Yunia Tiara Riski
“Ketika Kamu merasa jalan
kepuncak terlalu berat
Istirahatlah!
Itu
hanya menandakan kakimu telah lelah melangkah
dan
setelah kesiapan sudah kembali
Berdirilah!
Lanjutkan
pendakianmu!”
Minggu
Gembira. Sesuai jargon daily ku hari itu benar-benar gembira. Jam dinding kos masih menunjukkan pukul 03.00 dini
hari. Alarm HP tak hentinya berdering bermaksud membangunkanku. Dan 3 panggilan
tak terjawab dari Eduweiss tertulis di history
called ponselku. Ternyata seperti biasa Eduweiss hendak membangunkanku,
memastikan apakah aku sudah bangun dan bersiap dengan agenda pergi
bersamanya hari ini. Tentu saja aku siap. Dua puluh menit sebelum alarm berbunyi dan sebelum Eduweiss menenelponku aku telah terjaga untuk menyiapkan bekal petualangan
bersama orang tercintaku.
Semangat sekali J .Ya, memang harus semangat karena hari itu hari kedua di usia ke-23
orang terkasihku, sebut saja Eduweiss. Iya aku
menyebutnya Eduweiss berasal dari Edu
berarti pendidikan. Mengapa pendidikan? Karena bagiku ia adalah sosok yang
menginspirasi, banyak pelajaran yang kudapat darinya. Pantas, jika kuanggap
sebagai tokoh pendidikan dalam kamus hidupku. Kemudian Weiss berasal dari Edelweiss berarti bunga abadi (dan semoga
menjadi bunga abadi dalam hati dan hidupku, Amiin)
Dua hari yang
lalu aku belum memberi
kado special untuknya, hanya ucapan selamat ulang tahun dan doa yang kuucap
untuknya melalui telepon. Jadi, inilah saat yang tepat untuk memberi kado
special Eduweiss. Masakan special nasi rica-rica resep dari Ibuku dan sweet project yang sudah aku persiapkan menjadi kado spesial yang ku berikan untukknya. Berharap Eduweiss suka. J
Pukul 3.35 a.m kendaraan bernomor
polisi H 5436 YE mengantar pemiliknya sampai di depan kostku.
“Selamat pagi Edelweiss. Sudah
siap berpetualang hari
ini?” Sapa Eduweiss kepadaku.
“Selamat pagi Eduweiss. Pasti
aku Siap. Mari kita
berpetualang. Mari membuat cerita mengesankan” jawabku tegas, tanpa
meninggalkan khas ceriaku.
* * *
“Masih ingat nggak, dulu kita foto disini”. kataku
sambil menunjukkan hamparan hijau kebun teh di
kaki gunung Ungaran. Tempat yang
tak banyak berubah seperti beberapa bulan yang lalu saat aku dan Eduweis pergi
ke tempat ini.
“Tentu ingat. Rujak cinta, senyum sayang, semangat
berpetualang selalu kuingat”. balasnya tersenyum
“Kalau dulu kita baru sampai Promasan, base camp
pertama gunung Ungaran, di barak milik Biyung dan Pak Min. Bagaimana kalau hari ini
kita tuntaskan sampai
puncak? Sanggup?” lanjutnya menantangku.
“Puncak?” jawabku sedikit kaget.
“Jadi... perjalanan 2 bulan yang
lalu
itu kita
belum sampai puncak?
so lame
” gerutuku dalam hati
Membutuhkan
waktu yang cukup lama bagiku untuk meng-acc
tantangan dari Eduweiss
“emmm, baiklah! Ayo” jawabku
* * *
Adrenalinku teruji, buah
konsekuensi perkataanku menyanggupi tantangan Eduweis mencapai puncak 2050 MDPL. Hari itu kali
pertama aku berjalan jauh dan dan mencapai ketinggian yang paling tinggi dari tempat-tempat
yang pernah aku kunjung kota Lunpia ini. Keringat dingin, nafas sesak,
tenggorokan kering kali ini bukan ciri panas dalam yang biasa kita rasa.
Melainkan konsekuensi yang wajib dirasa untuk para pemula pecinta alam
sepertiku saat itu.
“Aku sudah nggak kuat mas. Kaki ini sudah nggak
bersahabat. Maaf Aku mengecewakanmu”. Kataku pesimis mengeluh karena
tak kunjung sampai puncak
“Sabar
dek, aku yakin dikau bisa. Sebentar lagi kok, dibalik bukit itu puncaknya”.
* * *
“Mana puncaknya mas? Kita sudah melewati satu bukit
lho”. Tagihku kepada Eduweiss
“Iya dibalik bukit itu, bukit itu dan itu. Aku kan tadi belum selesai ngomong”. Jawabnya tersenyum
“ih kok gitu sih? Ahg... gak seru! ngomongnya gak tuntas”. rengekku
“Istirahat
dulu dek, ketika kamu merasa jalan kepuncak terlalu berat,
Istirahatlah! Itu hanya
menandakan kakimu telah lelah melangkah dan setelah kesiapan sudah kembali.
Berdirilah! Lanjutkan pendakianmu”
“Mau
minum apa? Air mineral atau ionic?
Tanyanya melayaniku.
“Ayo...
kita buat video saja. Ayo dek
ambil posisi” alibinya agar aku lupa dengan rasa capek
yang sedari tadi menjajahku.
“Perjalanan
hidup itu seperti mendaki gunung banyak rintangan, banyak tantangan. Namun
ketika sampai puncaknya, Subhanalloh Indah sekali” ungkap Eduweiss saat mulai
merekam, mengabadikan momen itu.
Selesai membuat video dua manusia ini, bak kapten dan
wakil kapten (aku dan Eduweiss) melanjut pendakian, disusul 70 sahabat tangguh
dari salah satu universitas di Semarang.
“lalalalala”
senandungku
“Sudah ceria lagi kan setelah istirahat? Nah gitu dek
harus semangat mencapai puncak. Lihatlah dibelakang kita ada 70 orang yang juga
ingin mencapai puncak, jika dikau tidak bersemangat, dan nantinya diselip 70 orang tersebut, dikau sampai
puncaknya kapan? Saat magrip, mau?” celotehnya.
“Mas berharap, kita segera sampai puncak tanpa harus didahului mereka.
Berhentilah mengeluh. Ayo percepat langkah kita” ujarnya penuh semangat
Seperti ada angin yang menyejukkan suasana siang itu, seperti ada oase di padang gurun. Cegluk terdengar suara ceglukan cukup keras saat aku menelan
ludahku, berusaha mencerna baik-naik kata-kata semangat optimisme yang masih
tergiang di daun telingaku. Kata-kata itu masih menggema seperti diteriakkan di
antara tebing yang curam.
“Harapan itu ibarat jalan setapak di dalam hutan. Di sana tak pernah ada
jalan. Tapi, jika kamu berusaha menelusurinya, pasti jalan itu akan terbuka. Percayalah itu karena rencana Tuhan selalu
berakhir dengan kebaikan, kita tinggal mematuhinya” ungkapnya tadi
“woi.., mbak, mas.. ayo buruan, sebentar lagi puncak.. bergegaslah sebelum
hari gelap! “ teriak salah seorang dari rombongan itu.
Seketika itu kakiku berjalan lebih cepat dari biasanya, leher ini lebih
sering melihat keatas, lapisan tekat berlipat lebih kuat dari baja, hatiku bekerja
lebih keras dari biasanya serta mulutku selalu berdoa semoga segera sampai
puncak. Bukan bermaksud menyamai atau menandingi film petualang 5cm yang
berhasil membuat bioskop kebanjiran penonton, tapi itulah adanya yang terjadi
saat itu.
* * *
“Subhanalloh indah sekali alam ini. Maka
nikmat Tuhanmu manakah yg engkau dustakan”. Ungkapku terkagum-kagum
“Tidak akan pernah habis kalimat-kalimat indah keluar dari mulut dan pena untuk mengagumi alam dan penciptaNya. Subhanalloh”. Ungkap Eduweiss
“Terima Kasih mas
telah membawaku ke
tempat Indah ini, membimbingku untuk lebih bersyukur terhadap semua karunia-Nya. Selamat ulang tahun. Semoga kebaikan selalu
menyertaimu. O..iya Aku membuat buku tentang kita, sederhana, semoga
engkau suka”. Kataku seraya memberi novel buatanku.
“Terima Kasih dek, apa
ini dek? Tanyanya seketika
“subbahanallah,
novel kisah perjalanan cinta kita? “ ungkapnya terkagum-kagum
“
berapa lama kau habiskan untuk menuli semua ini?” tanyanya lagi
“mas
tahu kamu punya harapan besar melalui novel ini... berharap aku bisa mengenang
semua kisah perjalanan cinta kita, sampai kelak kisah ini berlalu, terimakasih
sayangku” ungkapnya menatapku begitu dalam.
Terkadang,
kita bisa menjadi sosok yang selama ini tak pernah terpikirkan oleh diri kita
sendiri. Sesosok
orang yang tangguh,
yang belum pernah terpikirkan. Seperti halnya hari ini, tak pernah terpikir bisa
mencapai puncak 2050 mdpl, juga tak pernah terpikir bisa menulis sebuah novel
cintaku dan kini
membawanya
ke tempat menakjubkan ini.
Sangat romantis.
Subhanalloh J kekuatan
dan keajaiban harapan mengantarkanku sampai titik tertinggi kota ini. Benar. Ibarat sebuah kendaraan, harapan
adalah bahan bakar dalam kehidupan kita. Kendaraan akan mati dan tidak bisa
berjalan normal jika bahan bakarnya habis, begitupun kita jika kehilangan
sebuah harapan. Sekali kau kehilangan harapan, kau kehilangan seluruh
kekuatanmu untuk menyusuri dunia. All right, this is the magic of wishful.
Adalagi yang mengatakan semakin besar harapan seseorang, maka semakin kuatlah
keyakinannya dalam melangkah. Percayalah itu! J