MAHABHARATA
Oleh: A.S. Laksana
Dewabrata tumbuh dewasa jauh melampaui usianya. Ia mewujudkan ucapan ibunya menjadi ksatria utama, dan kehadirannya di istana memulihkan lagi kegembiraan hidup Santanu. Pada umur dua puluh ia diangkat menjadi yuwaraja, ahli waris tahta. Hastina bersuka. Dewabrata memiliki kejernihan berpikir dan watak welas asih yang membuat semua orang yakin bahwa kelak, ketika tiba waktunya ia naik tahta, negeri mereka akan lebih mulia, dan lebih makmur, dan mencapai kebesaran di bawah kepemimpinannya.
Namun, ada sungai lain, dan tepian lain, yang membelokkan jalan hidup ayah dan anak dan membuat rakyat Hastina tidak akan pernah melihat putra Dewi Gangga menjadi raja mereka. Sungai Yamuna. Di tepi sungai itu Santanu terpikat harum surgawi.
Santanu sudah mempercayakan urusan sehari-hari kepada putra mahkota dan ia menikmati waktunya untuk masuk hutan. Ia selalu mencintai hutan. Dan hari itu, hanya ditemani kusir keretanya, ia menjelajah hutan dan tanah-tanah terbuka dan tiba di tepi Yamuna. Kusir membawa kereta ke tepi air agar kuda-kudanya bisa minum.
Dan angin bertiup. Dan Santanu mencium harum bunga.
Ia turun dari kereta, berjalan menyusuri tepian mencari sumber bau harum itu, dan menemukan perempuan di atas perahu tambang—hitam dan cantik dan harum, dan kata-katanya terdengar seperti nyanyian bagi telinga Santanu ketika perempuan itu menanyakan apakah ia hendak menyeberang.
Santanu memperkenalkan namanya kepada perempuan itu dan tak sanggup menyembunyikan keinginan yang datang seketika itu juga. “Aku ingin membawamu ke istana sebagai istriku,” katanya.
Perempuan itu, seperti sudah menduga apa yang akan ia dengar, menjawab tenang: “Saya tidak bisa memutuskan sendiri, Tuanku. Sebaiknya Tuan sampaikan keinginan Tuan kepada ayah saya. Dia ada di rumah.”
Tangannya menunjuk sebuah gubuk di tepian, tepat sebelum sungai berkelok memasuki hutan. Santanu bergerak enggan menuju gubuk yang ditunjukkan oleh perempuan itu; kakinya berat, hatinya berat, ia tidak ingin pergi darinya.
Ayah gadis itu seorang nelayan. Ia sedang bersila di lantai gubuknya ketika Santanu tiba di ambang pintu dan lekas berdiri mempersilakan tamunya masuk. Dan Santanu, seperti tidak sanggup meluangkan waktu untuk sekadar beramah tamah dengan orang yang baru ia temui, langsung memperkenalkan diri dan menyampaikan keinginannya. Bilah cahaya sore menerobos celah di dinding gubuk, seperti pedang cahaya, ujungnya menimpa punggung lelaki itu saat ia membungkuk memberi hormat dan mengucapkan terima kasih.
“Tidak ada jodoh yang lebih baik lagi bagi Satyawati jika seorang raja sudah datang melamarnya,” katanya.
“Jika demikian, aku akan membawanya hari ini juga,” kata Santanu.
“Silakan, Tuanku. Nelayan tua ini akan sangat bahagia melihat putrinya menemui takdir yang sudah diramalkan baginya.” Ia menceritakan bahwa bertahun-tahun lalu, seorang bijak mengatakan bahwa putrinya akan menjadi permaisuri dan keturunannya akan menjadi raja meneruskan tahta sang ayah. “Maka, Tuanku, bawalah dia jika Tuanku berjanji menjadikannya permaisuri dan anak yang kelak lahir dari rahimnya akan menjadi raja menggantikan Tuanku.”
Nelayan tua itu menundukkan wajah setelah mengucapkan syarat kepada Santanu. Sikapnya tenang, seolah-olah ia hanya menyampaikan harapan yang wajar untuk putrinya kepada lelaki yang datang meminang.
Santanu memandangi lelaki tua di hadapannya dengan perasaan campur aduk antara kalut dan tersinggung, dan juga tak berdaya. Tetapi ia masih sanggup menahan diri. Ia telah memikul penderitaan dan mampu menekan amarah selama menjalani tahun-tahun terberat hidupnya tanpa bertanya. Sekarang lelaki di hadapannya, seorang nelayan tua, hanya pria jelata penghuni gubuk, telah mengajukan kepadanya syarat yang terdengar tidak tahu diri dan tidak mungkin ia penuhi.
“Aku akan memberinya kemuliaan dan apa pun yang ia inginkan—“
“Terima kasih, Tuanku.”
“Tetapi tidak mungkin keturunannya menjadi raja. Hastina sudah memiliki putra mahkota.”
“Kalau begitu Tuanku bukan raja yang ditakdirkan untuk putriku.”
Santanu meninggalkan gubuk dengan pikiran rusuh dan mengambil jalan melingkar menuju keretanya; ia memilih masuk hutan untuk menghindari pertemuan sekali lagi dengan perempuan di atas perahu. Ia tahu ia harus cepat-cepat meninggalkan tempat itu dan menganggap Satyawati tak pernah ada. Tetapi angin bertiup dari arah belakang, membawa kepadanya harum yang melumpuhkan, dan Santanu tak mungkin mencegah angin bertiup. Ia hampir menyerah dan berbalik ke gubuk dan menyanggupi apa yang diminta si nelayan.
“Ini anak kita, Santanu.”
Tiba-tiba ia mendengar suara Gangga, lalu wajah Gangga, lalu wajah putranya. Ia melihat hari penobatan Dewabrata sebagai yuwaraja. Lalu suara Gangga lagi:
“Tidak akan ada orang lain yang lebih tepat untuk menggantikanmu kelak, selain Dewabrata. Ia ksatria utama.”
Ia melihat rakyat Hastina bersuka cita menyambut putra Gangga, ksatria yang kelak menjadi raja mereka. Tidak mungkin ia mengkhianati semua itu.
Seperti ksatria yang tercabik-cabik di medan perang, Santanu terhuyung-huyung mencapai keretanya dan memberi perintah kepada kusir:
“Kita pulang.”
Kusir melarikan kereta seolah beradu cepat melawan kereta hantu; Santanu yang memerintahkannya. Tetapi secepat apa pun kereta melaju, Santanu seperti tidak pernah meninggalkan tepi sungai. Ia terus mencium harum tubuh perempuan itu, dan Satyawati selalu ada di depan mata, duduk di perahu tambangnya, mengayun-ayunkan kaki ke air biru Yamuna, menanyakan apakah ia hendak menyeberang.
O, bumi yang fana. Kebahagiaan seperti tak pernah berumur panjang. Empat tahun ia menikmati waktu bersama putranya yang telah kembali, tepi sungai memberinya penderitaan sekali lagi. Dan ia tidak mungkin pulih tanpa mengorbankan Dewabrata, putra Gangga yang ia cintai, yang mencintainya, dan ksatria utama yang menjadi harapan semua orang Hastina.[]