Waktu kita tak banyak untuk kembali mengulang cerita seperti skenario yang kita harapkan. Benar ketika perangkai kata menyebut bahwa apa yang kita rencakan tidak sesuai harapan. Seperti yang kita jalani, langkah konyol yang menjadi musabah perjalanan pada titik ini. 8 tahun bukan waktu sebentar untuk kita dapat melewati masa dimana suka duka tercipta. Menyelami “kita” menjadi suatu keharusan dalam hubungan ini. Tidak untuk menjadi yang lebih baik salah satunya, tapi menjadi satu kesatuan kebaikan.
***
Ikan
hias yang ada di ruang depan rumahmu selalu mampu membuatku damai. Dengan
aquarium yang dipenuhi ornament laut yang ada, batuan koral serta gelembung
udaranya seperti menyeretku masuk kedalam dunia mereka.
Ternyata
sudah lama setelah hubungan Dikta dengan Anda berjalan, tak pernah sekalipun
aku berani menginjakkan kakiku disini ya dirumahmu. Ketika itu menjauh
satu-satunya jalan demi bahagia yang tengah mendera batinmu. Membiarkan dunia
hanya menjadi milik kalian adalah solusi terbaik tanpa harus ada dibalikmu.
Termasuk ketika harus membiarkan mendung bergelayut dirasamu, lalu biasa apa
aku? Anda tak pernah suka kehadiranku, bahkan dia pernah datang dan mencercaku.
Tanpa permisi lontaran kata yang meluncur dari mulut Anda sudah membubungkan
bara api, air yang akan kugunakan untuk mencairkannya pun sepertinya sia-sia
ketika Anda terus saja berpidato dengan lantang. Mentulikan telinga menjadi
pilihanku ketika itu, berlalu dan menjalani hariku. Itu dulu, jauh sebelum saat
ini datang. Cukup menghabiskan waktu memang, membiarkan sayatan itu mengangga
tanpa tahu kapan kesembuhannya.
Seperti
sengaja melupakan masa dimana kita menjadi asing satu sama lain. Mulai kembali
menjalani aktivitas keseharian, menikmati setiap riak gelombang di samudra
kehidupan.
***
Berjalan
menyusuri lorong parkiran untuk menggambil kuda besi pendamping setiaku,
bersamaan gelak tawa dari Atan, Yua, Nay dan Sain. Tingkah meeka selalu saja
mampu membuat keceriaan tersendiri. Tidak jauh berbeda ketika didalam kelas,
ada saja celetukan usil yang dan
membiarkan gelak tawa seisinya. Kekonyolan paling berani adalah saat jam
pelajaran sejarah satu persatu dari kalian keluar hanya untuk jajan es the
dikantin belakang. Sekembalinya dari kantin guru sejarah yang tak lain adalah
wali kelas marah, dipukulnya meja paling depan yang tak jauh dari guru tersebut
dan disambarlah meja itu sampai terbalik. Dengan muka tanpa dosa serta
ketakutan yang amat pastinya, terlihat dari muka-muka seisi kelas. Seketika
guru keluar dan tawa keras memenuhi ruang kelas.
Tak
jauh dari tempatku berdiri sekarang, Ibar berjalan ditempat dan dengan tujuan
yang sama denganku. Semakin dekat langkah yang ia punya, semakin cepat rasanya
pergi dari tempat ini. Bodohnya, motor Ibar tepat berada disebalah motorku.
Belum sempat menghidupkan motor, di belakangnya ada Dika yang langsung nimbrung
dijok belakang. Akhirnya mereka berlalu dari parkiran, sengaja membiarkan itu
terjadi memang. Nyatanya tak pernah sepatah katapun keluar dari mulut Ibar
untuk sekedar menyapaku di sekolah.
***
Setelah
mengantar Dika sampai di rumah,aku langsung pulang Padahal banyak teman lain
yang sekompleks dengannya. Meskipun begitu rutin setelah jam pelajaran usai,
Dika merenggek untuk nebeng. Dan terpaksa aku harus memutar jalan semakin jauh
untuk bisa mengembalikannya kerumah dengan selamat. Sebelum pulang, kuambil
motor yang tertata rapi di parkiran sekolah. Dari kejauhan terlihat Enot
tertawa lepas dengan teman-temannya. Ingin sekali rasanya menyapa sekedar
mendegar suara cemprengnya yang khas, tapi tak kulakukan. Sampai di rumah,
kusegerakan melaksanakan kewajiban mnghadap sang khalik untuk berserah diri
kepadaNya. Setelah itu kuraih handphone di atas meja untuk mengirim pesan
singkat kepada Enot. Lama ku tunggu untuk sebuah balasan yang kukirim untuknya,
akhirnya setelah maghrib kubuka pesan masuk dan itu darinya. Untunglah dia
tidak marah atas sikapku pagi tadi.
Seperti
biasa, sesi curhat kulakukan dengannya. Ya, Enot satu-satunya sahabat yang
selalu bisa jadi pendegar yang baik. Bukan saja itu, tapi dia sudah seperti
teman, kakak, sahabat, bahkan sudah menjadi anggota keluarga baru bagiku. Awal
perkenalanku dengan Enot terjadi saat kita masih SMP, dulu sama sekali tidak
mengenalnya. Sampai ketika masuk SMA kita sekelas. 2 bulan pertama emmang butuh
adaptasi yang ekstra, karena tidak saja dari sekolah yang sama tapi juga dengan
pewatakan yang beraneka. Setiap kali kuperhatikan, senyum tak pernah lepas dari
bibirnya. Dengan matanya yang sipit, ketika ia tertawa yang terlihat hanya
segaris seperti orang menutup mata. Kadang ejekan yang kulontarkan membuat ia
langsung diam. System kelas menerapkan rolling tempat duduk setiap 2 hari
sekali ganti, sehingga selalu bergantian teman sebangku. Tapi aku tak pernah
melakukan aturan kelas itu, aku lebih suka duduk dibangku belakang paling
pojok. Bisa kugunakan untuk tidur saat jam kosong.
***
Seperti
biasa, sepulang sekolah aku langsung masuk kamar dan melakukan aktivitas.
Diparkiran sekolah tadi, sudah bisa ditebak apa yang akan dilakukan oleh Ibar.
Selama ini sifat dingin yang dimilikinya sudah menjadi makanan harianku. Ketika
tak sengaja berpapasan di lorong kelaspun, tak sepatah katapun keluar dari
mulutnya. Berjalan santai saja ia dengan teman-temannya. Sudah jadi kebiasaan
Ibar setiap kali di sekolah bersikap demikian. Buat aku tak jadi masalah selama
itu yang membuat dia nyaman. Pernah sekali aku protes mengenai sikapnya, esok
hari disekolah ia kembali menjadi Ibar yang dingin, cuek, dan apalah itu
namanya. Berbeda jauh ketika berkomunikasi dengan handphone ataupun bertemu
langsung denganku. Mau tidak mau ya harus menerima dan memaklumi sikapnya.
Tiba-tiba
hp ku berdering pertanda pesan masuk, permintaan maaf yang tertulis di layarku.
Ia akan merasa bersalah ketika bersikap seperti tadi. Dan selalu ada penerimaan
atas permintaan maaf darinya.
Keterbukaan serta kesadaran yang kita utamakan sejauh ini. Sekecil
apapun kesalahan baik yang ku perbuat ataupun Ibar lakukan. Buat kami meminta
maaf bukan berarti salah, namun ketika dengan berani mengakui kesalahan yang
tak pernah kami lakukan itu menunjukkan kedewasaan. Selanjutnya, seperti
kebiasaan Ibar yang selalu ngalor-ngidul tak pernah bisa dikontrol ketika
bercerita. Apapun topic yang ia bicarakan, sejauh ini masih bisa dikompromikan
dengan situasi dan kondisi. Sampai pada akhirnya, Ibar bercerita mengenai
ketidaknyamanannya atas sikap Ory terhadapnya. Awal SMA aku, Ibar dan Ory
memang pernah menjadi satu kelas di kelas X (sepuluh). Sejak saat itu, aku dan
Ory menjadi teman baik. Tapi tidak dengan Ibar, dengan sikap cuek, jutek, judes
dan sok coolnya itu Ibar termasuk yang paling tertutup. Tapi sekalinya ngomong,
seperti busur panah kata-katanya. Langsung jleb, tepat sasaran (dihati).
Setelah beberapa bulan beradaptasi dengan lingkungan baru, akhirnya aku dan
Ibar bisa akrab. Menjelang tes kenaikan kelas, system kelas tetap diberlakukan
tidak terkecuali untuk Ibar yang kebetulan saat rolling sebangku dengan Ory.
Cukup khawatir, dengan sikap kedua orang itu. Ibar dengan sikap dinginnya, dan
Ory dengan kepolosan serta kepandaian yang dimiliki. Benar saja, nilai Ibar
terdongkrak masuk 10 besar peringkat kelas. Hari-hari selanjutnya mereka
semakin akrab saja, sejak saat itu Ibar jarang berkomunikasi baik melalui pesan
singkat atau saat dikelas. Benar saja dugaanku, Ory menaruh hati kepada Ibar.
Perlahan tapi pasti, aku memutuskan untuk mundur beberapa langkah. Bukan untuk
pergi, hanya saja memberi ruang suka cita yang tercipta atas mereka. Tapi sepertinya benih kasih yang telah
disemai tak tumbuh sempurna. Pernah suatu hari Ibar tiba-tiba saja didepan
rumah hanya untuk minta maaf atas sikapnya belakangan, dan setelah blablabla
kesimpulannya Ibar tak pernah punya niatan untuk mempermainkan hati Ory atas
sikapnya. Bertepuk sebelah tangan ceritanya. Berlanjut sampai 1 bulan sebelum
ujian nasional, Ibar masih mencoba cuek terhadap Ory. Kemarahan atas mereka
masih bersemayam ketika itu, sampai akhirnya kuputuskan untuk tidak lagi
mempedulikan keduanya. Kujalani setiap skenarioNya atas hidupku, dan mencoba
tersenyum dalam tanggis. Bertahun usaha yang Ibar lakukan untuk berkomunikasi
denganku nyatanya tak sia-sia. Melihat setiap apa yang dilakukannya, ku
kesampingkan ego yang menjerat naluri. Sebab tak akan pernah bisa, tentang apa
yang harus memisahkan kita. Setelah kelulusan masing-masing dari kami sibuk
mengurusi kuliah. Kependidikan menjadi pilihanku, sementara Ibar lebih memilih
jurusan Teknik. Komunikasi masih terjalin, hanya saja tidak sesering sebelum
masuk kuliah.
Empat
bulan masa transisi dari anak SMA menjadi anak kuliahan cukup menguras tenaga.
Banyak tugas membuat makalah, presentasi serta praktikum. Dengan kebijakan
jurusan, semua mahasiswa baru wajib menempati asrama yang telah disediakan.
Alhasil, terbataslah ruang gerakku disini. Hari dimana Ibar ulang tahun kuputuskan
bolos mata kuliah matematika dengan dosen yang terkenal killer dikampus.
Menjadi sejarah, sebab hari itu merupakan hari pertama aku naik angkutan umum
keluar kota sendiri. Ya maklum saja, kemana-kemana pasti sama emak babe. Paling
jauh naik motor sendiri juga masih disekitaran daerah bawah. Kubulatkan tekad,
menanggung resiko atas sikap konyol ini. Satpam kampus mengatakan Ibar sedari
pagi tak terlihat. Ku telfon Ibar, dan ternyata ia turun di kos salah satu
sahabatnya. Kecewa, sedih, marah, nano-nano pokoknya. Kue tart yang tadinya
untuk Ibar akhirnya habis dilahap teman kamar setelah sampai di asrama.
Menanggispun sepertinya sisa-sia. Selama ini Ibar memang tak pernah “melihat”
kehadiranku. Ia selalu sibuk dengan dunia barunya.
***
Dengan
masih memendam kecewa terhadap sikap Ibar, kuputuskan cerita kepada Dikta. Ku
lontarkan semua yang menyesakkan kepadanya, dan dengan segera Dikta menelponku
mencoba menenangkanku. Ia selalu punya cara untuk memelukku dari jauh. Semakin
larut, semakin deras aliran sungai mata yang terkuras malam itu. Berharap ia
ada disini, sekedar memberikan sandaran tempatku beradu. Sayang, ia harus tetap
menyelesaikan pekerjaan yang katanya sudah menumpuk. Lalu, bisa apa aku.
Langsung saja ku pacu kuda besi menyusuri jalanan sepulang kuliah. Waktu
menunjukkan pukul 4 sore, padahal waktu yang harus kutempuh paling tidak 1,5
jam perjalanan. Kupaksakan diri meremukkan nyeri yang menyelimuti. Dirumah,
tante mengatakan kalau Dikta masih ditempat kerja. Dengan sisa tenaga yang
kumiliki, sesampai ditempat kerjanya langsung saja kutubrukkan tubuh ini. Dikta
mendekap erat tubuhku, sekuat hati kucoba menahan tangis yang kemudian memecah
keheningan kantornya. Dikta tak akan melepas pelukannya sebelum aku berhenti
terisak. Kemudian setelah kutumpahkan apa yang menyesakkanku kepadanya, aku
kembali lagi ke asrama. Dikta tak pernah menyukai kenekatanku, termasuk ketika
ia tanding basket di luar kota aku ikuti sampai dia selesai tanding. Padahal
saat itu aku ujian tengah semester, dan letak kota tempat ia bertanding lumayan
jauh. Butuh waktu sekitar 3 jam perjalanan dari asrama. Sekitar jam 10 malam
aku baru sampai kamar asrama, dan Dikta marah besar ketika itu.
Hampir
7 tahun persahabatanku dengan Dikta, tak pernah sekalipun aku menyebut nama
Ibar didepannya. Sebenarnya tanpa aku mengatakannya pun harusnya Dikta bisa
menebak, tapi nyatanya sejauh ini tak
ada lontaran nama Ibar diantara kami. Tapi, Dikta tahu bahwa tidak hanya dia
satu-satunya sahabat lelaki yang kupunyai. Kedekatanku dengan masing-masing
diantara mereka tidak jauh berbeda. Sementara Ibar sudah bisa mengerti mengenai
persahabatanku dengan Dikta. Ibar yang tidak pernah mau untuk “mempublikasikan”
cerita kami. Tidak selamanya, apa yang kita punya bisa jadi konsumsi public
kata Ibar. Cukup berat menjalani ikatan dengan cara petak umpet seperti itu,
aku tetap menghargai keputusan Ibar. Sebagai sahabat, selama itu tidak
merugikan salah satu diantara kami ya selalu ada dukungan untuk itu.
***
Mungkin
untuk sebagian orang, akan lebih menyenangkan bila hari lahir dirayakan bersama
teman-teman. Dengan sedikit kejutan, seperti taburan tepung, mandi air
comberan, atau bahkan telur dadar mentah, apapun bentuknya pasti akan terlihat
menyenangkan. Tapi tidak untukku. Aku tak pernah suka dengan ritual yang mereka
lakukan, menurutku hal itu malah jadi ajang balas dendam bagi mereka yang punya
penilaian tersendiri terhadap individu. Sejak jauh-jauh hari, rencana melarikan
diri telah tersusun rapi. Motorku sudah terparkir di mushola kampus yang
letaknya berdekatan dengan pos satpam, jadi akan lebih mudah buatku tanpa harus
mengambil motor diparkiran kampus yang lumayan beresiko. Setelah jam kuliah
pagi, kusegerakan pergi tanpa mengikuti mata kuliah selanjutnya dan itu berarti
aku bolos lagi, indahnya dunia. Tanpa babibu kupacu kuda besi menuruni daerah
atas kota ini.
Malam
sebelumnya, kuhubungi semua anggota geng KOPLAKS. Hampir atu bulan kami tak
pernah bisa meluangkan waktu untuk sekedar ngobrol ataupun main remi bersama,
alas an utamanya pasti karena sibuk dengan tugas kuliah secara mahasiswa baru.
Sepakat, besok pagi kami berkumpul di kos Eza. Mengingat kondisi, Eka tak bisa
bergabung dengan kami. Aku bisa memaklumi karena kuliah Eka jauh dipulau
sebrang, takut tidak punya biaya balik kesananya nanti. Jadilah hanya aku, Eza
dan Rio. Setelah semua berkumpul, tiba-tiba handphoneku bordering pertanda
panggilan masuk. Dilayarnya tertulis Enot, sengaja tak kuangkat karena sedang
asyik main kartu dengan Eza dan Rio. Berkali-kali panggilan masuk tak
kuhiraukan sampai akhirnya Rio mengangkat telpon dan menyerahkannya kepadaku.
Dengan ogah-ogahan kujawab sekenanya saja apa yang ditanyakan Enot,ternyata dia
sudah ada di area kampus. Jujur saja kukatakan aku dikos Eza, terdengar nada
kekecewaan dari ujung telpon di seberang sana kemudian hening. Waktu berjalan
begitu cepat, ternyata sudah lewat jam 9 malam dan aku harus kembali. Dengan
hanya bertemu dan sekedar bermain kartu saja sudah lebih dari cukup untuk lebih
mengakrabkan dan mempererat persahabatan geng KOPLAKS. Terima kasih sahabat.
Beberapa hari kemudian, ketika aku pulang kerumah sebuah kotak ada di meja
makan. Ternyata isinya kue tart, dan sebuah CD. Padahal selama ini tak satupun
anggota keluarga yang melakukan ritual potong kue, cukup dengan berdoa dan makan
bersama seperti makan biasa sebenarnya. Usut punya usut tenyata kue itu dari
Ory, yang dititipkan kepada adik setelah dia pulang sekolah. Kaget, shock,
sedih, senang jadi satu. Aku hanya bisa menanggis ketika melihat apa yang ada
didalam CD tadi, setelah memutarnya seluruhnya adalah aku. Semua foto, baik
yang ia ambil secara sembunyi ataupun dari media social. Langsung kuhubungi
Enot untuk menceritakan hal ini, dan kamipun sepakat bertemu. Seakan langitpun
mengamini doaku, iapun ikut menanggis. Hujan deras mengguyur sebagian besar
kota ini. Apa yang aku lakukan terhadap Ory ternyata disalah artikan, padahal
sama sekali tak ada niatan untuk mempermainkan hatinya. Setelah menunggu cukup
lama, jam 9 malam pesan masuk dari Enot yang mengatakan bahwa dia sudah menunggu
ditempat janjian. Aku mengajak serta Eza malam itu, selama ini aku tidak pernah
bercerita mengenai hubunganku dengan Enot. Awalnya dia sempat kaget, selarut
ini keluar hanya untuk bertemu Enot. Pada akhirnya Eza bisa mengerti.
Dimeja
makan sudah ada 3 cupcake, aku tahu maksudya. Setelah semua kuceritakan kuantar
Enot pulang, masih banyak yang ingin ku bicarakan sebenarnya tapi karena sudah
larut sebaiknya ia istirahat. Aku tahu dia tidak cukup bijak menjaga badan,
terlihat kurusan dari terakhir kami bertemu. Kunci motor Enot kuminta dan Eza
kubiarkan sendiri, tak baik cewek bawa motor sendiri selarut ini. Sampai dengan
rumah, Enot mengeluarkan bingkisan dari ranselnya. Kemudian aku dan Eza pamit
pulang.
***
Setelah
4 hari mengurai agenda kegiata pramuka, masih ada 2 hari lagi untuk bisa
sekedar menghilangkan penat. Aku sudah membuat janji dengan Dikta untuk
menikmati libur, tapi sepertinya ia masih terlalu sibuk dengan pekerjaannya.
Membiarkanmu menikmati duniamu, salah satu caraku membebaskanmu dari jeratku.
Esok paginya masih saja berkutat dengan pemadatan materi pramuka dari para
narasumber, menjelang sore Ibar telpon dan mengajak bertemu. Sementara kegiatan
masih harus berlangsung sampai malam. Menjelang maghrib, hujan deras menghantam
jalanan, menyeruakkan khas harum bau tanah. Sampai jam 7 malam, jutan tak juga
reda. Padahal aku telah berkesanggupan menemui Ibar malam ini. Terpaksa
kumasuki ruang hujan dan bermandikan aroma rintiknya. Basah kuyub keutuhan
tubuhku demi janji kita. Kusempatkan membeli kue,mengingat beberapa hari lalu
adalah hari ulang tahun Ibar. Sejak pertama mengenal Ibar, kebiasaan buruknya
tak pernah berubah. Pembiaran atas kesepakatn, benar . . . Ibar tak pernah bisa
tepat janji. Prinsip etos kerja kebanyakan orang Indonesia yang menerapkan ‘jam
karet’ dalam setiap aktivitasnya, tidak terkecuali hari ini. Sering kali ku
menunggu Ibar datang, 10 menit, 30 menit, 1 jam, 2 jam bagiku hal biasa.
Setelah menahan emosi yang teramat, kuhubungi Ibar dan kuputuskan untuk pulang.
Ternyata sebelum sempat hp kumatikan, batang hidungnya muncul. Selain
membicarakan mengenai Ory, Ibar juga bercerita bahwa sebenarnya ia juga sedang
dekat dengan Umama teman sekampusnya. Kalian tahu apa yang terjadi saat itu?
Shock, kaget, bahagia, senang, seperti itulah. Bahagiaku menyertai jalanmu.
Tepat jam 10 malam, kami pulang.
***
Seperti
disambar petir disiang bolong, Dikta datang kerumah dan mengatakan bahwa dia
akan meneruskan pendidikan di Bogor. Laksana keruntuhan tronton dengan berat
beban terpanggul, akan tetap kupikul sendiri sekalian. Menanggispun sepertinya
sia-sia untuk dapat mengartikan apa yang sedang kurasakan. Sebenarnya setelah
kelulusan SMA, ia telah berniat untuk melanjutkan pendidikan namun sayang ada
situasi yang tidak memungkingkan untuk hal itu. Pada akhirnya ia memutuskan
bekerja untuk mengisi waktu kosongnya dirumah. Jerih payah hasil ia bekerja
selalu ditabung untuk biaya melanjutkan pendidikan pada tahun sebelumnya.
Sempat kecewa ketika ia memutuskan untuk hal itu, melewati hari tanpa kabar
berita. Mengubah kebiasaan sebelum keterbatasan. Terlebih setelah aku
meneruskan kuliah dalam ketaatan asrama. Intensitas waktu dan pertemuan yang
tidak sesering dulu juga semakin memperparah keterikatan yang terjalin. Lebih
dari 3 bulan kediamaan menjerat kami, mengakibatkan kedukaan serta luka
menjalar memenuhi sanubari. Saya tak pernah suka mulai pembicaraan dengan
pembuat goresan duka. Dikta dengan kesibukan pekerjaan yang menyita waktu dan
tenaga, tapi yang aneh Dikta kelebihan berat badan. Cukup proporsional sih
untuk ukuran tingginya yag hampir 180 cm, lebih baik daripada ketika SMA dulu.
Juga ketika tanding basket ataupun jadi ass coach, aku lebih suka Dikta yang
sekarang. Terlebih saat ini dia juga sedang dekat dengan Eki. Bahkan Dikta dan Ibar
tak bisa mengubah pendirianku, sekalipun mereka merupakan sahabat.
Bagaimanapun, ketika satu kesalahan muncul aku yang pada akhirnya mengucap
maaf. Bukan untuk kesalahanku tapi untuk mempertahankan kita, mencoba
melingkari ikatan kita.
Satu
tahun berlalu, akhirnya Dikta memutuskan untuk benar-benar melanjutkan
pendidikannya di Bogor. Dengan sangat terpaksa, kulepas bebas tanpa batas
inginmu meraih cita. Masa tersulit yang
pernah kulewati adalah 3 bulan awal kepergian Dikta ke perantauan. Sesekali
kusempatkan melihat aquarium kita, ikan hias sebagai badut penghiburku. Dan
ketika terakhir aku kesana, ternyata aquarium itu tak ada. Dikta bilang
aquariumnya pecah, dan ikan badutku mati. Untuk pertama kalinya, dari
perantauan ia pulang untuk mengajak serta tante tapi beliau tidak bersedia.
Diperon ini, pertama kali kucoba ikhlas melepas Dikta. Tengtongtengtong, nada
itu selalu kubenci. Pertanda 5 menit sebelum keberangkatan, dan itu artinya aku
akan sendiri disini. Selalu menanti dan menunggu setiap bulannya ditempat yang
sama. Pada titik temu peraduan dekap terakhirnya, dan kecupan manis yang selalu
singgah dikeningku. Bersamaan kepergian Dikta, entah sengaja atau tidak Ibar.
Nyatanya ia tak pernah benar-benar menghilang, pada sedikit kesempatan
terkadang ia datang sekedar mengeksplorasi kemalangan nasib percintaannya.
Menggemis cinta kepada wanita berhati batu tak akan pernah membuahkan hasil.
Beda ketika bibit yang coba ditanam dan dirawat dengan benar sejak awal pasti
hasilnya akan baik pula, tapi ketika dari awal saja sudah ada persilangan akar
tumbuhnya pun tak akan sempurna. Kepedulianku kutunjukkan ketika Umama
ulangtahun, kucoba membuat gift sebagai tanda persahabatan diantara kami.
Awalanya semua berjalan dengan baik, tapi ternyata kecemburuan untuk kehilangan
Ibar lebh tinggi melebihi tinggi monas di ibukota yang membutakan mata
batinnya. Sejak awal kujalani persahabatan murni atas dasar keterikatan batin
yang teramat serta salig percaya atas sebuah kejujuran. Bukan sepenuhnya salah
Umama ketika ia marah besar ketika mengetahui hubungan kami, salah kami tidak
pernah atas kami. Ketidak tahuan serta ketakutan yang berlebih menjadikan semua
berantakan. Tapi sudahlah, aku sudah berusaha menjaga baik untuk aku, Dikta,
Ibar ataupun dengan masing-masing wanita mereka. Penghargaan atas keteguhan
yang apresiasinya melebihi menara eifell di Perancis sana. Ketika pengacuhan
yang kudapatkan, terkadang hanya bisa mencaci diri atas kesanggupan merasakan
kesakitan dari pengacuhan itu.
***
Masing-masing dari kami menjalani hari dengan kesibukan serta aktivitas yang kami miliki. Aku berkutat dengan kuliah yang terus dibayangi tugas serta presentasi kelompok, disamping mengesampingkan masalah hati demi kalian. Sementara Ibar lebih sibuk dengan dunianya, ternyata ketika bercerita kepadaku ia dan Umama telah menjalin hubungan. Dan ketika wanita-wanita mereka mengetahui hubungan kami, meluapkan kobaran api disertai dengan percikan-percikan bara yang membumbung ke angkasa. Entah apa salah yang aku lakukan terhadap para lelaki itu, sampai wanita mereka tidak bisa menerima kehadiranku. Untuk sekedar bertemupun bisa dibilang 1 : 1000 dari kesempatan yang diberikanNya, dan aku menerima hal itu. Aku cukup tahu diri, untuk dapat menempatkan diri dalam hubungan kami. Aku hanya sebatas sahabat, yang tak pernah punya hak untuk lebih memasuki dunia mereka. Meskipun begitu, kami berusaha menyempatkan bersua dari persembunyian atas wanita mereka atau apapun permasalahan yang menyeret mereka. Sebisa mungkin kusisihkan sedikit banyak waktu, tenaga dan pikiran untuk melayani ‘buangan sampah’ dan membawanya dalam ‘tong sampah’ yang kupunya.
Biodata Penulis
Nama :
Peni Tri Puji Lestari
Ttl : Demak, 5 Agustus 1993
Alamat : Ds.Buko Rt 002/ 007 Kecamatan
Wedung Kabupaten Demak
Motto :
Berikan yang terbaik, insyaalah
akan dapat yang terbaik.
Email :
penitri18@yahoo.co.id
Tulisan Terbit dalam Antologi Buku : Goresan Pena Melukis Rasa
terbit di Afsoh Publisher 2013
Peserta Workshop Menulis dan Menerbitkan Buku untuk Mahasiswa PGSD Unnes
Isi Buku
* Hati Kardus Untuk Omen
* Kasih Tak Pudar
* Keabadian Cinta Tuk Selamanya
* Jarak
* Lorong Impian si Kecil Clara
* Ceritaku Ceritamu
* CInta Tidak Harus dipaksa
* Kupilih Jalan Terbaik
* Malam ini ...