-->

PUTRI JELEK DAN PANGERAN GANTENG

| 9:00 AM |

Oleh: Meutia Anis

            Debur ombak, sepoi angin, terik matahari, dan halusnya pasir pantai semakin menambah kerinduanku selama ini. Terlebih.... rangkaian kelingking kita. Aku ingat saat itu, setiap momen selalu dilengkapi oleh rangkaian kelingking kita.

“Putri Jelek, janji inget selalu ya, kita pernah panas-panasan nggak jelas di pantai ini.”

Ya, kamu panggil aku dengan sebutan Putri Jelek, dan sebagai balasannya, aku panggil kamu Pengeran Ganteng. Nggak sinkron memang, tapi itu yang udah bikin hubungan kita unik dan terkesan nggak flat.

            Aku tetap memandangi air dengan gelombang-gelombangnya dengan tatapan kosong, merasakan angin yang berbeda, hembusan angin pantai yang jauh berbeda dengan yang pernah aku rasakan sebelumnya. Beberapa kali aku mengangkat jari kelingking di bawah teriknya matahari dan membentuk bayangan dari kelingking itu. Aku melihat dua jari kelingking, kelingkingku dan bayangan jari kelingkingku. Aku gila, apakah aku gila, Tuhan?

           Matahari mungkin sudah bosan melihat wajah senduku yang selalu menyapanya, hingga senja pun hadir. Aku memutuskan untuk pulang dengan membawa senyuman yang sedikit kupaksakan.

“Hei... sayang.” Aku mencoba menyapa mobil merah yang selalu menemaniku selama ini. “Kita pulang sekarang, okay?” Aku pun duduk dan mulai menyalakan mesin, ya memori itu datang lagi, tanpa kusuruh, tanpa kuduga, tanpa sebab apa pun yang bisa kujelaskan.

“Putri Jelek, janji ya... kalau aku selalu ada di...” Rangkaian kata itu yang sering diucapkan Pangeran Ganteng. Dan setiap kali dia berkata seperti itu, kita selalu melanjutkan kalimat itu dengan bahasa tubuh ciptaan kita. Menempelkan kedua jari telunjuk kita masing-masing di bagian pelipis, lalu meneruskannya dengan menyatukan telujuk menuju dada. Gerakan itu aku lanjutkan dengan mengusap semua bagian tubuh mulai rambut sampai kaki. Artinya, Pangeran Ganteng selalu ada di pikiran, hati, dan seluruh tubuhku. Mungkin, kalau semua organ tubuhku punya otak, setiap hari juga nggak bisa lepas untuk memikirkan seseorang seperti kamu, Pangeran Ganteng.

“Pangeran Ganteng, baik-baik disana...” ucapku tulus.

            Aku sempat ragu dengan celotehan orang yang mengatakan tentang Tuhan dan kasih sayangnya. “Tuhan selalu ada buat kita, Tuhan selalu sayang kita, Tuhan nggak mungkin ngasih cobaan yang nggak lebih dari kekuatan hamba-Nya. It’s freak!” Melihat semuanya yang kini menjadi sesuatu yang realistis, aku menjadi ragu dengan apa itu CINTA.

            Ada banyak hal yang berkecamuk dan ingin sekali aku tanyakan kepada-Nya. “Tuhan, jika Engkau menyanyangiku, mengapa Kau memberikanku waktu untuk menikmati keadaan yang pada akhirnya harus dilupakan? Mengapa Kau membiarkan aku tertawa lepas jika pada akhirnya aku harus menangis pilu. Mengapa harus ada kata kenangan dan tidak ada kata selamanya? Kenapa? Kenapa semua berakhir dengan sebuah keadaan? MATI.” Semua itu terjadi begitu cepat, tidak ada pertanda atau pun rasa curiga, semua berjalan wajar. Sampai akhirnya, kita tahu tentang apa itu kuasa Tuhan.

            Dalam keadaan seperti ini, aku sulit untuk menerima nasehat dari siapa pun, termasuk sahabat-sahabatku. “Pangeran Ganteng yang nggak bisa jadi real lagi!” Hari-hari yang terus bergulir kuhabiskan di dalam kamar tanpa ada cerita, tanpa rasa, tanpa tawa. Menangis terisak, membuka kenangan, atau menyesali keadaan yang seharusnya bisa kuciptakan lebih indah jika aku mengetahui setiap catatan Tuhan untuknya.

            Hingga akhirnya aku tersadar bahwa hal terbaik yang bisa aku lakukan adalah dengan mengikhlaskannya untuk pergi dan mendoakannya. Berat, sangat berat! Melepaskan seseorang yang terikat dengan diri kita, menyadarkan pada diri sendiri bahwa sosoknya sudah tidak ada, dan berusaha kuat untuk mengisi lembaran cerita cinta tanpa ada dirinya.

            Hari ini, aku kembali teringat memori itu. “Putri Jelek, janji ya... bakal sama aku terus sampai birthday berikutnya, berikutnya, berikutnya..” ucapnya.

“Ever-ever after!” kataku menyela.

Kita pun saling merangkaikan jari kelingking dan tertawa bahagia. Dari situ aku tahu, kamu bohong. Hari ini adalah hari ulang tahun kamu, Pangeran Ganteng. Tapi, aku justru mengenakan gaun hitam dan memperingati hari ke-100mu pergi dari dunia ini. Doa-doa yang kulantunkan selalu kuiringi dengan leleran air mata yang tidak bisa tertahan. Pria di sampingku berusaha memelukku sesekali dan mengusap bulir-bulir hangat itu. Ayah, ibu, dan adiknya menampakkan raut wajah yang tidak begitu berbeda denganku, kami pun saling menenangkan diri satu sama lain. Semua berusaha untuk kuat dan juga tabah, itu yang aku tahu.

“Heii, Vavaa.. “ teriak Vino, teman baik Raka si Pangeran Gantengku.

Aku segera menghentikan langkah dan menengok ke arahnya.

“Gue nggak akan pernah lupa soal ini. Ada sesuatu dari Raka buat lo, Va. Dia bilang, gue musti kasih ini ke elo, kalau udah 100 hari meninggalnya dia.” ucap Vino menjelaskan dengan nada lirih.

“Thanks.” ucapku singkat sambil tersenyum dan meneruskan langkah meninggalkan hunian  Raka.

            Raka sengaja menitipkan sepucuk surat untukku di hari ke-100 ia meninggal. Aku mulai memejamkan mata sejenak dan membayangkan wajah Raka. Aku berharap dalam surat ini tertulis semua kenangan indah kita berdua. Perlahan, aku mencoba membuka surat itu. Lipatan demi lipatan aku buka, hingga aku melihat.

Dear,

Putri Jelek yang aku lupa nama aslinya siapa :D

          Putri Jelek, maaf ya aku harus pergi duluan. Aku sengaja titipin surat ini sama Vino ketika aku tahu bahwa kondisi aku nggak bisa membaik. Aku juga nggak nyangka kalau heart attack bakal nyerang aku secepat ini. Ingat Putri Jelek, aku ini kuat. Jantung bisa aja mati, nggak berfungsi, tetapi cinta, sayang dari aku nggak akan bisa mati semudah itu. Senyuuuum... Kalau Vino kasihnya tepat, ini udah hari ke-100 aku meninggal. Aku rasa ini sudah waktunya, sayangku. Aku mau, kamu angkat jari kelingking kamu, ayo angkat sekarang sayang. Berjanjilah di hadapan surat ini, bahwa aku bakal terus ada di pikiran kamu, tetapi tidak lagi di hati kamu. Ini sudah 100 hari aku pergi, sudah cukup kamu menangis buat aku, sudah cukup! Buka hati kamu, untuk seseorang yang pantas memberimu kenyamanan dan kebahagiaan. Berjanjilah untuk tidak menyalahkan diri sendiri atau menyesali suatu hal yang telah terjadi, semua hal bisa jadi better dan berakhir the best jika kamu mau. Merangkaikan kelingking bersama kamu, Putri Jelek adalah memori terindah sampai aku menutup mata. Jangan lupa doain aku ya, jangan lupa ibadah, makan teratur, dan tetap menjadi Putri jelek yang disayang banyak orang.

-Pangeran Ganteng-

“Aku udah janji nggak bakal sedih lagi. Raka! Salahkah kalau sekarang aku bilang kalau aku sayang sama kamu?” kataku menahan tangis.

            Surat dari Raka membawa pengaruh cukup besar untukku. Pelan-pelan aku sudah menemukan jalanku, jalan yang memang seharusnya aku lewati. Aku mulai merasakan semangat, aku merasakan bahwa aku  baru saja hidup. Baru saja bangun dari kepedihan yang melelapkan atau dari mimpi kepedihan. Kemurkaanku pada Tuhan saat itu, merupakan kesalahan yang besar. Tidak seharusnya aku seperti itu, memaki dan mencela Tuhan. Surat dari Raka membukakan semuanya, memperjelas semuanya, bahwa takdir Tuhan adalah sesuatu yang memang harus terjadi dan itu pasti baik. Karena penilaian manusia itu tidak selalu sama dengan apa yang diinginkan Tuhan.

            Aku juga yakin, bahwa aku sudah menemukan seseorang yang tepat untukku. Seseorang yang mencintaiku, menyayangiku, seseorang yang memberiku kebahagiaan dan menawarkan kenyamanan tanpa memper masalahkan adanya Raka dalam diriku. Dimas, I’ll creat a new story with you!



NTOLOGI CERPEN : PELANGI CINTA 
PRAKTEK MENULIS WORKSHOP AFSOH PUBLISHER 2013
MAHASISWA UNNES

DAFTAR ISI ANTOLOGI :


GENDAM NUSANTARA 919

Back to Top