Oleh
Nungki Fajriyatuzzakiyah (Mahasiswa PGSD UNNES )
Embun
pagi membangunkanku di pagi yang masih berselimut kabut. Akupun harus beranjak
dari tempat tidurku memulai aktivitasku seperti biasanya. Namun rasa malasku
menggelayuti dalam diriku seakan tubuhku mulai memberontak
terhadap rutinitasku yang amat membosankan. Duduk berjam-jam didepan komputer,
berbicara dengan klien, mendengar ceramah bos yang super cerewet itu, lembur
kerja, menerobos kemacetan lalu lintas kota dan pekerjaan-pekerjaan lain yang
membuat diriku merasa bosan.
Hidupku telah berubah semenjak aku
menginjakkan kaki di Ibukota Provinsi Jawa Tengah ini. Mimpiku telah terwujud
di kota ini. Namun tak ku sadari aku tak pernah mendapatkan ketenangan batin
seperti dulu ketika aku berada di Desa kecil yang terletak di Kab. Purwodadi.
Ambisi, persaingan, kesibukan telah menyita waktuku. Tak terasa sudah lima
tahun meninggalkan Desaku Tercinta. Desa tempatku terlahir, desa yang telah
memberiku ketenangan batin, desa yang membesarkan jiwaku dan desa yang sangat
kucintai. Telfon genggamlah yang menjadi sarana untuk berkomunikasi dengan
ayah, bunda dan keluargaku tercinta.
Pagi ini sesampainya aku dikantor aku sudah
disambut oleh omelan bosku.
“Ningsih, jam berapa ini ? kamu itu
ya tidak disiplin sama sekali. Ingat kan hari ini saya ada meeting dengan
klien. Bukannya kamu datang lebih awal untuk mempersiapkan berkas-berkas yang
diperlukan eh malah kamu terlambat. Sekali lagi kamu terlambat kamu akan saya
pecat !!!!” Omel bosku.
“ Maaf bu, saya bangun kesiangan.
Jalannya juga macet. Jadi saya agak terlambat. Lain kali saya akan berusaha
datang lebih awal. Saya janji bu....” tuturku
“Ya sudah, saya maafkan. Tapi, jika
kamu ulangi lagi tiada maaf bagimu!!! Sekarang kamu bereskan semua
berkas-berkas dan file yang akan saya bawa meeting dengan clien. Jam 9 harus
sudah selesai dan kamu temani saya bertemu dengan klien. Mengerti ?” bentak
bosku
“Ya bu akan segera saya kerjakan”
jawabku
“Bagus. Kerjakan yang teliti jangan
sampai ada kekeliruan !!! karena clien kita ini clien yang sangat-sangat
perfectionist.” Tutur bosku.
“Baik bu.” Tuturku.
Hah. Itulah yang membuatku malas ke
kantor. Setiap hari hanya mendengar celotehan bosku yang super cerewet. Sabar
ningsih kamu itu harus bersyukur. Ini adalah proses menuju suksesmu.Semua pasti
indah pada waktunya.” Malaikat baik berbicara padaku.
“Sudahlah ningsih cari kerja baru
aja. Pasti banyak kok perusahaan yang mau menerima kamu.kalau lama-lama
diperusuhaanmu itu ” Setan jahat mulai merasuk dalam fikirku.
Wah-wah aku jadi bingung apa yang
harus ku perbuat. Daripada bingung mending aku melanjutkan kerjaanku yang super
numpuk deh tinggal 1 jam nie fighting semangat haha.
Sinar matahari pun mulai merasuk
dalam pori-poriku mengubah kulit putihku menjadi kemerahan. Aku keluar dari
mobil bosku didepan gedung pencakar langit, gagah perkasa menampakkan kemewahan
serta kewibawaan sang pemilik. Pak sudiro itulah nama pemilik perusahaan ini.
Ia adalah salah satu pemilik saham terbesar di perusahaanku. Laki-laki setengah
baya, berperawakan tinggi, berkumis, rambut pendek hitam legam, dan kulitnya
yang putih semakin menambah aura pemimpin yang amat dihormati oleh karyawannya.
Ia sangat ramah sekali, hanya saja ia memang orang yang sangat disiplin dan
sangat perfectionist. Ia adalah sosok pemimpin yang arif, bijaksana dan bertanggungjawab.
Kedatanganku dan bosku disambut oleh senyum yang merekah pada bibir Pak
Diro (panggilan akrab bosku kepada beliau).
“Selamat datang Bu Marta. Selamat
datang dikantor kami bu.” Pak Diro menyapa bosku sambil berjabat tangan.
“Trimakasih pak, maafkan kami, kami
terlambat sepuluh menit. Jalanan sangat macet sekali pak, sehingga kami harus
berjalan seperti siput. Lain kali kami akan tepat waktu Pak.” Bosku merespon
sambil bergurau
“Ibu ini ada-ada saja masak jalannya
seperti siput yah kalau jalannya seperti siput pasti satu minggu lagi sampai
sini dong bu ? haha. Sudahlah tak apa-apa yang penting ibu sudah berkenan hadir
di perusahaan kami itu saya sudah senang sekali.” Pak Diro membalas gurauan
bosku.
“Pak Sudiro ini ada-ada saja saya
jadi tersanjung. Terimakasih pak...” Kata bosku
“Iya bu sama-sama. Mari-mari silahkan
duduk.” Pak Sudiro mempersilahkan kami duduk.
Rapat dimulai. Semua pandangan
tertuju pada slide yang ada di depan ruangan. Pak Sudiro menjelaskan secara
detail proyek yang akan kami kerjakan. Aku berkutat dengan si pinky pen (pen
pink kua) dan si green book (buku catatan hijauku), mencatat hasil rapat hari
ini yang akan ku laporkan kepada bosku.
Hari ini cukup menguras otakku hingga
rasanya aku tak sanggup menyetir mobil menuju istanaku menelusuri indahnya
malam berhias deretan lampu kota, sinarnya menambah keindahan malam yang penuh
muda-mudi yang asyik mengobrol dengan pasangannya. Sungguh malam yang begitu
indah. Alangkah senangnya bila aku bisa seperti mereka.
Sedan putih yang ku tumpangi berhenti
di depan rumah berpagar biru. Itu lah Rumah kontrakanku. Walaupun kecil dan
sederhana namun rumah inilah yang menjadi saksi bisu perjuanganku menggapai
cita-citaku hingga seperti ini. Rumah inilah istanakau tempat dimana aku
mencurahkan seluruh keluh kesahku,tempatku berteduh dari serangan terik
matahari, rintikan hujan, serta merebahkan tubuhku sejenak sepulang bekerja.
Kring... kring... suara telefon
genggamku membangunkan mimpi indahku. Dalam keadaan setengah sadar aku meraba
mencari ponselku yang terletak di meja disamping tempat tidurku. Aku mengangkat
telfon itu.
“Halo... Selamat malam ningsih ?”
bosku menyapaku dengan ramah.
“Iya, Ibu ini saya ningsih. Ada apa
bu, kok tengah malam begini ibu menelfon saya ? Apa ada pekerjaan saya yang
kurang baik?” tanyaku kepada bosku.
“Tidak ningsih, kamu bekerja cukup
bagus. Begini ningsih saya ditugaskan Pak Sudiro untuk meninjau proyek
pembangunan pabrik kecap di Purwodadi. Tapi, saya masih ada pekerjaan di sini.
Sehubungan dengan hal itu saya ingin memberimu tugas untuk pergi ke Purwodadi.
Apa kamu siap menggantikan saya ? nanti urusan pekerjaanmu kamu tidak usah
khawatir. Biar teman-temanmu yang menyelesaikannya. ” Bosku menjelaskan padaku.
“Saya bu ? Baiklah saya bersedia bu.
Lalu kapan saya harus berangkat kesana ? tanyaku.
“Besok kamu langsung berangkat ke
Purwodadi biar Pak No yang mengantar kamu. Oh ya mungkin kamu berada disana
sekitar satu bulan jadi bersiap-siaplah malam ini. Masalah penginapan kamu
tidak khawatir Pak Sudiro sudah mengurusnya. Untuk tugas selanjutnya nanti saya
hubungi kamu setelah kamu sampai di lokasi.” Jawab bos ku.
“ Siap bu, akan saya laksanakan
amanah dari ibu.” Kataku.
“ Baiklah kalau begitu saya tutup
telefonnya kamu istirahat ya, agar besok bisa bangun pagi dan berangkat ke
Purwodadi dengan kondisi yang fit. Selamat malam.” Kata bosku,
“ Siap bu, selamat malam.” Ucapku
sambil menutup telefon.
Aku benar-benar tak percaya ternyata
bos ku yang super cerewet itu bisa ramah juga ya. Aku juga heran, aku kan
karyawan baru kok ia percaya begitu saja denganku kalau aku berniat jahat bisa
jadi aku menghianati beliau. Kenapa amanah itu tidak beliau serahkan kepada
senior-seniorku malah ia serahkan ke aku anak kecil yang baru lahir. Tapi tak
apalah aku cukup senang akhirnya aku bisa mengunjungi kampungku walau hanya
sebentar. Ayah, ibu, anakmu tercinta akan pulang tunggu aku ya I’am coming.
Suara adzan subuh berkumandang begitu
syahdunya, menggetarkan hati dan jiwa umat manusia yang ada dibumi ini. Akupun
terbangun dari tidur panjangku. Aku bergegas membersihkan seluruh tubuhku,
hati, jiwa dan pikiran menghadap rabbku yang telah memberi segala kenikmatan
yang tiada kira. Air matapun menetes diatas sajadah merah memohon ampunan atas
segala dosa-dosa yang kuperbuat dan memohon agar kedua orang tuaku selalu dalam
lindungannya.
Kemesraanku dengan rabbku terhenti.
Aku mendengar suara mobil tapi bukan mobilku berhenti di depan rumahku. Mobil
siapa ya ?. Kakiku terhenti dibalik kaca yang berlapis tirai. Tanganku menyibakkan
tirai yang menutupi kaca rumahku, bola mataku mulai beraksi mengintip orang
yang berada didepan rumahku. Ia memakai baju hitam celana hitam, tubuhnya gemuk
agak pendek dan berkumis tebal. Kelihatannya aku mengenalnya. Siapakah dia ?. Tngan laki-laki itu mulai meraba pintu
rumahku mengetuk pintu dan mengucapkan salam pada sang pemilik rumah. Aku ragu
untuk membukakan pintuku. Tapi aku kumpulkan nyaliku memberanikan diri
membukakan pintu rumahku untuknya. Perlahan-lahan aku buka pintu itu dan betapa
terkejutnya aku. Ternyata Pak No lah laki-laki itu.
“Pak No...!!! Kenapa Pak No tidak menghubungi aku dulu.
Jadinya kan aku kaget pak aku kira siapa?. Untung jantungku gak copot.” Kataku
kepada Pak No
“Maaf ya mbak ningsihkalau Pak No
datang kesini mendadak. Pak No barusan ditelfon bos untuk menjemput Mbak
ningsih. Katanya Bu Bos mbak ningsih harus berangkat ke purwodadi sekarang agar
tidak terlambat bertemu Pak Sudiro.” Jawab Pak No kepadaku.
“Hah, Sekarang Pak ? Tapi aku belum
mandi lho pak ? Ya sudah Pak No kedalam dulu saya bikinin kopi, Saya siap-siap
dulu ya pak ?” Kataku sambil keheranan.
“Ya
mbak tenang saja saya tunggu kok.”kata Pak No.
Udara pagi ini cukup bersahabat.
Langit biru menemani perjalanan kami menuju kotaku tercinta. Grand livina yang
ku tumpangi melaju cukup kencang menyusuri jalan yang tampak begitu lengang.
Orang-orang belum memulai aktivitasnya sehingga jalanan masih sepi hanya satu,
dua mobil dan beberapa sepeda motor yang kami temui di sepanjang perjalanan.
Tak terasa satu jam sudah aku
menghabiskan waktu dengan Grandlivina ini. Sudah nampak gapura yang masih
berdiri kokoh walaupun fisiknya sudah tak segagah lima tahun yang lalu. Gapura itu menyambutku
dengan hangat mengucapkan selamat datang di kotaku tercinta. Nampaknya jalanan
menuju kampung halamanku sudah berubah, yang dulunya penuh dengan lubang
sekarang mulus tanpa noda sekalipun.
Pandangan mataku tertuju pada
hamparan padi yang mulai menguning, menunggu sang pemilik meminangnya. Tampak
jauh berbeda dengan suasana kota, tak ada kemacetan, tak ada asap jahat, tak
ada pengamen, pengemis jalanan yang ada adalah pemandangan yang begitu
menyejukkan batinku. Inilah kampung halaman, kampung halaman yang membesarkan
jiwaku. Dari kota inilah aku membangun puing-puing harapan merangkai asa menuju
masa depan yang cerah.
Aku sejenak memejamkan mata menikmati
kesejukan udara di kampung halamamku. Aku tertidur pulas dan tak kusangkan
perjalanan begitu cepat. Pak No tiba- tiba membangunkanku dari lelapnya
tidurku.
“Mbak Ningsih, bangun Mbak sudah
sampai di Pabrik Kecap.” Ujar Pak No.
“Hoah, udah sampai pak ? Aduh aku
ketiduran nie. Makasih ya pak udah membangunkan saya.” kataku.
“Ya Mbak sama-sama.” Jawab Pak No.
Aku merapikan baju dan jilbabku. Tak
lupa aku memoleskan bedak tipis pada wajahku agar tak kelihatan mengantuk. Pak
No membuka pintu mobil dan kakiku perlahan melangkah menginjak tanah di kota
kelahiranku meninggalkan si hitam Grandlivina. Pak Sudiro ternyata sudah lebih
dulu datang bersama beberapa laki-laki sedang asyik berdiskusi mengamati
pembangunan pabrik. Obrolan mereka terhenti ketika aku datang menghampiri
mereka.
“Selamat pagi Bapak Sudiro ?” Aku
menyapa Pak Sudiro.
“Selamat pagi...” Pak Sudiro menjawab
sapaanku.
“Lho kok kamu datang sendirian. Bu
Marta (nama Bosku) mana ?” Tanya Pak Sudiro kepadaku.
“Maaf Pak, Bu Marta berhalangan
hadir. Beliau harus menangani beberapa pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.
Sehingga saya yang menggantikan beliau untuk meninjau pembangunan pabrik Kecap
ini,” Jelasku.
“Oooo... begitu. Ya sudah selamat
datang di pabrik Kecap ini. Ningsih, ini ada Pak Sutejo, Pak Hardiyanto, dan
Pak Ranu. Beliau ini adalah partner kerja kita. Bapak-bapak perkenalkan ini
adalah sekretarisnya Bu Marta namanya Ningsih.” Kata Pak Sudiro.
Aku berjabat tangan dan memperkenalkan
diri kepada Pak Sutejo, Pak Hardiyanto, dan Pak Ranu. Diantara mereka bertiga
Pak Ranu adalah penanam saham terbesar di parik ini. Tapi kok wajah Pak Ranu
tidak asing lagi. Padahal baru pertama kali aku bertemu dengannya. Pandangan
matanya, perawakannya, cara dia berbicara mengingatkanku pada seseorang.
Seseorang itu adalah Presiden Mahasiswa di kampusku. Ia orang yang ku kagumi.
Cara dia memimpin kampusku membuatku terpesona. Senyumnya, wibawanya, wajahnya
yang putih, kesantunannya, ketaatannya pada agamanya, dan kesabarannya
membuatku samakin mengaguminya. Aku tak tau ini perasaan cinta atau sekedar
rasa kagumku pada sang Presma. Aku selalu ingin mengetahui banyak hal tentang
dia. Ketika aku iseng-iseng membuka salah satu akunnya di dunia maya aku menemukan
beberapa catatannya yang membuatku semakin mengaguminya. Bahkan saking kagumnya
dalam hatiku berharap ia adalah imam yang kelak membimbingku. Tapi perasaan itu
cukup aku pendam saja. Tak pernah sekalipun aku bertemu dengannya walau sekedar
menyapanya.
Dia adalah mahasiswa yang sangat
sibuk bergelut dalam organisasinya. Pada suatu ketika ada seminar yang diadakan
oleh BEM KM dikampusku. Tentu saja dia hadir dalam seminar tersebut. Ketika itu
aku duduk pada deretan dua terdepan tiba-tiba dia duduk tepat di depanku. Aku
pandangi dia dengan seksama, hatiku semakin tergetar melihat kewibawaanya.
Apakah yang kurasakan ini adalah cinta ? Hatiku bertanya-tanya apakah cinta
seorang mahasiswi biasa bisa tersampaikan kepada sang Presma ? Apa rasa ini
hanya kekagumanku belaka ? Tak penting bagiku apakah itu rasa itu cinta atau
hanya rasa kagum. Aku tak peduli apakah rasa yang ada dalam hatiku ini dapat
tersampaikan atau tidak. Aku hanya ingin mencintai sang Presma dalam
kediamanku. Biarlah Allah yang mempertemukanku dengannya apabila aku berjodoh
dengannya.
“Ningsih, kenapa melamun ?”Suara Pak
Sudiro membangunkan lamunanku.
“Maaf pak, ada sesuatu yang saya
fikirkan. Tapi bukan apa-apa kok pak.” Kataku
“Ya sudah, kamu sekarang temani Pak
Ranu berkeliling pabrik kecap ini. Saya, Pak Sutejo dan Pak Hardiyanto akan
keluar sebentar.” Perintah Pak Sudiro.
“Baik Pak.” Jawabku.
“Pak Ranu, Saya ada urusan sebentar
dengan Pak Sutejo, Pak Hardiyanto. Nanti biar Ningsih yang menemani Pak Ranu
berkeliling Pabrik kecap.”kata Pak Sudiro.
“Oh ya kalau begitu, silahkah pak.”
Kata Pak Ranu.
“Ya sudah kalau begitu. Saya permisi
dulu ya pak.” Kata Pak sudiro.
Aku dan Pak Ranu mengobrol sambil
berjalan-jalan mengamati pembangunan pabrik. Pembangunan pabrik ini hampir setengah
jadi. Terlihat beberapa buruh bangunan yang hilir mudik mengangkut beberapa
balok kayu di pundaknya. Wajah mereka
penuh dengan keringat, namun semangatnya untuk mengais rejeki mengalahkan
beratnya kayu balok yang tersandar di bahunya.
“Ningsih, kamu pernah datang ke kota
in ?”tanya Pak Ranu.
“Sering pak, kota ini kan kota
kelahiran saya Pak ?” jawabku.
“Tapi kenapa kamu tidak bekerja
disini saja, berwirausaha misalnya ? Daerah ini cukup berpotensi. Sayangnya
kekayaan alamnya belum dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat.” Kata Pak
Ranu.
“Memang Pak, masyarakat disini lebih
suka bekerja menjadi buruh, karyawan swasta, ataupun Pegawai Negeri Sipil. Jiwa
wirausaha mereka masih sangat rendah termasuk saya.”Jelasku
“Mengapa kamu takut ? coba saja, jangan
takut gagal. Orang yang sukses pasti sering jatuh bangun. Kuncinya adalah
jangan putus asa, berusaha, berdoa, dan pasrahkan kepada sang ilahi. Apalagi
kamu orang yang punya potensi, pasti bisa.”
“Trimakasih Pak, atas nasehat dan
motivasi yang bapak berikan.”Ujarku
“Sama-sam Ningsih, kamu ternyata
orangnya menyenangkan kalau buat teman ngobrol.” Pak Ranu menatap mataku tajam.
“Ah bisa saja Pak Ranu ini. Saya jadi
malu.”Kataku tersipu malu.
Obrolanku dan Pak Ranu terhenti
ketika Pak Sudiro, Pak Sutejo dan Pak Hardiyanto tiba. Kami berlima menuju
kantor pemasaran Kecap Porwodadi untuk meninjau penjualan Kecap Purwodadi serta
membicarakan beberapa hal penting lainnya.
Matahari sudah berada diatas kepala,
kami menyudahi pembicaraan kami, bertukar nomor telefon dan melanjutkan
pekerjaan lain yang harus kami kerjakan.
Kata Pak Sudiro aku akan tinggal di
Purwodadi selama 1 sebulan. Aku bertugas sebagai sekretaris sementara Pak Ranu
selama di Purwodadi. Betapa senang hatiku sosok laki-laki idaman yang dulu ku
kagumi kini menjadi partnerku. Aku tak peduli apakah dia si Presma itu ataukah
bukan.
Akhirnya aku bisa menikmati libur
dikotaku tercinta. Aku bergegas masuk ka dalam mobil, rasanya tak sabar ingin
bertemu dengan orang tuaku tercinta. 1,5 jam yang harus kutempuh dari pabrik
kecap menuju rumahku. Grand livina yang ku tumpangi melaju sangat kencang. Tak
terasa grandlivina terparkir cantik di depan rumahku. Ibuku terkejut melihat
kedatanganku. Aku disambut tangisan haru Ibuku tercinta. Ibuku bangga melihat
putri kecilnya tumbuh menjadi wanita dewasa yang cantik. Aku memeluk erat Ibuku
melepas kerinduan selama lima tahun ini.
Aku memutuskan untuk tinggal
dirumahku. Aku ingin mengobati kerinduanku pada kampungku selama aku bertugas
di Kota ini.
Pertemuanku dengan Pak Ranu sangat
intens sekali selama satu bulan ini. Hal itu membuat kami seperti kawan, merasa
cocok satu sama lain bahkan kami bisa dibilang menjalin hubungan tanpa status.
Tak terasa sebulan sudah aku berada
di kotaku ini. Aku harus segera kembali ke Semarang. Tiba-tiba ada telfon dari
Pak Ranu. Ia ingin bertemu denganku. Entah apa yang ia ingin katakan. Kami
bertemu di restoran dekat Rumahku. Aku terkejut mendengar perkataannya. Ia
menyatakan ia mencintaiku, ia ingin melamarku untuk dijadikan pendampingnya.
Aku meminta waktu kepadanya. Aku akan memberi kabar padanya sebulan setelah
kepulanganku dari kotaku. Pak Ranu menyetujui permintaanku.
Aku kembali menjalani rutinitasku
seperti biasanya. Lamaran itu selalu menghantuiku. Aku sering melamun. Hatiku
gundah gulana. Memang aku sangat kagum padanya tapi aku takut cintaku padanya
hanya nafsu belaka. Aku memutuskan untuk memohon petunjuk pada sang khaliq.
Ditengah malam ditemani oleh senyuman bulan dan kerlipan bulan aku menangis
kepada sang rabbku. Aku memohon petunjuknya untuk lamaran itu. Aku memohon yang
terbaik bagiku. Apabila ia berjodoh denganku maka dekatkanlah apabila ia buka
jodohku maka berikanlah aku jodoh yang lebih baik darinya. Aku pasrahkan
semuanya pada rabb ku.
Hari itu datang, jariku gemetar mencari
kontak Pak Ranu dan Menekan tombol hijau pada HP ku. Dengan suara gemetar aku
menyatakan padanya aku bersedia menjadi pendamping hidupnya. Pak Ranu sangat
gembira. Ia melamarku sehari setelah aku menyatakan kata”ya”.
Tiga bulan setelah ia melamarku, kami
mengikat ikatan cinta suci dalam ijab dan Qobul. Hari itu hari yang sangat
membahagiakan bagi kami dan keluarga kami. Aku memutuskan untuk meninggalkan
pekerjaanku, merintis usaha Kecap Purwodadi dengan suamiku tercinta di kotaku
ini. Ayah dan ibuku juga tinggal bersama kami.
Kehidupan kami berlangsung bahagia.
Aku menyadari karir bukan segalanya keluargalah yang utama. Suamiku ternyata
adalah si Presma yang ku kagumi semasa jadi Mahasiswa. Aku merasa malu padanya,
bukan dia yang duluan memendam rasa padaku eh malahan aku duluan. Ia menanyakan
mengapa aku tak mengutarakan perasaanku padanya. Aku hanya menjawab dengan
simpel aku ingin mencintaimu dalam kediamanku. biarkan Allah yang mempertemukan
kita dalam ikatan suci pernikahan. Kini Allah telah mempertemukan kita berdua
ayah. Ia mencium keningku dengan penuh rasa cinta. Suamiku berkata padaku kamu
adalah bidadariku, aku beruntung memiliki istri sholekah seperti kamu sayang.
Naskah ini terbit Antologi buku Cerpen : Kumpulan Kisah Negeriku
Terbit di Afsoh Publisher 2013 -
Peserta Workshop Menulis dan Menerbitan Buku
Daftar isi BUku :