-->

Maaf, Aku Mencintaimu dalam Bisuku

| 3:06 PM |

Ditulis Oleh Farizqo Irvan  - Mahasiswi Unnes 



Hatiku terus gelisah memandang layar laptop. Laman facebook yang sedari malam belum berganti, masih bertuliskan nama itu. Setelah beberapa bulan berusaha untuk move on dari keadaan yang cukup menyiksa hati, namun apa mau dikata pesan di inbox facebook kembali membawa sejuta rasa yang tak tergambar. Rasa yang semu antara hitam dan putih, rasa senang yang berpadu dengan sedu. Entahlah, penghujung bulan Ramadhan kali ini memang membawa cerita tersendiri untukku.

“Sep, ayo bangun! Sebentar lagi sudah mau imsak,” suara Mama membuyarkan lamunanku. “Iya, Ma,” jawabku dengan nada lirih setengah sadar. Sebenarnya aku belum tidur dari tadi. Mata ini sulit untuk terpejam setelah membaca sebuah pesan dari seseorang. Iya, seseorang yang dahulu pernah mengisi hati ini. Namun sudahlah, itu sudah berlalu. Dia terlalu sempurna untuk seseorang seperti diriku ini. Lagian dulu juga hanya sebatas cinta monyet, belum sampai pada suatu ikatan yang berupa sebuah komitmen. Hanya sebatas pacar-pacaran lah. Oke. Boleh dibilang diriku ababil saat itu. Dengan kepala yang lumayan berat karena enggak tidur semalaman, akhirnya aku memaksakan diri untuk keluar kamar. Mata yang sayu mendadak menjadi bulat kayak bola pingpong karena melihat jam dinding yang menunjukkan kalau waktu imsak tinggal tujuh menit lagi. Aku langsung heboh. “Mama, kenapa aku mboten dibangunin coba?” gerutuku sambil komat-kamit nggak jelas. “Hmmm, udah berkali-kali Mama mengetuk pintu kamarmu, Ta. Tapi, jawabnya hanya iya iya aja. Enggak salah Mama tha?” Mama membela diri. “Iya deh Ma …” jawabku lesu sambil mulai sahur dengan makan nasi goreng. Dengan pikiran yang masih melayang-layang, kakiku mulai beranjak ke kamar mandi untuk menggosok gigi seperti biasanya setelah makan. Seperti kebiasaanku, setelah gosok gigi aku segera masuk kamar untuk kembali berhibernasi dahulu sebelum sholat subuh. Pernah membaca sih, kalau tidur setelah azan subuh itu kurang baik, ya udah aku segera ambil start tidur aja. Hoaaam ... Laptop pun aku biarkan tetap menyala, maaf ya Baba (nama laptopku)

***

“Astaghfirullaahaladziim ...” seruku keras. “Aku bangun kesiangan. Mana belum sholat subuh juga,” batinku setelah bangun tidur. Dengan langkah seribu aku segera mengambil air wudhu dan kembali ke kamar. Pintu kamar lupa aku tutup dan aku segera melaksanakan sholat subuh via bus patas karena kesiangan. Setelah salam rasanya ada yang aneh sih, tapi aku nggak tahu itu apa. Aku masih berusaha mencari kejanggalan yang semakin lama semakin terasa. Tanpa aku sadari, teryata Mama memperhatikanku dari kejauhan. Aku perhatikan sesuatu yang ada di depan sajadahku. “Ya Allah … Aku lupa memakai mukena waktu sholat,” teriakku keras.  Aku semakin panik dan segera memakai mukena dan buru-buru mengulang sholat subuhku. Terdengar suara Mama yang terkikik melihat tingkah polahku. Entahlah, ada apa denganku hari ini. Sudah seminggu ini aku berada di rumah karena kebetulan libur akhir semester ini bareng dengan libur lebaran. Seperti biasanya setiap pagi diriku menyapu halaman rumah, cuci piring bekas sahur tadi malam, mencuci pakaian. Ya begitulah, maklum sebagai seorang calon istri yang solehah harus begitu, mau belajar menjadi ibu rumah tangga yang baik. Tapi mentari pagi hari ini sepertinya memang mengerti bagaimana isi hatiku ini. Sinar matahari terhalang oleh segerombolan awan putih yang dengan kompak berpaut menjadi satu menghalangi sinar matahari untuk menghangatkan seluruh makhluk bumi. Sambil duduk, kuarahkan pandangan ke luar melalui jendela yang tepat berada di depanku. Tiba-tiba titik-titik hujan turun membasahi kaca-kaca jendela. Mama berteriak sejadi-jadinya, “Septa ...! Septa …! Cuciannya yang kemarin belum diangkat dari jemuran!” Dengan langkah seribu, aku segera lari ke belakang rumah untuk mengangkat cucian kemarin. Belum juga aku jawab perintah Mama, Mama sudah berdengung kembali, “Ta itu Ta, jendela kamar Mama. Belum Mama tutup tadi. Oh iya, sama jendela dapur juga!” “Iya Ma, sebentar satu-satu,” pintaku sambil tergopoh-gopoh mengangkat cucian yang lumayan berat. Huftt ... Entahlah hari ini.

***

Hmmm ... diriku masih terbengong-bengong di depan laptop yang sudah menyala sedari kemarin. Laman facebook juga belum berniat aku ganti. Masih terpampang jelas nama itu, ya nama itu. Sebenarnya aku masih bingung dengan situasi seperti ini. Kalau dibilang masih ada rasa juga bukan, tapi kalau dibilang nggak ada rasa juga kurang tepat. Pernah kan merasakan situasi seperti itu? Gimana rasanya? Nggak enak kan? Sama! Situasi yang rasanya serba nggantung, dibilang iya salah dibilang enggak juga salah. Kalau bahasanya anak sekarang itu … GALAU!!!! Nah, lhoo ... Semuanya pasti bertanya, sebenarnya ada apa? Terus siapa yang nongol di facebook malam-malam? Baru ditembak cowok? Enggak juga, habis diputusin cowok? enggak usah sok tahu deh. Apa habis dapat hadiah jalan-jalan ke Paris gratis? Pliss … ini bukan kuis tebak-tebak berhadiah ya. Aku sebenarnya malu untuk berbagi kisah mengharu biru ini, makanya aku jarang sekali curhat dengan orang lain. Lebih baik disimpan sendiri di hati ini kalau udah stuck, ya seperti ini mungkin. Jalan satu-satunya adalah menulis kisahku ini di buku diary. Kalian tahu mengapa aku suka menulis di buku diary? Buku diary itu penyimpan rahasia yang paling jitu, kalau kuncinya enggak dipegang sama orang lain sih. Coba aja kalau kita bercerita sama orang lain, pasti ujung-ujunganya lari kemana-mana. Malah terkadang-kadang ditambah-tambahi juga sih, terus jatuhnya gosip deh. Apa enggak berabe kalau udah jadi gitu ceritanya? Makanya, seperti pepatah bilang pengalaman adalah guru yang terbaik. Karena teman-teman sudah keseringan gitu, jadi aku harus bisa mengambil pengalaman kan ya? Masak harus jatuh di lubang yang sama? Oke, stop! Ceritaya tentang kiat-kiat sharing cerita atau yang lebih terkenal dengan sebutan curcol. Kalau boleh ngomong ni ya, sebenarnya cerita ini sifatnya sangat pribadi, benar-benar pribadi. Hanya aku tulis dibuku diaryku, bukan untuk komersil. Tapi boleh dibilang teman-teman adalah pembaca paling beruntung karena bisa membaca ceritaku ini. Jangan pernah bosan ya untuk beristighfar ketika membaca, bukan karena istighfarnya tapi hikmahnya yang harus teman-teman petik untuk pembelajaran selanjutnya. Sabar ya, ini mulai aku ceritain kok kisah dari buku diaryku.

***

Ketika aku masuk masa awal perkuliahan, hatiku masih dalam keadaan labil. Belum lama putus dengan seseorang yang aku sayangi, Dandi namanya. Aku juga masih belum tahu mengapa Dandi memutuskanku. Padahal dulu aku sangat menyayanginya. Dia tiba-tiba meminta break setelah dekat dengan salah satu adik kelasnya yang kebetulan berada dalam satu organisasi dengannya. Bukannya berburuk sangka kok, beberapa hari sebelum kita break, Dandi memang pernah bercerita ke aku kalau dia suka sama adik kelasnya. Well, serasa malam yang sebelumnya syahdu kini berubah menjadi malam yang mengenaskan. Tapi seperti biasa, sebagai seorang perempuan yang mencoba untuk dewasa diriku menanggapinya dengan bercanda. Manusiawi kok masih, saat itu aku cemburu. Namun, aku berusaha meredam rasa cemburu itu dengan berpikir jernih. Karena kebetulan beberapa hari itu hubungan kami kurang baik. So, aku malas untuk memperpanjang masalah dan berpamitan padanya untuk beristirahat karena hari sudah larut malam. Beberapa hari kemudian hubungan kami membaik, mungkin karena aku berusaha untuk bersikap dewasa, Dandi jadi sungkan untuk menyudahi hubungan itu. Hari terus berganti hari dan memang benar, hubungan kami semakin hambar. Dandi semakin sibuk dengan kegiatannya, aku juga sibuk dengan kegiatanku. Komunikasi di antara kami juga semakin jarang. Sebagai seseorang yang pada saat itu dekat dengan Dandi, aku masih berusaha untuk bertanggung jawab untuk menjaga komunikasi dengan beliau. Entah itu hanya berupa basa-basi tanya kabar dan memberikan perhatian. Pada awalnya Dandi masih sedikit respect untuk membalas niat baikku. Dia masih sering juga mengirim sms untuk sekadar basa-basi. Beberapa hari kemudian beliau mulai jarang untuk sms dan menelfonku. Hatiku mulai labil, ingin berusaha untuk tetap bersikap dewasa dan menganggap semuanya sedang baik-baik saja. Tapi hati memang tidak akan pernah bisa untuk berbohong. Aku mulai takut kehilangannya. Benar-benar takut, mungkin karena Dandi adalah cinta pertamaku. Mungkin akan sedikit sulit untuk beradaptasi ketika harus benar-benar tidak berkomunikasi dengannya. Dandi benar-benar mulai menjauh dariku. Setiap malam terlihat dirinya sedang aktif bermain facebook, tapi dia tidak menyapa diriku sama sekali. Tidak tahu kenapa, entah karena merasa tertekan atau memang kondisi tubuh yang kurang fit, kesehatanku langsung drop seketika. Mama harus melarikanku ke rumah sakit saat itu juga karena suhu tubuhku sudah mencapai tigapuluh delapan celcius.

***

Selama tiga hari aku sakit di rumah sakit, Dandi tidak datang menjenguk. Aku yakin sebenarnya dia tahu kondisiku seperti apa saat ini, namun dia berusaha untuk menghindar. Aku tidak pernah marah pada Dandi dan tidak akan pernah membenci beliau. Aku berusaha untuk selalu menghargai dan menghormatinya sebagai seseorang yang aku sayangi. Sudah hampir sebulan kami tidak berkomunikasi sama sekali. Selama aku sakit dan dalam masa penyembuhan aku terus berusaha untuk belajar. Iya, belajar untuk melepaskan Dandi. Aku mulai memahami bahwa mengapa kita harus takut untuk kehilangan seseorang? Harusnya kita takut ketika kita kehilangan Allah. Ketika Allah hilang dari hidup kita, siapa yang akan memberikan pertolongan pada kita ketika kita berada dalam kesusahan. Sejenak pikiran itu terlintas di benakku. Aku mulai tersenyum dan tak terasa air mata mulai menetes dari sudut mata mungilku. “Benar juga apa yang dikatakan kata hatiku,” bisikku sambil mengelap pipi yang mulai basah. Setelah hatiku mulai tenang, aku segera mengambil telefon genggam yang ada di atas meja dekat tempat tidurku. Aku mulai mengetik karakter demi karakter. Aku mengirim pesan ke Dandi untuk menanyakan kabarnya. Aku hanya berniat untuk tetap menjaga tali silaturahmi dan pertemanan di antara kami meskipun komunikasi kami memburuk akhir-akhir ini. Ternyata setelah beberapa menit menunggu, Dandi membalas pesanku. Dia berbalik menanyakan kabarku. Belum sempat membalas pesannya, aku merasa mengantuk sekali karena baru selesai minum obat dan akhirnya aku tertidur.

***

Jam dinding di kamarku menunjukkan pukul empat sore. Aku terbangun. Dengan pandangan sedikit kabur karena masih setengah sadar aku melihat sekelilingku. Sesegera mungkin aku mencari telefon genggamku. Aku buka kembali kotak masukku. Tertera nama Dandi di urutan paling atas kotak masuk. “Alhamdulillah baik, kamu gimana?” seperti itu pesan dari Dandi. Senyumku sedikit terkembang. Dengan perlahan aku mengetik pesan untuk membalas pesan Dandi. Dari sinilah Dandi mulai berani berterus terang padaku. Dia tiba-tiba meminta maaf padaku. Dandi juga meminta izin untuk berbicara serius padaku. Akupun mengiyakannya. Setelah selesai sholat Isya’, dia datang ke rumah. Seperti kebiasaannya, Dandi langsung bilang tanpa basa-basi sama sekali. Ia langsung to the point padaku. Dandi bilang bahwa dia tidak bisa lagi menemaniku saat ini dan selanjutnya. Kata maaf berulang kali meluncur dari bibirnya. Akupun hanya bisa tersenyum melihat wajahnya yang sedikit memelas ke arahku. “Tidak apa-apa, Mas. Adik sudah berhenti untuk mengejar matahari kok,” jawabku dengan lembut saat itu sambil tersenyum ke arahnya. Dandi hanya terdiam mendengar jawabanku yang terdengar lembut namun tegas. Aku mulai bercerita padanya tentang diriku selama kami lost contact. “Adik sudah paham dan mengerti apa yang Mas inginkan sejak satu bulan yang lalu, saat Mas mulai menjauh dari Septa,”  aku mulai bercerita. Tiba-tiba telefon genggam Dandi berdering. Dia meminta izin padaku untuk mengangkat telefonnya. Dengan sabar aku menunggu dia menelefon. Terdengar suara-suara manja dari percakapan yang terdengar. Aku hanya bisa tersenyum pada saat itu. Karena merasa tidak enak, akhirnya Dandi menyudahi percakapannya. Dia kembali menemuiku. Aku sempat bertanya padanya dengan nada bercanda untuk menutupi rasa cemburuku, “Siapa Mas yang menelefon? Kok seru gitu. Mama Mas ya?”. Eh, nggak dijawab, dia malah nyengir kuda. “Sudahlah lupakan,” sahutku. Aku kembali memulai percakapan. Tapi, tiba-tiba Dandi memotongnya, “Sep, aku pulang dulu ya. Sudah ditunggu sama seseorang.” Dengan perasaan yang sedikit tidak enak aku memaksa untuk menjawab permintaan Dandi. “Oh. Oke. Hati-hati. Ditunggu adik kelas?” tanyaku spontan. Dandi seketika hanya terdiam dan enggan untuk menjawab. “Sudah malam Sep, sana masuk istirahat. Nanti kamu sakit lagi,” Dandi mencoba mengalihkan pembicaraan pada saat itu. Aku kemudian mengangguk ke arahnya. Dia pamit dan segera pergi entah kemana.

***

Malam itu terasa sangat menyakitkan untukku. Ketika aku mulai tegas untuk bersikap mandiri dan rela untuk kehilangan Dandi, namun hati yang sudah terbiasa dengan kehadirannya ini tiba-tiba saja berontak. Aku benar-benar sedih saat itu. Semuanya aku lampiaskan dengan menangis. Karena mulai hari itu aku harus benar-benar berhenti untuk menyayangi seseorang. Angin terasa semilir memasuki kamar karena jendela kamar tidak aku tutup. Terlihat cahaya bulan purnama yang begitu bersinar terang menerangi gelapnya sang malam. Seketika menyeruak semua kenangan ketika bersamanya. Tidak sengaja saat melihat halaman beranda facebook, Dandi dan Puja saling berbalas komentar dengan nada-nada manja. Dandi memang saat ini sedang dekat dengan adik kelasnya sendiri yang satu organisasi dengannya. Dia bernama Puja. Sakit sih rasanya saat itu, tapi apa yang mau aku perbuat. Enggak mungkin kan aku langsung pasang status alay atau buat status yang bisa memicu pertengkaran.

***

Waktu terus berjalan, tapi memang sulit untuk move on dari orang yang benar-benar kita sayangi. Dandi memang sudah berpacaran dengan Puja. Informasi itu aku dapatkan karena aku sering membuka profil Dandi di facebook dan cerita dari teman satu kelas Dandi yang kebetulan dulu dikenalkan padaku. Masih terbersit sedikit rasa sakit saat itu. Namun aku tidak mau terbakar oleh emosiku. Aku mencoba berpikir jernih dan terus melakukan kegiatan-kegiatan positif. Aku kembali konsentrasi untuk menghadapi Ujian Nasional. Setiap hari aku habiskan untuk membaca buku dan membantu Mama. Tanpa sengaja ketika membaca buku, aku menemukan jawaban-jawaban dari setiap permasalahanku. Terdapat sebuah kutipan menarik dari sebuah buku, “Jangan sekali-kali kamu bergantung pada makhluk karena kekecewaan yang akan engkau dapatkan karena makhluk bukanlah tempat untuk bergantung.” Seketika aku tersenyum-senyum sendiri membaca kutipan itu. Air mata ternyata sudah mulai menetes dan aku segera memeluk buku itu. Hari itu aku mulai untuk tidak lagi bergantung pada Dandi. Aku ingin kembali hidup normal. Menjadi seseorang yang lebih baik dan baik lagi. Berhenti menangis untuk seseorang yang tidak peduli denganku, aku pun berhasil melewatinya.

***

Aku begitu menikmati memori-memori indah itu ketika harus bercerita tentang kisahku. Saat ini aku sudah menjadi seorang mahasiswa Hubungan Internasional di salah satu perguruan negeri di Depok, Jawa Barat. Alhamdulillah selama dua semester ini indeks prestasiku selalu cumlaude. Aku berusaha menyibukkan diriku dengan kegiatan-kegiatan kampus baik itu yang bersifat akademik maupun non akademik. Masa-masa itu sudah satu tahun lewat dari hadapanku. Banyak teman, banyak kegiatan membuat diriku lupa akan kegelisahan hati selama satu tahun silam. Namun, saat ini Dandi kembali hadir dalam hidupku. Kemarin malam dia mengirim pesan via facebook karena kebetulan aku mengganti nomor ponselku dan sengaja aku tidak memberitahunya. Aku hanya ingin lepas dari bayang-bayangnya. Dia menyapa diriku. Namun aku bingung untuk membalasnya. Berkali-kali aku mengetik balasan untuk Dandi. Namun semuanya selalu kuhapus. Pesan darinya membuatku bernostalgia secara kilat. Aku bingung, apakah rasa ini kembali muncul atau hanya perasaan sesaat. Semua yang bisa menjawab itu semua adalah aku. Iya aku. Sudah dari dulu aku belum bisa menghapus rasa itu, aku hanya berhasil melewatinya tapi tidak untuk menghapusnya. Tapi aku tidak boleh jatuh ke dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya. Maaf Dandi, aku hanya bisa mencintaimu dalam bisuku. Mencintaimu dalam diamku karena itu memang yang terbaik untuk kita berdua saat ini. Percayalah, tulang rusukmu tidak akan pernah tertukar dengan milik siapapun.

TULISAN INI TERBIT DI BUKU ANTOLOGI MAAF 
TERBIT 2013 @ AFSOH PUBLISHER 

Tulisan Lainnya : 

Yuna dan Yulian 

Maafkan Aku Mas 

GENDAM NUSANTARA 919

Back to Top