Sebuah Perpisahan
Oleh: Andalusiana Cordoba
Menulis
adalah impianku sejak lama yang beku dalam pelukan catatan harianku. Mimpi yang menghiasi deretan pertama baris
harapan-harapan dan mimpi-mimpi saat detik akhir malam, di awal tahun usiaku
baruku. Ia menjadi impian yang membuatku hampir putus asa untuk
mengejarnya, yang hanya
tertulis dalam proposalku untuk Tuhan, yang aku ajukan untuk kesekian kalinya.
Hampir putus asa aku meraihnya, karena aku tak tahu cara mendapatkan
perhatiannya.
Hingga
episode perpisahan itu terjadi. Berpisah dengan seseorang yang pernah menghiasi
hari-hari seindah pelangi, membuat suasana
hati kian terpuruk, tertimbun takdir yang tak berpihak. Seolah ia mencibir,
mempermainkan aku dengan segala kisah dukaku. Aku yang mengiba, mengharap
setitik bahagia menyapa dengan senyum ceria. Tapi apalah daya, aku tak kuasa
melawan kehendak takdir. Biarlah kucoba berdamai dengannya.
Kucoba untuk
bangkit. Aku tak mau kalah oleh waktu yang akan menghanguskan masaku tanpa
belas kasih, waktu yang akan
merenggut banyak peluang kesuksesanku, peluang meraih mimpi dan harapanku. Aku
tak ingin kalah untuk yang kesekian kalinya. Ingin kutaklukkan waktu, agar ia
tak menebas urat leherku. Akan kutuliskan sebuah karya, puluhan karya, ratusan,
ribuan, bahkan jutaan karya yang akan terukir namaku sebagai penciptanya.
Biar kubuktikan
pada semua. Kegagalan bukanlah alasan untuk tetap dalam keterpurukan.
Perpisahan dengan seseorang yang pernah mendapat posisi yang istimewa di hati, adalah
titik awal pertemuan dengan seseorang yang akan senantiasa ada menemani,
menggapai mimpi yang telah lama terpatri.
Kini, telah
kutanggalkan segala kisah suram. Telah kudamaikan takdirku, kususuri lorong
waktu, mencari secercah kedamaian dalam dunia tulisan. Bersama-sama berpacu, bergandengan
tangan, saling mendukung, dan berbagi kekuatan. Dalam tulisan, aku bisa luapkan
semua masalah, semua kesedihan, semua impian dalam bait-bait karya, dalam
paragraf-paragraf harapan, demi meraih masa depan yang gemilang.
“Maka;
lakukanlah sesuatu yang layak untuk ditulis, atau tulislah sesuatu yang layak
untuk dibaca. Agar banyak orang yang mengambil manfaat darimu, dan kamu akan
menjadi barisan orang-orang yang terbaik. Karena sebaik-baik kamu adalah yang
lebih bermanfaat bagi manusia lainnya.”
***
Biodata Penulis
Andalusiana
Cordoba adalah nama pena dari Marfuatus Zulvia Wilujeng yang tinggal di Kabupaten
Trenggalek. Dapat dihubungi di nomor:
085735259179 atau lewat e-mail: andalusianacordoba@yahoo.com
Urip Iku Mung Mampir Ngombe
Oleh: Tomy M Saragih
Bagi sebagian
orang, menulis merupakan siksa batin tersendiri, karena menulis dianalogikan
sebagai karya-karya yang bermakna. Memang betul seharusnya demikian. Namun bagi
saya sendiri, menulis adalah suatu karunia dari Tuhan yang harus dikuliti
hingga biji-bijinya. Biar pun pada mulanya saya kerap kali mengalami penolakan
oleh berbagai media cetak terkait isi tulisan yang menurut mereka tidak
berbobot, hal itu tidak menyebabkan saya menjadi putus asa.
Saya tetap memiliki kobaran semangat, entah bagaimana caranya tulisan saya
dapat dimuat dalam media cetak. Karena bagi penulis pemula seperti saya,
melihat hasil pemikiran dimuat dalam media cetak adalah pencapaian besar.
Tulisan-tulisan kita dapat dibaca oleh banyak orang dan tentu saja kita menjadi
lebih dikenal.
Sejujurnya, pada saat tulisan pertama dimuat salah satu surat kabar di
Surabaya, hati saya merasa sombong, karena penantian selama berbulan-bulan
menghasilkan buah yang nikmat. Di titik tertentu, saya menjadi terlena dan
larut dalam kesenangan sesaat. Hingga kejadian matinya burung tekukur milik
saya. Dari peristiwa itu, saya menyadari bahwa kita di bumi ini urip iku mung mampir ngombe, adagium kebijaksanaan
khas Jawa, yaitu hidup itu sekadar singgah untuk minum, benar-benar menjadikan
saya untuk segera berubah.
Dengan semangat yang tersisa, akhirnya saya berusaha membuang prestasi awal
mula tulisan dimuat. Saya mencambuk diri sendiri agar tetap mampu bersemangat
menghasilkan karya tulis lainnya dalam bentuk opini yang lebih berbobot.
Setelah beberapa waktu yang lama, saya menyajikan tulisan yang kekinian
(mengikuti arus informasi yang sedang terjadi) dan inilah hadiah kedua dalam
hidup yakni dimuatnya lagi tulisan tersebut dalam media cetak.
Dari inilah rasanya jalan menulis bagi saya terbuka lebar. Setidaknya dalam
satu bulan, saya wajib mengirimkan minimal dua tulisan ke dalam media cetak
berbeda. Semakin hari, menulis menjadi lebih mudah dan yang terpenting kita
wajib selalu rendah hati serta lebih giat untuk belajar. Itulah iota keajaiban
menulis dalam hidup saya.
***
Biodata Penulis
Tomy M Saragih, seorang penggemar film. Ia bertempat tinggal di a_los_tesalonicenses@yahoo.com
dan www.jii-ces.biz. Terima kasih Bapak
Afsoh.
Lima menit
Oleh:
Fuatuttaqwiyah El-Adiba
Ketika itu menjelang morning circle, agenda wajib
guru, kepala sekolah, dan direktur untuk bertemu untuk membicarakan program dan kegiatan. Sengaja aku datang
lebih awal. Tak lupa membawa notes kecil dan pulpen. Tak lama penaku pun
menari. Terciptalah puisi indah bertema guru. Ide begitu cepat menyapa hingga
tulisan itu pun jadi bermakna. Jujur, aku bukan ahli menulis puisi, tapi sedang
belajar tentang hal itu. Bukan hal mudah, karena terbiasa menulis kisah
inspiratif.
Menulis puisi membuatku harus membaca banyak buku
terutama buku-buku puisi. Namun sejak serius belajar, aku menemukan keasyikan
tersendiri. Tidak seperti cerpen yang harus memikirkan alur, tokoh, ataupun setting. Membuat puisi cukup duduk manis lima sampai sepuluh menit
selesai.
Aku pun melatih diksiku dengan mencari sinonim atau
antonim dari sebuah kata. Sesekali membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, terutama untuk kata-kata baru hasil serapan dari kosa
kata asing. Seperti pagi ini dengan waktu yang hanya lima menit, aku bisa
menyelesaikan sebuah puisi. Sebuah prestasi yang patut kusyukuri. Tentu dengan
berlatih lebih giat lagi.
Dulu aku sempat hopeless bila ikut lomba puisi. Ujungnya
pasti kalah. Tapi sekarang tidak. Sejak sering membaca dan karyaku menang dalam
salah satu event menulis puisi,
hasratku pun menggebu. One day, aku pasti punya buku kumpulan puisi. Amin.
Sigli, 10 Oktober 2012
Biodata Penulis
Fuatuttaqwiyah El-Adiba adalah nama pena sekaligus nama
FB dari Fuatuttaqwiyah. Beralamat di Jalan Tengiri 6 No. 114 Kel.
Karawaci Baru, Kec. Karawaci, Kota Tangerang, Banten-15116.
Prestasinya Juara II Lomba Menulis Cerpen Guru Se-Aceh 2012, Juara I Lomba
Menulis Surat Cinta Last Moment 2012.
E-mail: taqwiyah@yahoo.co.id
Dukun Surat
Cinta
Oleh: Wita Rosmalia
Waktu itu aku
masih SMP, dan aku sangat suka menulis dan membuat puisi. Lalu, teman-temanku
yang mengetahui hal itu, memanfaatkan keahlianku untuk mengarangkan puisi dan
membuat surat cinta pada orang yang mereka suka. Awalnya aku menolak, karena
rasanya kerjaan seperti itu sungguh 'kurang kerjaan'. Aku berpikir dan berkata pada mereka, "Ngomong langsung
aja, apa susahnya?" Tapi sebagian besar dari mereka, menggelengkan kepala dan
tetap kukuh menyuruhku membuatkan surat atau puisi tersebut, bahkan di antaranya
memberiku upah. Dari situlah aku memulai bisnisku sebagai 'dukun surat
cinta'.
Hari berlalu dan
orderan semakin banyak. Namaku pun semakin
terkenal di kalangan anak-anak di sekolah. Pada
suatu ketika, aku mendapat deadline sembilan
lembar surat dalam sehari harus jadi! Wow! Dan kerjaan itu membuatku harus lembur sampai malam, hingga aku mengantuk dan aku tak sadar kalau ada tulisanku yang
salah ketik.
Esok harinya, seluruh
pengorder datang dan memberiku upah. Tak lupa kuucapkan pada mereka, “Dicek
dulu dalemnya!”
Ada seorang
teman lelakiku yang mengabaikan
pesan tersebut. Singkat cerita, lusanya ketika istirahat dia marah padaku
karena gadis yang dikiriminya surat tak kunjung membalas surat
tersebut. Malah ketika pulang sekolah, gadis itu mendatangiku dan
tertawa, katanya aku ini lesbian. What?
Lalu dia menyerahkan sebuah amplop padaku, lalu kubaca suratnya. Oh my God! Ini surat buatanku, tapi kenapa di tertandanya ada namaku, ya? Perasaan
nggak begini deh! Batinku kebingungan.
Tiba-tiba aku
teringat teman yang marah padaku sewaktu istirahat tadi. Pasti
harusnya nama dia ada di sini,
gumamku. Lalu kujelaskan duduk perkaranya pada gadis
tersebut. Awalnya dia sempat kaget, namun dia bisa memaklumi hal tersebut.
Esoknya harinya, temanku
yang kemarin sempat marah kepadaku, mendatangi kelasku dan menjabat tanganku berkali-kali
sambil berterima kasih dan memberi 'salam tempel' padaku.
"Lho?
Apa-apaan ini?" tanyaku bingung. Dia pun bercerita kalau dia baru saja
jadian tadi pagi.
“Hmm..., begitu ya? Aku turut senang deh,” tambahku.
Aku bersyukur masalah kemarin cepat selesai, dan yang penting,
aku dapat uang tambahan hari itu! Kalau
ingat masa-masa itu, aku merasa bak
miliarder, he-he.
Tak berapa lama kemudian, bisnis itu kututup, karena aku
harus konsentrasi pada try out dan UN yang sudah di depan mata. Itu
tadi segelintir keajaiban dalam dunia kepenulisanku. Sebenarnya ada banyak, tapi
menurutku, inilah yang paling menarik, karena aku dapat mengasah kemampuanku
sambil menghasilkan uang.
***
Biodata Penulis
Wita
Rosmalia, nama pena dari seorang siswa kelas XI RSMABI di Kota Semarang yang
menggeluti kegiatan jurnalistik, kepenulisan, dan fotografi.
Kontak dia di twitter: @OFFICIALWITA,
e-mail: witaunyuu@gmail.com, atau kunjungi website-nya di http://witaciril.co.cc/ untuk berkenalan
lebih lanjut.