Ditulis Oleh Rima Rochimah (Mahasiswa Unnes) -
Apa yang terjadi bukanlah yang terburuk, hanya saja memang kadang menyesakkan. Malam ini langit berbisik dengan gemuruh yang menakutkan, seperti dulu ketika aku masuk kolong meja dan Emak mencariku. Malam minggu yang padam, karena roman-roman hujan akan segera datang dan mendung tak dapat berbohong pada mataku. Dari atas sini terlihat kerlipan lampu jalan, di pinggir pantai yang sunyi. Satu pesawat tampak gagah maju menembus redupnya malam. Dan terdengar riuh bocah seusiaku dulu saat kelas 3 SD damai bermain di bawah sana dan sampai di telingaku. Yah ... refleksi sejenak di belakang rumah tetanggaku, duduk terdiam di bangku yang kurasa telah lapuk ini. Lurus ke timur laut ... pelabuhan kotaku yang tak pernah sepi. Tempat aku mengantar Abang yang akan merantau ke pulau seberang. Jika mengingat laju angin ini aku pasti menangis. Kenapa saat itu aku tidak mencegahnya. Mungkin saat ini Abang bisa bersama kami. Tapi aku harus manghargai keputusannya, ia ingin mandiri dan menyenangkan Emak, walaupun tak pulang. Tak ada yang berebut bantal denganku saat nonton TV, mendengarkan cerita-cerita lucuku, berebut kamar mandi saat subuh. Dan mengingatkanku pula pada Zunita, temanku SD dulu. Ia selalu sangat senang dengan pantai, bahkan tiap liburan sekolah ia selalu mengajak ayahnya ke pantai, bisa membayangkan begitu lamanya dari SD hingga sekarang menjadi pengajar di SD kita belum berjumpa lagi. Sebenarnya aku agak marah dan kecewa dengan dia. Alamat, atau apapun tak ia berikan untuk menghubungi dia, atau sekadar untuk mengirimkan surat. Sekarang sepi menjadi tema malamku, saat handphone pun tak berdering ... Sudahlah ... saatnya aku kembali dan berpijar hebat esok. Waktunya pulang ... Sampai di rumah dan meminta tolong Emak untuk membangunkan aku sahur jam tiga. Emak biasa bangun lebih pagi untuk mengolah adonan roti dan kue.
Raut wajah itu kembali tampak sendu tatkala membukakan pintu rumah untukku, lalu Emak kembali melihat kalender hadiah teh celup di dinding ruang tamu. Aku yakin Emak rindu Abang yang sudah 9 bulan ini tak kunjung datang. Begitupun kerinduanku padanya. Kututup buku bacaanku dan mencoba menelefon Abang.
“Tut.....tut.....” dan aku mulai cemas dengan bunyi, yang ke lima.
“Halo Assalamu’alaikum ...”
“Wa'alaikumsalam, Abang..... apa kabar?” aku mulai sedikit lega.
“Baik Na, kamu gimana? Sehat juga kan, Na?”
“Iya Bang, Emak Bapak juga alhamdulillah baik. Bang kapan pulang? Bulan depan bisa pulang kan Bang?”
“Belum tahu, Na, Abang kan baru aja pindah PT, doakan saja Na Abang bisa pulang.”
“Pasti Mirna doakan lah Bang, biar Abangku cepat dapat uang banyak terus pulang bawa oleh-olehnya. Bang … Emak tiap hari liatin kalender terus ... kayaknya nggak sabar nunggu Abang pulang.”
“Iyalah, anak yang paling ganteng pergi, kan jadi sepi Na ... Mana Emak? Abang mau bicara.”
Lalu kuberikan telefon kepada emak. Kubiarkan mereka berbincang-bincang mumpung lagi banyak pulsa. Kusiapkan RPP dan materi ajar untuk besok. Rasanya bagai menari di atas kertas. Laporan praktikum IPA anak-anak sudah selesai terkoreksi. Kurebahkan badanku yang kian lelah di ranjang sambil memandangi beraneka macam origami yang kutempel pada langit-langit kamarku dan aku mulai terpejam hingga suara Emak membangunkanku. Hari mendung, tapi niat puasa tetap berlanjut. Persiapan sudah selesai pukul 06.05 saat Aushof sudah menjemputku.
“Assalamu’alaikum”, “Tok ... tok ... tok,” suara nyaring itu sudah terdengar. Aku pun menjemputnya, juga menyambutnya dan membukakan pintu.
”Wa’alaikumsalam, Pak Presiden.”
“Sudah siap, Bu Guru?”
“Iya, sebentar ya ambil tas dulu, ini diminum dulu tehnya.”
Aku kembali ke kamar dan mengambil tas juga berkas-berkasku yang lain, tak lupa 1 pak kertas lipat berwarna. Hari ini Sang Presiden begitu tampan dan membubuhi pagiku dengan butiran senyum manisnya. Emak menitipkan kue donat yang dibuatnya pagi tadi, biasa buat camilan Aushof. Ya ... begitulah Emak, dengan pria pilihannya untukku. Semoga pernikahan kita lancar bulan depan. Kami pun berangkat, 15 menit sampai sekolahan perkiraanku, tapi harus tambah 10 menit karena antre premium untuk makan motornya, ya tak apalah. Aku tak menyangka bisa seluluh ini bersama Aushof. Kalau ingat dulu aku selalu tak mau keluar kamar untuk menemuinya. Aku jadi malu, aku berpikiran sendiri kalau dijodohkan pasti mengerikan, dengan orang yang salah atau apalah. Aku pun heran kenapa dulu Wisnu malah meninggalkanku saat aku bilang aku akan dijodohkan jika dia tidak segera menghadap ibu bapakku. Dan sekarang aku melupakannya, entahlah ia sudah seperti kapas yang tercelup air, mengurai. “Mas ... maafkan aku ya dulu!” kataku sambil menahan malu, dan ia pun menerima permintaan maafku. Ia sudah banyak melakukan hal yang menakjubkan. Hal-hal kecil yang tampak biasa tapi romantis bagiku.
Sesampainya di sekolah aku pun melangkah masuk kelas. Aushof melanjutkan perjalanan menuju toko baju miliknya, si presiden dari Republikwear, toko bajunya. Hari ini aku mengajar kelas 3, mata pelajaran Seni Rupa. Untuk materi hari ini cukup menyenangkan, membuat bingkai foto dari bahan-bahan yang sudah tidak terpakai. Tapi sesuatu yang kurang sempurna dalam kelasku di pertama ini, ada satu anak yang terdiam di belakang. Aku melihatnya, namun membiarkannya saja. Aku yakin ada kegundahan dalam hatinya,takut atau apalah. Hal yang mungkin aku rasakan ketika sekolah dulu. Setelah beberapa anak mulai membuat, aku berkeliling santai memeriksa pekerjaaan yang lain. Berjalan perlahan dan sampai pada mejanya. Aku berharap ada jawaban darinya, “Alfa, kenapa sayang?” suaraku lirih, ia terdiam padahal aku yakin aku bukanlah guru galak, atau suka marah. Sehingga tak ada alasan ia takut berbicara denganku. Tiba-tiba ia meneteskan air mata. Aku memeluknya dan mengecek keningnya, memastikan dia tidak sakit. Dan ternyata badannya agak hangat. “Al, ke UKS saja ya, kelihatannya kamu tidak enak badan.” Ia pun mengangguk, lalu gandeng tangan kecilnya itu, dan mengatakan pada anak-anak untuk melanjutkan pekerjaan mereka. Kududukkan dia, tapi tiba-tiba ia membuka mulut dan berkata,”Bu.....” ia memegang tanganku.
“Maafkan Alfa ya! Alfa tidak membawa bahan yang Ibu suruh, kemarin Mama marah sama Alfa, karena Alfa terlalu lama main sampai sore. Alfa lupa bilang ke Mama membawa bahannya. Jadi Alfa tidak bisa buat sekarang bu,” aku hanya tersenyum.
Aku berpikir mungkin ia gugup karena melakukan kesalahan, dan berpikir kalau aku akan marah. Bisa jadi seperti itu dan iya jadi agak pusing.
”Sudah tidak apa-apa, tapi Alfa jadi punya PR deh untuk membuat tugas dari Ibu. Dikumpulkan di meja Ibu ya kalau sudah jadi, bisa besok atau lusa, biar Alfa juga punya nilai sama seperti teman-teman.”
“Iya bu ...”
“Tapi Alfa sudah minta maaf belum sama Mama Alfa?”
“Be … lum, Bu.”
“Wah berarti, nanti kalau ketemu Mama langsung minta maaf ya! Sekarang Alfa istirahat dulu ya! Ibu kembali ke kelas dulu ...”
Setelah kuberi obat penurun demam, kusuruh Alfa tidur. Usai keluar dari UKS, suasana tampak membawa aku ke waktu SD seusia Alfa, tak terbayangkan untuk menjadi seorang guru, bagaimana tidak, dulu aku adalah anak yang paling badung, dari mulai sering memanjati pohon, mengejar layangan putus dan memanjat pagar rumah, lari dari Emak yang menyuruhku tidur siang. Kulanjutkan kembali dan mengajar anak-anak yang lain, hingga jam mengajarku selesai. Kupastikan Alfa sudah lebih baik. Dan ternyata benar, badannya sudah normal dan ia ikuti mata pelajaran selanjutnya.
Jam satu siang jam terakhir, Aushof mengirim SMS. Ia meminta maaf tidak dapat menjemputku hari ini. Wajarlah ia ada agenda mengisi materi kewirausahaan di sebuah SMK. Dan akhirnya aku bersama guru lainnya yang pulang dengan naik angkutan umum menunggu di depan halte dekat sekolah. Dan obrolan masalah keluarga pun bermunculan, dari Bu Dwi yang baru saja cuti melahirkan, Bu Hera yang anak pertamanya akan menikah, bersyukur aku dikelilingi oleh guru-guru yang baik dan ramah.
Setiap bulannya ada pertemuan wali murid dengan acara pengajian, doa bersama dan diskusi interaktif. Benar-benar merasa beruntung aku bisa mengajar dengan suasana kekeluargaan seperti ini. Setelah panjang lebar berbincang-bincang dengan para ibu guru, bus yang dinantikan akhirnya datang. Kebetulan aku naik duluan bersama Ibu Hera, beliau duduk bersamaku dan sedikit menyinggung tentang pernikahan.
“Bu Mirna, sudah berapa persen persiapannya?”
“Alhamdulillah sudah sekitar 60 persen, Ibu sendiri pasti sudah hampir seleai ya, Bu! Putri Ibu kan akhir bulan ini menikahnya ...”
“Iya, Bu, sudah tinggal nunggu suvenirnya, dan belanja buat masak-masaknya.”
“Insya Allah saya datang bantu-bantu, Bu ...”
“Wah terima kasih ya, Bu, saya tunggu pokoknya ...”
Ibu Hera tersenyum dengan senyuman khasnya, tampak cantik seperti melihat ibuku sendiri. Laju bus tak terasa sampai mengantarkanku di tempat tujuan berhenti, kuberpamitan pada Ibu Hera dan turun dari bus, lalu masuk di gang menuju rumah dengan perlahan. Ilalang di pinggiran pagar itu melambai, mengantarkan ramahnya hari ini padaku, hingga tampak awan seakan mengiringi langkah kakiku, bak payung yang menutupi dari sinar mentari.
***
Keesokan harinya, seperti biasa Aushof mengantarkanku masuk sekolah, yee kayak anak SD ya diantar sampai pintu gerbang. Namun saat aku berkata, “Assalamu’alaikum, Mas!”. Ia mengikatku dengan kata, “Tunggu, Na!”.
“Iya.”
“Nanti pulang jam 11 kan, kuajak pergi pilih kain ya ...”
“Untuk seragam ya! Oh ... siap, Pak Presiden.”
Aku serasa diberi bekal, berupa semangat mengajar dengan senyuman teduh itu, dan perasaan yang tak pernah aku dapatkan sebelumnya, walau Emak yang telah memilihkan Aushof sebagai pendampingku. Sudahlah ... kembali kukaitkan hari ini untuk menatap murid-muridku lagi, para malaikat-malaikat kecilku, yang kudoakan menjadi pengubah dunia dan kebanggaan bangsa. Kembali masuk kantor dan berjalan ke arah mejaku, tergeletak sebuah bingkai foto cantik dengan pita warna biru muda, dan ada sebuah pesan di secarik kertas warna merah jambu dengan motif bunga-bunga di pinggirnya.
Assalamu’alaikum,
Ibu Mirna yang baik, terima kasih untuk kebaikannya, maaf terlambat mengumpulkan tugasnya! Alfa sayang Ibu.
Wassalamu’alaikum
Alfalia Indah
Sampai tak bisa berkata-kata aku membaca tulisan itu, sepertinya tidak asing. Aku pernah melihat tulisan seperti ini dulu, tepatnya saat aku sebangku dengan Zunita saat kelas 3 SD. Kami sering bermain surat-menyurat, hingga ia pindah sekolah saat ayahnya pindah tugas ke Surabaya. Namun setelah itu aku tak tahu kabarnya hingga sekarang. Aku mencoba mencari berkas tentang Alfa meminjam berkas kepada Bapak Sofyan, staf tata usaha, mencari nama ibunya tapi bukan Zunita yang kudapatkan melainkan nama Ratih Handayani. Rasanya agak kecewa namun aku sadar, tulisan seperti itu mungkin banyak dimiliki anak SD. “Sudahlah,” batinku. Kukembalikan fokusku pada anak kelas 2 yang akan kuajar jam 8 nanti. Kukembalikan berkas Alfa dan kembali ke kantor.
Pekerjaan muridku kelas 3 akhirnya selesai kunilai, setelah Alfa mengumpulkan tugasnya. Dan saatnya mengoreksi hasil pekerjaan rumah kelas 2, hingga sampai jam 8 waktunya masuk. Sapaan anak-anak terasa sangat manis kudengarkan, “Selamat pagi, Bu ...”. Mereka sangat patuh, walaupun masih kelas 2. Beruntungnya aku menjadi wali kelas 2 dan ada satu anak yang menarik perhatianku, namanya Burhan. Aku sering menceritakan beberapa hal menarik pada Aushof, Burhan adalah ketua kelas. Ia sudah hafal juz 30, juz 1 dan juz 2. Aku kenal betul orang tuanya, ayahnya adalah pemilik rumah makan vegetarian dan ibunya adalah ibu rumah tangga yang memiliki usaha suvenir di rumahnya. Bu Hera baru memesan suvenir di sana. Dan rencananya aku juga akan memesan di sana. Burhan anak yang saleh dan manis, bahkan Aushof pun pernah berkata ingin memiliki anak seperti Burhan. Oh, manis sekali.
Tugas mengajarku selesai dan kupersilakan murid-murid istirahat. Namun, Burhan masih duduk rapi di bangkunya.
“Burhan tidak istirahat? ”
“Burhan sedang shaum, Bu.”
“Puasa apa, Nak, hari Sabtu begini?”
Senyum kecil menarik sudut bibirnya yang kecil, aku berjalan ke bangku di depannya dan duduk. Ia menceritakan kembali cerita dari abinya, bahwa Rasulullah berpuasa setiap hari Senin karena hari kelahirannya. Subhanallah sekali dia, dengan gaya polosnya ia bercerita hingga ingin rasanya ku menitikkan air mata. Setelah ia selesai bercerita, aku teringat sesuatu, aku masih menyimpan sebungkus biskuit sari gandum, dan aku minta Burhan untuk menungguku ke kantor sebentar. Aku keluar dari ruang kelas dua, berjalan melewati lorong-lorong kelas, bersama riuh anak-anak yang istirahat menikmati aneka ragam camilan yang sehat yang dijual di kantin sekolah. Sekolah ini istimewa bagiku, bukan hanya teori-teori makanan sehat lima sempurna yang diajarkan, tapi ibu kantin benar-benar menyediakan jajanan yang sehat. Dari kue-kue dengan pewarna alami hingga jus buah dengan gula asli. Langkahku mulai melambat saat aku sampai di teras kelas 3. Seorang murid yang duduk di bangku paling depan di sebelah pintu keluar kelas. Ia meletakkan kepala di atas lipatan kedua tangannya di atas meja. Dari pita rambutnya tak asing lagi, dia Alfa. Langkahku berhenti tapi, aku sudah janji kepada Burhan lekas kembali lagi. Mungkin aku akan kembali setelah menemui Burhan nanti.
Akhirnya aku menemui Burhan dan memberi biskuit itu untuk berbukanya nanti, namun saat aku kembali ke kelas 3 dengan membawa setumpuk buku pegangan guru, bel masuk sudah berbunyi. Hmmm, mungkin belum saatnya aku tahu, aku kembali ke kantor dan mempersiapkan untuk mengajar kelas 4, lalu menepati janji untuk pergi bersama Aushof. Sekitar pukul 10.35, sekolah sudah belesai dan semua beranjak pulang. Aku bisa melihat rasa gembira mereka karena esok hari adalah hari libur, hari dimana seharian mereka tidak sibuk dengan sekolah, aku pun begitu. Aku menunggu Sang Presiden. Guru-guru yang lain pamit duluan, saat melewati mejaku yang persis di samping pintu masuk kantor. Dari mejaku terlihat halaman yang beranjak sepi, tapi terlihat seorang siswiku berpita merah jambu yang masih bersandar pada pintu gerbang sendirian. Aku mulai tertarik untuk menemaninya. Dan dugaanku benar itu Alfa.
“Alfa, belum dijemput ya?”
Ia menoleh ke arah suaraku di belakangnya.
“Alfa, jalan kok bu … Mau nantian aja pulangnya.”
“Alfa kenapa?”
“Nggak apa-apa kok, Bu!”
“Tapi kok kayaknya murung gitu, boleh Ibu temani Alfa di sini?”
Anak manis itu pun mengangguk. Aku mengambil kertas lipat yang ada dalam tasku, dan tertangkap olehku wajah Alfa yang tampak bingung.
“Ibu punya kertas lipat, Al, kamu tahu Ibu selalu membawanya ke sekolah atau ke tempat-tempat yang lain.”
“Kenapa, Bu?”
“Ibu ceritakan ya ... Dulu Ibu punya teman baik waktu seusia kamu, namanya Zunita, dan kami selalu tulis-menulis surat dengan kertas lipat karena kertas lipat banyak warnanya. Dan setelah menulis surat yang isinya pesan lalu kertas lipat itu kita buat origami. Ada yang bentuknya pesawat, burung, baju, katak, dan lain-lain. Bahkan Ibu pernah marahan gara-gara Ibu menghilangkan satu bungkus kertas lipat yang baru ia beli, dan akhirnya Ibu meminta maaf dengan cara menuliskan permintaan maaf Ibu di kertas lipat dan Ibu bentuk hati, dan Ibu belikan kertas yang baru. Akhirnya dia memaafkan Ibu. Tapi sayangnya Ibu berpisah dengan teman Ibu karena ayah Zunita pindah tempat kerja. Tapi Zunita berpesan: Kalau kangen aku, lipatlah kertas! Anggap saja aku sedang bermain bersamamu. Dan setiap Ibu sedih, punya masalah, Ibu selalu melipat kertas dan tiba-tiba sedihnya hilang. Wusss ... terbang bersama angin …”
Alfa pun tersenyum, semakin teringatlah aku. Zunita mirip sekali dengannya. Lalu aku pun mengajarinya melipat kertas berbentuk burung. Dan aku menyuruhnya untuk membuat origami juga. “Sudah baikan Alfa?” tanyaku. Ia pun mengangguk. Tiba-tiba ia bicara, “Bu ... Alfa sudah minta maaf dengan Mama!”.
“Dimaafkan Mama kan?! Kenapa tadi masih kelihatan sedih?”
“Iya, Bu, Mama sudah maafin Alfa, tapi Alfa sedih karena teman sebangku Alfa pindah sekolah, Bu.”
“Lho ... Erita pindah sekolah ya? Ibu malah baru tahu kalo Eri pindah sekolah.”
Aku menepuk pundaknya, menyemangatkan harinya yang tampak mendung dan berkaca-kaca. Kupeluk Alfa, “Masih bisa di-SMS atau ditelefon kan, Fa?”
“Iya si, Bu, tapi jadi kesepian ...”
“Hmmmm, tenang saja Al, kan masih banyak teman-teman yang lain, Eri akan menjadi temanmu selamanya walaupun dia tidak sekolah di sini lagi ... Tapi Alfa juga harus semangat, Eri pasti senang kalau Alfa semangat .”
“Ini semua buat Alfa!”. Kuberikan 1 pak kertas lipatku yang masih baru. Dan Alfa pun mengucapkan terima kasih. Aushof pun akhirnya datang. Dan aku berpamitan pada Alfa. Aku pergi menembus asap polusi yang menyesakkan demi memilih kain untuk seragam keluarga di pernikahan kami nanti. Aushof tampak bersemangat, “Kita akan ke toko kain langgananku Na ...”. Motornya melaju cukup kencang, hingga berhenti di sebuah lampu merah, “Pak Presiden, boleh aku tanya?” kataku saat melihat anak-anak pengamen, ibu memainkan alat musik mereka, mereka seusia murid-muridku di sekolah. “Kalau aku merintis yayasan khusus anak jalanan kira-kira bisa nggak ya?”.
“Tentu, aku akan membantumu. Jika kita sudah menikah kamu boleh mengabdi sesuai kemampuanmu.”
Jawaban yang kurasa cukup untuk membuatku tenang. Mulai lampu hijau dan kami melanjutkan perjalanan. Kubiarkan Aushof tetap konsentrasi hingga sampailah ke toko kain yang Aushof cari, aku tak menyangka kalau ini milik temannya. Setelah kuingat-ingat ini tempat Abangku mencari kain tambahan. Karena setelah berputar-putar kota Semarang, kain yang cocok ada di toko ini. Toko yang bernamakan At-Tursina ini adalah milik Bapak Solihun, bapak yang ramah dan murah senyum. Pria paruh baya yang berperut tambun dan berkulit sawo matang itu mengira aku adalah pacar abangku.
Aku dan Aushof masuk di toko, dan menemukan seorang pria berperawakan tinggi, berkulit agak putih dan beralis tebal. “Ini Ahmad Na, pemilik toko ini”, kata Aushof. Aku tersenyum dan menjabat tangannya sambil menyebutkan namaku. Aku mengatakan dulu pernah membeli kain di toko ini bersama abangku. Dan Ahmad pun menceritakan toko ini milik ayahnya yang diwariskan padanya. Kami dipersilakan duduk, dan seorang wanita muda sekitar usia 25 tahun pun menyajikan segelas teh hangat pada kami, aku merasa seperti familiar dengan wajah wanita itu. Hingga Ahmad memperkenalkan wanita itu, “Oh iya ini istri saya.”
Wanita itu tersenyum dan menjabat tanganku, “Zunita ...”
“ Mirna....”
Aku tersentak, seperti menerima bunga satu truk, “Nita?”.
“Ya Allah, Mir ...”. Aku pun memeluknya. Dugaanku benar wajah itu wajah Zunita. Rasa haru pun tumpah, sampai-sampai tak memperdulikan Ahmad dan Aushof.
“Maafkan aku ya Mir, aku dulu tidak memberi alamat atau apapun! Tahun lalu saat aku menikah, aku ke rumahmu yang dulu tapi kata tetanggamu kamu pindah ke luar kota dan tidak tahu alamatmu.”
“Yang penting sekarang kita bisa bertemu lagi Nit.” Bahagia sekali rasanya teman kertas lipatku kini kutemukan.
Kami tak menyangka akan bertemu dengan cara seperti ini. Ahmad bertemu dengan Zunita saat pameran tentang wirausaha di Surabaya, Dan ternyata ia pun masih senang dengan kertas lipat, dia bilang, “Aku dan kertas lipat adalah sahabat, dan masih akan jadi sahabat. Seperti aku dan kamu Mir.” Mungkin aku harus bercerita pada Alfa, persahabatan itu adalah keajaiban yang tersembunyi di balik rahasia.
Rima Rochimah adalah nama pena dari Umi Nur Rochimah, gadis kelahiran Semarang, 11 September ini memang sudah lama tertarik dalam dunia menulis. Bermula dari kebiasaanya menulis buku harian, penulis mengembangkan minatnya di bidang menulis dengan menulis cerpen dan puisi. Pendidikan dasar ditempuhnya di MI Miftakhul Akhlaqiyah lulus tahun 2005, dilanjutkan di SMP N 28 Semarang lulus tahun 2008, diterima di SMA N 8 Semarang lulus tahun 2011 dan sekarang menjadi mahasiswi jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan UNNES angkatan 2012. Beralamat di Wonosari RT 07 RW X Ngaliyan Semarang, penulis juga hobi membaca dan menggambar. Penulis juga mengikuti salah satu Club PGSD yaitu Club Jurnalistik PGSD. Menurutnya menulis adalah salah satu sarana untuk mengekspresikan diri dan menambah kosa kata. Ia bisa dihubungi juga melalui e-mail/ fb uminurrochimah@yahoo.co.id atau melalui HP di 085225450328 ^_^
TULISAN INI TERBIT DI BUKU ANTOLOGI MAAF
TERBIT 2013 @ AFSOH PUBLISHER
Tulisan Lainnya :