sebuah motor gede menerobos rerumputan menuju arah mereka. “Totok….” Teriak mereka bertiga lalu tertawa. “Halo…ndin…ndin…” Sapa Totok sambil membunyikan klakson mogenya. 

Empat sahabat sudah berkumpul, tinggal dua lagi. Willy gelisah sekali menunggu kehadiran Dika. Dan pucuk dicinta ulampun tiba, yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. “Assalamu’alaikum…hey sob, pasti aku yang paling kalian tunggu kan?” Tetap dengan gaya konyol dan sok penting Dika menghampiri. “Yee…gak berubah kamu ya Dik, tetap konyol.” Tanggap Juwita. “Tapi ngangenin, iya tho? Haha….” Gayanya semakin sok penting. “Wkwkwkwk….” Semua kini tertawa lepas. Masih kurang lengkap karna Rahardian belum juga tampak batang hidungnya. Sekian lama menunggu mereka memutuskan saling bercerita, dari Juwita dan Rahardian yang telah menikah, Totok yang usaha keluarganya semakin pesat saja perkembangannya. Willy pun tak kalah, ia sekarang sudah kerja di perusahaan TV swasta terkenal, begitu pula Dika yang sukses jadi guru teladan. Semua bahagia kala ini, semakin lengkap bahagiannya karna tiba-tiba Rahardian datang. Menggendong seorang bayi kecil, di sampingnya seorang perempuan manis sekali. 

“Hay Komandan…gabung sini!” Teriak Bhekti. Mereka kemudian duduk bersama. “Ini anakmu Ndan?” tanya Totok. “Iya, lucukan? Saat tugas di Aceh aku bertemu dia ini, istriku Asih, gadis kampung biasa yang terbiasa bangun jam tiga malam membantu ibunya memasak, mengurusi keperluan keluarga, adiknya empat orang. Karena itulah aku memutuskan menikahinya, di usiaku yang tergolong sangat muda saat itu, yeah..tunggu apalagi? Dimana lagi ku temukan gadis seperti Asih ini. Telaten sekali mengurusiku dan si kecil. Hehe…” Asih hanya tersenyum, menatap suaminya penuh cinta. 

“Asyik-asyik…segera nyusul dong Tok!” Goda Willy. “Iya iya…tenang saja. Kamu juga dong! Hahaa…” Jawab Totok santai.

Matahari semakin terdesak ke peraduannya, seolah berucap “Sampai Jumpa” pada penduduk bumi. Mereka ber-8 termasuk si kecil meninggalkan pohon mangga sendirian menghabiskan malam. Beberapa langkah berjalan Dika menghampiri Willy.

” Ayo Wil..,” ajaknya.

 “Kemana Dik? Udah gelap gini kok ah..” Sahut Willy agak kesal.

 “Ayo menemui orang tuamu.”

“Untuk?” Tanya Willy, jantungnya mulai berdegup kencang.

“Seperti kataku lima tahun silam, seperangkat alat sholat untukmu.” Dika tersenyum meyakinkan Willy bahwa dia serius.”Belum punya calon kan?” Lanjutnya.

“Dika..kamu masih ingat? Dika..dulu kamu serius? Aku selama ini menunggumu, karena keyakinanku padamu.” Selidik Willy sambil terisak.

“Maukah kau menikah denganku?” Dika bertanya dengan raut wajah serius.

“Why not?” Tanggap Willy tak kalah serius. Lalu dengan malu-malu digandengnya tangan calon suaminya, Dika, seorang penghafal al-Quran, yang kelak boleh memilih sepuluh orang yang dikehendakinya masuk surga bersamanya. “Alhamdulillah” Ucap Willy sepenuh hati. Keduanya lantas tertawa bahagia.




BIODATA

Nama : Nuryati

TTL : Pati, 24 November 1993

FB : Nuryati Enye

Alamat : Ds. Glonggong, RT 03, RW 02, Jakenan, Pati

Motto Hidup : Hidup untuk orang banyak.

ANTOLOGI BUKU : TIDAK ADA COVER
KELOMPOK 11 MAHASISWA UNNES - 
WORKSHOP MENULIS DAN MENERBITKAN BUKU - 2013 
BERSAMA AFSOH PUBLISHER  

GENDAM NUSANTARA 919

Back to Top