Menulis itu
Satu
Membaca novel adalah
kegiatan keseharianku yang tak henti-hentinya
membaca novel. Bagaimanapun caranya,
aku harus membaca novel setiap
minggu dengan
pinjam atau beli sendiri. Sejak duduk
di bangku MTS kelas dua, aku sudah menikmati
rasanya menjadi seorang penulis meskipun itu hanya sekadar tulisan berupa puisi.
Tapi entahlah, tiap ada keluh kesah yang ingin kuceritakan pada orang lain,
malah aku tumpahkan di lembaran-lembaran kertas berbentuk puisi.
Kebiasaan itu berlangsung hingga kini
aku beranjak kelas tiga
MA. Di mana pun
aku berada, saat apa pun
dan bagaimana kondisiku, aku tak pernah luput membawa buku, anggaplah itu diary yang selalu kuisi dengan
puisi-puisi perasaan. Di mana itulah yang
selalu membuatku merasa nyaman, karena setelah menulis aku tak membutuhkan teman bicara
lagi.
Indahnya
tulisan-tulisanku ketika masalah yang kuhadapi hilang begitu saja. Indahnya
tulisan-tulisanku ketika aku menorehkan tinta selaras dengan apa yang kurasa. Seperti
air, saat aku menulis, tulisanku meluncur lancar dan mengalir apa adanya.
Memang benar, kadang belum sempat tertulis, apa yang ada dalam benak
sudah terhapus, tapi kunikmati itu karena setiap
tulisanku mengandung apa yang ada dalam diri.
Aku tak
pernah merasa letih untuk menulis, meski kadang rasa bosan menyergapku. Tapi ketika sudah
kumulai lagi menggoreskan tinta, rasanya benar-benar ingin terus dan terus saja
menulis. Memang benar, menulis itu terserah hati saja. Apa pun yang
dibentuk oleh perasaan, maka itulah yang akan tertuang dalam lembaran putih
menyilaukan. Selalu saja aku terhempas dan lupa ingatan, bahkan lupa
waktu sedang apa aku karena terlena oleh kalimat-kalimat yang terangkai di
depanku.
Itu
puisi-puisiku. Belum cerpen yang kebanyakan dari hidupku, kutuangkan
di situ. Rasanya aku mengulang masa-masa yang sudah kulewati. Rasanya aku
kembali merasakan betapa senang, sedih, dan apa pun yang pernah
kualami. Rasanya aku selalu terbang melayang dan ditimang riang oleh
tulisan-tulisanku. Saat aku menulis, aku benar-benar
lupa segala sesuatu.
Yang bisa kusimpulkan dari hidupku bersama tulisanku
adalah, tulisan adalah hal nyata yang tak bisa dibayangkan saja. Tak cukup
lewat pikiran dan perasaan untuk menuntaskan keindahan kata, namun menulis adalah hal yang cukup merefleksikan
kehidupan nyata yang kualami. Memperbaiki masalah, membuatku terlena akan
keindahan kata-katanya, menjadikanku lega dan lepas dari segala untaian
kehidupan yang membosankan. Menulis itu satu. Satu untuk membuatku mampu mengembangkan
senyum yang tulus.
Aksara Penawar Duka
Oleh: Putri An-Nissa Nailhatul Izzah
Mengawali kisah
yang telah membuatku begitu mencintai dunia menulis. Yang aku ketahui, dulu aku
sempat mengecap sebuah kebahagiaan yang tidak dapat ditawar oleh harga dan
tidak dapat dijabarkan oleh cara apa pun. Hanya aku dan Ia yang tahu. Kebahagiaan yang pasti
semua orang menginginkannya. Ya, kebahagiaan yang aku maksud di sini adalah
saat kebersamaan di dalam sebuah keluarga dapat menghapus segala lara.
Menghapus segala duka hingga tidak ada setitik kesedihan bertengger kembali
dengan leluasa pada diri.
Sampai saat ini, aku masih sering dihantui perasaan rindu itu.
Membayangkan tawa leluasa yang pernah hadir dan menghiasi hidupku. Rindu merasakan
kembali bagaimana lembut jemari seorang ibu menyentuh wajahku atau sekedar
membelai rambutku. Merindui sosok tubuh tinggi kekar yang tidak pernah lelah
menuruti kemauanku untuk dibopong di atas pundaknya dan berjalan mengitari
rumah kami. Sementara aku begitu riang dengan tawa.
Ah, rasa-rasanya
aku ingin kembali ke masa itu. Mungkinkah? Sementara waktu sama sekali tidak
memberi alasan bahkan cara untuk mengulang semua kebahagiaan itu.
Tepat di
usiaku yang menginjak ke empat belas tahun, bukan
kado terindah yang aku dapatkan dari orang-orang terdekat terutama orangtuaku.
Melainkan kabar pahit mengenai perceraian kedua orangtuaku. Tentu saja aku
merasa terkejut sekaligus terpukul dengan berita yang aku dengar. Bukan karena
memikirkan nasibku, tapi nasib ketiga adikku yang mungkin jauh lebih butuh akan
perhatian orangtua, bahkan adikku
yang paling bungsu saat itu masih berusia satu tahun.
Aku mencoba
tegar dan menyembunyikan kabar perceraian orangtuaku dari para guru dan
teman-temanku yang ada di sekolah. Tapi serapat apa pun aku
menyembunyikan itu semua, cepat atau lambat mereka pasti akan mengetahuinya.
Terbukti, ketika ada beberapa teman yang menanyakan hal tersebut, aku hanya bisa diam dan berlari meninggalkan mereka. Aku
sempat merasa kecewa dan sakit hati. Dalam kesendirian
aku hanya diam merenungi semua hal.
Semenjak
perceraian orangtuaku, aku yang dulunya dikenal periang dan banyak bicara,
berubah drastis menjadi sosok yang sangat pendiam dan melankolis. Aku yang
tidak begitu mencintai buku berubah menjadi kutu buku yang menjadi gelarku bagi
semua orang yang mengenalku hingga kini. Satu hal, aku tidak pernah berniat
untuk menulis. Tapi, semenjak itu pula aku mulai gemar menulis apa saja yang
tengah kurasakan, baik dalam bentuk catatan pada buku harianku, atau sekadar sajak pendek
yang menggambarkan duka, kesedihan, dan kesendirianku.
Aku menulis
semua apa yang ingin kutulis dan tanpa sadar ada belasan diary
yang telah penuh oleh tulisan tanganku. Semua guru mengagumi hasil karyaku, itu
juga yang membuat mereka percaya dan mengamanahi tugas padaku sebagai ketua
organisasi teater di sekolah, sekaligus penulis naskah skenario drama waktu itu. Sejak
saat itu pula, aku menyadari bahwa selama ini ada bakat terpendam dalam diriku
yang sebelumnya tidak pernah tersentuh oleh kesadaranku.
Menulis masih
tetap menjadi kegemaran bahkan kewajiban untuk dapat melegakan dahaga rindu
yang ada pada jiwaku sampai saat ini, meski tidak
dapat mengutarakan rasa rindu dan sayangku terhadap mereka. Mungkin lewat
untaian aksara inilah aku menyampaikan betapa sayang dan rindunya aku kepada
mereka.
Setelah
perceraian orangtuaku, aku tidak lantas membiarkan diriku terus menerus
terpuruk oleh keadaan. Aku belajar dan kembali bangkit demi adik-adikku dan
orang-orang yang kusayangi. Berbagai prestasi pun kembali kuraih dengan
gemilang. Tidak ada penyesalan meski kenyataan pahit tetap setia menggentayangi
hidupku.
Ini takdir
Allah, dan semua pasti ada hikmahnya. Allah ingin aku belajar untuk membaca
hikmah yang Ia berikan lewat masalah ujian yang mendera hidupku. Semata untuk
menjadi manusia yang lebih baik lagi.
Ibu, Ayah, air mata yang dulu senantiasa tumpah,
kini dengan sendirinya berganti menjadi pelangi yang begitu indah di hidupku.
Terima kasih untuk semua kenangan indah yang pernah kalian berikan. Lewat aksara ini kusampaikan
rasa rinduku.
Magelang,
11/10/2012. 19.29
***
Biodata Penulis
Nama Yusnia Agus
Saputri dengan nama penanya Putri An-Nissa Nailhatul Izzah. Lahir sebagai
wanita berdarah bugis di Jambi pada 07 Agustus 1993. Saat ini tetap menekuni
kecintaannya pada dunia aksara. Beberapa karyanya yang telah terbit dan akan
segera terbit tergabung dalam bentuk antologi. Salah satunya, “Pelangi Ramadhan”(AG Publishing), “Pupus”
(Afsoh Publisher), “Catatan Hati Bianglala Hijrah” (Soega Publishing), dan
beberapa antologi lain yang masih dalam proses terbit. Saat ini menetap di
Magelang, dan sedang dalam tahap untuk menyelesaikan novel perdananya. Dapat dihubungi
melalui e-mail: yusniaagussaputri@ymail.com atau FB: marhusnulnabila@yahoo.co.id. Bisa juga melalui kontak person di 0856 6811 2979
Keajaiban Menulisku
Oleh: Askar
Marlindo
Alhamdulilah, saya diberi kesempatan untuk bercerita. Di kesempatan ini, saya ingin menceritakan impian besar yang ingin saya lakukan
berkenaan dengan mimpi-mimpi besar saya yang semuanya berasal dari keraguan saya, apakah saya
mampu melakukanya? Dan ternyata
saya bisa. Nama
saya adalah Askar Marlindo. Alhamdulilah, saya adalah salah seorang alumni dari Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara. Fakultas Pertanian adalah suatu
fakultas yang berhubungan dengan tanam-tanaman dan tidak ada sama sekali
hubunganya dengan rencana mimpi besarku ini.
Sebenarnya saya tidak terlalu hobi dengan pertanian, karena saya
lebih menyukai pelajaran yang jadi mata pelajaran yang diajarkan oleh
orangtua saya, yaitu ibu saya adalah salah seorang pengajar Bahasa Mandarin
dan ayah saya adalah salah seorang pengajar Bahasa Inggris. Jadi karena itu, darah mengajar
lebih mengalir di dalam diri saya.
Hal ini juga terbawa setelah saya menamatkan studi saya, yaitu di mana saya lebih
senang mempelajari Bahasa Inggris daripada Biologi. Sungguh suatu
hal yang aneh bagi teman-teman seangkatan kelas saya, karena mereka
pada umumnya lebih senang mempelajari Biologi. Mungkin darah
mengajar itu menurun dari kedua orangtua saya.
Selain mengajar, saya mempunyai
hobi satu lagi, yaitu hobi menulis yang membuat saya dapat mengasah
kemampuan saya dan menelurkan beberapa prestasi keajaiban menulis saya, di antaranya adalah Duta Bahasa Sumut 2008, juara 1 Penulis Terbaik Hut GMPI PPP SUMUT 2011, juara
3 Penulis Terbaik Dewan riset Daerah Propinsi Sumut 2011, Penulis
Kreatif Hut Tata Ruang tahun 2010, Penulis Kreatif HUT PLN KE 65 SUMUT TAHUN 2010, dan juara
1 Lomba Cipta Puisi Tingkat Nasional Tamasya MUSAFIR TAHUN 2011
Semua prestasi prestasi tersebut membuat saya bangga, tetapi juga memotivasi
saya untuk terus memacu diri saya agar tetap menjadi lebih baik dan lebih
berprestasi lagi di masa yang akan datang. Awal mulanya
saya meragukan kemampuan saya tersebut. Karena bagi saya, menulis itu adalah suatu
pekerjaan yang membosankan dan menjemukan, tetapi lama-kelamaan saya
merasakan menulis adalah pekerjaan yang mengasyikkan dan membuat otak kita yang
sedang sumpek
menjadi lega karena semua ide-ide yang ada di kepala kita dapat kita salurkan dengan
sempurna. Sungguh suatu kejaiban menulis yang sempurna.
Scripta Manent Verba Volant
Oleh: Rere Z
Saya senang membaca kutipan kata-kata
bijak. Satu hari,
saya tersentak saat menemukan satu pepatah dari Yunani, scripta manent verba volant. Dalam bahasa Inggris berbunyi, spoken words fly away, written words remain,
kata-kata yang kita ucapkan akan mudah dilupakan, hilang terbawa angin, tapi
tidak begitu dengan tulisan. Tulisan akan abadi.
Otak saya mulai berputar,
mengingat-ingat tulisan dan buku yang saya baca. Saya baru menyadari bahwa
banyak buku-buku yang saya baca yang isinya penuh manfaat dan ternyata penulisnya sudah
meninggal.
Ingatan saya langsung melayang ke
kutipan Pramudya Ananta Toer, orang boleh
pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam
masyarakat dan dari sejarah. Sekali lagi saya diingatkan tentang keabadian
dari kegiatan menulis. Saat ajal menjemput, kepandaian seseorang akan hilang
jika tidak dituliskan. Menulis memang memperpanjang keberadaan kita di dunia
dan akan menjadi salah satu amal di akhirat nanti jika kita menuliskan yang
bermanfaat.
Saya pun mulai menulis. Sudah ada
tulisan yang lolos di event menulis
yang bertebaran di grup facebook.
Ajaib! Perasaan senang muncul ketika nama saya
tercantum dalam update naskah
yang masuk ke penyelenggara. Lebih ajaib lagi rasa bahagia yang timbul ketika
nama saya masuk dalam daftar naskah yang lolos dibukukan! Apalagi jika saya
sudah memegang buku yang ada tulisan saya, pasti akan lebih terasa ajaib!
Saya masih harus belajar teknik
menulis yang baik dengan isi yang lebih bagus. Saya juga akan terus menulis
buku-buku antologi dan akan mengembangkan diri ke penulisan jenis buku solo, Insya Allah! Menulis ternyata begitu
ajaib dan mengabadi.
***
Biodata Penulis
Rere Z adalah salah satu
kontributor buku antologi Love, Live, and
Music. Pemenang kedua audisi buku The
Miracle of Writing. Tinggal di Jakarta. Dapat dihubungi melalui akun FB: Rere
Z atau melalui e-mail: rerez739@yahoo.com